"Ah, mending tidur di rumah. Dari pada jadi nyamuk."
"Nggak asik.""Nggak seru!"Ingin sekali menyumpal bibir Adam, bagaimana bisa dia mengoceh sepanjang perjalanan, protes karena harus duduk di kursi belakang. Dan sekarang, karena dia lebih mirip seperti anak kecil yang sedang menguntit orang tuanya belanja. Lucu, tapi pengen nampol.Sedang Mas Ravin?Tentu saja, ia mendorong trolly dan berjalan tepat di sampingku. Tak ada yang spesial, tapi sikap Mas Ravin sedikit menghangatkan hati. Sederhana, tak berlebihan. Ah, seharusnya aku tak terlalu menggunakan perasaan untuk sikapnya.Aku menghela napas, tanpa sadar."Sudah belanjanya?"Aku mengerjap."Eh? Apa?""Bisa-bisanya ya Allah, lagi belanja juga bengong. Eh, kapar, emang butuh pendampingan banget ya, tiati kalau nyebrang. Panggil adek tertampan, yang siap jadi pengawal kala pangeran es potong sedang berhalangan."Aish, Mas Ravin menatapku lalu menatap Adam, menyerahkan, trolly kepada Adam, lalu tanpa aba-aba meraih tanganku untuk di genggam. Aku kehabisan napas, dadaku sesak oleh perasaan aneh yang menyenangkan."Bayar. Mas tunggu di mobil."Mas Ravin menyerahkan kartu kreditnya, lalu begitu saja berlalu meninggalkan Adam."Nasib jadi bontot, jomblo lagi. Kerjaannya jadi nyamuk, makanannya sakit ati."Terserah! Terserah apa yang Adam katakan, yang paling penting adalah, apakabar jantung ? Aman?"Ayo."Aku hanya mengangguk, mengikuti langkah kaki Mas Ravin keluar. Setelah membuka pintu mobil untukku, dia memutari mobil untuk mengambil posisi. Kami sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing, Mas Ravin menatap lurus ke depan sedang aku menatap jendela samping. Kelihatannya, angin sedang kencang di luar beberapa spanduk yang ada di pinggir jalan terlihat berkibar dengan begitu cepat."Ehm."Aku menoleh dengan deheman itu, dan benar, Mas Ravin manatap ke arahku."Jangan terlalu dekat dengan Adam.""Ha?" aku melongo mendapatkan perintah yang sama untuk ke dua kali. Mas Ravin terlihat serius, meskipun matanya mulai tak fokus. Ada ragu yang tak bisa dia ceritakan."Aku sudah berusaha jaga jarak dari Adam, t -. ""Nggak ada maksud gimana-gimana, Adam laki-laki. Dia terlalu senonoh, kata orang Jawa harus jaga jarak, apalagi iparnya cowok. Sudah besar."Aku mengernyit, sejak kapan seorang Ravin berpikiran se Jawa ini?Brak.Aku mengerjap kaget, pintu mobil belakang tertutup dengan kencang. Pelakunya tidak di ragukan, si dekil."Enak ya, adek di suruh bayar belanja kaya pembokat disini tuan sama nyonyanya pacaran. Iri banget, deh."Aku tersenyum dikulum mendapati wajah super bete milik Adam, siapa yang tidak kesal? Apalagi dia laki-laki. Kasian, tapi sukurin."Pokoknya kita sekarang ke alun-alun. Titik, nggak ada koma."Bocah!"Enggak, mau hujan."Tolak Mas Ravin, mulai menyalakan mesin mobil."Tadi rencanya begitu! Pokoknya Gua mau kita ke alun-alun. Deket ae loh Mas, jahat banget sama sodara. Kapar, hayuk ke alun-alun."Ingin sekali tertawa melihat lelaki dewasa merengek seperti anak umur 4 tahun itu, ngajak me alun-alun lagi."Rencanamu, bukan rencana Mas."Adam meraung marah, Mas Ravin diam-diam mengulum senyum. Aku menikmati senyuman itu dengan senang hati.*****"Ya Allah, kalau tau begini mending langsung pulang ae. Mana nggak punya tangan buat di gandeng, nggak ada temen buat jalan bareng, nasib hamba gini amat, heran."Lebay!Aku dan Mas Ravin memang jalan sebelahan, tapi tidak bergandengan. Tapi, memang lebih kasihan Adam. Pengen ngakak.Adam menendang apapun di depannya, kerikil kecil dan terakhir kaleng."Diam atau pulang jalan kaki. Yang minta ke alun-alun siapa? Yang ngedumel siapa? Yang salah siapa? Lagian, ngapain minta jalan-jalan ke alunalun? Kaya bayi."Adam terlihat setengah hati menuruti kata-kata mas Ravin. Bibirnya mengerucut lucu, sesekali mendumel lirih. Ternyata laki-laki itu bisa banyak bicara.Aku menggelengkan kepala saat Adam mengerucutkan bibir kesal. Tapi memang salahnya sendiri."Niatnya cari gandengan, biar bisa uwu kaya kalian. Tapi, nggak papa deh, Mas sama kapar juga nggak uwu banget. Jalan aja jaga jarak, udah nikah tapi jari nggak saling taut -.Bibir Adam mengatup saat tiba-tiba tangan besar Mas Ravin menggenggam tangan kecil ku. Debaran itu, menyapaku di satu malam yang sama. Fiks, besok ke dokter jantung. Dam, bilang makasih atau gimana akutuh di posisi ini."Gimana? Makin iri?"Aku menelan ludah, membuang pandangan ke arah lain. Gelap, tapi aku yakin wajahku terlihat merah. Kami bertiga sama- sama mendongak ketika air turun. Hujan. Seketika kami berlari dengan tangan Mas Ravin yang masih menggenggam tanganku, untuk mencari tempat berteduh. Sampai batu jamur raksasa menjadi satu-satunya media terdekat untuk berlindung. Satu tanganku yang tidak di genggam Mas Ravin menggosok bahu, ketika hawa dingin mulai menusuk kulit. Semua ini gara-gara Adam."Sini," perintah Mas Ravin."Ha? Apa Mas?"Aku menyerahkan kedua tanganku. Dengan cepat ia menakup kedua tanganku dalam genggamannya lalu meniup-niup memberi kehangatan di tengah rasa dingin. Jujur, aku tersentuh."Dam, lepas jaket muPerintah Mas Ravin, yang langsung di tolak oleh Ada"Ogah, dingin loh Mas. Siapa suruh keluar nggak pake jaket""Cepet." perintahnya."Mas, dingin." Adam enggan mangalah.Tatapan Mas Ravin menajam, adik ipar tengilku itu membuka jaket perlahan dan menyerahkan meski tidak ikhlas.Ku kira ia akan memakainya, tapi ternyata..."Pakai."perintahnya.Aku mengerjap. Beneran?"Nggak papa, Mas. Nggak dingin kok. Biar di pakai Adam saja."Mas Ravin tak menghiraukan, tetap meminta aku untuk menerima jaket Adam."Dingin?"Aku menggeleng, tentu saja bohong. Karena hawa dingin ini sudah membuat hidungku sedikit demi sedikit tersumbat."Hujannya lebat banget, bakal lama kalau nunggu reda. Kamu udah pucat, Rin. Gimana kalau kita lari ke mobil?"Aku menggeleng, dia sendiri juga terlihat sangat pucat."Mas juga pucat. Kedinginan juga?"Ia menggeleng, lalu menatap langit. Hujan masih sangat deras. Hawa dingin lebih terasa menusuk ketika hembusan angin menghampiri."Aku juga kedinginan loh ya. Ko nggak di tanyain. Nasib." omel Adam. Aku pura-pura tidak dengar ."Trabas aja?" Tanya mas Ravin, aku menggeleng."Mas, nunggu reda ae lah. Kalaupun kita lari, ya bakal basah di tengah jalan. Areanya juga jadi licin. Bahaya."Kilah Adam.Aku mengangguk, membenarkan ucapan Adam. Meski kini rasa dinginnya lebih terasa. Aku menggosok dua tanganku. Memberi rasa hangat. Hidung gatal, tersumbat membuat aku tiba-tiba bersin."Sini. Dingin banget,ya?"Mas Ravin menarik tanganku agar tubuh kami berdekatan, tak di sangka, lelaki itu melingkupi tubuhku dengan lengannya. Hangat. Dia menggosokkan kedua tangan lalu di tangkupkan ke pipiku, ini cukup menyamarkan rasa dingin."Tidak alergi dingin,kan?"tanyanya. Aku menggeleng."Enak mbak?"Aku menoleh ketika Adam yang bersuara, wajanya sengit,iri dan tak nyaman membuat ku ingin tertawa."Mas,oke?"Dia mengangguk, aku diam selanjutnya.Canggung tapi nyaman. Dan aku menikmati debaran dada Mas Ravin, meski samar oleh gemericik hujan. Tubuh mas Ravin terlalu nyaman dan hangat untuk di tolak pada kondisi sedingin ini."Astagfirullah, cobaan macam apa lagi ini ya Allah?!" Adam berteriak kecil.Aku terkikik dalam diam, sukurin!"Adam oke?" tanyaku,kasihan tidak di anggap.Aku semakin mengeratkan pelukan, dan mas Ravin juga. Berbunga. Satu kata yang kini memenuhi relung batin ku.Adam meremas rambutnya, lalu membuang muka memeluk tubuh jamur. Ngenes."Mas, Mbak. Nanti saja kalau di rumah bisa pelukannya? Ada aku loh, disini."Bodoamat!"Mbak, Mas, ikut."****"Kalian ini, kamu juga Adam. Ngapain ngajak ke alun-alun sudah tau mendung!"Oceh mama memberikan kami botol minyak kayu putih, sekaligus 3 cangkir wedang jahe yang di bantu mbok."Nggak keliatan ma, udah gelap lang.""Kan, kalau di kasih tau pasti bantah."Aku menyembunyikan senyum ketika melihat mama memukul pundak Adam dengan tangannya gemas. Mas Ravin diam, tangannya menekan bagian perutnya pelan. Wajahnya meringis samar."Aku ke kamar dulu ya,Mau ganti baju, takut masuk angin."Mas Ravin berdiri, setelah menyeruput wedang jahe, dia sepertinya sudah malas mendengar mama mengomel. Aku mengikuti langkah lelaki itu."Adam juga.""Eh, mau kemana sayang? Mama belum selesai ngomong. Lihat mas mu bisa saja sakit, karena nurutin tingkah kamu itu. Sudah tau Ravin nggak bisa kalau kena hujan. Karin juga. Rese emang kamu ini.""Karin sama mas Ravin nggakpapa ma, kasihan Adam juga pasti kedinginan."Adam mengangguki ucapanku, memasang wajah melas yang cukup menggemaskan."Adam anak mama juga,
_Karin POV_Aku sedang meregangkan otot tubuhku, rasanya pegal capek sekali. Pagi ini aku mencuci Sprai, dan selimut yang kemarin malam terkena muntahan mas Ravin. Suamiku itu terkena maag akut, di tambah tifus yang katanya sudah lama tidak kambuh. Terlihat baik belum pasti baik-baik saja,kan? Sering di goda Adam mengenai pernikahan yang batal dan di tinggal di hari pernikahan pernah membuat mas Ravin menimpalinya dengan guyonan. Tapi sekarang? Tau, tidak mungkin hanya karena kelelahan raga. Jiwanya mungkin sudah lama berontak tapi tidak di hiraukan sang pemilik."Biasanya karena pola makan, pikiran dan jam tidru yang kurang teratur. Yang sakit bagian mana pak Ravin?".Mas Ravin menunjuk perut bagian kiri dan ulu hatinya. Mama menatap putranya kasihan. Wanita itu langsung masuk kamar usai solat subuh karena aku berteriak panik melihat mas Ravin tumbang usai muntah di samping kasur. Aku menatap takut lelaki yang sudah menutup mata itu dengan berbagai doa yang terapal. Lemas dan pucat.
Betapa terkejutnya aku ketika menyadari tangan mas Ravin tak ada di genggamanku, dan kini justru aku yang berbaring di atas ranjang.Kapala sibuk menoleh ke kanan dan ke kiri, panik."Mas, Mas Ravin?"Panggilku, kemana dia? Pintu kamar mandi terbuka, aku masuk. kosong. Kemana?Baru saja aku akan kembali berteriak ketika pintu kamar terbuka. Mama."Kenapa teriak-teriak, Rin? Ravin di bawah, selesai olah raga habis subuh tadi."Aku menghela napas lega, subuh? Sontak mataku mencari dimana jam dinding di pasang. Astagfirullah, aku kesiangan."Dasar penganten baru, aneh-aneh wae."Mama tersenyum mengejek, lalu meninggalkanku sendirian. Gusti, malu. Sumpah. Aku keluar dari kamar, melihat sekeliling lalu ikut mama ke dapur. "Rin, bisa minta tolong?" tanya mama, aku mengangguk. "Ini kayaknya, cetakan yang mau mama pakai lepas deh alatnya. Bisa tolong beli di pasar? Sekalian sama belanja beberapa bahan masakan buat nanti sore, mau?" tanya mama yang langsung ku angguki. "Sendiri?" tanyaku, m
"Sah!"Seperti baru saja memejamkan mata,lalu di paksa bangun segera. Aku seperti manusia kehilangan nyawa sejenak. Ini beneran? Ini sungguhan? Kemarin masih jalan jalan sama anak orang orang sekarang sudah jadi suami anak orang beneran.Aku menelan siliva yang menempel di tenggorokan. Bagaimana tidak? Jika seharusnya aku menjadi kakak iparnya, kini malah menjadi istrinya. Yasalam. Mas Ravin menatapku aneh, lalu mengulurkan tangan kanannya untuk ku cium. Aku menurut, bisa apa lagi? Wajah lelaki itu memerah. Paduan antara geram bingung dan marah. Aku yakin ia tak nyaman. Sumpah! Karena aku juga sudah merasakannya. Sedari tadi saat tiba-tiba mama berbisik di telingaku, kalau Nisya adik terlaknatku kabur, dan dengan tanpa rasa bersalah anak nakal itu mengamanatkan agar aku yang menggantikannya. Astagfirullah, gusti. Ampuni aku yang kini sudah melafalkan sumpah serapah untuk adik cantik yang ingin ku sentil otaknya itu. Masih ingat jelas di ingatan bagaimana ia menggebu bercerita tentang
"Buah hati selalu berhasil menjadi penyejuk antara orang tuanya, Rin."Lagi-lagi kata-kata mama Luna mengembang di pikiranku."Sulit,ma.""Laki-laki,sekuat apapun egonya akan kalah dengan nafsunya. Percaya sama mama."Aku diam, masalahnya beda mama.Semerawut. Hanya itu yang ada di hatiku saat ini. Bayangkan saja, ya, bayangkan saja, karena menjadi aku terlalu sulit. Bagaimana sekarang jika salah satu di antara kalian ada diposisiku, menjadi tumbal keegoisan adik tercinta dan menjadi istri dari calon adik ipar? Oh tuhan. Ini terlalu mendadak. Aku sungguh berharap ini hanya mimpi."Ehm,"Aku menoleh karena deheman itu. Mas Ravin membawa satu stel gamis yang ku pastikan itu baru pemberian mama. Ah, memang tak ada persiapan apapun tadi. Usai akad nikah dan berpamitan pada para keluarga dekat, aku langsung di bawanya kabur. Ya, kabur. Itu lebih cocok untuk sikap kami yang menghindari berbagai pertanyaan yang kami yakin akan di cekokan, terutama dari teman dan kolega bisnis Mas Ravin."Ini
"Mas, bajunya mau pakai warna apa?"Aku mendengar sautan tak jelas dari dalam kamar mandi.Seperti beberapa hari terakhir, terhitung satu minggu menjadi istri. Aku menyiapkan segala kebutuhan suamiku sebelum berangkat ke kantor. Tidak tau seleranya, wajar saja aku menyiapkan segalanya melihat dari sudut pandangku dan keyakinan bahwa stelan ini tak akan mengurangi tingkat kegantengannya. Dingin sih, tapi tetep ganteng."Itu Mas, pakaiannya Karin siapin di ranjang. Maaf kalau nggak sesuai."Ujarku mendengar pintu kamar mandi terbuka. Belum menoleh, dia berdehem aku membalik badan. Innalillah, mataku!"Mas Ravin! Kenapa nggak pake baju!"Pekik ku tak sadar, biasanya dia selalu berpakaian lengkap saat keluar kamar mandi. Tidak ku dengar sahutan kecuali menggumamkan maaf, lalu memakai baju. Aku masih memunggunginya. Sampai dia berdehem, memberi tahu ia sudah berbaju. Aih?"Lain kali, kalau pakai baju di kamar mandi, Mas. Jangan di luar, apa gunanya kamar mandi kalau fungsi kamar mandi sendi
"Boleh?"Aku mengangguk dua kali, berjalan mendekat ke arah mas Ravin. "Disini?" tanyaku."Agak ke samping." jawabnya. Aku menurut, mengikuti instruksi nya."pusing?" tanyaku.Dia berdehem untuk jawabannya. Aku menghela napas, saat ku rasakan dia berdiri."Makasih, maaf ngerepotin."Aku ingin menjawab, tidak. Sama sekali tidak repot. Tidak masalah kalau pengen di pijit setiap hari. Tapi suaraku tidak keluar,hanya sampai di tenggorokan. Kemudian ku lihat dia mengambil kapsul di laci meja."Mau pakai air,atau roti minum obatnya?"Tidak menjawab, dia hanya menggoyangkan tangan dan keluar. Mungkin untuk mengambil air. Kan nyesek. Di tolak lagi. Nggakpapa.******* Kepalaku mengangguk untuk yang kesekian kali. Mama Luna sedang berbaik hati mengajarkan kepadaku bagaimana cara merawat bunga di pekarangan belakang. Aku takjub dengan pengetahuan mama mertuaku kali ini. Beribu macam bunga ada disini. Dan dia hebatnya, beliau tau nama masing-masing nona jelita yang kini di basuhnya dengan penuh
Perang dingin antara aku dan mas Ravin masih ku rasa Sampai pagi. Semakin terasa ketika mengingat hari ini adalah hari minggu. Seharusnya Senin saja, setidaknya kami tidak harus saling membuang muka saat tidak sengaj berjumpa. Seperti tadi ketika aku hendak ke kamar mandi ternyata mas Ravin lebih dulu membuka pintu, kami tidak melakukan apapun,aku diam dia diam. Tidak enak, tidak suka. Akhirnya aku memutuskan untuk turun ke bawah, siap-siap masak bersama mertua tercinta.Aku sedikit melirik bayangan yang sedari tadi mengganggu konsentrasiku memasak, mama Luna sedang ke depan membeli di mang Asim beberapa keperluan dapur yang kurang. Karena hari ini hari minggu, adik ipar dan suamiku kini sedang berolahraga keliling kompleks. Sedang, ayah Yusuf memilih meregangkan otot di taman belakang. Malas di geniti janda kompleks katanya, tentu saja itu membuat mama Luna memberikan kecupan manis untuk papa mertuaku itu. Aku terkekeh menyembunyikan kegetiran di hatiku."Jangan kasih Ravin jatah, kal
Betapa terkejutnya aku ketika menyadari tangan mas Ravin tak ada di genggamanku, dan kini justru aku yang berbaring di atas ranjang.Kapala sibuk menoleh ke kanan dan ke kiri, panik."Mas, Mas Ravin?"Panggilku, kemana dia? Pintu kamar mandi terbuka, aku masuk. kosong. Kemana?Baru saja aku akan kembali berteriak ketika pintu kamar terbuka. Mama."Kenapa teriak-teriak, Rin? Ravin di bawah, selesai olah raga habis subuh tadi."Aku menghela napas lega, subuh? Sontak mataku mencari dimana jam dinding di pasang. Astagfirullah, aku kesiangan."Dasar penganten baru, aneh-aneh wae."Mama tersenyum mengejek, lalu meninggalkanku sendirian. Gusti, malu. Sumpah. Aku keluar dari kamar, melihat sekeliling lalu ikut mama ke dapur. "Rin, bisa minta tolong?" tanya mama, aku mengangguk. "Ini kayaknya, cetakan yang mau mama pakai lepas deh alatnya. Bisa tolong beli di pasar? Sekalian sama belanja beberapa bahan masakan buat nanti sore, mau?" tanya mama yang langsung ku angguki. "Sendiri?" tanyaku, m
_Karin POV_Aku sedang meregangkan otot tubuhku, rasanya pegal capek sekali. Pagi ini aku mencuci Sprai, dan selimut yang kemarin malam terkena muntahan mas Ravin. Suamiku itu terkena maag akut, di tambah tifus yang katanya sudah lama tidak kambuh. Terlihat baik belum pasti baik-baik saja,kan? Sering di goda Adam mengenai pernikahan yang batal dan di tinggal di hari pernikahan pernah membuat mas Ravin menimpalinya dengan guyonan. Tapi sekarang? Tau, tidak mungkin hanya karena kelelahan raga. Jiwanya mungkin sudah lama berontak tapi tidak di hiraukan sang pemilik."Biasanya karena pola makan, pikiran dan jam tidru yang kurang teratur. Yang sakit bagian mana pak Ravin?".Mas Ravin menunjuk perut bagian kiri dan ulu hatinya. Mama menatap putranya kasihan. Wanita itu langsung masuk kamar usai solat subuh karena aku berteriak panik melihat mas Ravin tumbang usai muntah di samping kasur. Aku menatap takut lelaki yang sudah menutup mata itu dengan berbagai doa yang terapal. Lemas dan pucat.
"Kalian ini, kamu juga Adam. Ngapain ngajak ke alun-alun sudah tau mendung!"Oceh mama memberikan kami botol minyak kayu putih, sekaligus 3 cangkir wedang jahe yang di bantu mbok."Nggak keliatan ma, udah gelap lang.""Kan, kalau di kasih tau pasti bantah."Aku menyembunyikan senyum ketika melihat mama memukul pundak Adam dengan tangannya gemas. Mas Ravin diam, tangannya menekan bagian perutnya pelan. Wajahnya meringis samar."Aku ke kamar dulu ya,Mau ganti baju, takut masuk angin."Mas Ravin berdiri, setelah menyeruput wedang jahe, dia sepertinya sudah malas mendengar mama mengomel. Aku mengikuti langkah lelaki itu."Adam juga.""Eh, mau kemana sayang? Mama belum selesai ngomong. Lihat mas mu bisa saja sakit, karena nurutin tingkah kamu itu. Sudah tau Ravin nggak bisa kalau kena hujan. Karin juga. Rese emang kamu ini.""Karin sama mas Ravin nggakpapa ma, kasihan Adam juga pasti kedinginan."Adam mengangguki ucapanku, memasang wajah melas yang cukup menggemaskan."Adam anak mama juga,
"Ah, mending tidur di rumah. Dari pada jadi nyamuk.""Nggak asik.""Nggak seru!"Ingin sekali menyumpal bibir Adam, bagaimana bisa dia mengoceh sepanjang perjalanan, protes karena harus duduk di kursi belakang. Dan sekarang, karena dia lebih mirip seperti anak kecil yang sedang menguntit orang tuanya belanja. Lucu, tapi pengen nampol.Sedang Mas Ravin?Tentu saja, ia mendorong trolly dan berjalan tepat di sampingku. Tak ada yang spesial, tapi sikap Mas Ravin sedikit menghangatkan hati. Sederhana, tak berlebihan. Ah, seharusnya aku tak terlalu menggunakan perasaan untuk sikapnya.Aku menghela napas, tanpa sadar."Sudah belanjanya?"Aku mengerjap."Eh? Apa?""Bisa-bisanya ya Allah, lagi belanja juga bengong. Eh, kapar, emang butuh pendampingan banget ya, tiati kalau nyebrang. Panggil adek tertampan, yang siap jadi pengawal kala pangeran es potong sedang berhalangan."Aish, Mas Ravin menatapku lalu menatap Adam, menyerahkan, trolly kepada Adam, lalu tanpa aba-aba meraih tanganku untuk di
Perang dingin antara aku dan mas Ravin masih ku rasa Sampai pagi. Semakin terasa ketika mengingat hari ini adalah hari minggu. Seharusnya Senin saja, setidaknya kami tidak harus saling membuang muka saat tidak sengaj berjumpa. Seperti tadi ketika aku hendak ke kamar mandi ternyata mas Ravin lebih dulu membuka pintu, kami tidak melakukan apapun,aku diam dia diam. Tidak enak, tidak suka. Akhirnya aku memutuskan untuk turun ke bawah, siap-siap masak bersama mertua tercinta.Aku sedikit melirik bayangan yang sedari tadi mengganggu konsentrasiku memasak, mama Luna sedang ke depan membeli di mang Asim beberapa keperluan dapur yang kurang. Karena hari ini hari minggu, adik ipar dan suamiku kini sedang berolahraga keliling kompleks. Sedang, ayah Yusuf memilih meregangkan otot di taman belakang. Malas di geniti janda kompleks katanya, tentu saja itu membuat mama Luna memberikan kecupan manis untuk papa mertuaku itu. Aku terkekeh menyembunyikan kegetiran di hatiku."Jangan kasih Ravin jatah, kal
"Boleh?"Aku mengangguk dua kali, berjalan mendekat ke arah mas Ravin. "Disini?" tanyaku."Agak ke samping." jawabnya. Aku menurut, mengikuti instruksi nya."pusing?" tanyaku.Dia berdehem untuk jawabannya. Aku menghela napas, saat ku rasakan dia berdiri."Makasih, maaf ngerepotin."Aku ingin menjawab, tidak. Sama sekali tidak repot. Tidak masalah kalau pengen di pijit setiap hari. Tapi suaraku tidak keluar,hanya sampai di tenggorokan. Kemudian ku lihat dia mengambil kapsul di laci meja."Mau pakai air,atau roti minum obatnya?"Tidak menjawab, dia hanya menggoyangkan tangan dan keluar. Mungkin untuk mengambil air. Kan nyesek. Di tolak lagi. Nggakpapa.******* Kepalaku mengangguk untuk yang kesekian kali. Mama Luna sedang berbaik hati mengajarkan kepadaku bagaimana cara merawat bunga di pekarangan belakang. Aku takjub dengan pengetahuan mama mertuaku kali ini. Beribu macam bunga ada disini. Dan dia hebatnya, beliau tau nama masing-masing nona jelita yang kini di basuhnya dengan penuh
"Mas, bajunya mau pakai warna apa?"Aku mendengar sautan tak jelas dari dalam kamar mandi.Seperti beberapa hari terakhir, terhitung satu minggu menjadi istri. Aku menyiapkan segala kebutuhan suamiku sebelum berangkat ke kantor. Tidak tau seleranya, wajar saja aku menyiapkan segalanya melihat dari sudut pandangku dan keyakinan bahwa stelan ini tak akan mengurangi tingkat kegantengannya. Dingin sih, tapi tetep ganteng."Itu Mas, pakaiannya Karin siapin di ranjang. Maaf kalau nggak sesuai."Ujarku mendengar pintu kamar mandi terbuka. Belum menoleh, dia berdehem aku membalik badan. Innalillah, mataku!"Mas Ravin! Kenapa nggak pake baju!"Pekik ku tak sadar, biasanya dia selalu berpakaian lengkap saat keluar kamar mandi. Tidak ku dengar sahutan kecuali menggumamkan maaf, lalu memakai baju. Aku masih memunggunginya. Sampai dia berdehem, memberi tahu ia sudah berbaju. Aih?"Lain kali, kalau pakai baju di kamar mandi, Mas. Jangan di luar, apa gunanya kamar mandi kalau fungsi kamar mandi sendi
"Buah hati selalu berhasil menjadi penyejuk antara orang tuanya, Rin."Lagi-lagi kata-kata mama Luna mengembang di pikiranku."Sulit,ma.""Laki-laki,sekuat apapun egonya akan kalah dengan nafsunya. Percaya sama mama."Aku diam, masalahnya beda mama.Semerawut. Hanya itu yang ada di hatiku saat ini. Bayangkan saja, ya, bayangkan saja, karena menjadi aku terlalu sulit. Bagaimana sekarang jika salah satu di antara kalian ada diposisiku, menjadi tumbal keegoisan adik tercinta dan menjadi istri dari calon adik ipar? Oh tuhan. Ini terlalu mendadak. Aku sungguh berharap ini hanya mimpi."Ehm,"Aku menoleh karena deheman itu. Mas Ravin membawa satu stel gamis yang ku pastikan itu baru pemberian mama. Ah, memang tak ada persiapan apapun tadi. Usai akad nikah dan berpamitan pada para keluarga dekat, aku langsung di bawanya kabur. Ya, kabur. Itu lebih cocok untuk sikap kami yang menghindari berbagai pertanyaan yang kami yakin akan di cekokan, terutama dari teman dan kolega bisnis Mas Ravin."Ini
"Sah!"Seperti baru saja memejamkan mata,lalu di paksa bangun segera. Aku seperti manusia kehilangan nyawa sejenak. Ini beneran? Ini sungguhan? Kemarin masih jalan jalan sama anak orang orang sekarang sudah jadi suami anak orang beneran.Aku menelan siliva yang menempel di tenggorokan. Bagaimana tidak? Jika seharusnya aku menjadi kakak iparnya, kini malah menjadi istrinya. Yasalam. Mas Ravin menatapku aneh, lalu mengulurkan tangan kanannya untuk ku cium. Aku menurut, bisa apa lagi? Wajah lelaki itu memerah. Paduan antara geram bingung dan marah. Aku yakin ia tak nyaman. Sumpah! Karena aku juga sudah merasakannya. Sedari tadi saat tiba-tiba mama berbisik di telingaku, kalau Nisya adik terlaknatku kabur, dan dengan tanpa rasa bersalah anak nakal itu mengamanatkan agar aku yang menggantikannya. Astagfirullah, gusti. Ampuni aku yang kini sudah melafalkan sumpah serapah untuk adik cantik yang ingin ku sentil otaknya itu. Masih ingat jelas di ingatan bagaimana ia menggebu bercerita tentang