Mila mengambil berbagai camilan yang ia inginkan. Dari yang manis sampai pedas, ia ambil semua favoritnya. Rasanya satu troli yang dibawa masih kurang karena sudah penuh.
Berbeda jauh dengan Diaz. Dia mengambil barang yang dibutuhkan bersama. Perlengkapan mandi seperti sabun cair, sampo, sikat dan pasta gigi, lilin aroma terapi, dan body lotion. Lalu Diaz pergi ke rak bahan makanan, beberapa daging merah dan sayur-sayuran sudah dia masukkan keranjang. Kemudian Diaz bergerak ke rak makanan dan melihat Mila memilih coklat batang.
"Mila!" Mereka memang awalnya terpisah untuk belanja barang masing-masing. Namun bertemu Mila bukankah baik bisa langsung ke kasir? Diaz mendekatinya dan melihat ada satu troli penuh di belakang Mila. "itu troli siapa? Kok ditinggal?"
Mila yang sedang membungkuk untuk pilih coklat langsung menjawab, "Punya gue."
Kedua Diaz menatap dua troli milik Mila bergantian. "Kamu ... Beli semua ini?" Banyak sekali. Apakah se
Mila masih berpikir, apakah benar Diaz memindahkan barang mereka karena merusak pemandangan? Kalau dirinya normal, harusnya tidak. Lagipula mereka duduk menghadap pemandangan di depan, bukan belakang."Lo yakin barang-barang gue aman sampai rumah? Kalau dibawa kabur gimana?" Mila mencoba mengalihkan pembahasan mengapa Diaz memindahkan barang dengan pertanyaan lain."Tenang aja. Saya kan udah kasih alamat ke sopirnya.""Di rumah gak ada siapa-siapa, terus barangnya taruh di depan pintu, gitu?""Vio, gak ada di rumah?" Seingat Diaz hari ini adiknya tidak ada aktivitas karena bekerja dari rumah."Gak. Dia bilang mau makan sama temen di luar, pamit ke gue juga. Bunda sama Tante Mei lagi pergi ke Jember, udah tau belum lo?"Diaz menggeleng. "Oh gitu... "Mila yang keras kepala menyimpulkan Diaz adalah tipe pria yang irit bicara. Mereka memang tidak bisa menjadi suami-istri, namun alangkah baiknya jadi kawan untuk menanamkan chemistry
Setelah mendengar penjelasan dokter, Mila tidak bisa berkata-kata lagi. Dia pasrah. Dokter mengatakan, pergelangan tangan hingga ibu jarinya mengalami cedera sedang dan diharuskan memakai deker agar tidak banyak aktivitas. Jika tangan kiri yang cedera mungkin Mila bisa menerima. Kenyataan buruknya adalah tangan kanan yang cedera dan ia sekarang tidak tahu mau melakukan apa. Bukan hanya itu, Mila diwajibkan mengurangi intensitas menulis novel karena Diaz melaporkan pekerjaannya pada dokter.Setelah keluar dari klinik dengan obat yang harus ia minum selama satu minggu untuk pemulihan sendi.Mila beruntung tidak patah tulang sampai pakai penyangga tangan. Itu lebih sulit beraktivitas. Benar kata Diaz saat di dalam, ia harus bersyukur walaupum hatinya berkecamuk.Setelah masuk mobil Diaz berkata, "Nanti saya tanya Vio. Kamu istirahat di kamar.""Ck, lupain aja masalah tadi. Gue males denger ribut-ribut lagi." Mila tidak mau lagi ada keributan dalam ruma
Menyambut matahari terbit sepertinya sudah lama tidak Mila lakukan. Ia tipe perempuan yang hobi bangun siang dengan pekerjaan yang itu-itu saja ia lakukan.Semalam mereka tidur terpisah seperti biasa. Mila di kasur, sedangkan Diaz di bawah pakai kasur lipat. Mereka saling memunggungi seperti bermusuhan. Tidak ada pembicaraan seperti malam-malam sebelumnya. Keadaan membuat mereka, apalagi Mila, malas membuka mulut.Daripada atmosfer kamar semakin tak terkendali, Mila ingin bangun pagi kali ini digunakan untuk menonton drama dan pemanasan jari tangan. Semalam ia sudah tidak mengetik, tangannya tiba-tiba gatal ingin menyentuh papan ketik.Mila juga pakai headphone supaya tidak mendengar sedikit pun suara dari Diaz. Ia bukan mengabaikan, lebih tepatnya menghindari obrolan. Bisa jadi emosi Mila meledak di hadapan Diaz, itu akan rumit.Diaz sendiri sejak semalam tidak tidur nyenyak. Bayang-bayang ucapan Vio dan Mila sangat mengganggunya. Mila tidak
Sesudah minum segelas air untuk mendorong obat tablet, Mila duduk di kursi kedudukannya sebagai penulis novel. Ingin terima resiko nyeri kembali datang, ia urungkan niat karena takut bukan cedera sendi lagi tapi saraf. Jari-jarinya sangat berharga membuahkan sejumlah uang untuk menghidupi apa pun yang ia inginkan.Mempunyai suami yang belum ia akui cukup menyebalkan karena tidak bisa meminta suatu barang yang cukup menguras kartu ATM. Diaz kaya raya, harusnya tidak pelit membelanjakan uangnya untuk istri sendiri."Ngapain lo liatin gue!" sentak Mila melihat Diaz duduk diam seperti orang bersuluk di atas ranjang sembari menelisiknya.Hanya sentakan seperti itu bukan apa-apa bagi Diaz. Inilah kelebihan yang ada di dalam dirinya, yaitu kesabaran. Hati yang kuat karena selalu beribadah dan berdoa dijauhkan dari segala gangguan terbukti mampu mengatasi Mila.Mila takut Diaz dimasuki semacam roh dari gudang kantor yang berada tidak jauh dari rumah. Lebih parah
1 hari sebelum pulang .... Acara pernikahan yang dihadiri kerabat dan keluarga membuat Meida dan Fila harus membantu apa saja persiapan yang akan digunakan. Meida melayani tamu di bagian prasmanan makanan, sedangkan Fila membantu menyambut para tamu undangan di depan pintu masuk aula. Seharian ini mereka tidak bisa tidur karena bolak-balik mengurus semuanya.Rangkaian bunga di dalam aula sangat mempesona. FIla jadi teringat anak dan menantunya sedang apa di rumah. Mereka sama sekali tidak menghubunginya walaupun sudah tahu sedang pergi. Semoga saja mereka dalam kondisi baik.Meida duduk di depan kipas angin karena gerah memakai kebaya. Kalau bukan karena permintaan anak bungsu dari pamannya, dia mungkin tidak datang karena ada misi utama di rumah. Yaitu mengawasi Mila, Diaz, dan Vio.Sedang menikmati semilir angin yang menerpa tubuh dan wajahnya, Meida mendengar nada dering ponselnya berbunyi. "Anak mama... " Jelas Meida bahagia karena yang ditunggu-
Hampir kembali pada situasi dingin di dalam kamar mereka. Diaz berencana diam agar Mila merenungi apa yang sudah dia katakan kemarin saat makan malam. Entah apa mengapa Diaz dibenci, Mila tidak memberi penjelasan agar dia memperbaiki kesalahannya. Sayang sekali beberapa menit yang lalu Mila pulang ke rumahnya dengan Fila. Ini sangat membuat Diaz tidak tenang. Mila sampai mengindarinya dengan alasan rindu rumah lama. Padahal saat tangannya cedera, obrolan ringan hampir membuat mereka berbaikan. Wanita paling sulit dimengerti dari pekerjaan.***Taksi yang ditumpangi Mila dan Fila sudah sampai di depan rumah. Mila melambaikan tangan dari jendela karena melihat Stephen sedang duduk di teras rumah sambil baca koran. "Stephen! Sini lo!" teriak Mila. Stephen menyipitkan matanya untuk melihat dengan jelas siapa yang melambaikan tangan dari jalan. "Wih, Milo udah pulang." Dia melihat Mila keluar dengan Fila. "lakinya gak ikut?" Seperti
Kelopak mata yang telah terpejam cukup lama ingin terbuka karena merasa silau akibat cahaya matahari. Mila menguap dan meregangkan pinggangnya, ternyata lumayan pegal juga tidur di sofa. Sesaat ia baru ingat ketiduran setelah mengoceh dengan Stephen. Omong-omong ke mana dia sudah menghilang saat Mila terbangun? Padahal tadi Stephen yang tertidur lebih dahulu dengan dalih ingin rebahan. Siapa sangka bablas tidur.Setelah mengumpulkan kesadaran selama kurang lebih 10 menit dengan mata sayup-sayup masih mengantuk, Mila lihat ada secarik kertas terselip di bawah gelas kosong.Langsung saja ia ambil karena tulisannya sangat rapi dan ternyata dari Stephen. Stephen menasihatinya agar segera pulang dan berbaikan dengan Diaz supaya hidup tenang.Mila kembali meletakkan kertas ke tempat sebelumnya. Ia lantas menggaruk kepala dan melihat jam dinding menunjukkan pukul 2 siang. Senyumnya terukir padahal kelopak mata masih terasa berat."Bangun, MIla!" teriak Fila dari
Diaz terkejut tiba-tiba diajak makan di luar oleh Mila malam hari. Tidak berhenti di restoran mewah seperti kebanyakan perempuan, Mila justru minta berhenti di pedagang kaki lima yang menjual nasi goreng. Untung saja Diaz tidak memakai pakaian yang terlalu bagus, hanya training dan kaos biru lengan panjang seperti di rumah. Kalau tadi Mila tidak mendesaknya segera pergi tanpa tahu tujuan, mungkin dia bisa salah kostum."Bang, pesen satu piring lagi ya!" teriak Mila dari bangkunya."Oke, Neng!"Diaz juga lega karena tempatnya tidak terlalu kotor, masih layak untuk direkomendasikan sebagai tempat nongkrong yang tidak menguras dompet.Mendengar Mila pesan satu porsi lagi, Diaz terkejut bukan main. Gadis itu sudah menghabiskan dua piring sebelumnya."Kamu lapar banget?"Mila mengangguk santai. "Kalau gak laper, gak akan pesen lagi."Benar juga, batin Diaz. "Tapi, Mila ... Bukannya perempuan jarang makan malam? Kamu kenapa maka
Thank youuuu buat teman-teman yang sempat mampir ataupun tetap bertahan masukin novel ini ke rak bacaan kaliaann. Congrats buat aku sendiri yang udah tamatin kisah mereka dengan jangka waktu sangat panjang, bab absurd, dan ending membagongkan dan ngambang.Kalian bisa anggap akan ada sekuel dari Diaz dan Mila entah itu kehidupan anak mereka atau lainnya. Tapi so far, belum ada rancangan gimana gambaran cerita selanjutnya karena masih terjebak genre Teen.Semoga kalian tetap dalam lindungan Tuhan yang Maha Esa dan selalu sehat baik mental maupun fisik karena hidup tidak seringan pilus gais.Sekali lagi thank you so much!And bye bye~
"Ha? Hahaha ... Gue bayangin muka mereka bingungnya gimana."Vio tertawa puas di meja makan saat Diaz menceritakan apa yang terjadi di rumah Monica semalam.Meida menyuruh anaknya berhenti tergelak dan dengarkan saja kakaknya bicara. "Kamu tuh ya, orang lagi ngomong malah ketawa terus.""Yailah, Ma. Bayangin dong muka mereka. Apalagi Mas Agam sama istrinya yang naudzubillah, Haha." "Kapan Monica ketemu Pak Louis?" Diaz bertanya-tanya sebab sebelumnya Monica sibuk bolak-balik ke rumahnya dengan rencana balas dendam.Walaupun balas dendamnya berubah menjadi kasih sayang tak terduga. Kekeluargaan mereka sangat erat."Monica mungkin udah menduga ini bakal terjadi. Dia kan ngomong sendiri sering berdoa ketemu orang tuanya.""Vio!" Meida geram sekali dengan anaknya sampai ingin melempar sendok garpu."Mama kenapa sih sensi banget?" balas Vio."Omongan kamu itu!" "Orang Monica-nya yang bilang ke aku.""Diaz mau minta tolong, Mah."Meida menatap Vio sebab Diaz meliriknya. "Mama?" "Monica m
Sebagai CEO yang memiliki waktu senggang banyak, Diaz memberanikan diri menemui pengacara Monica. Tepat hari sebelumnya mereka bicara serius melalui telepon untuk menentukan pukul berapa akan diskusi sebab pengacara pun punya acara lain.Diaz sangat terkejut rupanya ada kakak serta adik dari orang tua Monica turut datang ke rumah anak malang itu dengan raut tidak sabaran."Semuanya kenapa di sini?" Perasaan Diaz menghubungi pengacaranya saja, tidak mereka juga. Total ada 5 orang, termasuk dirinya.Akhirnya ia bergabung dengan mereka dan itu diperdebatkan."Kenapa ada dia di sini?" sahut Winda, adik terakhir dari Ibu Monica sembari menunjuk Diaz duduk.Diaz lantas menoleh tanpa ekspresi. Bukankah seharusnya ia yang memberi pertanyaan pada mereka?"Monica secara khusus meminta tolong saya untuk panggil Pak Diaz," jawab Louis tak kalah datar dari padang pasir."Hah! Kayaknya sih dia ngerayu Monica biar dikasih beberapa persen asetnya," timpal suami Winda, Agam.Kelihatan dari tampang mer
"Mama tetap gak nyangka, Mila.""Apalagi Mila, Bun."Mereka duduk besandar di ruang tamu setelah menghadiri pemakaman. Mila menatap langit-langit rumahnya seraya berkata, "Monica udah maafin Diaz belum ya, Bun? Kasihan mereka."Fila lantas menjawab, "Sebenarnya Monica pasti udah maafin Diaz dari dulu. Cuma karena mereka kurang akrab dan Monica sempat salah paham juga, dia agak canggung.""Aku padahal mau ke rumahnya lagi.""Nanti kalau Diaz ke sana aja. Dia pasti harus urus semuanya karena walinya Monica."Mila mengusap wajahnya, belum menyesuaikan kenyataan. "Mila mau mandi, Bun. Abis itu ke rumah Diaz lagi, dia harus ditemenin.""Iya sana. Bunda gapapa sendiri di sini."***Vio melihat Diaz berdiri di tengah pintu menghadap halaman belakang sembari memasukkan tangan ke saku celana. Kakaknya diam dengan deru napas teratur yang terdengar berat."Lo lagi ngapain?" Vio memberanikan diri mendekat dan berhenti di belakang Diaz."Bukan apa
Suara langkah Diaz memenuhi lorong yang dihampiri suara petir dan cahaya kilat lewat celah jendela. Sesaat dia memperlebar jarak kaki supaya cepat sampai ruang jenazah yang terletak di bagian belakang rumah sakit.Di belakang Diaz, ada Mila yang juga berusaha mempercepat langkah agar bisa mengiringi suaminya. Kesekian kalinya sudut mata mereka meneteskan bulir bening atas perasaan berkecamuk.Ada-ada saja, diwaktu kurang tepat Diaz dihubungi Bayu, sekretarisnya. "Maaf, saya lagi ada urusan. Nanti saya telepon lagi, Pak." Masalah klien tidak jadi datang besok bukan hal besar. Bayu masih bisa menangani dikarenakan situasi mendesak.Begitu masuk ke kamar jenazah, Diaz sempat menjeda nafas beberapa detik untuk meyakinkan hatinya bahwa yang terjadi sekarang ini bukan bunga tidur. Di atas dua brankar terdapat dua tubuh terbujur kaku diselimuti kain putih. Petugas yang menjaga kamar jenazah malam ini hanya satu berjenis kelamin laki-laki. Dia terlihat sedang memeriksa
Guyuran hujan secara tiba-tiba membasahi tanah dan jalan sejak tengah hari. Rencana Mila pergi ke Taman depan kantor jadi urung. Apalagi niatnya mau hujan-hujanan selagi deras.Diaz menyibukkan diri di depan laptop. Liburnya tetap bekerja. Bahkan lebih pusing dia daripada Mila yang suka mengarang cerita. Omong-omong, sudah 2 hari Mila tidak update bab novel. Apa kabar komentar pembacanya?"Kamu daripada berdiri terus di jendela, mendingan bantu saya beresin ini nih." Diaz menunjuk map-map miliknya yang kurang rapi di dekat meja satunya. Saking banyaknya yang belum tuntas, dia bingung mau membereskan yang mana."Ogah. Kamu kan udah kerjain bareng sekretaris kamu," cebik Mila.Diaz melirik layar laptopnya. Benar, dia sedang melakukan panggilan video dengan sekretarisnya demi mengurus berkas baru maupun yang diarsip bulan lalu."Barangkali mau," balas Diaz.Suara petir menggelegar langsung mengejutkan Mila karena berdiri di dekat jendela.
"Udah pasang sabuk pengaman?" tanya Eric barangkali Monica menyepelekan betapa pentingnya menggunakan sabuk pengaman saat berkendara, baik pengemudi maupun penumpang.Satu dehaman menjawab pertanyaan Eric. Asisten keluarga Monica tersenyum kecil dan menjalankan mobil menuju MJ Coffe untuk mengopi santai sambil mengurus jadwal-jadwal tak beraturan dan kurang sesuai dengan keinginan Bosnya.Suasana ramai lancar kendaraan roda empat dan dua masih tampak asing di mata Monica. Bolak-balik antarkota mengakibatkan ia tak dapat lihat perkembangan kota kelahiran secara bertahap. Setiap tahun terdapat penaikan penduduk di Kepulauan Seribu. Syukurlah, pulau wisata itu masih terjaga keasriannya.Pernah satu, dua kali laut sekeliling pulau tercemar akibat pembuangan minyak ilegal. Saat itu penduduk kesulitan mendapat air. Pemerintah kota berbondong-bondong meminta pasokan air bersih walaupun kurang maksimal."Ini kalau urbanisasi dikurangi mungkin 5 tahun ke depan bak
"Gimana jadwalnya? Gak bisa diubah?"Ekspresi datar yang sering ditampilkan gadis berusia 18 tahun itu bukan lagi hal baru untuk asistennya, Eric. Masalah perubahan jadwal dadakan yang dibuat Eric memang tidak disarankan jika bosnya seperti Monica.Umpatan, tatapan tajam, atau keduanya selalu didapat Eric sekali pun hubungan mereka dekat."Udah saya ubah. Jadi gak bisa diubah dua kali."SRRKKMap berwarna merah di atas meja dihempaskan begitu saja hingga lembaran di dalamnya berserakan di lantai."Astaga... " Suka tak suka Eric harus memungut tiap lembaran dan menyusunnya asal untuk diletakkan ke dalam map. "Ini ada kontrak, jangan dibuang-buang.""Lo tau sendiri kan tanggal 25 kita harus ke Sumatera buat baksos. Harusnya tanggal 26 kosongin jadwal. Bukannya malah ada kegiatan! Lo pikir gue gak butuh istirahat?""Iya tau. Tapi klien yang dari Jawa bilang tanggal 26 bisanya," bela Eric."Ya lagian lo sejak kapan mentingin
Tirai berwarna merah menghalangi sinar yang menembus masuk. Wanita berbadan dua itu tengah membaca buku tentang bisnis milik suaminya sambil merebahkan tubuh. Setelah kontrol bulanan ke dokter kandungan, hasilnya janin berkembang baik. Belum begitu buncit perutnya lantaran masih 3 bulan mengandung.Aktivitas menulis novel berkurang, bukan suruhan Diaz melainkan secara inisiatif Mila lakukan. Ia sering tertidur jika menempel kasur, lalu bangun untuk makan dan jalan-jalan di dalam rumah untuk peregangan badan.Seringkali Diaz memergoki Mila bicara dengan perutnya sambil tersenyum riang di bangku teras rumah, apalagi sebelum berangkat bekerja. Sebisa mungkin Diaz turuti keinginan Sang Istri untuk meredam amarah satu sama lain. Selagi Mila tidak meminta rumah di planet Mars, Diaz mau saja tunduk di kakinya."Lagi apa?""Gak liat? Lagi nonton video."Pertama kalinya Mila memutar dokumentasi video pernikahan mereka, sebelumnya ia mengecam Diaz agar tidak