"Hari ini Diaz betul-betul libur, kan?" tanya Fila. "Ini yang masak siapa? Kamu, Mei?" Dia bertanya karena Mila tidak mungkin memasak masakan enak apalagi sangat rapi hidangannya.
Meida menggelengkan kepala. "Bukan aku."
"Terus siapa?"
Mila menyuapi makanan ke mulutnya. Ia menutupi sisi wajah dengan tangan kiri. Apa yang terpikir oleh Fila tidak salah. Bukan Mila yang memasak dan tidak mungkin hanya karena sudah menikah ia menjadi rajin.
"Diaz, Bun."
"Apa?!" batin Mila. Matanya melotot pada Diaz yang sekarang tebar senyum pada Fila dan Meida.
Diaz melihat keterkejutan Mila, namun hanya tersenyum sampai matanya menyipit. Dia menarik pipi kanan Mila dengan gemas. "Mila ini ... Mau dimasakin katanya, Bun. Diaz gak bisa nolak," katanya.
Pria itu benar-benar tahu cara menarik perhatian mereka. Untuk menyambung sandiwara ini Mila ikut tersenyum bangga untuk masakan Diaz. "Oh iya, Bun. Diaz pernah cerita bisa masak, tapi aku gak percay
Diaz tetap dalam posisinya. Revan yang melihat mereka tidak jadi memanggil Mila karena takut ganggu. Dia menyuruh kekasihnya untuk lanjut jalan. "Udah pergi?" tanya Mila dengan suara pelan. Ia menoleh ke atas, tingginya hanya sedada Diaz. "Tinggi lo berapa, Diaz?" Mila dengan polosnya mengukur ujung kepala dan dada Diaz menggunakan tangan. "Lo tinggi banget, mungkin Oppa Chanyeol segini kali ya?" Mila terkekeh lalu menoleh ke belakang untuk melihat Revan sudah pergi atau belum. Begitu tahu tidak ada Revan, ia langsung memisahkan diri. "Lo ngambil kesempatan dalam kesempitan. Dasar!" "Jangan samain saya sama orang lain," lirik Diaz tidak suka. Mila memang mengira tinggi Diaz sekitar 180cm lebih, melihat pria itu saja harus mendongak kalau ingin menatap. Kali ini, mata Diaz menyipit sebab berhadapan dengan sinar matahari. Membuat kulit wajah putih bersihnya makin berkilau, atau biasa kalian sebut ... Glowing. "Lo gak masuk?" Mila dengar Diaz mau k
"Dari saya?" beo Diaz. Dia tidak akan membahayakan Mila dalam hal apa pun karena perempuan itu menakutkan kalau tidak sengaja tersentuh."Lo tau ... Cowok biasanya dikelilingi banyak setan," ujar Mila misterius."Kata siapa?" Diaz menertawakan ucapan Mila."Kata gue lah! Siapa tau pas malam-malam lo nelusup buat apa-apain gue. Bisa jadi, kan?!" Mila jadi ngeri membayangkan sendiri.Diaz bahkan tidak pernah berniat seperti itu. "Saya gak akan apa-apain kamu.""Tapi kan gak berlaku selamanya. Ngaku lo?"Ucapan Mila membuat Diaz terjengat. "Berarti kamu yang berharap saya apa-apain," tunjuknya langsung."Gue?!" Mulut Mila komat-kamit hendak menyumpahi Diaz. "Sama sekali gak minat. Dari awal juga lo yang mau nikahin gue."Diaz membalas, "Saya memang cari istri, tapi saya gak berharap itu kamu." Tunggu, kenapa mereka jadi bertengkar?Mila mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh. "Berarti gak cuma gue yang nyesel, lo juga ka
Diaz sudah meletakkan foto Irene di tempat yang lebih tersembunyi agar tidak diambil Mila lagi. Dengan kejamnya Mila mau membuang satu-satunya foto Irene agar bisa Diaz kenang.Malam pukul 8, mereka berada di kamar melakukan kegiatan masing-masing. Mila mengangkat satu kakinya ke atas kursi seperti di warteg. Di mulutnya ada es bungkus yang ia beli di warung untuk camilan saat mengetik cerita.Diaz sedang duduk di sofa tunggal, di tangannya terdapat sebuah novel untuk referensi membaca. Pria yang memakai setelan piyama kotak-kotak warna biru dengan garis tipis putih sedang melihat Mila cukup lama untuk mengerti perasaan yang mungkin tidak dia ketahui. Apakah mungkin Mila cemburu?Kepalanya menggeleng cepat. Tidak mungkin Mila cemburu hanya karena foto. Diaz sudah menganalisis kepribadian istrinya dari pertama bertemu. Mila tidak mudah goyah, kecuali menyangkut Revan. "Dia gak mungkin cemburu... " lirihnya menyangkal.Mila melihat p
Mila hendak menutup pintu kamar melihat Diaz gantian duduk menonton anime. "Mukanya kayak anime ngapain liat anime?" batin Mila memadankan wajah Diaz dengan anime yang tengah dia tonton. Ia menatap lega situasi menegangkan dalam halusinasinya sudah hancur. Mila tidak mau kalau hal tersebut menimpa dirinya. Diambang kecemasan, Mila melanjutkan aktivitas yang terputus. Ia pikir harus ada karakter seperti Diaz yang misterius seperti pembunuh berdarah dingin di novel selanjutnya. Sayang sekali kalau tidak diadaptasi, sedangkan tokoh inspirasi satu atap dengan penulis. Diaz lupa menghubungi Meida karena ponselnya masih dalam mode pengisian daya. Dia naik lagi ke kamar untuk meminta bantuan Mila. "Mila, tolong telepon Mama malam ini pulang gak?" "Gue lagi fokus ... Jangan ganggu." Mila makin cepat mengetik untuk mengalihkan imajinasinya yang mengerikan. "Tolong, pintunya mau ditutup." "Tutup aja. Lo biasa bangun tenga
Diaz memasuki mobil lalu melaju, bukan menuju kantor melainkan tempat lain. Ponselnya berdering walau belum 5 menit dia mengemudi. Sekretasis Diaz yang kerap dipanggil Bayu menghubunginya. Kemungkinan Bayu repot mewakili rapat dengan direktur untuk aliansi. Diaz mengambil AirPods dan memasangnya di dua telinga. "Mereka sudah datang?" "Sudah, Pak. 5 menit lagi saya langsung mengadakan rapat." "Iya. Saya mau ke rumah seseorang, kalau sudah selesai saya kembali ke kantor." "Baik, Pak." Diaz kali ini berharap sekretaris pribadinya dan direktur yang menjalani rapat bisa meyakini perusahaan terkait agar bisa menjalani kerja sama. Waktu itu Diaz menyuruh bagian keamanan untuk membawa pelaku yang sabotasi listrik dan melukai Mila ke Polsek terdekat. Namun setelahnya, Diaz mengajak rundingan dengan pengacara bahwa pelaku tidak perlu mendekam di penjara dikarenakan pasal mengenai merugikan orang lain berupa denda materi
Mila melakukan rutinitasnya sebagai penulis di dalam kamar. Beberapa denting notifikasi pesan masuk dari Diaz ia abaikan karena sebentar lagi mencapai 3000 kata.Mila melirik ke sekian kali dan kebanyakan pesan Diaz seperti pidato, panjang dan lebar. Ia mendesah kesal karena kini ponselnya berdering. Benar, Diaz sepertinya muak pesannya tidak dibalas atau sekadar dibaca. Dengan malas ia menggeser tombol hijau ke kiri dan mengaktifkan loudspeaker agar bisa bicara sambil mengetik."Why?" Mila dapat dengar suara lalu lalang orang bicara di sana."Kamu dikirim pesan kenapa gak balas?" Diaz capai-capai mengetik panjang sampai bawah berkali-kali tapi tidak dibalas. Rasanya sangat kesal, beruntung itu istrinya."Gue lagi ngetik 10 jari, gak mungkin jari kaki gue ikut andil balas pesan dari lo." Mila memang begitu kalau lagi menulis novel. Suaminya sendiri kalau mengganggu akan ia marahi."Luangin waktu sedikit buat balas pesan saya. Gak sampai
Mila mengambil berbagai camilan yang ia inginkan. Dari yang manis sampai pedas, ia ambil semua favoritnya. Rasanya satu troli yang dibawa masih kurang karena sudah penuh.Berbeda jauh dengan Diaz. Dia mengambil barang yang dibutuhkan bersama. Perlengkapan mandi seperti sabun cair, sampo, sikat dan pasta gigi, lilin aroma terapi, dan body lotion. Lalu Diaz pergi ke rak bahan makanan, beberapa daging merah dan sayur-sayuran sudah dia masukkan keranjang. Kemudian Diaz bergerak ke rak makanan dan melihat Mila memilih coklat batang."Mila!" Mereka memang awalnya terpisah untuk belanja barang masing-masing. Namun bertemu Mila bukankah baik bisa langsung ke kasir? Diaz mendekatinya dan melihat ada satu troli penuh di belakang Mila. "itu troli siapa? Kok ditinggal?"Mila yang sedang membungkuk untuk pilih coklat langsung menjawab, "Punya gue."Kedua Diaz menatap dua troli milik Mila bergantian. "Kamu ... Beli semua ini?" Banyak sekali. Apakah se
Mila masih berpikir, apakah benar Diaz memindahkan barang mereka karena merusak pemandangan? Kalau dirinya normal, harusnya tidak. Lagipula mereka duduk menghadap pemandangan di depan, bukan belakang."Lo yakin barang-barang gue aman sampai rumah? Kalau dibawa kabur gimana?" Mila mencoba mengalihkan pembahasan mengapa Diaz memindahkan barang dengan pertanyaan lain."Tenang aja. Saya kan udah kasih alamat ke sopirnya.""Di rumah gak ada siapa-siapa, terus barangnya taruh di depan pintu, gitu?""Vio, gak ada di rumah?" Seingat Diaz hari ini adiknya tidak ada aktivitas karena bekerja dari rumah."Gak. Dia bilang mau makan sama temen di luar, pamit ke gue juga. Bunda sama Tante Mei lagi pergi ke Jember, udah tau belum lo?"Diaz menggeleng. "Oh gitu... "Mila yang keras kepala menyimpulkan Diaz adalah tipe pria yang irit bicara. Mereka memang tidak bisa menjadi suami-istri, namun alangkah baiknya jadi kawan untuk menanamkan chemistry
Thank youuuu buat teman-teman yang sempat mampir ataupun tetap bertahan masukin novel ini ke rak bacaan kaliaann. Congrats buat aku sendiri yang udah tamatin kisah mereka dengan jangka waktu sangat panjang, bab absurd, dan ending membagongkan dan ngambang.Kalian bisa anggap akan ada sekuel dari Diaz dan Mila entah itu kehidupan anak mereka atau lainnya. Tapi so far, belum ada rancangan gimana gambaran cerita selanjutnya karena masih terjebak genre Teen.Semoga kalian tetap dalam lindungan Tuhan yang Maha Esa dan selalu sehat baik mental maupun fisik karena hidup tidak seringan pilus gais.Sekali lagi thank you so much!And bye bye~
"Ha? Hahaha ... Gue bayangin muka mereka bingungnya gimana."Vio tertawa puas di meja makan saat Diaz menceritakan apa yang terjadi di rumah Monica semalam.Meida menyuruh anaknya berhenti tergelak dan dengarkan saja kakaknya bicara. "Kamu tuh ya, orang lagi ngomong malah ketawa terus.""Yailah, Ma. Bayangin dong muka mereka. Apalagi Mas Agam sama istrinya yang naudzubillah, Haha." "Kapan Monica ketemu Pak Louis?" Diaz bertanya-tanya sebab sebelumnya Monica sibuk bolak-balik ke rumahnya dengan rencana balas dendam.Walaupun balas dendamnya berubah menjadi kasih sayang tak terduga. Kekeluargaan mereka sangat erat."Monica mungkin udah menduga ini bakal terjadi. Dia kan ngomong sendiri sering berdoa ketemu orang tuanya.""Vio!" Meida geram sekali dengan anaknya sampai ingin melempar sendok garpu."Mama kenapa sih sensi banget?" balas Vio."Omongan kamu itu!" "Orang Monica-nya yang bilang ke aku.""Diaz mau minta tolong, Mah."Meida menatap Vio sebab Diaz meliriknya. "Mama?" "Monica m
Sebagai CEO yang memiliki waktu senggang banyak, Diaz memberanikan diri menemui pengacara Monica. Tepat hari sebelumnya mereka bicara serius melalui telepon untuk menentukan pukul berapa akan diskusi sebab pengacara pun punya acara lain.Diaz sangat terkejut rupanya ada kakak serta adik dari orang tua Monica turut datang ke rumah anak malang itu dengan raut tidak sabaran."Semuanya kenapa di sini?" Perasaan Diaz menghubungi pengacaranya saja, tidak mereka juga. Total ada 5 orang, termasuk dirinya.Akhirnya ia bergabung dengan mereka dan itu diperdebatkan."Kenapa ada dia di sini?" sahut Winda, adik terakhir dari Ibu Monica sembari menunjuk Diaz duduk.Diaz lantas menoleh tanpa ekspresi. Bukankah seharusnya ia yang memberi pertanyaan pada mereka?"Monica secara khusus meminta tolong saya untuk panggil Pak Diaz," jawab Louis tak kalah datar dari padang pasir."Hah! Kayaknya sih dia ngerayu Monica biar dikasih beberapa persen asetnya," timpal suami Winda, Agam.Kelihatan dari tampang mer
"Mama tetap gak nyangka, Mila.""Apalagi Mila, Bun."Mereka duduk besandar di ruang tamu setelah menghadiri pemakaman. Mila menatap langit-langit rumahnya seraya berkata, "Monica udah maafin Diaz belum ya, Bun? Kasihan mereka."Fila lantas menjawab, "Sebenarnya Monica pasti udah maafin Diaz dari dulu. Cuma karena mereka kurang akrab dan Monica sempat salah paham juga, dia agak canggung.""Aku padahal mau ke rumahnya lagi.""Nanti kalau Diaz ke sana aja. Dia pasti harus urus semuanya karena walinya Monica."Mila mengusap wajahnya, belum menyesuaikan kenyataan. "Mila mau mandi, Bun. Abis itu ke rumah Diaz lagi, dia harus ditemenin.""Iya sana. Bunda gapapa sendiri di sini."***Vio melihat Diaz berdiri di tengah pintu menghadap halaman belakang sembari memasukkan tangan ke saku celana. Kakaknya diam dengan deru napas teratur yang terdengar berat."Lo lagi ngapain?" Vio memberanikan diri mendekat dan berhenti di belakang Diaz."Bukan apa
Suara langkah Diaz memenuhi lorong yang dihampiri suara petir dan cahaya kilat lewat celah jendela. Sesaat dia memperlebar jarak kaki supaya cepat sampai ruang jenazah yang terletak di bagian belakang rumah sakit.Di belakang Diaz, ada Mila yang juga berusaha mempercepat langkah agar bisa mengiringi suaminya. Kesekian kalinya sudut mata mereka meneteskan bulir bening atas perasaan berkecamuk.Ada-ada saja, diwaktu kurang tepat Diaz dihubungi Bayu, sekretarisnya. "Maaf, saya lagi ada urusan. Nanti saya telepon lagi, Pak." Masalah klien tidak jadi datang besok bukan hal besar. Bayu masih bisa menangani dikarenakan situasi mendesak.Begitu masuk ke kamar jenazah, Diaz sempat menjeda nafas beberapa detik untuk meyakinkan hatinya bahwa yang terjadi sekarang ini bukan bunga tidur. Di atas dua brankar terdapat dua tubuh terbujur kaku diselimuti kain putih. Petugas yang menjaga kamar jenazah malam ini hanya satu berjenis kelamin laki-laki. Dia terlihat sedang memeriksa
Guyuran hujan secara tiba-tiba membasahi tanah dan jalan sejak tengah hari. Rencana Mila pergi ke Taman depan kantor jadi urung. Apalagi niatnya mau hujan-hujanan selagi deras.Diaz menyibukkan diri di depan laptop. Liburnya tetap bekerja. Bahkan lebih pusing dia daripada Mila yang suka mengarang cerita. Omong-omong, sudah 2 hari Mila tidak update bab novel. Apa kabar komentar pembacanya?"Kamu daripada berdiri terus di jendela, mendingan bantu saya beresin ini nih." Diaz menunjuk map-map miliknya yang kurang rapi di dekat meja satunya. Saking banyaknya yang belum tuntas, dia bingung mau membereskan yang mana."Ogah. Kamu kan udah kerjain bareng sekretaris kamu," cebik Mila.Diaz melirik layar laptopnya. Benar, dia sedang melakukan panggilan video dengan sekretarisnya demi mengurus berkas baru maupun yang diarsip bulan lalu."Barangkali mau," balas Diaz.Suara petir menggelegar langsung mengejutkan Mila karena berdiri di dekat jendela.
"Udah pasang sabuk pengaman?" tanya Eric barangkali Monica menyepelekan betapa pentingnya menggunakan sabuk pengaman saat berkendara, baik pengemudi maupun penumpang.Satu dehaman menjawab pertanyaan Eric. Asisten keluarga Monica tersenyum kecil dan menjalankan mobil menuju MJ Coffe untuk mengopi santai sambil mengurus jadwal-jadwal tak beraturan dan kurang sesuai dengan keinginan Bosnya.Suasana ramai lancar kendaraan roda empat dan dua masih tampak asing di mata Monica. Bolak-balik antarkota mengakibatkan ia tak dapat lihat perkembangan kota kelahiran secara bertahap. Setiap tahun terdapat penaikan penduduk di Kepulauan Seribu. Syukurlah, pulau wisata itu masih terjaga keasriannya.Pernah satu, dua kali laut sekeliling pulau tercemar akibat pembuangan minyak ilegal. Saat itu penduduk kesulitan mendapat air. Pemerintah kota berbondong-bondong meminta pasokan air bersih walaupun kurang maksimal."Ini kalau urbanisasi dikurangi mungkin 5 tahun ke depan bak
"Gimana jadwalnya? Gak bisa diubah?"Ekspresi datar yang sering ditampilkan gadis berusia 18 tahun itu bukan lagi hal baru untuk asistennya, Eric. Masalah perubahan jadwal dadakan yang dibuat Eric memang tidak disarankan jika bosnya seperti Monica.Umpatan, tatapan tajam, atau keduanya selalu didapat Eric sekali pun hubungan mereka dekat."Udah saya ubah. Jadi gak bisa diubah dua kali."SRRKKMap berwarna merah di atas meja dihempaskan begitu saja hingga lembaran di dalamnya berserakan di lantai."Astaga... " Suka tak suka Eric harus memungut tiap lembaran dan menyusunnya asal untuk diletakkan ke dalam map. "Ini ada kontrak, jangan dibuang-buang.""Lo tau sendiri kan tanggal 25 kita harus ke Sumatera buat baksos. Harusnya tanggal 26 kosongin jadwal. Bukannya malah ada kegiatan! Lo pikir gue gak butuh istirahat?""Iya tau. Tapi klien yang dari Jawa bilang tanggal 26 bisanya," bela Eric."Ya lagian lo sejak kapan mentingin
Tirai berwarna merah menghalangi sinar yang menembus masuk. Wanita berbadan dua itu tengah membaca buku tentang bisnis milik suaminya sambil merebahkan tubuh. Setelah kontrol bulanan ke dokter kandungan, hasilnya janin berkembang baik. Belum begitu buncit perutnya lantaran masih 3 bulan mengandung.Aktivitas menulis novel berkurang, bukan suruhan Diaz melainkan secara inisiatif Mila lakukan. Ia sering tertidur jika menempel kasur, lalu bangun untuk makan dan jalan-jalan di dalam rumah untuk peregangan badan.Seringkali Diaz memergoki Mila bicara dengan perutnya sambil tersenyum riang di bangku teras rumah, apalagi sebelum berangkat bekerja. Sebisa mungkin Diaz turuti keinginan Sang Istri untuk meredam amarah satu sama lain. Selagi Mila tidak meminta rumah di planet Mars, Diaz mau saja tunduk di kakinya."Lagi apa?""Gak liat? Lagi nonton video."Pertama kalinya Mila memutar dokumentasi video pernikahan mereka, sebelumnya ia mengecam Diaz agar tidak