"Boleh?"
Aku mengangguk dua kali, berjalan mendekat ke arah mas Ravin."Disini?" tanyaku."Agak ke samping." jawabnya. Aku menurut, mengikuti instruksi nya."pusing?" tanyaku.Dia berdehem untuk jawabannya. Aku menghela napas, saat ku rasakan dia berdiri."Makasih, maaf ngerepotin."Aku ingin menjawab, tidak. Sama sekali tidak repot. Tidak masalah kalau pengen di pijit setiap hari. Tapi suaraku tidak keluar,hanya sampai di tenggorokan. Kemudian ku lihat dia mengambil kapsul di laci meja."Mau pakai air,atau roti minum obatnya?"Tidak menjawab, dia hanya menggoyangkan tangan dan keluar. Mungkin untuk mengambil air. Kan nyesek. Di tolak lagi. Nggakpapa.******* Kepalaku mengangguk untuk yang kesekian kali. Mama Luna sedang berbaik hati mengajarkan kepadaku bagaimana cara merawat bunga di pekarangan belakang. Aku takjub dengan pengetahuan mama mertuaku kali ini. Beribu macam bunga ada disini. Dan dia hebatnya, beliau tau nama masing-masing nona jelita yang kini di basuhnya dengan penuh cinta."Kamu percaya kalau mereka akan mekar dengan indah dengan kita memegang masing-masing kelopaknya setiap hari? Seperti ucapan selamat pagi. Hm?"Tanya beliau dengan mata masih menatap lurus bunga bugenvil ungu yang unyu-unyu. Alisku naik, berarti tak paham sepenuhnya dengan apa yang dikatakan. Bunga, ya bunga. Mereka tidak punya telinga, kan?"Mereka memang tidak punya telinga, tapi mereka ciptaan Allah, yang pastinya dikaruniai perasa. kamu nakal juga, ya."Mama Luna, melirik kearahku.Aku unjuk gigi, malu pikiranku di baca mama mertua. Mama Luna kembali berjalan, dengan tak hentinya bibir melengkung sesekali menggumamkan sapaa. Ah, sudahlah."Hari ini mau masak apa,ma?" tanyaku.Mama bukan menjawab, malah menepuk keras keningnya."Astagfirullahal'adzim, Karina! Mama lupa, ish, kenapa tidak di ingatkan? Kamu ini, benar-bentar."Aku? Plis deh, mama. Apa? Apa yang harus diingatkan?"Nanti Adam pulang, kita belum masak. His lah, hayu masuk. Bantu mama masak." lanjut beliau dengan tangan menarik lenganku."Adam itu, siapa ma?"Aku bersuara, mama Luna menatapku aneh, lalu kemudian menghela napas. Seperti mengingat sesuatu."Ah, maaf, mama lupa. Seharusnya adikmu mengenal Adam."Hatiku tersentil. Sebegitu dekatnya Nasya pada keluarga Mas Ravin. Lalu? Kenapa dia tega menyakiti mereka? Astagfirullah. Aku tersenyum menanggapi mama yang terlihat segan. Mungkin sungkan, karena mengira aku Nasya yang sudah tahu hampir seluruh keluarga mereka. Aku mendesah. Pikiran negatif rata berkeliling memenuhi otakku, sampai ocehan mama memenuhi indra pendengarku, lagi. Beliau dengan cekatan memberirahu bagaimana cara memasak yang sedap. Tak lupa memeberi tahu, apa yang di sukai dan tidak disukai suamiku. Kembali membahas tentang buah hijau berbau tidak sedap lagi."Adam itu adiknya Ravin, dia kuliah di Luar negeri. Kemarin waktu acara belum bisa hadir, karena disana cuacanya buruk."Aku mengangguk mendapat informasi dari mama."Dia tau, kalau acara kemarin kacau?" tanyaku."Belum, kan nggak ada yang posting kemarin,Rin."Aku tersenyum di kulum, iyalah kemarin kan aib, masa di umbar?"Assalamualaikum."Aku dan mama saling pandang, mendengar salam dari arah depan. Dengan langkah seribu mama berlari meninggalkan tumisan. Hais, kaya perawan ketemu gebetan. Selanjutnya aku beristigfar lalu mematikan kompor. Menyusul ke depan. Di ruang tamu, aku melihat dua sosok lelaki tampan berdiri disana. Bedanya, satu raga terengkuh dalam pelukan hangat mama Luna. Wanita itu tak hentinya mengecup inci demi inci wajah tampan itu. Satunya lagi, berdiri menyilangkan tangan ke dada. Mengawasi drama di depannya , dengan senyum tak lepas dari bibir merah mudanya. Duh, tampannya suamiku. Hatiku memuji, kesekian kali wajah ranum milik Mas Ravin. Eh? Tapi kok rada aneh."Karin, ngapain? Sini."Aku tersentak, tiga pasang mata mengarah menatapku. Wajah baru itu menatapku aneh, lalu nyengir. Dekil, tapi tampan. Terlihat sangat kekinian."Wah, mama baik banget sih! Dateng-dateng udah disiapin mantu, cantik ma! Mas, ini hadiah yang mas janjiin waktu Adam nggak bisa Dateng ke nikahan? Siap atuh di hadiahin sekarang. Adam nggak nolak kalau hadiahnya bidadari. Adam mau nikah sama dinda kirana."Plak.Aku hampir terbahak, melihat adegan mama menjitak kepala Adam gemas. Mas Ravin datar. Senyum hilang dari bibirnya. Sedikit mendung naik ke puncak kepalanya."Ini kaka ipar kamu, enak aja mau di nikahin. Namanya Karin, bukan kiran. Kenalan, gih."Mata Adam membola mendengar penuturan mama, aku paham."Istri lo? Mas nggak mungkinkan? Adam tau gimana wajah mbak Nisya. kalaupun pakai jilbab wajahnya pasti beda kecuali oprasi plastik. Oprasi plastik? Pakai hijab lagi sekarang. Gue yang lupa, atau emang bini lo makin cantik?" ujar Adam, meneliti wajahku tapi bertanya ke Mas Ravin."Mas mau mandi, kamu istirahat aja, besok lanjut kenalannya."Ujar Mas Ravin, melangkah masuk kamar namun dengan tangan meraih tanganku dan menariknya pelan."Eh, bentar. Kan belum kenalan.''Adam mencegah, meraih tangan mas Ravin. Lalu menatapku ketika langkah kami berhenti."Kenalin, Adam. Adik ipar mbak Kiran yang paling ganteng." Ujarnya. Aku tersenyum, lalu mengangguk. Ingin melepaskan tanganku yang di tarik mas Ravin tapi lelaki itu malah semakin mengeratkan pegangannya."Karin. Bukan Kiran."Adam menggaruk belakang kepalanya, lalu kembali tersenyum."Salam kenal mbak, Adam harap kita bisa lebih dekat."Puk.Kembali wajah Adam meringis, satu pukulan kembali menyapa punggungnya. Siapa pelakunya? Mama lah, masa iya Mas Ravin." Di jaga mulutnya, lihat itu suaminya udah mau nyakar kamu. Lebih dekat gundulmu itu."Aku tertawa, Adam mengejek ke arah mas Ravin. Lalu aku menoleh dan mendapati wajah mas Ravin datar tanpa senyum, matanya jelas menyiratkan rasa tidak suka. Tidak suka aku akrab dengan keluarganya? Tidak mau aku lebih dekat dengan adiknya?Hatiku menciut, sebegitu tak inginkah ia, jika aku dekat dengan keluarga dekatnya? Dadaku panas, sesak. Sampai mata terasa kebas. Aku kuat. Nggak, jangan nangis. Perintahku pada dri sendiri. Entah kenapa perasaanku tiba-tiba main disini. Menyebalkan. Kami tetap bergandengan tangan ketika masuk kamar. Aku di dudukan di kursi rias depan lemari. Lalu dia melepas jas, dan dasinya. Menggulung lengan kemejanya, lalu menatap ke arahku."Jangan terlalu di tanggepin."Aku mengangguk menghadap kaca. Derap langkah mendekat.Aku mendongak, tepat ketika mata elang itu menatap bola mataku. Aku langsung menunduk."Maaf," gumamku.Mas Ravin diam, aku mendengar napasnya kasar. "Astaghfirullah..." kudengar ia beristigfar."Maaf, Hari ini saya sangat lelah. Kamu istirahat. Jangan terlalu nanggepin Adam."Setetes air mataku jatuh, eh. Kenapa aku secengeng ini? Cepat aku mengusap pipi dengan punggung tangan. Tiba-tiba selembaran kain putih melayang di antara mataku. Dia duduk di lantai, dengan posisi menyamai tinggi tubuhku yang duduk di kursi."Kenapa?"Tanyanya, aku menggeleng, menerima sapu tangannya, lalu mengusap bersih sisa air mataku di pipi. kemudian mengangkat wajah, menatapnya. Memaksa senyum."Maaf sudah setuju permintaan mama, tapi Mas Ravin tenang aja, ini semua Karin lakukan untuk menjaga hubungan baik keluarga kita, muru'ah keluarga kita, nggak lucu, kan? Kalau gosip beredar putra sulung keluarga Abraham di tinggal lari di hari pernikahan oleh putri bungsu keluarga Mahesa.""Kamu jangan salah paham, Saya bukannya nggak suka kamu dekat atau akrab sama keluarga."Ku lihat tangannya sedikit menekan perut bagian kiri. Tapi tak ku hiraukan. Lelaki itu meringis usai berkata demikian."Stt, Allah." Lirihnya. Aku beranjak menuju laci, mengambil minyak kayu putih seperti kemarin."Aku mau menyiapkan makan malam dulu. Mas sudah makan di kantor?" Tanyaku, dia mengangguk. Sebenarnya tak yakin, tapi aku tak ingin menanyakan lagi untuk malam ini."Mas Ravin butuh obat?" tanyaku.Entah aku salah paham,atau tidak mengerti sikapnya yang jelas malam ini aku sedikit terluka dengan sikapnya. Saat ia kembali menggeleng, aku mengangguk. Lalu meraih lengannya tanpa persetujuan dan membimbingnya untuk duduk.Aku berusaha tersenyum, mengingat perasaanku sudah mulau tumbuh pada sosok yang selalu ku temui di sisi ranjang pembaringan kala mata terbuka, meski jarak masih terenggang du antara kita. Dia diam. Wajahnya tak bisa ku deteksi menampilkan raut apa."Mas istirahat saja, Karin mau bantu mama Luna."Pamitku langsung neninggalkannya, tak sanggup lebih lama lagi berhadapan dengan wajah tersiksa miliknya. Bukan karena sakit, tapi lebih ke perasaan lelah yang belum bisa ku definisikan."maaf."Aku sakit mendengarnya.***Perang dingin antara aku dan mas Ravin masih ku rasa Sampai pagi. Semakin terasa ketika mengingat hari ini adalah hari minggu. Seharusnya Senin saja, setidaknya kami tidak harus saling membuang muka saat tidak sengaj berjumpa. Seperti tadi ketika aku hendak ke kamar mandi ternyata mas Ravin lebih dulu membuka pintu, kami tidak melakukan apapun,aku diam dia diam. Tidak enak, tidak suka. Akhirnya aku memutuskan untuk turun ke bawah, siap-siap masak bersama mertua tercinta.Aku sedikit melirik bayangan yang sedari tadi mengganggu konsentrasiku memasak, mama Luna sedang ke depan membeli di mang Asim beberapa keperluan dapur yang kurang. Karena hari ini hari minggu, adik ipar dan suamiku kini sedang berolahraga keliling kompleks. Sedang, ayah Yusuf memilih meregangkan otot di taman belakang. Malas di geniti janda kompleks katanya, tentu saja itu membuat mama Luna memberikan kecupan manis untuk papa mertuaku itu. Aku terkekeh menyembunyikan kegetiran di hatiku."Jangan kasih Ravin jatah, kal
"Ah, mending tidur di rumah. Dari pada jadi nyamuk.""Nggak asik.""Nggak seru!"Ingin sekali menyumpal bibir Adam, bagaimana bisa dia mengoceh sepanjang perjalanan, protes karena harus duduk di kursi belakang. Dan sekarang, karena dia lebih mirip seperti anak kecil yang sedang menguntit orang tuanya belanja. Lucu, tapi pengen nampol.Sedang Mas Ravin?Tentu saja, ia mendorong trolly dan berjalan tepat di sampingku. Tak ada yang spesial, tapi sikap Mas Ravin sedikit menghangatkan hati. Sederhana, tak berlebihan. Ah, seharusnya aku tak terlalu menggunakan perasaan untuk sikapnya.Aku menghela napas, tanpa sadar."Sudah belanjanya?"Aku mengerjap."Eh? Apa?""Bisa-bisanya ya Allah, lagi belanja juga bengong. Eh, kapar, emang butuh pendampingan banget ya, tiati kalau nyebrang. Panggil adek tertampan, yang siap jadi pengawal kala pangeran es potong sedang berhalangan."Aish, Mas Ravin menatapku lalu menatap Adam, menyerahkan, trolly kepada Adam, lalu tanpa aba-aba meraih tanganku untuk di
"Kalian ini, kamu juga Adam. Ngapain ngajak ke alun-alun sudah tau mendung!"Oceh mama memberikan kami botol minyak kayu putih, sekaligus 3 cangkir wedang jahe yang di bantu mbok."Nggak keliatan ma, udah gelap lang.""Kan, kalau di kasih tau pasti bantah."Aku menyembunyikan senyum ketika melihat mama memukul pundak Adam dengan tangannya gemas. Mas Ravin diam, tangannya menekan bagian perutnya pelan. Wajahnya meringis samar."Aku ke kamar dulu ya,Mau ganti baju, takut masuk angin."Mas Ravin berdiri, setelah menyeruput wedang jahe, dia sepertinya sudah malas mendengar mama mengomel. Aku mengikuti langkah lelaki itu."Adam juga.""Eh, mau kemana sayang? Mama belum selesai ngomong. Lihat mas mu bisa saja sakit, karena nurutin tingkah kamu itu. Sudah tau Ravin nggak bisa kalau kena hujan. Karin juga. Rese emang kamu ini.""Karin sama mas Ravin nggakpapa ma, kasihan Adam juga pasti kedinginan."Adam mengangguki ucapanku, memasang wajah melas yang cukup menggemaskan."Adam anak mama juga,
_Karin POV_Aku sedang meregangkan otot tubuhku, rasanya pegal capek sekali. Pagi ini aku mencuci Sprai, dan selimut yang kemarin malam terkena muntahan mas Ravin. Suamiku itu terkena maag akut, di tambah tifus yang katanya sudah lama tidak kambuh. Terlihat baik belum pasti baik-baik saja,kan? Sering di goda Adam mengenai pernikahan yang batal dan di tinggal di hari pernikahan pernah membuat mas Ravin menimpalinya dengan guyonan. Tapi sekarang? Tau, tidak mungkin hanya karena kelelahan raga. Jiwanya mungkin sudah lama berontak tapi tidak di hiraukan sang pemilik."Biasanya karena pola makan, pikiran dan jam tidru yang kurang teratur. Yang sakit bagian mana pak Ravin?".Mas Ravin menunjuk perut bagian kiri dan ulu hatinya. Mama menatap putranya kasihan. Wanita itu langsung masuk kamar usai solat subuh karena aku berteriak panik melihat mas Ravin tumbang usai muntah di samping kasur. Aku menatap takut lelaki yang sudah menutup mata itu dengan berbagai doa yang terapal. Lemas dan pucat.
Betapa terkejutnya aku ketika menyadari tangan mas Ravin tak ada di genggamanku, dan kini justru aku yang berbaring di atas ranjang.Kapala sibuk menoleh ke kanan dan ke kiri, panik."Mas, Mas Ravin?"Panggilku, kemana dia? Pintu kamar mandi terbuka, aku masuk. kosong. Kemana?Baru saja aku akan kembali berteriak ketika pintu kamar terbuka. Mama."Kenapa teriak-teriak, Rin? Ravin di bawah, selesai olah raga habis subuh tadi."Aku menghela napas lega, subuh? Sontak mataku mencari dimana jam dinding di pasang. Astagfirullah, aku kesiangan."Dasar penganten baru, aneh-aneh wae."Mama tersenyum mengejek, lalu meninggalkanku sendirian. Gusti, malu. Sumpah. Aku keluar dari kamar, melihat sekeliling lalu ikut mama ke dapur. "Rin, bisa minta tolong?" tanya mama, aku mengangguk. "Ini kayaknya, cetakan yang mau mama pakai lepas deh alatnya. Bisa tolong beli di pasar? Sekalian sama belanja beberapa bahan masakan buat nanti sore, mau?" tanya mama yang langsung ku angguki. "Sendiri?" tanyaku, m
"Sah!"Seperti baru saja memejamkan mata,lalu di paksa bangun segera. Aku seperti manusia kehilangan nyawa sejenak. Ini beneran? Ini sungguhan? Kemarin masih jalan jalan sama anak orang orang sekarang sudah jadi suami anak orang beneran.Aku menelan siliva yang menempel di tenggorokan. Bagaimana tidak? Jika seharusnya aku menjadi kakak iparnya, kini malah menjadi istrinya. Yasalam. Mas Ravin menatapku aneh, lalu mengulurkan tangan kanannya untuk ku cium. Aku menurut, bisa apa lagi? Wajah lelaki itu memerah. Paduan antara geram bingung dan marah. Aku yakin ia tak nyaman. Sumpah! Karena aku juga sudah merasakannya. Sedari tadi saat tiba-tiba mama berbisik di telingaku, kalau Nisya adik terlaknatku kabur, dan dengan tanpa rasa bersalah anak nakal itu mengamanatkan agar aku yang menggantikannya. Astagfirullah, gusti. Ampuni aku yang kini sudah melafalkan sumpah serapah untuk adik cantik yang ingin ku sentil otaknya itu. Masih ingat jelas di ingatan bagaimana ia menggebu bercerita tentang
"Buah hati selalu berhasil menjadi penyejuk antara orang tuanya, Rin."Lagi-lagi kata-kata mama Luna mengembang di pikiranku."Sulit,ma.""Laki-laki,sekuat apapun egonya akan kalah dengan nafsunya. Percaya sama mama."Aku diam, masalahnya beda mama.Semerawut. Hanya itu yang ada di hatiku saat ini. Bayangkan saja, ya, bayangkan saja, karena menjadi aku terlalu sulit. Bagaimana sekarang jika salah satu di antara kalian ada diposisiku, menjadi tumbal keegoisan adik tercinta dan menjadi istri dari calon adik ipar? Oh tuhan. Ini terlalu mendadak. Aku sungguh berharap ini hanya mimpi."Ehm,"Aku menoleh karena deheman itu. Mas Ravin membawa satu stel gamis yang ku pastikan itu baru pemberian mama. Ah, memang tak ada persiapan apapun tadi. Usai akad nikah dan berpamitan pada para keluarga dekat, aku langsung di bawanya kabur. Ya, kabur. Itu lebih cocok untuk sikap kami yang menghindari berbagai pertanyaan yang kami yakin akan di cekokan, terutama dari teman dan kolega bisnis Mas Ravin."Ini
"Mas, bajunya mau pakai warna apa?"Aku mendengar sautan tak jelas dari dalam kamar mandi.Seperti beberapa hari terakhir, terhitung satu minggu menjadi istri. Aku menyiapkan segala kebutuhan suamiku sebelum berangkat ke kantor. Tidak tau seleranya, wajar saja aku menyiapkan segalanya melihat dari sudut pandangku dan keyakinan bahwa stelan ini tak akan mengurangi tingkat kegantengannya. Dingin sih, tapi tetep ganteng."Itu Mas, pakaiannya Karin siapin di ranjang. Maaf kalau nggak sesuai."Ujarku mendengar pintu kamar mandi terbuka. Belum menoleh, dia berdehem aku membalik badan. Innalillah, mataku!"Mas Ravin! Kenapa nggak pake baju!"Pekik ku tak sadar, biasanya dia selalu berpakaian lengkap saat keluar kamar mandi. Tidak ku dengar sahutan kecuali menggumamkan maaf, lalu memakai baju. Aku masih memunggunginya. Sampai dia berdehem, memberi tahu ia sudah berbaju. Aih?"Lain kali, kalau pakai baju di kamar mandi, Mas. Jangan di luar, apa gunanya kamar mandi kalau fungsi kamar mandi sendi
Betapa terkejutnya aku ketika menyadari tangan mas Ravin tak ada di genggamanku, dan kini justru aku yang berbaring di atas ranjang.Kapala sibuk menoleh ke kanan dan ke kiri, panik."Mas, Mas Ravin?"Panggilku, kemana dia? Pintu kamar mandi terbuka, aku masuk. kosong. Kemana?Baru saja aku akan kembali berteriak ketika pintu kamar terbuka. Mama."Kenapa teriak-teriak, Rin? Ravin di bawah, selesai olah raga habis subuh tadi."Aku menghela napas lega, subuh? Sontak mataku mencari dimana jam dinding di pasang. Astagfirullah, aku kesiangan."Dasar penganten baru, aneh-aneh wae."Mama tersenyum mengejek, lalu meninggalkanku sendirian. Gusti, malu. Sumpah. Aku keluar dari kamar, melihat sekeliling lalu ikut mama ke dapur. "Rin, bisa minta tolong?" tanya mama, aku mengangguk. "Ini kayaknya, cetakan yang mau mama pakai lepas deh alatnya. Bisa tolong beli di pasar? Sekalian sama belanja beberapa bahan masakan buat nanti sore, mau?" tanya mama yang langsung ku angguki. "Sendiri?" tanyaku, m
_Karin POV_Aku sedang meregangkan otot tubuhku, rasanya pegal capek sekali. Pagi ini aku mencuci Sprai, dan selimut yang kemarin malam terkena muntahan mas Ravin. Suamiku itu terkena maag akut, di tambah tifus yang katanya sudah lama tidak kambuh. Terlihat baik belum pasti baik-baik saja,kan? Sering di goda Adam mengenai pernikahan yang batal dan di tinggal di hari pernikahan pernah membuat mas Ravin menimpalinya dengan guyonan. Tapi sekarang? Tau, tidak mungkin hanya karena kelelahan raga. Jiwanya mungkin sudah lama berontak tapi tidak di hiraukan sang pemilik."Biasanya karena pola makan, pikiran dan jam tidru yang kurang teratur. Yang sakit bagian mana pak Ravin?".Mas Ravin menunjuk perut bagian kiri dan ulu hatinya. Mama menatap putranya kasihan. Wanita itu langsung masuk kamar usai solat subuh karena aku berteriak panik melihat mas Ravin tumbang usai muntah di samping kasur. Aku menatap takut lelaki yang sudah menutup mata itu dengan berbagai doa yang terapal. Lemas dan pucat.
"Kalian ini, kamu juga Adam. Ngapain ngajak ke alun-alun sudah tau mendung!"Oceh mama memberikan kami botol minyak kayu putih, sekaligus 3 cangkir wedang jahe yang di bantu mbok."Nggak keliatan ma, udah gelap lang.""Kan, kalau di kasih tau pasti bantah."Aku menyembunyikan senyum ketika melihat mama memukul pundak Adam dengan tangannya gemas. Mas Ravin diam, tangannya menekan bagian perutnya pelan. Wajahnya meringis samar."Aku ke kamar dulu ya,Mau ganti baju, takut masuk angin."Mas Ravin berdiri, setelah menyeruput wedang jahe, dia sepertinya sudah malas mendengar mama mengomel. Aku mengikuti langkah lelaki itu."Adam juga.""Eh, mau kemana sayang? Mama belum selesai ngomong. Lihat mas mu bisa saja sakit, karena nurutin tingkah kamu itu. Sudah tau Ravin nggak bisa kalau kena hujan. Karin juga. Rese emang kamu ini.""Karin sama mas Ravin nggakpapa ma, kasihan Adam juga pasti kedinginan."Adam mengangguki ucapanku, memasang wajah melas yang cukup menggemaskan."Adam anak mama juga,
"Ah, mending tidur di rumah. Dari pada jadi nyamuk.""Nggak asik.""Nggak seru!"Ingin sekali menyumpal bibir Adam, bagaimana bisa dia mengoceh sepanjang perjalanan, protes karena harus duduk di kursi belakang. Dan sekarang, karena dia lebih mirip seperti anak kecil yang sedang menguntit orang tuanya belanja. Lucu, tapi pengen nampol.Sedang Mas Ravin?Tentu saja, ia mendorong trolly dan berjalan tepat di sampingku. Tak ada yang spesial, tapi sikap Mas Ravin sedikit menghangatkan hati. Sederhana, tak berlebihan. Ah, seharusnya aku tak terlalu menggunakan perasaan untuk sikapnya.Aku menghela napas, tanpa sadar."Sudah belanjanya?"Aku mengerjap."Eh? Apa?""Bisa-bisanya ya Allah, lagi belanja juga bengong. Eh, kapar, emang butuh pendampingan banget ya, tiati kalau nyebrang. Panggil adek tertampan, yang siap jadi pengawal kala pangeran es potong sedang berhalangan."Aish, Mas Ravin menatapku lalu menatap Adam, menyerahkan, trolly kepada Adam, lalu tanpa aba-aba meraih tanganku untuk di
Perang dingin antara aku dan mas Ravin masih ku rasa Sampai pagi. Semakin terasa ketika mengingat hari ini adalah hari minggu. Seharusnya Senin saja, setidaknya kami tidak harus saling membuang muka saat tidak sengaj berjumpa. Seperti tadi ketika aku hendak ke kamar mandi ternyata mas Ravin lebih dulu membuka pintu, kami tidak melakukan apapun,aku diam dia diam. Tidak enak, tidak suka. Akhirnya aku memutuskan untuk turun ke bawah, siap-siap masak bersama mertua tercinta.Aku sedikit melirik bayangan yang sedari tadi mengganggu konsentrasiku memasak, mama Luna sedang ke depan membeli di mang Asim beberapa keperluan dapur yang kurang. Karena hari ini hari minggu, adik ipar dan suamiku kini sedang berolahraga keliling kompleks. Sedang, ayah Yusuf memilih meregangkan otot di taman belakang. Malas di geniti janda kompleks katanya, tentu saja itu membuat mama Luna memberikan kecupan manis untuk papa mertuaku itu. Aku terkekeh menyembunyikan kegetiran di hatiku."Jangan kasih Ravin jatah, kal
"Boleh?"Aku mengangguk dua kali, berjalan mendekat ke arah mas Ravin. "Disini?" tanyaku."Agak ke samping." jawabnya. Aku menurut, mengikuti instruksi nya."pusing?" tanyaku.Dia berdehem untuk jawabannya. Aku menghela napas, saat ku rasakan dia berdiri."Makasih, maaf ngerepotin."Aku ingin menjawab, tidak. Sama sekali tidak repot. Tidak masalah kalau pengen di pijit setiap hari. Tapi suaraku tidak keluar,hanya sampai di tenggorokan. Kemudian ku lihat dia mengambil kapsul di laci meja."Mau pakai air,atau roti minum obatnya?"Tidak menjawab, dia hanya menggoyangkan tangan dan keluar. Mungkin untuk mengambil air. Kan nyesek. Di tolak lagi. Nggakpapa.******* Kepalaku mengangguk untuk yang kesekian kali. Mama Luna sedang berbaik hati mengajarkan kepadaku bagaimana cara merawat bunga di pekarangan belakang. Aku takjub dengan pengetahuan mama mertuaku kali ini. Beribu macam bunga ada disini. Dan dia hebatnya, beliau tau nama masing-masing nona jelita yang kini di basuhnya dengan penuh
"Mas, bajunya mau pakai warna apa?"Aku mendengar sautan tak jelas dari dalam kamar mandi.Seperti beberapa hari terakhir, terhitung satu minggu menjadi istri. Aku menyiapkan segala kebutuhan suamiku sebelum berangkat ke kantor. Tidak tau seleranya, wajar saja aku menyiapkan segalanya melihat dari sudut pandangku dan keyakinan bahwa stelan ini tak akan mengurangi tingkat kegantengannya. Dingin sih, tapi tetep ganteng."Itu Mas, pakaiannya Karin siapin di ranjang. Maaf kalau nggak sesuai."Ujarku mendengar pintu kamar mandi terbuka. Belum menoleh, dia berdehem aku membalik badan. Innalillah, mataku!"Mas Ravin! Kenapa nggak pake baju!"Pekik ku tak sadar, biasanya dia selalu berpakaian lengkap saat keluar kamar mandi. Tidak ku dengar sahutan kecuali menggumamkan maaf, lalu memakai baju. Aku masih memunggunginya. Sampai dia berdehem, memberi tahu ia sudah berbaju. Aih?"Lain kali, kalau pakai baju di kamar mandi, Mas. Jangan di luar, apa gunanya kamar mandi kalau fungsi kamar mandi sendi
"Buah hati selalu berhasil menjadi penyejuk antara orang tuanya, Rin."Lagi-lagi kata-kata mama Luna mengembang di pikiranku."Sulit,ma.""Laki-laki,sekuat apapun egonya akan kalah dengan nafsunya. Percaya sama mama."Aku diam, masalahnya beda mama.Semerawut. Hanya itu yang ada di hatiku saat ini. Bayangkan saja, ya, bayangkan saja, karena menjadi aku terlalu sulit. Bagaimana sekarang jika salah satu di antara kalian ada diposisiku, menjadi tumbal keegoisan adik tercinta dan menjadi istri dari calon adik ipar? Oh tuhan. Ini terlalu mendadak. Aku sungguh berharap ini hanya mimpi."Ehm,"Aku menoleh karena deheman itu. Mas Ravin membawa satu stel gamis yang ku pastikan itu baru pemberian mama. Ah, memang tak ada persiapan apapun tadi. Usai akad nikah dan berpamitan pada para keluarga dekat, aku langsung di bawanya kabur. Ya, kabur. Itu lebih cocok untuk sikap kami yang menghindari berbagai pertanyaan yang kami yakin akan di cekokan, terutama dari teman dan kolega bisnis Mas Ravin."Ini
"Sah!"Seperti baru saja memejamkan mata,lalu di paksa bangun segera. Aku seperti manusia kehilangan nyawa sejenak. Ini beneran? Ini sungguhan? Kemarin masih jalan jalan sama anak orang orang sekarang sudah jadi suami anak orang beneran.Aku menelan siliva yang menempel di tenggorokan. Bagaimana tidak? Jika seharusnya aku menjadi kakak iparnya, kini malah menjadi istrinya. Yasalam. Mas Ravin menatapku aneh, lalu mengulurkan tangan kanannya untuk ku cium. Aku menurut, bisa apa lagi? Wajah lelaki itu memerah. Paduan antara geram bingung dan marah. Aku yakin ia tak nyaman. Sumpah! Karena aku juga sudah merasakannya. Sedari tadi saat tiba-tiba mama berbisik di telingaku, kalau Nisya adik terlaknatku kabur, dan dengan tanpa rasa bersalah anak nakal itu mengamanatkan agar aku yang menggantikannya. Astagfirullah, gusti. Ampuni aku yang kini sudah melafalkan sumpah serapah untuk adik cantik yang ingin ku sentil otaknya itu. Masih ingat jelas di ingatan bagaimana ia menggebu bercerita tentang