Rentetan pesan dituju untuk penerima pesan bernama "Diaz Prayoga" membuat sunggingan tipis dari bibir Kiara terukir. Bukan ponsel miliknya, melainkan milik pria yang tergeletak di lantai akibat minum sirup yang dicampur bubuk obat tidur.
Kiara telah mengetahui siapa perempuan yang turut menjadi bagian masa lalu Diaz.
Dia meminta bantuan pada teman yang handal dalam mencari informasi pribadi sebab tak ada artikel penting di internet mengenai Diaz.
Sayang sekali Irene telah tiada, tersisa pamannya, Hanif. Tak ingin datang sia-sia, dia menjebak Om Hanif agar tertidur dalam waktu cukup lama. Mungkin sampai besok karena overdosis.
'Saya dalam perjalanan'
Tiga kata itu sukses melancarkan aksinya. Diaz tak akan menemukan apa-apa di sana lantaran tidak ada perempuan yang mirip dengan Irene. Kalau ada pun, dia terlahir kembali atau punya saudara kembar.
Diaz akan merasa buang-buang waktu dan kembali bekerja. Saat itu juga, Kiara akan mela
'Om Hanif, saya di kafe lebih dari 3 jam. Sebenarnya jadi ketemuan atau batal?'Pesan itu terakhir dikirim 1 jam lalu, berarti 4 jam sudah Diaz menunggu Om Hanif. Dia seperti pria pengangguran di dalam kafe sendirian tanpa rekan, hanya memesan kopi sampai 3 kali agar bertenaga menunggu yang tak kunjung hadir.Decakan lelah dan bosan mendominasi auranya. "Kayaknya Om Hanif salah liat orang." Juga karena malu untuk memberitahu jika perempuan mirip irene tidak betul adanya. Matanya tidak mungkin lewat satu sisi kafe memerhatikan pengunjung yang masuk dan keluar.Telepon dari Wijaya memenuhi riwayat panggilan sejak pagi. Mereka ada janji untuk melihat studio baru yang dibangun di sebelah studio lama. Diaz sudah mengatakan bahwa mereka dipersilakan untuk masuk terlebih dahulu, tetapi Wijaya tidak bisa. Dia ingin masuk bersama untuk menguji coba studio dan peralatan syuting baru.Wijaya dan rekan lain bisa muak kalau lama-lama menunggu di kantor. Memangnya cuma
Mila ingin bergerak leluasa, tetapi kanan dan kirinya terdapat Vio dan Sang Mertua, Nyonya Meida yang dihormati penghuni rumah. Sepakat untuk menonton film horor di ruang tamu, mereka berbaring dengan selimut yang menutupi hingga perut. Bukan sosok hantu yang membuat mereka menjerit, tetapi backsound terkutuk yang seringkali disetel bukan pada tempatnya.Jantung Mila bisa tidak sehat makin ke sini. Monica tidak kunjung pulang, dia juga yang merekomendasikan film horor yang diangkat dari karya novel berjudul "Black Villain" . Mila kira tokoh utama seperti Satria Baja Hitam karena diambil dari arti Black = Hitam, Villain = Penjahat. Ternyata bukan, aktor ternama Indonesia menerima peran psikopat jahanam yang membunuh anggota keluarga dan dikubur di bawah lantai. Tidak hanya sampai di situ, ketiganya dikejutkan sebuah fakta bahwa suami alias pemeran utama pria dirasuki semacam hantu yang ingin balas dendam memusnahkan manusia."Lo bikin pemeran utama dirasuki, tapi perann
Monica tidak pernah mau singgah ke rumah sakit dalam keadaan apa pun, namun situasi yang terjadi pada Mila, dia turut dibawa untuk diobati.Mila sangat membuat Diaz cemas karena bahunya terluka. Dokter bilang, harus dapat 4 jahitan karena sedikit dalam. Selain mereka, Vio dan Meida baik-baik saja sebab kena pukulan di punggung hingga tak sadarkan diri cukup lama."Siapa dia?"Mila diam sampai dokter perempuan keluar memberi mereka ruang dan waktu untuk bicara. "Temen. Btw, tangan aku jadi korban terus. Apa ini pertanda pensiun jadi penulis ya?" guraunya menutupi bahu karena tadi diperiksa ulang usai dijahit."Kamu masih bisa ketawa?" Diaz mengerti Mila baik-baik saja sekarang. Tetapi baginya ini kejadian tidak normal."Terus harus nangis tersedu-sedu?" balas Mila bertentangan dengan wataknya yang remeh usai menghadapi sesuatu. "Mike begini karena butuh uang. Mau gak mau dia turutin Kiara. Urus dia aja sana," suruhnya lama-lama muak."Mike, s
Ingat bahwa Mila menutupi wajahnya ketika disorot senter oleh Mike. Ia sempat menepis senter namun kakinya keburu dipukul dan lehernya disetrum menggunakan alat kejut listrik.Banyak benda yang dipecahkan hingga ada potongan kaca yang menancap di bahu Mila. Ia baru merasa sakit saat sadar dari pingsan. Tidak tahu jika kaca itu dicabut darah makin deras keluar, Mila mendengar obrolan dua orang dari kamar Meida.Dalam keadaan gelap, ia melangkah sesuai instingnya. Dari situlah Mila mengetahui bahwa Mike penyerang rumah keluarga Diaz karena perintah Kiara. Mike tidak bisa menodongkan pisau lebih dekat karena Mila.Sebelumnya Mike tidak tahu ada Mila dalam tugas kali ini, Kiara memberitahu jika keluarga Diaz selanjutnya. Rencana Kiara mematikan aliran listrik berhasil, berlanjut melumpuhkan mereka dan mencari keberadaan Diaz. Mike mencarinya ke lantai atas namun tidak ada.Sedari awal Kiara tahu Diaz tak ada di rumah, melainkan di kantor supaya Mi
"H- hamil?"Mila menilai ekspresi terkejut Diaz cukup lucu. "Suami saya memang ekspresif, Dok." Asalkan tidak membuat mereka malu dan masih bisa dikendalikan tidak masalah, tertutupi dengan ketampanannya."Pak Diaz Prayoga dari PFWorld, ya?"Dokter tersebut tampaknya salah satu penggemar Diaz dari nada bicaranya yang antusias. Terlebih tangannya bergerak mengambil benda pipih dari saku kemeja yang terbalut snelli layaknya ingin berfoto.Diaz mengiyakan pertanyaan dokter. "Ada apa? Mau investasi ke perusahaan saya?" Kebetulan perusahaan ingin membangun satu lantai lagi untuk dijadikan asrama karyawan yang tinggal di luar kota."Saya fans Pak Diaz," ujarnya berdiri di sebelah Diaz dan mengangkat ponsel serta mengarahkan kamera untuk foto."Ah, iya." Diaz menurut saja berfoto dengan penggemarnya. "Dokter kapan pensiun?" tanyanya usai memisahkan diri."Heh!" Mila menarik lengan Diaz dan memelotinya."Kalau pensiun bisa ngelam
Mila ragu akan melakukan atau abai atas permintaan tolong Diaz. Pria itu tidak ingin bertanya sendiri pada Eric, padahal mereka sama-sama lelaki. Harusnya Mila yang malu karena ia berjenis kelamin perempuan.Eric serius memerhatikan ponsel seolah sedang mencari sesuatu dilihat dari matanya yang menyipit dan dahi berlipat."Tegang amat," gumam Mila tak sengaja terlontar.Eric mematikan ponselnya. "Maaf, Bu. Saya terlalu sibuk ya?"Mila tersenyum lebar. "Gue yang keceplosan. Kalau penting lanjutin aja, apalagi berhubungan sama Monica. Silakan," katanya mempermudah urusan lawan bicara."Bu Mila kelihatannya mau tanya sesuatu," ujar Eric."Lo cenayang?" sambar Mila cukup ngawur."Ha ha, bukan cenayang. Saya asisten pribadi Monica.""Gak ada niat pensiun? Lo masih muda, lulusan perusahaan keamanan, udah kerja jadi bodyguard hampir 25 tahun.""Bukan pensiun. Saya hampir dipecat.""Sama Monica? Ck ck ck, Kebangetan
"Mon, Mila mana? Kok gak ada di kamar?" Vio ingin membicarakan Kiara dengannya, tetapi kamar yang terbisa berserakan sampah dan banyak debu beterbangan mendadak bersih termasuk penghuninya.Monica baru keluar kamar, dia tidak tahu ke mana perginya Mila tengah hari. "Mungkin ke kantor Diaz.""Monica, saya buat pancake pisang!" Eric dari bawah tangga berteriak lalu berlari naik mendatangi Monica."Buruan naik!"Dari kemarin Monica ribut minta dibuatkan pancake, akhirnya Eric meminta bantuan Meida agar berhasil.Vio melihat keduanya begitu bahagia usai diterpa kejadian. Tanpa adu mulut dan gengsi, mereka bisa menjadi pasangan tanpa terhalang status pekerjaan. Begitu aneh dunia sampai bisa mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat."Kamu gak mau cicipi pancake juga, Vio? Mama bikinin buat kamu, lho." Meida menyuruh Vio untuk ikut makan bersama mereka.Vio menengok ke bawah. "Seriusan?" Kesempatan yang tidak boleh disia-siakan.
Mila menunggu Pak Hermawan melintas di jalan biasanya hampir 2 jam. Matahari mulai naik padahal ia pergi pagi sekali sesudah Diaz. Semoga tidak ada kenalan yang lewat supaya tidak ada pengaduan."Untung gue beli es krim 3 cup tadi." Mila meringis sedih, mungkin sisa satu dan sudah mencair.Dengan modal yakin ia tak beranjak sekali pun kernet metromini lewat menawarkan hendak naik atau tidak lantaran duduk di kursi tanpa sandaran di pinggir trotoar.Tidak lama setelah menghabiskan es krim, Mila beringsut bangun sampai tidak sadar ponselnya diletakkan di atas paha hingga jatuh ke tanah. Buru-buru Mila raih ponselnya sebelum Pak Hermawan menyeberang ke jalan lain."Pak Her! Pak!"Sekarang tidak ada Diaz, Mila berlari kecil menyeberang jalan selagi kendaraan berhenti. "Pak Hermawan!" teriaknya berulang kali. "Setahu gue PTSD gak memengaruhi pendengaran. Jalannya cepet banget lagi." Mila menyesal bawa tas selempang, menyusahkan saja."Pak H
Thank youuuu buat teman-teman yang sempat mampir ataupun tetap bertahan masukin novel ini ke rak bacaan kaliaann. Congrats buat aku sendiri yang udah tamatin kisah mereka dengan jangka waktu sangat panjang, bab absurd, dan ending membagongkan dan ngambang.Kalian bisa anggap akan ada sekuel dari Diaz dan Mila entah itu kehidupan anak mereka atau lainnya. Tapi so far, belum ada rancangan gimana gambaran cerita selanjutnya karena masih terjebak genre Teen.Semoga kalian tetap dalam lindungan Tuhan yang Maha Esa dan selalu sehat baik mental maupun fisik karena hidup tidak seringan pilus gais.Sekali lagi thank you so much!And bye bye~
"Ha? Hahaha ... Gue bayangin muka mereka bingungnya gimana."Vio tertawa puas di meja makan saat Diaz menceritakan apa yang terjadi di rumah Monica semalam.Meida menyuruh anaknya berhenti tergelak dan dengarkan saja kakaknya bicara. "Kamu tuh ya, orang lagi ngomong malah ketawa terus.""Yailah, Ma. Bayangin dong muka mereka. Apalagi Mas Agam sama istrinya yang naudzubillah, Haha." "Kapan Monica ketemu Pak Louis?" Diaz bertanya-tanya sebab sebelumnya Monica sibuk bolak-balik ke rumahnya dengan rencana balas dendam.Walaupun balas dendamnya berubah menjadi kasih sayang tak terduga. Kekeluargaan mereka sangat erat."Monica mungkin udah menduga ini bakal terjadi. Dia kan ngomong sendiri sering berdoa ketemu orang tuanya.""Vio!" Meida geram sekali dengan anaknya sampai ingin melempar sendok garpu."Mama kenapa sih sensi banget?" balas Vio."Omongan kamu itu!" "Orang Monica-nya yang bilang ke aku.""Diaz mau minta tolong, Mah."Meida menatap Vio sebab Diaz meliriknya. "Mama?" "Monica m
Sebagai CEO yang memiliki waktu senggang banyak, Diaz memberanikan diri menemui pengacara Monica. Tepat hari sebelumnya mereka bicara serius melalui telepon untuk menentukan pukul berapa akan diskusi sebab pengacara pun punya acara lain.Diaz sangat terkejut rupanya ada kakak serta adik dari orang tua Monica turut datang ke rumah anak malang itu dengan raut tidak sabaran."Semuanya kenapa di sini?" Perasaan Diaz menghubungi pengacaranya saja, tidak mereka juga. Total ada 5 orang, termasuk dirinya.Akhirnya ia bergabung dengan mereka dan itu diperdebatkan."Kenapa ada dia di sini?" sahut Winda, adik terakhir dari Ibu Monica sembari menunjuk Diaz duduk.Diaz lantas menoleh tanpa ekspresi. Bukankah seharusnya ia yang memberi pertanyaan pada mereka?"Monica secara khusus meminta tolong saya untuk panggil Pak Diaz," jawab Louis tak kalah datar dari padang pasir."Hah! Kayaknya sih dia ngerayu Monica biar dikasih beberapa persen asetnya," timpal suami Winda, Agam.Kelihatan dari tampang mer
"Mama tetap gak nyangka, Mila.""Apalagi Mila, Bun."Mereka duduk besandar di ruang tamu setelah menghadiri pemakaman. Mila menatap langit-langit rumahnya seraya berkata, "Monica udah maafin Diaz belum ya, Bun? Kasihan mereka."Fila lantas menjawab, "Sebenarnya Monica pasti udah maafin Diaz dari dulu. Cuma karena mereka kurang akrab dan Monica sempat salah paham juga, dia agak canggung.""Aku padahal mau ke rumahnya lagi.""Nanti kalau Diaz ke sana aja. Dia pasti harus urus semuanya karena walinya Monica."Mila mengusap wajahnya, belum menyesuaikan kenyataan. "Mila mau mandi, Bun. Abis itu ke rumah Diaz lagi, dia harus ditemenin.""Iya sana. Bunda gapapa sendiri di sini."***Vio melihat Diaz berdiri di tengah pintu menghadap halaman belakang sembari memasukkan tangan ke saku celana. Kakaknya diam dengan deru napas teratur yang terdengar berat."Lo lagi ngapain?" Vio memberanikan diri mendekat dan berhenti di belakang Diaz."Bukan apa
Suara langkah Diaz memenuhi lorong yang dihampiri suara petir dan cahaya kilat lewat celah jendela. Sesaat dia memperlebar jarak kaki supaya cepat sampai ruang jenazah yang terletak di bagian belakang rumah sakit.Di belakang Diaz, ada Mila yang juga berusaha mempercepat langkah agar bisa mengiringi suaminya. Kesekian kalinya sudut mata mereka meneteskan bulir bening atas perasaan berkecamuk.Ada-ada saja, diwaktu kurang tepat Diaz dihubungi Bayu, sekretarisnya. "Maaf, saya lagi ada urusan. Nanti saya telepon lagi, Pak." Masalah klien tidak jadi datang besok bukan hal besar. Bayu masih bisa menangani dikarenakan situasi mendesak.Begitu masuk ke kamar jenazah, Diaz sempat menjeda nafas beberapa detik untuk meyakinkan hatinya bahwa yang terjadi sekarang ini bukan bunga tidur. Di atas dua brankar terdapat dua tubuh terbujur kaku diselimuti kain putih. Petugas yang menjaga kamar jenazah malam ini hanya satu berjenis kelamin laki-laki. Dia terlihat sedang memeriksa
Guyuran hujan secara tiba-tiba membasahi tanah dan jalan sejak tengah hari. Rencana Mila pergi ke Taman depan kantor jadi urung. Apalagi niatnya mau hujan-hujanan selagi deras.Diaz menyibukkan diri di depan laptop. Liburnya tetap bekerja. Bahkan lebih pusing dia daripada Mila yang suka mengarang cerita. Omong-omong, sudah 2 hari Mila tidak update bab novel. Apa kabar komentar pembacanya?"Kamu daripada berdiri terus di jendela, mendingan bantu saya beresin ini nih." Diaz menunjuk map-map miliknya yang kurang rapi di dekat meja satunya. Saking banyaknya yang belum tuntas, dia bingung mau membereskan yang mana."Ogah. Kamu kan udah kerjain bareng sekretaris kamu," cebik Mila.Diaz melirik layar laptopnya. Benar, dia sedang melakukan panggilan video dengan sekretarisnya demi mengurus berkas baru maupun yang diarsip bulan lalu."Barangkali mau," balas Diaz.Suara petir menggelegar langsung mengejutkan Mila karena berdiri di dekat jendela.
"Udah pasang sabuk pengaman?" tanya Eric barangkali Monica menyepelekan betapa pentingnya menggunakan sabuk pengaman saat berkendara, baik pengemudi maupun penumpang.Satu dehaman menjawab pertanyaan Eric. Asisten keluarga Monica tersenyum kecil dan menjalankan mobil menuju MJ Coffe untuk mengopi santai sambil mengurus jadwal-jadwal tak beraturan dan kurang sesuai dengan keinginan Bosnya.Suasana ramai lancar kendaraan roda empat dan dua masih tampak asing di mata Monica. Bolak-balik antarkota mengakibatkan ia tak dapat lihat perkembangan kota kelahiran secara bertahap. Setiap tahun terdapat penaikan penduduk di Kepulauan Seribu. Syukurlah, pulau wisata itu masih terjaga keasriannya.Pernah satu, dua kali laut sekeliling pulau tercemar akibat pembuangan minyak ilegal. Saat itu penduduk kesulitan mendapat air. Pemerintah kota berbondong-bondong meminta pasokan air bersih walaupun kurang maksimal."Ini kalau urbanisasi dikurangi mungkin 5 tahun ke depan bak
"Gimana jadwalnya? Gak bisa diubah?"Ekspresi datar yang sering ditampilkan gadis berusia 18 tahun itu bukan lagi hal baru untuk asistennya, Eric. Masalah perubahan jadwal dadakan yang dibuat Eric memang tidak disarankan jika bosnya seperti Monica.Umpatan, tatapan tajam, atau keduanya selalu didapat Eric sekali pun hubungan mereka dekat."Udah saya ubah. Jadi gak bisa diubah dua kali."SRRKKMap berwarna merah di atas meja dihempaskan begitu saja hingga lembaran di dalamnya berserakan di lantai."Astaga... " Suka tak suka Eric harus memungut tiap lembaran dan menyusunnya asal untuk diletakkan ke dalam map. "Ini ada kontrak, jangan dibuang-buang.""Lo tau sendiri kan tanggal 25 kita harus ke Sumatera buat baksos. Harusnya tanggal 26 kosongin jadwal. Bukannya malah ada kegiatan! Lo pikir gue gak butuh istirahat?""Iya tau. Tapi klien yang dari Jawa bilang tanggal 26 bisanya," bela Eric."Ya lagian lo sejak kapan mentingin
Tirai berwarna merah menghalangi sinar yang menembus masuk. Wanita berbadan dua itu tengah membaca buku tentang bisnis milik suaminya sambil merebahkan tubuh. Setelah kontrol bulanan ke dokter kandungan, hasilnya janin berkembang baik. Belum begitu buncit perutnya lantaran masih 3 bulan mengandung.Aktivitas menulis novel berkurang, bukan suruhan Diaz melainkan secara inisiatif Mila lakukan. Ia sering tertidur jika menempel kasur, lalu bangun untuk makan dan jalan-jalan di dalam rumah untuk peregangan badan.Seringkali Diaz memergoki Mila bicara dengan perutnya sambil tersenyum riang di bangku teras rumah, apalagi sebelum berangkat bekerja. Sebisa mungkin Diaz turuti keinginan Sang Istri untuk meredam amarah satu sama lain. Selagi Mila tidak meminta rumah di planet Mars, Diaz mau saja tunduk di kakinya."Lagi apa?""Gak liat? Lagi nonton video."Pertama kalinya Mila memutar dokumentasi video pernikahan mereka, sebelumnya ia mengecam Diaz agar tidak