Mila menyangka kalau Monica berubah pikiran, namun untuk alasan apa dia seperti itu. Pasti karena Erick. Tidak mungkin dia rela ke Jakarta, menyeberangi lautan, terakhir kali mereka membahas mengenai pria setengah paruh baya yang belum diketahui namanya mencurigakan.
Tanggapan Vio mengenai permasalahan ini antara percaya dan tidak percaya. Adik ipar Mila memilih untuk bungkam sampai ia memberitahu Diaz. Itukah sebabnya? Vio lebih mempercayai Diaz untuk menangani masalah ini.
Mengingat bagaimana Diaz membual, Mila takut dia keseringan mengancam orang lain. Bukannya apa, ancaman bisa saja menimbulkan masalah baru. Kesaksian yang sebetulnya bisa dimanipulasi. Lagipula Mila sudah memaafkan mereka karena semakin kesini ia diberitahu Vio, jika Diaz mencecar Gita di masa pelatihan.
"Monica, coba aja lo liat muka Mila pas lagi terapi naik lift." Vio terbahak-bahak membayangkannya.
Monica Hanya menatap datar mereka di sofa tunggal. Dia tidak bertanya dan jug
Dari kejauhan di koridor lantai 2, leher Diaz menoleh ke sisi kiri tempat latar syuting dilakukan tidak begitu ramai. Mungkin mereka sedang istirahat, jadi hanya beberapa yang masih berada di tempat. Niat untuk masuk elevator menuju lantai 3 menjadi urung karena pemandangan tak biasa terjadi di sana. Wijaya, bintang iklan kebanggaan Diaz sedang menurunkan tingkat harga dirinya di hadapan Gita. Diaz putar arah dan membuka pintu untuk masuk menanyakan apa yang terjadi sampai Wijaya mengobati pelipis Gita. Ada yang tidak beres, menurutnya. "Ada apa ini?" Wijaya menoleh biasa saja, berbeda dengan Gita yang terperanjat dan langsung menggeser duduknya. "Itu kenapa?" Diaz menggaruk pelipisnya sendiri dan bertanya pada Gita, tetapi memandang Wijaya. Bola mata Gita bergerak ke atas beberapa saat setelah ditanya Diaz. "Kena kamera, Pak. Penyangganya kendur," ujar Wijaya. Diaz melihat Gita seperti membenarkan uca
Kiara menutup panggilan sementara wajahnya terangkat, ada Kenzie yang sedari tadi duduk di kursi depan memasang wajah ramah."Kelas gue udah selesai. Urusan kita juga."Kenzie berkata, "Jangan ganggu Mereka lagi atau pencitraan kamu selama ini akan terhapus karena satu keburukan yang terungkap."Mereka memang suka mengancamnya. Kiara menganggukkan kepala mantap. "Oke. Gue gak akan ganggu mereka. Sebagai gantinya lo harus nutupin rahasia ini sama siapa pun supaya gue bisa hidup."Kenzie tersenyum manis. "Aku gak akan ingkar janji.""Bagus."Kenzie memandang Kiara yang berhenti melangkah ke luar kelas."Tapi, urusan lain hari beda tujuan. Lo yakin masih bisa nahan gue?""Maksud kamu?""Nanti lo tau sendiri.""Jangan... " Kenzie menghentikan ucapannya tepat langkah Kiara berhenti pula di depan kelas. "Melewati batas itu nggak baik untuk masa depan kamu, Kiara. Lebih susah dikendali
"Kiara, tunggu!"Suara itu membuat Kiara berhenti di tengah anak tangga yang mengarah ke pintu keluar sebelah timur. Setelah menoleh rupanya sosok Revan telah dia lewati.Revan lantas menghampirinya dan berkata, "Jangan sampai semua orang memojokkan lo karena niat menyingkirkan 1 orang. Lebih baik menghindari 1 orang daripada dikeroyok banyak orang."Dahi Kiara berlipat banyak. "Lo tau apa tentang gue?" tanyanya mengalihkan pandangan malas-malasan."Gue dengar pembicaraan kalian. Gue baru tau, Kenzie ngerti kelakuan lo. Kalau dia buka mulut mungkin lebih seru."Kiara mengecap lidah dan menunjuk wajah Revan. "Lo ... Jangan sok kritik gue. Kita itu sama awalnya."Revan menggeleng heran, enak saja dia disamakan dengannya."Lo mutusin gue karena masih cinta sama Mila, kan?" tuduh Kiara sangat yakin.Sontak Revan tertawa hingga perutnya sakit. "Apa?" Dia tertawa lagi karena Kiara sangat lucu.Melihat Revan tertawa Kiara mende
"Jadi, sampai mana kalian nyelidikin ini?" Diaz menyatukan tangannya di atas meja untuk meminta penjelasan mereka. Dari mulai pertama sampai akhir."Gue gak tau." Vio mengangkat kedua bahunya, dia bicara jujur."Hm. Gue bahkan bingung yang butuh info itu kalian atau asisten gue." Monica menatap ketidaksukaannya pada mereka.Mila bingung mau mengatakan apa karena ia kurang paham bagaimana rencana Eric menyelidiki permasalahan yang dihadapi. "Kalau Eric kasih tau apa yang harus kita lakuin, kita bakal bantu.""Kenapa kamu kekeh cari informasi sendiri?" Diaz bertanya pada Eric. "Ini di luar wewenang kamu sebagai asisten Monica," sambungnya memperjelas."Lo ditanya... " Monica menyolek lengan Eric yang menunduk seperti bingung cara menjawab pertanyaan Diaz."Semua masih dugaan. Saya gak bisa melibatkan mereka," pungkas Eric.Diaz mengusap wajahnya dan menghembuskan napas kasar. Mendengar kata dugaan, sepertinya tidak perlu dil
Eric terus berpikir sepanjang hari. Mereka menentangnya untuk menenangkan Monica. Haruskah berhenti di tengah jalan?Mila lewat kamar Monica dan melihat ke dalam ada pria tampan duduk di kursi menatap kosong pintu. "Dia masih pikirin?" Ia menggelengkan kepala dengan kegigihan Eric. "Mau gimana lagi? Dia harus berhenti."Mila yakin Eric akan setuju demi kebaikan mereka. Tinggal tunggu sebentar lagi ... Dia pasti mundur perlahan dan mengistirahatkan pikirannya."Lo ngapain di depan kamar gue?"Mila terkejut Monica tiba entah dari kapan. Setelah dilihat ke belakang, rupanya Diaz yang membantu dia naik namun tidak ikut menciduk perbuatan Mila."Gu- gue ... Olahraga." Mila merentangkan tangannya lalu memutar ke belakang pura-pura pemanasan."Gak waras," celetuk Monica lanjut masuk kamar sebelum Mila tambah gila mencari alasan untuk mengecohnya.Mila melihat mereka. Dari luar saja ia merasa hembusan udara dingin yang bikin merinding. Tidak
Cahaya matahari hari ini mampu menembus dedaunan pohon dan jendela setelah semalam turun hujan deras. Itu juga membuat penghuni rumah bangun lambat dan terburu-buru masak untuk sarapan sekaligus makan siang.Meida mengomeli mereka karena tidak ada satu pun yang bangun pagi. Selain pekerjaan rumah menjadi keteteran, dia juga merelakan kumpulan arisan yang diadakan di luar kota."Besok kalian pasang alarm di masing-masing HP, ya?"Vio paling malas memotong wortel yang agak keras. Itu menyakiti tangannya dan akan sukar direbus bersama sayuran lain. "Vio tiap mau tidur HP dicas, Mah. Gak boleh nyala.""Diaz."Diaz langsung menoleh. "Kapan saya bilang begitu?""Everyday," sambar Mila. Cukup tenang ia menunggu tempe digoreng. Mendengar omelan Meida lebih baik dari pidato Diaz. Pria itu ... Kuat bicara selama 2 jam penuh tanpa minum, sedangkan Meida diberi jeda.Diaz melipat tangannya di depan perut memotong buah-buahan untuk dibuat ju
Rentetan pesan dituju untuk penerima pesan bernama "Diaz Prayoga" membuat sunggingan tipis dari bibir Kiara terukir. Bukan ponsel miliknya, melainkan milik pria yang tergeletak di lantai akibat minum sirup yang dicampur bubuk obat tidur.Kiara telah mengetahui siapa perempuan yang turut menjadi bagian masa lalu Diaz.Dia meminta bantuan pada teman yang handal dalam mencari informasi pribadi sebab tak ada artikel penting di internet mengenai Diaz.Sayang sekali Irene telah tiada, tersisa pamannya, Hanif. Tak ingin datang sia-sia, dia menjebak Om Hanif agar tertidur dalam waktu cukup lama. Mungkin sampai besok karena overdosis.'Saya dalam perjalanan'Tiga kata itu sukses melancarkan aksinya. Diaz tak akan menemukan apa-apa di sana lantaran tidak ada perempuan yang mirip dengan Irene. Kalau ada pun, dia terlahir kembali atau punya saudara kembar.Diaz akan merasa buang-buang waktu dan kembali bekerja. Saat itu juga, Kiara akan mela
'Om Hanif, saya di kafe lebih dari 3 jam. Sebenarnya jadi ketemuan atau batal?'Pesan itu terakhir dikirim 1 jam lalu, berarti 4 jam sudah Diaz menunggu Om Hanif. Dia seperti pria pengangguran di dalam kafe sendirian tanpa rekan, hanya memesan kopi sampai 3 kali agar bertenaga menunggu yang tak kunjung hadir.Decakan lelah dan bosan mendominasi auranya. "Kayaknya Om Hanif salah liat orang." Juga karena malu untuk memberitahu jika perempuan mirip irene tidak betul adanya. Matanya tidak mungkin lewat satu sisi kafe memerhatikan pengunjung yang masuk dan keluar.Telepon dari Wijaya memenuhi riwayat panggilan sejak pagi. Mereka ada janji untuk melihat studio baru yang dibangun di sebelah studio lama. Diaz sudah mengatakan bahwa mereka dipersilakan untuk masuk terlebih dahulu, tetapi Wijaya tidak bisa. Dia ingin masuk bersama untuk menguji coba studio dan peralatan syuting baru.Wijaya dan rekan lain bisa muak kalau lama-lama menunggu di kantor. Memangnya cuma
Thank youuuu buat teman-teman yang sempat mampir ataupun tetap bertahan masukin novel ini ke rak bacaan kaliaann. Congrats buat aku sendiri yang udah tamatin kisah mereka dengan jangka waktu sangat panjang, bab absurd, dan ending membagongkan dan ngambang.Kalian bisa anggap akan ada sekuel dari Diaz dan Mila entah itu kehidupan anak mereka atau lainnya. Tapi so far, belum ada rancangan gimana gambaran cerita selanjutnya karena masih terjebak genre Teen.Semoga kalian tetap dalam lindungan Tuhan yang Maha Esa dan selalu sehat baik mental maupun fisik karena hidup tidak seringan pilus gais.Sekali lagi thank you so much!And bye bye~
"Ha? Hahaha ... Gue bayangin muka mereka bingungnya gimana."Vio tertawa puas di meja makan saat Diaz menceritakan apa yang terjadi di rumah Monica semalam.Meida menyuruh anaknya berhenti tergelak dan dengarkan saja kakaknya bicara. "Kamu tuh ya, orang lagi ngomong malah ketawa terus.""Yailah, Ma. Bayangin dong muka mereka. Apalagi Mas Agam sama istrinya yang naudzubillah, Haha." "Kapan Monica ketemu Pak Louis?" Diaz bertanya-tanya sebab sebelumnya Monica sibuk bolak-balik ke rumahnya dengan rencana balas dendam.Walaupun balas dendamnya berubah menjadi kasih sayang tak terduga. Kekeluargaan mereka sangat erat."Monica mungkin udah menduga ini bakal terjadi. Dia kan ngomong sendiri sering berdoa ketemu orang tuanya.""Vio!" Meida geram sekali dengan anaknya sampai ingin melempar sendok garpu."Mama kenapa sih sensi banget?" balas Vio."Omongan kamu itu!" "Orang Monica-nya yang bilang ke aku.""Diaz mau minta tolong, Mah."Meida menatap Vio sebab Diaz meliriknya. "Mama?" "Monica m
Sebagai CEO yang memiliki waktu senggang banyak, Diaz memberanikan diri menemui pengacara Monica. Tepat hari sebelumnya mereka bicara serius melalui telepon untuk menentukan pukul berapa akan diskusi sebab pengacara pun punya acara lain.Diaz sangat terkejut rupanya ada kakak serta adik dari orang tua Monica turut datang ke rumah anak malang itu dengan raut tidak sabaran."Semuanya kenapa di sini?" Perasaan Diaz menghubungi pengacaranya saja, tidak mereka juga. Total ada 5 orang, termasuk dirinya.Akhirnya ia bergabung dengan mereka dan itu diperdebatkan."Kenapa ada dia di sini?" sahut Winda, adik terakhir dari Ibu Monica sembari menunjuk Diaz duduk.Diaz lantas menoleh tanpa ekspresi. Bukankah seharusnya ia yang memberi pertanyaan pada mereka?"Monica secara khusus meminta tolong saya untuk panggil Pak Diaz," jawab Louis tak kalah datar dari padang pasir."Hah! Kayaknya sih dia ngerayu Monica biar dikasih beberapa persen asetnya," timpal suami Winda, Agam.Kelihatan dari tampang mer
"Mama tetap gak nyangka, Mila.""Apalagi Mila, Bun."Mereka duduk besandar di ruang tamu setelah menghadiri pemakaman. Mila menatap langit-langit rumahnya seraya berkata, "Monica udah maafin Diaz belum ya, Bun? Kasihan mereka."Fila lantas menjawab, "Sebenarnya Monica pasti udah maafin Diaz dari dulu. Cuma karena mereka kurang akrab dan Monica sempat salah paham juga, dia agak canggung.""Aku padahal mau ke rumahnya lagi.""Nanti kalau Diaz ke sana aja. Dia pasti harus urus semuanya karena walinya Monica."Mila mengusap wajahnya, belum menyesuaikan kenyataan. "Mila mau mandi, Bun. Abis itu ke rumah Diaz lagi, dia harus ditemenin.""Iya sana. Bunda gapapa sendiri di sini."***Vio melihat Diaz berdiri di tengah pintu menghadap halaman belakang sembari memasukkan tangan ke saku celana. Kakaknya diam dengan deru napas teratur yang terdengar berat."Lo lagi ngapain?" Vio memberanikan diri mendekat dan berhenti di belakang Diaz."Bukan apa
Suara langkah Diaz memenuhi lorong yang dihampiri suara petir dan cahaya kilat lewat celah jendela. Sesaat dia memperlebar jarak kaki supaya cepat sampai ruang jenazah yang terletak di bagian belakang rumah sakit.Di belakang Diaz, ada Mila yang juga berusaha mempercepat langkah agar bisa mengiringi suaminya. Kesekian kalinya sudut mata mereka meneteskan bulir bening atas perasaan berkecamuk.Ada-ada saja, diwaktu kurang tepat Diaz dihubungi Bayu, sekretarisnya. "Maaf, saya lagi ada urusan. Nanti saya telepon lagi, Pak." Masalah klien tidak jadi datang besok bukan hal besar. Bayu masih bisa menangani dikarenakan situasi mendesak.Begitu masuk ke kamar jenazah, Diaz sempat menjeda nafas beberapa detik untuk meyakinkan hatinya bahwa yang terjadi sekarang ini bukan bunga tidur. Di atas dua brankar terdapat dua tubuh terbujur kaku diselimuti kain putih. Petugas yang menjaga kamar jenazah malam ini hanya satu berjenis kelamin laki-laki. Dia terlihat sedang memeriksa
Guyuran hujan secara tiba-tiba membasahi tanah dan jalan sejak tengah hari. Rencana Mila pergi ke Taman depan kantor jadi urung. Apalagi niatnya mau hujan-hujanan selagi deras.Diaz menyibukkan diri di depan laptop. Liburnya tetap bekerja. Bahkan lebih pusing dia daripada Mila yang suka mengarang cerita. Omong-omong, sudah 2 hari Mila tidak update bab novel. Apa kabar komentar pembacanya?"Kamu daripada berdiri terus di jendela, mendingan bantu saya beresin ini nih." Diaz menunjuk map-map miliknya yang kurang rapi di dekat meja satunya. Saking banyaknya yang belum tuntas, dia bingung mau membereskan yang mana."Ogah. Kamu kan udah kerjain bareng sekretaris kamu," cebik Mila.Diaz melirik layar laptopnya. Benar, dia sedang melakukan panggilan video dengan sekretarisnya demi mengurus berkas baru maupun yang diarsip bulan lalu."Barangkali mau," balas Diaz.Suara petir menggelegar langsung mengejutkan Mila karena berdiri di dekat jendela.
"Udah pasang sabuk pengaman?" tanya Eric barangkali Monica menyepelekan betapa pentingnya menggunakan sabuk pengaman saat berkendara, baik pengemudi maupun penumpang.Satu dehaman menjawab pertanyaan Eric. Asisten keluarga Monica tersenyum kecil dan menjalankan mobil menuju MJ Coffe untuk mengopi santai sambil mengurus jadwal-jadwal tak beraturan dan kurang sesuai dengan keinginan Bosnya.Suasana ramai lancar kendaraan roda empat dan dua masih tampak asing di mata Monica. Bolak-balik antarkota mengakibatkan ia tak dapat lihat perkembangan kota kelahiran secara bertahap. Setiap tahun terdapat penaikan penduduk di Kepulauan Seribu. Syukurlah, pulau wisata itu masih terjaga keasriannya.Pernah satu, dua kali laut sekeliling pulau tercemar akibat pembuangan minyak ilegal. Saat itu penduduk kesulitan mendapat air. Pemerintah kota berbondong-bondong meminta pasokan air bersih walaupun kurang maksimal."Ini kalau urbanisasi dikurangi mungkin 5 tahun ke depan bak
"Gimana jadwalnya? Gak bisa diubah?"Ekspresi datar yang sering ditampilkan gadis berusia 18 tahun itu bukan lagi hal baru untuk asistennya, Eric. Masalah perubahan jadwal dadakan yang dibuat Eric memang tidak disarankan jika bosnya seperti Monica.Umpatan, tatapan tajam, atau keduanya selalu didapat Eric sekali pun hubungan mereka dekat."Udah saya ubah. Jadi gak bisa diubah dua kali."SRRKKMap berwarna merah di atas meja dihempaskan begitu saja hingga lembaran di dalamnya berserakan di lantai."Astaga... " Suka tak suka Eric harus memungut tiap lembaran dan menyusunnya asal untuk diletakkan ke dalam map. "Ini ada kontrak, jangan dibuang-buang.""Lo tau sendiri kan tanggal 25 kita harus ke Sumatera buat baksos. Harusnya tanggal 26 kosongin jadwal. Bukannya malah ada kegiatan! Lo pikir gue gak butuh istirahat?""Iya tau. Tapi klien yang dari Jawa bilang tanggal 26 bisanya," bela Eric."Ya lagian lo sejak kapan mentingin
Tirai berwarna merah menghalangi sinar yang menembus masuk. Wanita berbadan dua itu tengah membaca buku tentang bisnis milik suaminya sambil merebahkan tubuh. Setelah kontrol bulanan ke dokter kandungan, hasilnya janin berkembang baik. Belum begitu buncit perutnya lantaran masih 3 bulan mengandung.Aktivitas menulis novel berkurang, bukan suruhan Diaz melainkan secara inisiatif Mila lakukan. Ia sering tertidur jika menempel kasur, lalu bangun untuk makan dan jalan-jalan di dalam rumah untuk peregangan badan.Seringkali Diaz memergoki Mila bicara dengan perutnya sambil tersenyum riang di bangku teras rumah, apalagi sebelum berangkat bekerja. Sebisa mungkin Diaz turuti keinginan Sang Istri untuk meredam amarah satu sama lain. Selagi Mila tidak meminta rumah di planet Mars, Diaz mau saja tunduk di kakinya."Lagi apa?""Gak liat? Lagi nonton video."Pertama kalinya Mila memutar dokumentasi video pernikahan mereka, sebelumnya ia mengecam Diaz agar tidak