Diaz tahu Mila sedang usil menyuruh bicara pada kekasihnya. Mereka sudah ada di depan Rumah, tepatnya depan pintu. Mila mengetuk pintu rumah Revan. "Revan ... " Dia berteriak, sengaja.
Diaz menoleh cepat, matanya memicing. Namun karena dilihat Mila juga, dia mencoba acuh.
"Kenapa lo? Gak suka?" tandasnya.
Sebelum Diaz jawab, rupanya pintu terbuka memunculkan sosok pria dengan rambut cokelat klimis belah kanan sedang suntuk kurang tidur karena kantung matanya menghitam.
"Revan, kamu kenapa matanya sembab gini?" Mila menangkup wajah Revan.
Revan menurunkan tangan Mila perlahan. "Kenapa? Gue lagi pusing, banyak tugas kuliah."
Mila menyenggol Diaz. "Ayo ngomong," bisiknya.
Revan menatap Diaz. "Lo bawa siapa, Mil?" tanyanya tertuju pada Mila dengan sedikit kekehan di akhir pertanyaannya.
"Saya Diaz. Saya disuruh Mila buat izin ke kamu."
"Izin apaan?" Revan terkekeh lalu memijit pelipisnya yang pening.
"Menikah dengan Mila," jawabnya tanpa spasi.
Revan melirik Mila. "Kalian mau nikah?" Dia lantas tertawa kencang dan bertanya, "Undangannya mana?"
"Apa kamu bilang?" Sungguh Diaz tidak mengerti dengan situasi saat ini.
"Nikah aja, ngapain minta izin segala." Revan menatap Mila dengan redup. "Kan gue udah bilang, hubungan kita gak usah diperpanjang. Lo tau gue selingkuh, tetep aja maksa bertahan."
Diaz mengerutkan dahi, sedangkan Mila menunduk dalam.
Revan memutuskan. "Nikah sama dia aja, Mil." Dilihat-lihat, Mila pilih pria yang tepat dibanding dirinya. Penampilan orang di depannya begitu formal, tampak seperti pegawai kantoran daripada dirinya yang masih berstatus mahasiswa dan belum bekerja.
Mila bertanya, "Kamu sengaja mainin hubungan kita?"
Revan menjawab, "Kan lo yang milih bertahan, rela jadi pacar bayangan."
Diaz bergeser menutupi Mila seperti melindunginya karena gadis itu akan menangis setelah dengar penuturan Revan.
"Aku kira kamu bakal nahan aku, Van." Atau selama ini ia yang menahan Revan untuk pergi?
Revan mendatarkan wajah. "Berhenti, Mila. Lo gak bisa maksa gue buat bertahan, gue juga punya prioritas. Lo gak bersyukur banget dapet yang lebih," tukasnya.
Mila sudah terisak di belakang Diaz. Pria itu belum bicara lagi.
"Jangan nangis," cecar Revan. Dia yang tersiksa kenapa Mila menangis? Revan tak ada pilihan selain menepuk-nepuk pundak Diaz dan berkata, "Jagain aja. Walaupun gue kesel, kita pernah bareng. Mil, jangan buat gue ngerasa nyakitin lo, lah. Kan lo yang milih bertahan sendiri." Sebenarnya sudah sering Revan menyuruh Mila berhenti. Perempuan ini, seringkali banyak berharap membuatnya muak.
Diaz paham sekarang. Mila mempermalukan diri sendiri di depan pacar yang tidak mengakuinya. "Kita pulang," putusnya. "Maaf ganggu kamu. Permisi," lanjutnya menarik tangan Mila.
Mila menahan tubuhnya dan menatap sendu Revan. "Van, aku cinta banget sama kamu."
Diaz berdecak kesal. "Dia udah lepasin kamu! Ngapain sih ngerendahin diri sendiri begini!"
"Tapi, aku cinta--"
Revan memegang kepalanya. "Gue pusing, Mil. Banyak tugas kuliah. Tetangga gue ntar pada ngebac*t," ucapnya langsung masuk dan menutup pintu cukup keras.
Diaz membiarkan Revan masuk. Kini dia yang heran dengan Mila. "Kamu mau berlutut sama dia disini?"
Mila menggeleng dan menepis tangan Diaz. Ia berjalan melewatinya menuju mobil untuk pulang.
Diaz melihat Mila tersakiti. Tapi salahnya juga menyakiti hati dengan bertahan sendirian. Dia pun mengikuti sampai masuk mobil. Sungguh dia tidak menyangka akan sedramatis ini bicara pada Revan. Apa Mila berharap Revan menahannya? Benar-benar aneh.
Sampai rumah, Mila langsung masuk kamar walaupun Fila memanggil-manggil namanya. Diaz hanya diam di belakang Fila.
"Pasti Revan marahin kamu ya?" tanya Fila.
"Iya," jawabnya terpaksa berbohong. Mila akan baik-baik saja, bukan? Dia tipe orang yang sering marah karena banyak unek-unek di hatinya.
Jadi Mila juga membohongi keadaan hubungannya dengan Revan pada Fila. Mila benar-benar mencintai Revan sampai segitunya.
"Revan bilang apa pas tau kalian mau nikah?"
"Banyak, Tante. Gak bisa dijelasin. Revan marah, Mila juga," tutur Diaz. Benar, Mila akan baik-baik saja karena Revan sudah berterus terang tidak mencintainya lagi.
"Yang penting kamu udah ngomong. Kamu boleh pulang, besok kan fitting baju."
Diaz sampai lupa sesaat. "Iya," lirihnya kembali ingat. "Pastiin Mila makan teratur, Tante."
Fila paham tentang itu. Setelah Diaz pergi, dia kembali mempersiapkan sisanya untuk pernikahan mereka.
Mila mengumpat dalam hati sampai malam atas ucapan Revan yang berhasil mempermalukannya di depan Diaz. Tangisnya mereda begitu ingat Diaz sempat bergeser menutupi tubuhnya. "Dia sadar kah nyakitin gue?" Dia memukul-mukul kasur yang tidak berdosa. Memang salahnya, lalu kenapa? Bukankah itu wajar untuk mempertahankan hubungan?
"Pasti besok dia ngeledek gue," gumamnya. Buruk nasibnya. "Gak bisa gue biarin." Mila melompat turun dari atas kasur lalu keluar kamar. Ia sempat mengintip apakah ada Bunda di suatu ruangan. "Bunda?" Ia sedikit teriak karena tidak menemukan Bundanya.
"Bunda di kamar!"
Ia bergegas turun dan masuk kamar Bundanya.
"Kenapa?" tanya Fila saat anaknya masuk.
"Bun, pinjem HP."
"HP kamu mana?"
"Di atas."
"Ambil lah."
"Iihh, Bunda. Aku pinjem HP Bunda buat telepon Diaz," ujarnya.
Fila menodongkan ponselnya tepat di depan wajah Mila. "Ini."
Mila tahu, Bunda pasti gerak cepat kalau ia sebut nama calon menantunya.
"Mila bawa ke kamar dulu ya, Bun."
"Iya sana. Yang lama ya," suruhnya.
Mila keluar tak lupa tutup pintu lagi. Dia mendesis, "Mau gue hapus nomornya takut kualat." Ia naik tangga agak cepat sambil menggerutu. Sesudah duduk di dekat jendela, Mila mengatur nafasnya dan memegang ponsel Fila untuk menelepon Diaz.
Sesudah memencet panggilan video ke nomor Diaz, Mila siap-siap bicara. Alisnya menyatu begitu yang muncul di ponselnya adalah pria lain, bukan Diaz. "Wah, lo siapa?" tanyanya menantang dan bingung jadi satu.
Lalu ponsel seperti diarahkan ke seseorang, mereka berjalan di sebuah tempat yang terlihat macam kantor.
[Tolong pegangin]
Itu suara Diaz yang mungkin menyuruh asistennya untuk memegang ponselnya.
"Gue mau ngomong," ungkap Mila. Ia ragu Diaz akan mendengarkan atau tidak karena masih berjalan.
[Silahkan]
"Jangan bilang Bunda tentang masalah tadi."
[Udah saya lakuin]
Jadi, sudah? Mila manggut-manggut. "Yang lo tadi--"
[Langsung ngomong. Saya mau meeting]
Mila menahan nafas agar sabar melihat Diaz menaiki tangga. "Jangan sampe Bunda tau," ulangnya.
[Terus?]
"Besok lo jangan berani ngetawain gue," ancamnya.
[Mana sempat saya ketawain orang]
"Gue mau bilang itu aja."
[Gak usah pertahanin dia]
"Hm. Gak usah kasihanin gue. Gue gak suka."
Panggilan diputus Diaz padahal ucapannya belum dijawab. Kesal sekali Mila. Ia mengganti nama kontak Diaz dengan sesuatu. Sesudah itu turun untuk mengembalikan ponsel Fila yang ternyata saat ia masuk, pemiliknya sudah tidur.
Mila melihat foto keluarga berbingkai besar di dinding ruang tamu. "Diaz bentar lagi jadi menantu Papa. Papa bahagia kan?" Entah bagaimana kelanjutan kisahnya. Seharusnya indah jika ia bisa menggapai cita-cita di usia sekarang, tapi sayang terhalang oleh perjodohan. "Papa jangan salahin aku kalau sewaktu-waktu kita cerai. Mila dari awal gak cinta sama Diaz."
Fokus. Fokus. Fokus.Mila meregangkan jari-jari tangan, tak lupa ia menarik napas dalam-dalam lalu dihembuskan perlahan. Di atas laptop sudah ada note untuk menulis episode selanjutnya dalam novel "Menikah untuk Takhta". Ia mengetik alur yang ada di otaknya selama 3 jam penuh.Saat menulis, masalahnya hilang. Kalau sudah selesai, masalah kembali datang.Mila merebahkan tubuhnya menunggu jemputan. "Biarin aja lah. Selama gue diperlakukan kayak Princess, dianter jemput, dibukain pintu mobil, jalan duluan di depan, makan diambilin. It's okay," ucapnya untuk menyemangati diri sendiri. "Gue pasti bisa jalanin ini semua sesuai apa yang gue mau." Bukan Mila namanya kalau melakukan sesuatu apa yang tidak dia inginkan.Baginya, seorang Diaz yang sibuknya melebihi Presiden yang bolak-balik mengurus negara akan mudah dimanfaatkan. Kalau bisa, Mila akan hidup tenang setelah menikah.Stephen yang IQ-nya di bawah Mila pun setuju kalau dia men
Sedang melihar-lihat dekorasi aula untuk resepsi pernikahan, mata Mila mulai pegal. Ia tak tahu harus apa lagi disini, maka dari itu ia memutuskan pulang. Lagipula ini urusan Diaz untuk menyelesaikan dan memastikan tidak ada kekurangan."Gue pulang dulu," pamitnya langsung di hadapan Diaz yang sedang melihat ke langit-langit."Kok cepet banget?" tanyanya entah bodoh atau apa."Mata gue bisa rusak liat beginian. Gue juga banyak urusan, nulis episode novel misalnya." Ia memberi contoh kesibukannya jika di rumah."Ya udah, silahkan kalo mau pulang."Mila tidak menjawab. Ia langsung undur diri dari hadapan Diaz untuk keluar gedung."Mila! Sebentar!"Mila membalikkan badan padahal belum mencapai pintu. "Kenapa lagi sih?" Entah kemasukan hantu atau otaknya terbalik, Diaz memberikan setangkai bunga mawar untuknya. "Ngambil dimana lo?" tanyanya menerima bunga itu."Mampir sebentar ke Toko Bunga," jawab Diaz tersenyum hangat.
Hari pernikahan Mila dan Diaz diselenggarakan secara mewah. Para tamu undangan berasal dari pegawai berseragam formal, di tengah aula terdapat pancuran air tinggi yang diberi lampu biru dan putih. Mereka tampak bahagia datang memberi selamat kepada pengantin yang duduk bersanding di pelaminan. Meida dan Lisana pun turut menyambut tamu dan berbincang dengan mereka.Selama itu juga, mulut Mila kaku karena terpaksa senyum. Stephen menyaraninya agar terlihat bahagia daripada ketahuan dalam waktu kurang dari 3 jam setelah akad. Kalau bukan perjodohan konyol ini, Mila ogah berdiri di pelaminan apalagi di sebelahnya ada manusia paling ribet sedunia. Melihat Diaz tersenyum di depan tamu hampir membuat perutnya mual. Tapi biarkan saja, itu baik untuk reputasi pernikahannya.“Ini sampe jam 9 doang, kan?” tanya Mila sambil melirik jam dinding besar di dekat pintu utama aula yang menunjukkan pukul 8 malam. Gaun yang dipilih Fila memang bagus, tapi sayangnya ia tidak te
Diaz tidak bisa tidur, sungguh. Mila tidur dengan nyaman di atas kasur empuk sedangkan dia tidur di sofa yang panjangnya kurang dari panjang tubuhnya. Gadis itu sudah terlelap lebih dari setengah jam yang lalu. Diaz menatap langit-langit kamarnya yang bertabur bintang karena lampu hias.“Gapapa, ini sementara karena Mila belum nyaman satu kamar.” Sudah 30 kali kalimat itu ia ucapkan dalam hati untuk mengurangi rasa tidak nyaman tidur di sofa.Alasan Mila tidak mau satu ranjang dengan Diaz tidak lain adalah sadar diri, ia kalau tidur seperti jarum jam berputar alias tidak bisa diam. Selain Mila takut Diaz berbuat hal khilaf, ia juga tidak ingin aibnya terbongkar sekarang.Diaz menerima alasan Mila yang katanya tidak ingin dia kena tendang dan pukul selama gadis itu tidur, tapi bukankah kasurnya sangat luas bahkan bisa muat 3 orang? Apa ini sengaja?Mila mengulet saat mendengar azan subuh. Tangannya mencari-cari keberadaan guling walaupun matany
Mila tidak ingin disebut penguntit karena mengikuti Diaz dari belakang. Langkah panjang pria itu sulit diimbangi oleh kaki mungilnya."Tungguin gue," ucap Mila menarik jas Diaz dari belakang agar dia berhenti.Diaz berhenti lalu melihat ke samping. Ternyata istrinya tertinggal.Mila mengerjap lihat gaya rambut Diaz sangat rapih dan licin. "Tega lo jalan cepet banget."Diaz tersenyum lalu menggandeng tangan Mila agar langkah mereka seimbang. Mila melihat tangannya tapi diam saja karena mereka bukan di tempat yang tepat untuk debat.Kantor yang dipimpin Diaz besar juga. Aktivitas tiap ruangan bisa terlihat karena hanya kaca saja. "Woah ... Keren.""Saya?" tanya Diaz sambil berhenti."Kantornya," jelas Mila. Ia tidak tahu kapan pria ini mulai percaya diri. "Kenapa kita naik tangga?" tanyanya begitu menaiki tangga ikut Diaz.Diaz jawab, "Kamu harus olahraga.""Gue juga gak bisa naik lift.""Kenapa?"Mila
"Mila ... Itu HP kamu bunyi terus. Angkat coba," ujar Diaz yang kebisingan. Pagi-pagi begini istrinya sudah seperti artis yang dapat job. Mila sebenarnya dengar, tapi malas mengangkat panggilan. Rasa kantuknya mengalahkan dering ponsel. "Mila... " Diaz memanggil lagi namun sedikit mengeraskan suara. Jam 6 pagi harusnya dia sudah bangun dan sarapan, tapi habis salat malah tidur lagi. Tangan Mila meraba-raba nakas yang ada tepat di sebelah ranjang untuk mengambil ponsel. "Itu buka dulu penutup matanya," tegur Diaz. Mila berdecak dan mengangkat panggilan entah dari siapa. "Halo?" [Mila. Bunda mau ke sana jam 7 nanti. Udah lama Bunda gak liat kamu] Mila melepas penutup matanya dan dilempar begitu saja. "Aduh!" Mila meminta maaf karena penutup matanya mengenai wajah Diaz yang pas sekali sedang balik badan. "Bunda mau ke sini? Jam 7?" Sekarang ia bahkan belum apa-apa. Mendengar kabar setengah baik dan setengah
"Hari ini Diaz betul-betul libur, kan?" tanya Fila. "Ini yang masak siapa? Kamu, Mei?" Dia bertanya karena Mila tidak mungkin memasak masakan enak apalagi sangat rapi hidangannya.Meida menggelengkan kepala. "Bukan aku.""Terus siapa?"Mila menyuapi makanan ke mulutnya. Ia menutupi sisi wajah dengan tangan kiri. Apa yang terpikir oleh Fila tidak salah. Bukan Mila yang memasak dan tidak mungkin hanya karena sudah menikah ia menjadi rajin."Diaz, Bun.""Apa?!" batin Mila. Matanya melotot pada Diaz yang sekarang tebar senyum pada Fila dan Meida.Diaz melihat keterkejutan Mila, namun hanya tersenyum sampai matanya menyipit. Dia menarik pipi kanan Mila dengan gemas. "Mila ini ... Mau dimasakin katanya, Bun. Diaz gak bisa nolak," katanya.Pria itu benar-benar tahu cara menarik perhatian mereka. Untuk menyambung sandiwara ini Mila ikut tersenyum bangga untuk masakan Diaz. "Oh iya, Bun. Diaz pernah cerita bisa masak, tapi aku gak percay
Diaz tetap dalam posisinya. Revan yang melihat mereka tidak jadi memanggil Mila karena takut ganggu. Dia menyuruh kekasihnya untuk lanjut jalan. "Udah pergi?" tanya Mila dengan suara pelan. Ia menoleh ke atas, tingginya hanya sedada Diaz. "Tinggi lo berapa, Diaz?" Mila dengan polosnya mengukur ujung kepala dan dada Diaz menggunakan tangan. "Lo tinggi banget, mungkin Oppa Chanyeol segini kali ya?" Mila terkekeh lalu menoleh ke belakang untuk melihat Revan sudah pergi atau belum. Begitu tahu tidak ada Revan, ia langsung memisahkan diri. "Lo ngambil kesempatan dalam kesempitan. Dasar!" "Jangan samain saya sama orang lain," lirik Diaz tidak suka. Mila memang mengira tinggi Diaz sekitar 180cm lebih, melihat pria itu saja harus mendongak kalau ingin menatap. Kali ini, mata Diaz menyipit sebab berhadapan dengan sinar matahari. Membuat kulit wajah putih bersihnya makin berkilau, atau biasa kalian sebut ... Glowing. "Lo gak masuk?" Mila dengar Diaz mau k
Thank youuuu buat teman-teman yang sempat mampir ataupun tetap bertahan masukin novel ini ke rak bacaan kaliaann. Congrats buat aku sendiri yang udah tamatin kisah mereka dengan jangka waktu sangat panjang, bab absurd, dan ending membagongkan dan ngambang.Kalian bisa anggap akan ada sekuel dari Diaz dan Mila entah itu kehidupan anak mereka atau lainnya. Tapi so far, belum ada rancangan gimana gambaran cerita selanjutnya karena masih terjebak genre Teen.Semoga kalian tetap dalam lindungan Tuhan yang Maha Esa dan selalu sehat baik mental maupun fisik karena hidup tidak seringan pilus gais.Sekali lagi thank you so much!And bye bye~
"Ha? Hahaha ... Gue bayangin muka mereka bingungnya gimana."Vio tertawa puas di meja makan saat Diaz menceritakan apa yang terjadi di rumah Monica semalam.Meida menyuruh anaknya berhenti tergelak dan dengarkan saja kakaknya bicara. "Kamu tuh ya, orang lagi ngomong malah ketawa terus.""Yailah, Ma. Bayangin dong muka mereka. Apalagi Mas Agam sama istrinya yang naudzubillah, Haha." "Kapan Monica ketemu Pak Louis?" Diaz bertanya-tanya sebab sebelumnya Monica sibuk bolak-balik ke rumahnya dengan rencana balas dendam.Walaupun balas dendamnya berubah menjadi kasih sayang tak terduga. Kekeluargaan mereka sangat erat."Monica mungkin udah menduga ini bakal terjadi. Dia kan ngomong sendiri sering berdoa ketemu orang tuanya.""Vio!" Meida geram sekali dengan anaknya sampai ingin melempar sendok garpu."Mama kenapa sih sensi banget?" balas Vio."Omongan kamu itu!" "Orang Monica-nya yang bilang ke aku.""Diaz mau minta tolong, Mah."Meida menatap Vio sebab Diaz meliriknya. "Mama?" "Monica m
Sebagai CEO yang memiliki waktu senggang banyak, Diaz memberanikan diri menemui pengacara Monica. Tepat hari sebelumnya mereka bicara serius melalui telepon untuk menentukan pukul berapa akan diskusi sebab pengacara pun punya acara lain.Diaz sangat terkejut rupanya ada kakak serta adik dari orang tua Monica turut datang ke rumah anak malang itu dengan raut tidak sabaran."Semuanya kenapa di sini?" Perasaan Diaz menghubungi pengacaranya saja, tidak mereka juga. Total ada 5 orang, termasuk dirinya.Akhirnya ia bergabung dengan mereka dan itu diperdebatkan."Kenapa ada dia di sini?" sahut Winda, adik terakhir dari Ibu Monica sembari menunjuk Diaz duduk.Diaz lantas menoleh tanpa ekspresi. Bukankah seharusnya ia yang memberi pertanyaan pada mereka?"Monica secara khusus meminta tolong saya untuk panggil Pak Diaz," jawab Louis tak kalah datar dari padang pasir."Hah! Kayaknya sih dia ngerayu Monica biar dikasih beberapa persen asetnya," timpal suami Winda, Agam.Kelihatan dari tampang mer
"Mama tetap gak nyangka, Mila.""Apalagi Mila, Bun."Mereka duduk besandar di ruang tamu setelah menghadiri pemakaman. Mila menatap langit-langit rumahnya seraya berkata, "Monica udah maafin Diaz belum ya, Bun? Kasihan mereka."Fila lantas menjawab, "Sebenarnya Monica pasti udah maafin Diaz dari dulu. Cuma karena mereka kurang akrab dan Monica sempat salah paham juga, dia agak canggung.""Aku padahal mau ke rumahnya lagi.""Nanti kalau Diaz ke sana aja. Dia pasti harus urus semuanya karena walinya Monica."Mila mengusap wajahnya, belum menyesuaikan kenyataan. "Mila mau mandi, Bun. Abis itu ke rumah Diaz lagi, dia harus ditemenin.""Iya sana. Bunda gapapa sendiri di sini."***Vio melihat Diaz berdiri di tengah pintu menghadap halaman belakang sembari memasukkan tangan ke saku celana. Kakaknya diam dengan deru napas teratur yang terdengar berat."Lo lagi ngapain?" Vio memberanikan diri mendekat dan berhenti di belakang Diaz."Bukan apa
Suara langkah Diaz memenuhi lorong yang dihampiri suara petir dan cahaya kilat lewat celah jendela. Sesaat dia memperlebar jarak kaki supaya cepat sampai ruang jenazah yang terletak di bagian belakang rumah sakit.Di belakang Diaz, ada Mila yang juga berusaha mempercepat langkah agar bisa mengiringi suaminya. Kesekian kalinya sudut mata mereka meneteskan bulir bening atas perasaan berkecamuk.Ada-ada saja, diwaktu kurang tepat Diaz dihubungi Bayu, sekretarisnya. "Maaf, saya lagi ada urusan. Nanti saya telepon lagi, Pak." Masalah klien tidak jadi datang besok bukan hal besar. Bayu masih bisa menangani dikarenakan situasi mendesak.Begitu masuk ke kamar jenazah, Diaz sempat menjeda nafas beberapa detik untuk meyakinkan hatinya bahwa yang terjadi sekarang ini bukan bunga tidur. Di atas dua brankar terdapat dua tubuh terbujur kaku diselimuti kain putih. Petugas yang menjaga kamar jenazah malam ini hanya satu berjenis kelamin laki-laki. Dia terlihat sedang memeriksa
Guyuran hujan secara tiba-tiba membasahi tanah dan jalan sejak tengah hari. Rencana Mila pergi ke Taman depan kantor jadi urung. Apalagi niatnya mau hujan-hujanan selagi deras.Diaz menyibukkan diri di depan laptop. Liburnya tetap bekerja. Bahkan lebih pusing dia daripada Mila yang suka mengarang cerita. Omong-omong, sudah 2 hari Mila tidak update bab novel. Apa kabar komentar pembacanya?"Kamu daripada berdiri terus di jendela, mendingan bantu saya beresin ini nih." Diaz menunjuk map-map miliknya yang kurang rapi di dekat meja satunya. Saking banyaknya yang belum tuntas, dia bingung mau membereskan yang mana."Ogah. Kamu kan udah kerjain bareng sekretaris kamu," cebik Mila.Diaz melirik layar laptopnya. Benar, dia sedang melakukan panggilan video dengan sekretarisnya demi mengurus berkas baru maupun yang diarsip bulan lalu."Barangkali mau," balas Diaz.Suara petir menggelegar langsung mengejutkan Mila karena berdiri di dekat jendela.
"Udah pasang sabuk pengaman?" tanya Eric barangkali Monica menyepelekan betapa pentingnya menggunakan sabuk pengaman saat berkendara, baik pengemudi maupun penumpang.Satu dehaman menjawab pertanyaan Eric. Asisten keluarga Monica tersenyum kecil dan menjalankan mobil menuju MJ Coffe untuk mengopi santai sambil mengurus jadwal-jadwal tak beraturan dan kurang sesuai dengan keinginan Bosnya.Suasana ramai lancar kendaraan roda empat dan dua masih tampak asing di mata Monica. Bolak-balik antarkota mengakibatkan ia tak dapat lihat perkembangan kota kelahiran secara bertahap. Setiap tahun terdapat penaikan penduduk di Kepulauan Seribu. Syukurlah, pulau wisata itu masih terjaga keasriannya.Pernah satu, dua kali laut sekeliling pulau tercemar akibat pembuangan minyak ilegal. Saat itu penduduk kesulitan mendapat air. Pemerintah kota berbondong-bondong meminta pasokan air bersih walaupun kurang maksimal."Ini kalau urbanisasi dikurangi mungkin 5 tahun ke depan bak
"Gimana jadwalnya? Gak bisa diubah?"Ekspresi datar yang sering ditampilkan gadis berusia 18 tahun itu bukan lagi hal baru untuk asistennya, Eric. Masalah perubahan jadwal dadakan yang dibuat Eric memang tidak disarankan jika bosnya seperti Monica.Umpatan, tatapan tajam, atau keduanya selalu didapat Eric sekali pun hubungan mereka dekat."Udah saya ubah. Jadi gak bisa diubah dua kali."SRRKKMap berwarna merah di atas meja dihempaskan begitu saja hingga lembaran di dalamnya berserakan di lantai."Astaga... " Suka tak suka Eric harus memungut tiap lembaran dan menyusunnya asal untuk diletakkan ke dalam map. "Ini ada kontrak, jangan dibuang-buang.""Lo tau sendiri kan tanggal 25 kita harus ke Sumatera buat baksos. Harusnya tanggal 26 kosongin jadwal. Bukannya malah ada kegiatan! Lo pikir gue gak butuh istirahat?""Iya tau. Tapi klien yang dari Jawa bilang tanggal 26 bisanya," bela Eric."Ya lagian lo sejak kapan mentingin
Tirai berwarna merah menghalangi sinar yang menembus masuk. Wanita berbadan dua itu tengah membaca buku tentang bisnis milik suaminya sambil merebahkan tubuh. Setelah kontrol bulanan ke dokter kandungan, hasilnya janin berkembang baik. Belum begitu buncit perutnya lantaran masih 3 bulan mengandung.Aktivitas menulis novel berkurang, bukan suruhan Diaz melainkan secara inisiatif Mila lakukan. Ia sering tertidur jika menempel kasur, lalu bangun untuk makan dan jalan-jalan di dalam rumah untuk peregangan badan.Seringkali Diaz memergoki Mila bicara dengan perutnya sambil tersenyum riang di bangku teras rumah, apalagi sebelum berangkat bekerja. Sebisa mungkin Diaz turuti keinginan Sang Istri untuk meredam amarah satu sama lain. Selagi Mila tidak meminta rumah di planet Mars, Diaz mau saja tunduk di kakinya."Lagi apa?""Gak liat? Lagi nonton video."Pertama kalinya Mila memutar dokumentasi video pernikahan mereka, sebelumnya ia mengecam Diaz agar tidak