Hidup sebagai penulis novel membuat Mila Atania menghabiskan waktu lebih banyak untuk menghalu demi kelanjutan alur novel daripada alur hidupnya. Pekerjaannya hanya rebahan sambil merangkai kata, itu saja bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah yang tidak sedikit.
Kebanyakan genre novelnya adalah romansa CEO. Terakhir ia menamatkan novel berjudul “Love My Poor Woman” dengan meraih hingga 80 juta rupiah.
Tahu apa yang dibeli dengan uang segitu? Ya, benar. Tidak dibelikan apapun selain kuota, beras, listrik dan air, juga kebutuhan bulanan lainnya. Kalau sisa? Ia tabung.
Sekarang ini Mila tidak tahu Tuhan sedang merencanaka kejutan apa untuknya. Fila, bundanya menerima tamu yang tidak lain adalah rekan papa yang bernama Meida. Ia disuruh membuatkan dua cangkir teh panas, jadi otomatis pergi ke Dapur. Bakat mengupingnya dari kecil mendadak muncul, sambil menunggu teh menjadi hangat, ia bersembunyi di balik dinding pembatas antara dapur dan ruang tamu. Walaupun jaraknya lumayan jauh, percayalah, telinganya tidak akan salah dengar.
“Diaz belum datang, sebentar lagi kayaknya, bilangnya sih lagi di jalan.” Meida bicara pada Fila dengan senyum merekah.
“Mila kaget gak ya kalau tau mau dijodohin?”
WHAT THE—
APA?!“Gue dijodohin? Sama siapa!?” batinnya teriak disusul jantungnya berpacu cepat.
Omong-omong, ia tidak salah dengar, kan? Apa telinganya sudah error?
“Pasti kaget, Mbak. Anak segitu mana mungkin gak kaget kalo tau dijodohin...” Meida menjawab pertanyaan Fila yang tadi.
“Gak, gak. Gue gak mau dijodohin begini.” Nasib para wanita di novelnya sangat tidak beruntung karena dijodohkan dengan pria yang tidak dicintai. Mulai dari diabaikan, diselingkuhi, bahkan dipoligami. Atau paling parah... disiksa sampai mati.
TIDAK! Mila harus mengambil tindakan.
Saraf otaknya mulai bekerja keras untuk berpikir bagaimana caranya menolak perjodohan ini.“Diaz katanya mau dicariin pasangan aja, dia gak mau cari sendiri. Katanya takut gak dapet restu.”
Mila melotot terkejut lagi. "Ohh, jadi pria itu yang meminta dicarikan pasangan ... mana Tante Meida membujuk bundanya lagi," batinnya.
Ide cemerlang muncul. Saat situasi seperti ini otak Mila memang tidak mengecewakan.
“Gue kabur, pura-pura sakit parah. Gue harus minta tolong Stephen,” batinnya mendekati jendela dan membuka kuncinya. Kakinya sudah berhasil naik ke jendela, tinggal melompat saja maka rencana pertama berhasil.
HAP
Setelah kakinya menapak di tanah. Mila segera menghubungi Stephen, sahabat baiknya untuk membahas dunia halu. Ia mengendap-endap keluar rumah sambil menunggu Stephen menjawab teleponnya.
“Halo, Phen. Lo bisa ke depan komplek rumah gue, gak? Urgent nih, ntar gue kasih fee deh.”
Sedikit lagi Mila sampai ke depan pagar rumahnya. YES!
“Gue mau pura-pura penyakitan, gak ada cara lain. Masa gue mau dijo—“
DUG
Mila terhuyung ke belakang sampai bokongnya mencium lantai, ia meringis pelan supaya tidak ketahuan minggat karena wajahnya menabrak sesuatu yang keras.
“Kamu ngapain?”
Mila berhenti mengusap bokongnya. Jadi dia bukan menabrak tembok? Lalu apa dan siapa yang ada di depannya? Ia melihat kaki seorang pria, matanya bergerak ke atas, wajahnya mendongak.
Ia beringsut mundur lagi setelah melihat sosok pria berpakaian formal, kulit putih, dan bermata besar sedang menatapnya bingung. Mila langsung berdiri dan memohon-mohon. “Jangan kasih tau siapa-siapa ya, Om. Saya mau kabur, saya gak mau dijodohin.”
“Dijodohin?” ulangnya.
Mila berdecak. “Jangan keras-keras ngomongnya.” Ia mendekat untuk membisikkan sesuatu dekat telinganya. “Saya takut dianiaya kalo dijodohin. Permisi, Om.”
Pria yang dipanggil “Om” tadi menarik ujung baju Mila, mencegahnya pergi. “Mau kemana?”
“Hah?” beonya sambil balik badan lagi. Wajahnya sudah seperti menunggu uang cair di awal bulan, nelangsa. “Saya mau pergi. Om jangan ngadu ke Bunda.”
“Kamu gak mau tau saya siapa?” tanyanya melepaskan Mila.
“Ya siapa lagi, pasti temen kerjanya Bunda kan. Udah, jangan ngajak ngobrol terus, nanti saya gagal kabur.”
“Saya bantu telepon teman kamu, coba siniin HP-nya.”
“Serius?” Mila sudah berbilangsung memberikan ponselnya agar dibantu kabur dari rumah.
Pria itu menghubungi seseorang dan mulai bicara. “Ini saya Diaz, teman kamu yang bernama Mila ada di depan rumah sekarang. Katanya mau kabur, jadi segera dijemput ya, kasihan.” Selesai bicara dia berikan lagi ponselnya pada Mila. “Tunggu aja sebentar lagi, gak ada dua menit kamu dijemput.”
“Hah?”
CKLEK
“Eh Diaz ... kapan sampai sini?”
Bundanya membuka pintu lalu menyambut pria yang barusan bilang akan membantunya. Merasa ada kejanggalan, Mila langsung mengecek riwayat panggilan di ponselnya dan melotot sempurna. Nama “Bundaku Sayang” berada di urutan paling atas dengan durasi panggilan 10 detik.
“Baru aja, Tante.” Pria yang diketahui bernama Diaz menyalami Fila dengan santun. Dia turut menyalami Meida yang merupakan Ibunya.
Mila dibohongi.
Fila mencubit pelan lengan Mila karena coba-coba kabur dari rumah. Pantas saja disuruh bikin teh tapi gak sampai-sampai, ternyata oh ternyata ada kesempatan di balik kesempitan.
“Mila. Kenalin ini anaknya Tante Meida, Diaz.” Fila menyuruh Mila untuk menyapa Diaz.
Diaz inisiatif menyapa Mila dahulu dengan mengulurkan tangan. “Diaz Prayoga,” katanya memperkenalkan diri. “Maaf tadi—“
Mila menepis tangan Diaz cukup kasar sampai Fila memekik terkejut.
“Mila. Gak boleh gitu,” tegur Fila.
“Gue gak suka dibohongin,” ucap Mila untuk Diaz.
Diaz menurunkan tangannya dan menenangkan Meida dan Fila karena respon Mila yang cukup kasar.
“Salah Diaz tadi bohong. Iya, saya salah. Saya minta maaf.”“Ayo masuk du—“
“Gak perlu masuk, Bun.” Mila menghentikan Fila yang terlalu beramah tamah pada mereka. “Mila gak mau dijodohin begini. Bunda gak mikirin perasaan aku?”
Meida memegangi sebelah lengan anaknya. Diaz juga membisiki bahwa dia tidak apa-apa, menerima sikap Mila yang masih terkejut.
“Papa minta Bunda menikahkan kamu dengan Diaz, kebetulan Diaz juga lagi cari pasangan. Kamu jangan begini, Mila.” Fila menjelaskan kenapa tiba-tiba ada perjodohan.
“Bunda. Apapun alasannya, Mila gak mau nerima ini. Mila belum mau nikah, apalagi sama Om-om!” ketusnya lalu pergi meninggalkan mereka bersamaan dengan jatuhnya air mata karena kecewa.
Fila hendak mengejar anaknya namun dicegah Diaz. “Ini salah saya, dia marah karena itu.” Dia pergi masuk setelah dipersilahkan Fila.
Kalau begini, keputusan untuk pergi adalah solusi yang baik. Lebih baik ia pergi dari rumah dan mencoba hidup sendiri daripada dijodohkan dengan orang yang sama sekali tidak ia cintai.
“Kamu mau pergi lagi?”
Mila mendengus, melihat Diaz berdiri di depan kamarnya tanpa menjawab pertanyaan pria itu.
“Gimana sama Tante Fila? Kamu mau ninggalin orang yang udah melahirkan kamu?”
Lalu dia pikir, dia siapa sampai bisa masuk ke keluarganya? Tidak tahan lagi, Mila menghampirinya dan bilang, “Lo cari cewek lain, asal jangan gue.”
“Om Raffa mengamanahkan saya untuk jaga kamu, selamanya. Saya cari pasangan, itu kebetulan.”
“Gue gak mau.”
“Saya juga,” balas Diaz. “Tapi ini bukan karena perasaan kita, tapi perasaan mereka yang punya hutang budi sama almarhum ayah kita yang meninggal kecelakaan 3 bulan yang lalu,” lanjutnya dengan pelan namun jelas.
“Lo terima keputusan mereka?” tanya Mila dengan mata berkaca-kaca dan menahan isakan.
“Gak ada pilihan lain. Kalau ada, saya dianggap durhaka.”
“Keluar.” Mila mengusir Diaz dari rumahnya.
“Saya akan bilang ke mereka kamu butuh waktu,” kata Diaz sebelum pergi.
Mila langsung menutup pintu kamarnya dan menangis sekeras mungkin. Apa Raffa tidak berpikir panjang sebelum menjodohkannya?
Diaz keluar dan mengatakan pada mereka kalau Mila butuh waktu untuk berpikir. Fila sedikit lega, ia pikir daripada Mila menolak, lebih baik waktu diulur sebentar mengurangi keterkejutan anaknya.
“Makasih ya, Diaz.” Fila beruntung Diaz bisa negosiasi dengan anaknya yang keras kepala.
“Kami permisi dulu.” Diaz menyalami tangan Fila dan mengantar Meida masuk mobil. Di perjalanan, Meida sempat bicara atas sikap Mila pada Diaz.
“Sebenarnya Mila anak baik,” ungkap Meida langsung di depan anaknya.
“Diaz tau.”
Meida tersenyum. “Jaga Mila, dia amanah dari Papa.”
“Pasti.”
Yang Diaz takutkan, Mila setuju karena terpaksa.
"Bunda ... " Mila melangkah malas-malasan ke bundanya yang sedang masak di dapur. Ia lapar dan butuh asupan seperti manusia normal pada umumnya.Fila sengaja masak lauk seadanya karena tahu Mila tidak akan hidup jika tidak makan. Maksudnya dia akan lemas sepanjang hari, bukan mati. "Dihabisin makanannya." Dia hanya masak dua ekor ikan mujair.Ketika Fila menghidangkan lauk, Mila keberatan. "Bunda ... kok aku makanannya disamain sama kucing sih? Ini mah kucing tetangga juga mau jadi anak Bunda," rengek Mila. Ia sering lihat Stephen memberi makan kucing peliharaannya pakai nasi dan ikan saja. Persis seperti menunya sekarang.Fila duduk di kursi sebelah anaknya. Mila lucu sekali jika merengek seperti itu. "Ehh, bersyukur. Masih banyak di luar sana orang belum bisa makan ikan.""Iya tapi semua kucing makan ikan, Bunda.""Mau makan gak? Kalau gak mau, Bunda yang makan semua." Fila menarik piringnya."Jangan gitu lah, Bun." Mila nyengir lalu menga
Mila hanya tidur 3 jam karena menonton drama dari pukul 8 malam sampai 4 subuh, lalu lanjut lagi sampai jam 10 setelah salat. Nasihat Stephen benar-benar masuk ke otak setelah lewat jalur telinga. Tetapi tenang saja wahai teman-teman, ia masih bisa istirahat setelah sarapan. Atau mungkin tidak karena akan kedatangan tamu.Mereka pasti datang untuk memastikan jawaban. Mila ingin sekali menolak, tapi takut dianggap durhaka. Kalau menerima pun jadi tekanan diri sendiri. Usaha untuk kabur pula sudah malas ia pikirkan. Biarlah mereka menikah, saat sudah bosan karena tidak saling cinta, pasti mereka mudah bercerai.Walaupun Stephen berpengalaman menulis segala genre, Mila heran mengapa dia belum punya kekasih. Cara pria itu bicara sudah seperti psikolog yang sedang memberi solusi pasien kena mental.Ia berkaca lalu membuka matanya walau mengantuk. "Bangun, Mila ... Udah pagi, harus hadapin mereka!" Ia tidak semangat bahkan setelah tidur selama 5 menit. "Apa gue harus
Diaz tahu Mila sedang usil menyuruh bicara pada kekasihnya. Mereka sudah ada di depan Rumah, tepatnya depan pintu. Mila mengetuk pintu rumah Revan. "Revan ... " Dia berteriak, sengaja.Diaz menoleh cepat, matanya memicing. Namun karena dilihat Mila juga, dia mencoba acuh."Kenapa lo? Gak suka?" tandasnya.Sebelum Diaz jawab, rupanya pintu terbuka memunculkan sosok pria dengan rambut cokelat klimis belah kanan sedang suntuk kurang tidur karena kantung matanya menghitam."Revan, kamu kenapa matanya sembab gini?" Mila menangkup wajah Revan.Revan menurunkan tangan Mila perlahan. "Kenapa? Gue lagi pusing, banyak tugas kuliah."Mila menyenggol Diaz. "Ayo ngomong," bisiknya.Revan menatap Diaz. "Lo bawa siapa, Mil?" tanyanya tertuju pada Mila dengan sedikit kekehan di akhir pertanyaannya."Saya Diaz. Saya disuruh Mila buat izin ke kamu.""Izin apaan?" Revan terkekeh lalu memijit pelipisnya yang pening."Menikah dengan M
Fokus. Fokus. Fokus.Mila meregangkan jari-jari tangan, tak lupa ia menarik napas dalam-dalam lalu dihembuskan perlahan. Di atas laptop sudah ada note untuk menulis episode selanjutnya dalam novel "Menikah untuk Takhta". Ia mengetik alur yang ada di otaknya selama 3 jam penuh.Saat menulis, masalahnya hilang. Kalau sudah selesai, masalah kembali datang.Mila merebahkan tubuhnya menunggu jemputan. "Biarin aja lah. Selama gue diperlakukan kayak Princess, dianter jemput, dibukain pintu mobil, jalan duluan di depan, makan diambilin. It's okay," ucapnya untuk menyemangati diri sendiri. "Gue pasti bisa jalanin ini semua sesuai apa yang gue mau." Bukan Mila namanya kalau melakukan sesuatu apa yang tidak dia inginkan.Baginya, seorang Diaz yang sibuknya melebihi Presiden yang bolak-balik mengurus negara akan mudah dimanfaatkan. Kalau bisa, Mila akan hidup tenang setelah menikah.Stephen yang IQ-nya di bawah Mila pun setuju kalau dia men
Sedang melihar-lihat dekorasi aula untuk resepsi pernikahan, mata Mila mulai pegal. Ia tak tahu harus apa lagi disini, maka dari itu ia memutuskan pulang. Lagipula ini urusan Diaz untuk menyelesaikan dan memastikan tidak ada kekurangan."Gue pulang dulu," pamitnya langsung di hadapan Diaz yang sedang melihat ke langit-langit."Kok cepet banget?" tanyanya entah bodoh atau apa."Mata gue bisa rusak liat beginian. Gue juga banyak urusan, nulis episode novel misalnya." Ia memberi contoh kesibukannya jika di rumah."Ya udah, silahkan kalo mau pulang."Mila tidak menjawab. Ia langsung undur diri dari hadapan Diaz untuk keluar gedung."Mila! Sebentar!"Mila membalikkan badan padahal belum mencapai pintu. "Kenapa lagi sih?" Entah kemasukan hantu atau otaknya terbalik, Diaz memberikan setangkai bunga mawar untuknya. "Ngambil dimana lo?" tanyanya menerima bunga itu."Mampir sebentar ke Toko Bunga," jawab Diaz tersenyum hangat.
Hari pernikahan Mila dan Diaz diselenggarakan secara mewah. Para tamu undangan berasal dari pegawai berseragam formal, di tengah aula terdapat pancuran air tinggi yang diberi lampu biru dan putih. Mereka tampak bahagia datang memberi selamat kepada pengantin yang duduk bersanding di pelaminan. Meida dan Lisana pun turut menyambut tamu dan berbincang dengan mereka.Selama itu juga, mulut Mila kaku karena terpaksa senyum. Stephen menyaraninya agar terlihat bahagia daripada ketahuan dalam waktu kurang dari 3 jam setelah akad. Kalau bukan perjodohan konyol ini, Mila ogah berdiri di pelaminan apalagi di sebelahnya ada manusia paling ribet sedunia. Melihat Diaz tersenyum di depan tamu hampir membuat perutnya mual. Tapi biarkan saja, itu baik untuk reputasi pernikahannya.“Ini sampe jam 9 doang, kan?” tanya Mila sambil melirik jam dinding besar di dekat pintu utama aula yang menunjukkan pukul 8 malam. Gaun yang dipilih Fila memang bagus, tapi sayangnya ia tidak te
Diaz tidak bisa tidur, sungguh. Mila tidur dengan nyaman di atas kasur empuk sedangkan dia tidur di sofa yang panjangnya kurang dari panjang tubuhnya. Gadis itu sudah terlelap lebih dari setengah jam yang lalu. Diaz menatap langit-langit kamarnya yang bertabur bintang karena lampu hias.“Gapapa, ini sementara karena Mila belum nyaman satu kamar.” Sudah 30 kali kalimat itu ia ucapkan dalam hati untuk mengurangi rasa tidak nyaman tidur di sofa.Alasan Mila tidak mau satu ranjang dengan Diaz tidak lain adalah sadar diri, ia kalau tidur seperti jarum jam berputar alias tidak bisa diam. Selain Mila takut Diaz berbuat hal khilaf, ia juga tidak ingin aibnya terbongkar sekarang.Diaz menerima alasan Mila yang katanya tidak ingin dia kena tendang dan pukul selama gadis itu tidur, tapi bukankah kasurnya sangat luas bahkan bisa muat 3 orang? Apa ini sengaja?Mila mengulet saat mendengar azan subuh. Tangannya mencari-cari keberadaan guling walaupun matany
Mila tidak ingin disebut penguntit karena mengikuti Diaz dari belakang. Langkah panjang pria itu sulit diimbangi oleh kaki mungilnya."Tungguin gue," ucap Mila menarik jas Diaz dari belakang agar dia berhenti.Diaz berhenti lalu melihat ke samping. Ternyata istrinya tertinggal.Mila mengerjap lihat gaya rambut Diaz sangat rapih dan licin. "Tega lo jalan cepet banget."Diaz tersenyum lalu menggandeng tangan Mila agar langkah mereka seimbang. Mila melihat tangannya tapi diam saja karena mereka bukan di tempat yang tepat untuk debat.Kantor yang dipimpin Diaz besar juga. Aktivitas tiap ruangan bisa terlihat karena hanya kaca saja. "Woah ... Keren.""Saya?" tanya Diaz sambil berhenti."Kantornya," jelas Mila. Ia tidak tahu kapan pria ini mulai percaya diri. "Kenapa kita naik tangga?" tanyanya begitu menaiki tangga ikut Diaz.Diaz jawab, "Kamu harus olahraga.""Gue juga gak bisa naik lift.""Kenapa?"Mila
Thank youuuu buat teman-teman yang sempat mampir ataupun tetap bertahan masukin novel ini ke rak bacaan kaliaann. Congrats buat aku sendiri yang udah tamatin kisah mereka dengan jangka waktu sangat panjang, bab absurd, dan ending membagongkan dan ngambang.Kalian bisa anggap akan ada sekuel dari Diaz dan Mila entah itu kehidupan anak mereka atau lainnya. Tapi so far, belum ada rancangan gimana gambaran cerita selanjutnya karena masih terjebak genre Teen.Semoga kalian tetap dalam lindungan Tuhan yang Maha Esa dan selalu sehat baik mental maupun fisik karena hidup tidak seringan pilus gais.Sekali lagi thank you so much!And bye bye~
"Ha? Hahaha ... Gue bayangin muka mereka bingungnya gimana."Vio tertawa puas di meja makan saat Diaz menceritakan apa yang terjadi di rumah Monica semalam.Meida menyuruh anaknya berhenti tergelak dan dengarkan saja kakaknya bicara. "Kamu tuh ya, orang lagi ngomong malah ketawa terus.""Yailah, Ma. Bayangin dong muka mereka. Apalagi Mas Agam sama istrinya yang naudzubillah, Haha." "Kapan Monica ketemu Pak Louis?" Diaz bertanya-tanya sebab sebelumnya Monica sibuk bolak-balik ke rumahnya dengan rencana balas dendam.Walaupun balas dendamnya berubah menjadi kasih sayang tak terduga. Kekeluargaan mereka sangat erat."Monica mungkin udah menduga ini bakal terjadi. Dia kan ngomong sendiri sering berdoa ketemu orang tuanya.""Vio!" Meida geram sekali dengan anaknya sampai ingin melempar sendok garpu."Mama kenapa sih sensi banget?" balas Vio."Omongan kamu itu!" "Orang Monica-nya yang bilang ke aku.""Diaz mau minta tolong, Mah."Meida menatap Vio sebab Diaz meliriknya. "Mama?" "Monica m
Sebagai CEO yang memiliki waktu senggang banyak, Diaz memberanikan diri menemui pengacara Monica. Tepat hari sebelumnya mereka bicara serius melalui telepon untuk menentukan pukul berapa akan diskusi sebab pengacara pun punya acara lain.Diaz sangat terkejut rupanya ada kakak serta adik dari orang tua Monica turut datang ke rumah anak malang itu dengan raut tidak sabaran."Semuanya kenapa di sini?" Perasaan Diaz menghubungi pengacaranya saja, tidak mereka juga. Total ada 5 orang, termasuk dirinya.Akhirnya ia bergabung dengan mereka dan itu diperdebatkan."Kenapa ada dia di sini?" sahut Winda, adik terakhir dari Ibu Monica sembari menunjuk Diaz duduk.Diaz lantas menoleh tanpa ekspresi. Bukankah seharusnya ia yang memberi pertanyaan pada mereka?"Monica secara khusus meminta tolong saya untuk panggil Pak Diaz," jawab Louis tak kalah datar dari padang pasir."Hah! Kayaknya sih dia ngerayu Monica biar dikasih beberapa persen asetnya," timpal suami Winda, Agam.Kelihatan dari tampang mer
"Mama tetap gak nyangka, Mila.""Apalagi Mila, Bun."Mereka duduk besandar di ruang tamu setelah menghadiri pemakaman. Mila menatap langit-langit rumahnya seraya berkata, "Monica udah maafin Diaz belum ya, Bun? Kasihan mereka."Fila lantas menjawab, "Sebenarnya Monica pasti udah maafin Diaz dari dulu. Cuma karena mereka kurang akrab dan Monica sempat salah paham juga, dia agak canggung.""Aku padahal mau ke rumahnya lagi.""Nanti kalau Diaz ke sana aja. Dia pasti harus urus semuanya karena walinya Monica."Mila mengusap wajahnya, belum menyesuaikan kenyataan. "Mila mau mandi, Bun. Abis itu ke rumah Diaz lagi, dia harus ditemenin.""Iya sana. Bunda gapapa sendiri di sini."***Vio melihat Diaz berdiri di tengah pintu menghadap halaman belakang sembari memasukkan tangan ke saku celana. Kakaknya diam dengan deru napas teratur yang terdengar berat."Lo lagi ngapain?" Vio memberanikan diri mendekat dan berhenti di belakang Diaz."Bukan apa
Suara langkah Diaz memenuhi lorong yang dihampiri suara petir dan cahaya kilat lewat celah jendela. Sesaat dia memperlebar jarak kaki supaya cepat sampai ruang jenazah yang terletak di bagian belakang rumah sakit.Di belakang Diaz, ada Mila yang juga berusaha mempercepat langkah agar bisa mengiringi suaminya. Kesekian kalinya sudut mata mereka meneteskan bulir bening atas perasaan berkecamuk.Ada-ada saja, diwaktu kurang tepat Diaz dihubungi Bayu, sekretarisnya. "Maaf, saya lagi ada urusan. Nanti saya telepon lagi, Pak." Masalah klien tidak jadi datang besok bukan hal besar. Bayu masih bisa menangani dikarenakan situasi mendesak.Begitu masuk ke kamar jenazah, Diaz sempat menjeda nafas beberapa detik untuk meyakinkan hatinya bahwa yang terjadi sekarang ini bukan bunga tidur. Di atas dua brankar terdapat dua tubuh terbujur kaku diselimuti kain putih. Petugas yang menjaga kamar jenazah malam ini hanya satu berjenis kelamin laki-laki. Dia terlihat sedang memeriksa
Guyuran hujan secara tiba-tiba membasahi tanah dan jalan sejak tengah hari. Rencana Mila pergi ke Taman depan kantor jadi urung. Apalagi niatnya mau hujan-hujanan selagi deras.Diaz menyibukkan diri di depan laptop. Liburnya tetap bekerja. Bahkan lebih pusing dia daripada Mila yang suka mengarang cerita. Omong-omong, sudah 2 hari Mila tidak update bab novel. Apa kabar komentar pembacanya?"Kamu daripada berdiri terus di jendela, mendingan bantu saya beresin ini nih." Diaz menunjuk map-map miliknya yang kurang rapi di dekat meja satunya. Saking banyaknya yang belum tuntas, dia bingung mau membereskan yang mana."Ogah. Kamu kan udah kerjain bareng sekretaris kamu," cebik Mila.Diaz melirik layar laptopnya. Benar, dia sedang melakukan panggilan video dengan sekretarisnya demi mengurus berkas baru maupun yang diarsip bulan lalu."Barangkali mau," balas Diaz.Suara petir menggelegar langsung mengejutkan Mila karena berdiri di dekat jendela.
"Udah pasang sabuk pengaman?" tanya Eric barangkali Monica menyepelekan betapa pentingnya menggunakan sabuk pengaman saat berkendara, baik pengemudi maupun penumpang.Satu dehaman menjawab pertanyaan Eric. Asisten keluarga Monica tersenyum kecil dan menjalankan mobil menuju MJ Coffe untuk mengopi santai sambil mengurus jadwal-jadwal tak beraturan dan kurang sesuai dengan keinginan Bosnya.Suasana ramai lancar kendaraan roda empat dan dua masih tampak asing di mata Monica. Bolak-balik antarkota mengakibatkan ia tak dapat lihat perkembangan kota kelahiran secara bertahap. Setiap tahun terdapat penaikan penduduk di Kepulauan Seribu. Syukurlah, pulau wisata itu masih terjaga keasriannya.Pernah satu, dua kali laut sekeliling pulau tercemar akibat pembuangan minyak ilegal. Saat itu penduduk kesulitan mendapat air. Pemerintah kota berbondong-bondong meminta pasokan air bersih walaupun kurang maksimal."Ini kalau urbanisasi dikurangi mungkin 5 tahun ke depan bak
"Gimana jadwalnya? Gak bisa diubah?"Ekspresi datar yang sering ditampilkan gadis berusia 18 tahun itu bukan lagi hal baru untuk asistennya, Eric. Masalah perubahan jadwal dadakan yang dibuat Eric memang tidak disarankan jika bosnya seperti Monica.Umpatan, tatapan tajam, atau keduanya selalu didapat Eric sekali pun hubungan mereka dekat."Udah saya ubah. Jadi gak bisa diubah dua kali."SRRKKMap berwarna merah di atas meja dihempaskan begitu saja hingga lembaran di dalamnya berserakan di lantai."Astaga... " Suka tak suka Eric harus memungut tiap lembaran dan menyusunnya asal untuk diletakkan ke dalam map. "Ini ada kontrak, jangan dibuang-buang.""Lo tau sendiri kan tanggal 25 kita harus ke Sumatera buat baksos. Harusnya tanggal 26 kosongin jadwal. Bukannya malah ada kegiatan! Lo pikir gue gak butuh istirahat?""Iya tau. Tapi klien yang dari Jawa bilang tanggal 26 bisanya," bela Eric."Ya lagian lo sejak kapan mentingin
Tirai berwarna merah menghalangi sinar yang menembus masuk. Wanita berbadan dua itu tengah membaca buku tentang bisnis milik suaminya sambil merebahkan tubuh. Setelah kontrol bulanan ke dokter kandungan, hasilnya janin berkembang baik. Belum begitu buncit perutnya lantaran masih 3 bulan mengandung.Aktivitas menulis novel berkurang, bukan suruhan Diaz melainkan secara inisiatif Mila lakukan. Ia sering tertidur jika menempel kasur, lalu bangun untuk makan dan jalan-jalan di dalam rumah untuk peregangan badan.Seringkali Diaz memergoki Mila bicara dengan perutnya sambil tersenyum riang di bangku teras rumah, apalagi sebelum berangkat bekerja. Sebisa mungkin Diaz turuti keinginan Sang Istri untuk meredam amarah satu sama lain. Selagi Mila tidak meminta rumah di planet Mars, Diaz mau saja tunduk di kakinya."Lagi apa?""Gak liat? Lagi nonton video."Pertama kalinya Mila memutar dokumentasi video pernikahan mereka, sebelumnya ia mengecam Diaz agar tidak