Kilasan masa itu seketika berakhir saat lenganku menyadari kehadiran mamah di sampingku. Mamah terdiam sesaat setelah sambutan senyum darinya kuterima baik. Pandangan beliau lalu sama sepertiku, menatapi jalanan yang sepi dari bangku tempat kami duduk saat ini.
“Bagaimana menurutmu, Nak? Anak tante Sintia itu ganteng, kan?” tanya mamah yang masih berada di posisi sama.
Sontak, bibirku seakan terkunci untuk menjawab. Tidak mungkin kujawab “tidak”, karena fakta ucapan mamah menang benar adanya. Namun, jika kujawab “iya” pun, justru akan bertolak belakang dengan gejolak di hatiku. Biar bagaimanapun, laki-laki itu telah menghancurkan mentalku. Perbuatan buruknya sama sekali tak pantas tertutup hanya karena paras rupawannya.
Sebab alasan itu, aku memutuskan untuk tidak menjawab, namun melempar senyum tipis yang terdengar samar sebagai tanda merespons ucapan mamah. Aku tahu, mamah memuji Nathan di depanku, supaya aku merasa yakin untuk menerima laki-laki itu.
Andai mamah mengetahui jika kami telah saling kenal sejak masa SMP dulu. Andai pula mamah tahu, jika Nathan lah satu-satunya teman kelasku yang paling gencar mencaci makiku. Entah apa yang akan beliau lakukan setelah itu. Menolaknya mentah-mentah; atau bahkan membalas caci makian dia padaku dulu; atau justru memaafkan sesuai dengan sifat mamah yang pemaaf.
Sayangnya, satu persatu pelaku pembuliku waktu itu tak pernah kusebutkan namanya. Karena percuma, mamah pun tidak akan tahu atau sekadar mendatangi sekolah dan meminta keadilan untuk putrinya ini. Yang beliau lakukan hanya satu, memberiku kekuatan luar dalam sebagai bentuk membela diri.
Jika mereka hanya berucap, lebih baik diamkan atau menjauh saja. Tapi, jika sampai tangan mereka bertindak kasar, balas dengan perlakuan sama. Begitu pesan mamah yang kemudian kulaksanakan. Walau begitu, sakit hati yang kurasakan tetap tak pernah sirna dari ingatan. Buruknya tingkah mereka terlalu sayang untuk kulupakan begitu saja.
“Kamu itu harus sadar, Bibah. Kamu sudah dewasa. Sudah waktunya berumah tangga. Untuk kali ini, jangan tolak lamaran tante Sintia.” Mamah melanjutkan ucapannya dengan nada yang lembut, namun penuh harap. “Gak baik sebagai wanita jika terus menolak lamaran laki-laki.” Pandangan mamah kemudian beralih menatapku, seraya melekatkan tangan kirinya ke atas pahaku.
Aku tahu, mamah menyimpan harapan besar, agar kali ini aku mau menerima laki-laki untuk menjalani masa depan yang serius. Sayangnya, kenapa rencanaku yang awalnya memang berniat akan menerima perjodohan ini, justru terancam gagal. Lagi-lagi, sosok laki-laki itulah penyebabnya. Kenapa harus dia? Kenapa harus Nathan yang menjadi pilihan terakhirku?
Rasa dilema begitu hebat menghampiri benakku saat ini. Dua pilihan sama-sama memiliki risiko yang besar pula. Aku tidak tahu harus berbuat apa untuk selanjutnya. Hanya satu minggu, waktu yang kuminta pada tante Sintia sekeluarga untuk memberi jawaban atas pilihanku nanti.
“Kalo aku menolak, gimana, Mah?” tanyaku, yang seketika menghentikan aktivitas mamah saat baru akan beranjak dari duduknya. Pertanyaan serius ini kususul dengan senyuman unjuk gigi agar mamah mengira ini hanya candaan.
Kulihat, mamah menghela napas panjang, lalu menyahut dengan candaannya pula, “Kalo kamu masih menolak, biar nanti mamah buat sayembara. Siapa yang mau nikah sama anakku, aku kasih uang.” Ucapan yang kusebut woro-woro itu mamah ekspresikan dengan menunjuk-nunjuk ke segala arah.
Sontak, kami berdua justru tertawa lepas, hingga mengundang papah yang tengah menonton televisi kemudian menghampiri teras tempat kami duduk.
“Sssttt ....”
Kami menjadi semakin tertawa dengan tingkah lucu papah yang memberi peringatan untuk diam.
***
‘Ting’
Bunyi notifikasi pesan itu seketika membuka mataku yang baru terpejam. Segera kuraih benda pipih yang berada di atas kasur tak jauh dari tubuhku berbaring, lalu kubuka kunci layarnya.
[Kamu sudah tidur?]
Pesan itu kubaca setelah hanya menampilkan notifikasi dengan cara menggeser layar dari atas ke bawah. Dua tahun sejak kumemutuskan mengakhiri hubunganku dengan Rayan, pesan seperti ini tak pernah lagi kudapatkan. Hanya pesan penting perihal pekerjaan, atau dari teman sesama perempuan saja.
Namun malam ini, sepertinya akan menjadi awal pembuka pesan basa basi seperti ini, yang sebenarnya tak penting buatku. Terlebih lagi pesan itu dari Nathan, yang membuat moodku seakan turun dengan drastis. Aku memang pernah menyukainya, tapi itu dulu. Tidak berlaku lagi untuk saat ini.
Selang beberapa menit, bunyi notifikasi pesan kedua kembali terdengar saat ponsel hampir kudaratkan di atas kasur. Rencana untuk tak membalas, sepertinya harus gagal. Benda pipiku kembali menerima pesan dari Nathan.
[Hanya ingin memberitahu, mamah mengundang kamu untuk datang ke rumah besok malam. Aku jemput jika kamu bersedia. Selamat malam.]
Senyuman getir sontak terbit seketika dari bibirku. Iya, karena mendadak ada yang membuatku lucu. Pesan undangan untuk besok malam itu, Nathan sampaikan di waktu yang sudah tengah malam ini. Apa tidak bisa menunggu esok?
Tidak gagal, ternyata. Aku tetap tidak berniat membalas pesan darinya. Cukup membaca isi pesan itu dari balik layar yang masih terkunci lewat tampilan pop-up. Kuletakan kembali ponsel ke tempat semula, lalu mencari posisi nyaman untuk tidur.
Beberapa menit berlalu, pejaman mata ini masih belum bisa membawaku dalam buaian mimpi. Pikiranku terus terjaga, berkelana pada bayangan sosok Nathan. Bukan karena ketampanannya yang memikat hati tentunya, akan tetapi mengingat perbuatannya yang tak bisa kumaafkan dengan mudah.
Berkali-kali tubuh ini hanya berguling ke kanan dan ke kiri, disusul oleh guling yang tak luput dari dekapan tanganku mengikuti gerakan kaki. Namun, kegelisahan semakin menjadi. Perlahan, aku bangunkan tubuh yang sebenarnya sudah lemas ini, bersandar di bahu ranjang, menatap kosong ke arah depan.
Rasa tidak percaya terus muncul dalam otak. Seakan ingin mencari tahu rahasia di balik takdir pertemuan kami yang di luar dugaan dengan dalih perjodohan. Apakah ini hukum karma yang Nathan terima setelah hinaan dan caciannya padaku waktu dulu? Dia dipertemukan kembali dengan sosok wanita yang aku tahu dia membencinya saat itu.
Ah, tidak mungkin. Dia bisa mendapatkan aku, harusnya kusebut beruntung, bukan karma. Bukankah dia menginginkan wanita yang cantik untuk dijadikan istri? Sementara aku, sudah memenuhi syarat itu. Walau dulu aku dia sebut bidadari kecemplung got, yakin seyakin-yakinnya jika sekarang dia akan berani menyebutku bidadari dari kerajaan Majapahit.
Iya, secantik itu wajahku, kata mantan teman sekolah saat pertama kali melihat banyak perubahan di tubuhku, hingga tuduhan operasi plastik bergulir di kalangan mereka yang dulu ikut membuliku.
Atas saran papah, setelah lulus dari Sekolah Menengah Atas, mamah mengajakku ke sebuah klinik kecantikan. Beliau memasrahkan putrinya ini ke dokter Anggi untuk menangani permasalahan jerawat di wajahku, serta mencerahkanya. Mamah juga meminta tips aman untuk menurunkan berat badanku yang mencapai hampir 70 kilogram waktu itu.
Perlahan tapi pasti. Setahun lamanya baru kurasakan perubahan yang signifikan seiring berjalannya waktu. Julukan gendut sebelumnya, sudah tak lagi pantas kudapatkan. Wajah hitam penuh jerawat juga perlahan sirna. Tak sedikit yang tidak percaya dengan tampilanku setelah itu.
Itulah kenapa aku memiliki tanggung jawab besar untuk selalu menurut apa kata kedua orangtuaku. Selama hal itu baik, aku manut saja demi kebaikan bersama. Mereka lah yang selalu memberi yang terbaik untuk putrinya. Entah berapa besar biaya yang mamah dan papah keluarkan waktu itu, demi merubahku agar tak lagi mendapat cemoohan dimana-mana.
Sayangnya, permintaan mamah dan papah kali ini sungguh membuatku merasa berat untuk memenuhi. Bayangkan, aku dituntut hidup bersama dengan laki-laki yang jelas-jelas menyakiti kita di masa lalu. Ah, membayangkannya saja rasanya sudah bergidik sebal.
Bagiku, bertemu kembali dengannya saja sudah kusebut musibah. Tentu saja, karena wajahnya yang menciptakan rasa trauma mendalam. Bahkan, keinginan balas dendam seketika terlintas. Aku benar-benar ingin membalas rasa trauma ini dengan balasan yang setimpal. Setidaknya, dia harus merasakan hal yang pernah aku rasakan waktu dulu, sakit hati. (*)
“Habibah, itu ada Nathan di luar,” ucap mamah berbisik setelah membuka pintu kamarku.“Heeh.” Hanya itu jawaban yang kuserukan, tanpa menatap wajah mamah karena terlalu sibuk dengan aktivitasku memperbaiki jilbab di depan cermin almari. Walau tak terlihat jelas, namun rona bahagia mamah bisa kulihat dari ujung mataku. Beliau kemudian berlalu dengan membiarkan pintu kamarku tetap terbuka.Setelah dua jam lamanya berkelana dalam peraduan antara otak dan hati, akhirnya permasalahan dilemaku mulai teratasi. Perjuanganku mengurangi jam tidur semalam tadi, setidaknya telah membuahkan hasil. Kuputuskan untuk menerima kehadiran Nathan dalam kepura-puraan. Iya, hanya sandiwara saja.Saat jarum jam hampir mendekati angka dua dini hari, dengan sigap aku membalas pesan Nathan yang telah mendarat ke ponselku sebanyak tiga pesan. Isi pesan terakhir adalah ajakannya untuk berjalan-jalan yang kemudian dilanjut makan siang. Lalu, sorenya dia meminta aku langsung ikut ke rumahnya atas undangan makan ma
“Kamu kenapa? Sedang ada masalah?” Tatapan Nathan mengedar ke arah meja, namun nada kepedulian di kalimatnya bisa kudengar jelas. Dia berani bertanya setelah waiters berlalu menyiapkan menu yang kami pesan baru saja.“Oh, iya. Sedikit,” sahutku tersenyum menutupi alasan yang sebenarnya.Mungkin karena lamunanku di dalam mobil tadi yang memancing Nathan bertanya seperti itu. Aku sendiri tidak menyadari, berapa kali dia berucap sampai akhirnya ketiga jari tangannya menempel perlahan untuk membangunkanku dari bayangan masa itu.“Cerita saja jika benar ada masalah. Aku bisa jadi pendengar yang baik, dan penyimpan rahasia yang handal.” Kali ini, Nathan menatapku lekat. Kesemua jari tangannya menyatu bertumpu ke atas meja. Tak lupa juga senyuman manisnya menyertai di setiap kalimatnya. “Mungkin dengan bercerita, hatimu bisa sedikit lega,” lanjutnya lagi.Tak ada kata yang bisa kuucapkan selain hanya senyuman keterpaksaan. Untung saja, waiters sudah menghampiri kami dengan membawa menu makan
[Maaf, ya soal tadi siang. Mungkin saya salah karena bercerita tentang mantan pacarku padamu. Padahal, kita akan menikah sebentar lagi.] [Sekali lagi, maaf.] Aku hanya menatap layar ponsel yang menampilkan pop-up pesan dari Nathan. Membaca kedua pesan itu sekilas, lalu meletakan ponsel yang kupegang kembali ke atas kasur. Untuk malam ini, aku merasa melipat pakaian yang menumpuk lebih penting dari membalas pesan dia. Dari bahasa yang ditulis di pesannya, mungkin Nathan menyadari jika ijinku membatalkan makan malam di rumahnya karena alasan itu. Terlebih lagi, perjalanan yang sebelumnya begitu hangat dengan canda tawa, siang tadi berubah sunyi karena pembuka obrolan dari Nathan tak sekata pun aku jawab. Aku lebih memilih diam hingga sampai kembali ke rumah. Sejujurnya bukan itu alasannya. Aku hanya butuh waktu untuk menyegarkan mataku saja, setelah bayangan masa laluku dengan dia terus bergulir mengikuti aktivitas kami siang tadi. Jika terus bersama Nathan, aku khawatir tangan ini
Pemandangan pagi ini begitu menyentuh. Om Darmawan begitu lahap menyantap nasi goreng buatanku, begitu pula Nathan. Bahkan, laki-laki menyebalkan di depanku itu sampai memakan masakanku hingga dua porsi. Ah, walau menyebalkan, setidaknya masakanku bisa disebut enak setelah memindai cara makannya. Meski santai, namun membuat yang melihatnya menjadi ikut lapar. Sementara tante Sintia, dia juga tak jauh beda dengan suami dan anaknya. Berkali-kali wanita paruh baya yang masih nampak muda itu memuji masakanku hingga wajah dan sikapku ikut menjadi penyerta pujian itu. Aku yang sebelumnya cukup percaya diri menjadi malu tiba-tiba. Lebih tepatnya, tersipu malu karena pujian tante Sintia yang berlebihan. Pasalnya, hal itu memancing pandangan om Darmawan dan Nathan untuk terus memperhatikanku. Nathan yang awalnya tak bersuara pun kini menatapku penuh senyum sambil mengajakku ngobrol ringan. Tapi tak bisa dipungkiri, kata mamah dan papah masakanku memang sangat enak. Hanya saja, rasa malas le
Sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, malam ini aku dan Nathan telah berada di kafe tak terlalu jauh dari rumah. Katanya, nongkrong sebentar saja untuk menghilangkan jenuh karena besok kami mulai sibuk dengan aktivitas rutin masing-masing. Sebagai pengusaha muda yang menurutku cukup sukses, Nathan termasuk sosok sempurna sebagai seorang pria. Selain tampan, pemikiran cerdas yang sesuai logika juga menempel menjadi ciri khasnya. Ditambah dengan penghasilan menjanjikan dari usaha yang digelutinya. Kata mamah yang bersumber dari tante Sintia, omset dari usaha restoran kuliner nusantara milik Nathan berkisar hingga 10 juta perhari. Lalu sebulan, katanya pernah hingga 100 juta. Begitu semangat tante Sintia menceritakan itu pada mamah beberapa waktu lalu saat akan mempertemukan aku dan Nathan. Selain itu, tampilan yang selalu rapi dan wangi; kemudian sifat perhatian dan yang paling penting adalah sikap royalnya yang tentu menjadi daya tarik paling utama untuk sekelas wanita. Terbukti dar
Demi melancarkan rencana awalku, aku pun terpaksa menerima tawaran Nathan untuk mengantarku hingga ke tempat kos pagi ini. Dia bilang, mau sekalian kembali ke rumah pribadinya di kota sebelah, aku pun menyetujui itu. Padahal, arah kami justru bertolak belakang, tapi dia rela membuang waktu hanya demi mengantarku saja. Dari sini bisa kusimpulkan jika Nathan mulai menaruh rasa padaku. Aku yakin, cepat atau lambat dia akan jatuh ke pelukanku. Dengan begitu, rencana balas dendamku padanya akan berjalan sesuai alur yang kubuat. Keyakinkanku semakin diperkuat oleh sikap Nathan selama dalam perjalanan menuju indekosku. Dia menghentikan mobilnya lebih dulu di sebuah rumah makan agar kami bisa lebih dulu sarapan, lalu melanjutkan perjalanan setelah selesai. Selain itu, obrolan hangat dan canda tawa tak henti-hentinya dia lontarkan dengan ekspresi semangat sebagai seorang laki-laki ke lawan jenisnya demi mengiringi perjalanan kami yang mungkin saja akan terasa membosankan jika hanya diam saj
“Menurutmu gimana, Num, kalo aku balikan sama Kak Nathan? Cocok gak? Serasi gak?” Seperti biasa, tanpa basa basi Nanda langsung masuk ke dalam kamarku setelah mengetahui kepulanganku dari tempat kerja. Pakaian dinas perawat bahkan masih melekat di tubuhku, namun Nanda tidak merasa canggung sedikit pun jika harus melihatku berganti pakaian di depannya. “Balikan? Atas dasar apa?” tanyaku. Walau yang kurasakan saat ini bercampur aduk atas pertanyaan Nanda itu, aku tetap menjaga suasana. Kutanggapi biasa layaknya aku tidak tahu apa-apa. Aku dan Nanda memang cukup dekat, hanya saja tidak berada dalam satu kamar. Kedekatan kami pun hanya sebatas teman kerja saja sebagai sesama perawat di rumah sakit swasta di kota ini. Jadi, tetap ada batasan pribadi yang kututup darinya. Namun berbeda dengan Nanda yang selalu mudah mencurahkan isi hatinya padaku setiap kali merasakan sesuatu pada seseorang, baik rasa suka maupun benci. Dia tidak segan-segan meluapkan perasaan itu di depanku. Termasuk m
Empat kamar di lantai bawah telah kami jajaki untuk mencari info yang Nanda inginkan. Dua orang penghuni kos yang Nanda tanyakan, sudah dipastikan bukan gadis yang dia cari. Tentu sesuai dengan jawaban dari Ayu dan Metha sebagai orang yang Nanda tuju di kamar lantai bawah itu. Sementara dua penghuni kos lainnya, walau tidak ditanya pun Nanda sudah tahu jawabannya, pasti bukan mereka. Mbak Asti dan mbak Dina tidak pantas menjadi adik dari mantan pacarnya itu, kata Nanda. Selain Mbak Asti yang berusia kepala empat, wanita itu pun sudah memiliki suami. Sementara mbak Dina, usianya juga terbilang lebih tua dari mbak Asti. Lagi pula, wajahnya tidak mendukung. Kata Nanda, yang pasti wanita ini tidak masuk kategori yang dia maksud. “Tinggal dua lagi, Num. Pasti kalo bukan Cici, ya Nita. Aku yakin, pasti salah satu di antara kedua gadis itu,” ucap Nanda dengan nada resah. Raut wajahnya pun tak kalah menggambarkan kegelisahan mendalam. “Ya, sudah. Kita coba tanya mereka,” usulku menenangk
“Habibah .... Nak.” “Astaghfirulloh, Mamah.” Jujur, aku kaget setengah hidup saat tepukan keras mamah mendarat di pangkuanku beberapa kali bersamaan dengan teguran yang hanya kudengar samar, hingga getaran tubuh ini begitu jelas kurasakan. “Mamah. Aku ....” “Kamu kenapa, Nak, hah? Tante Sintia sudah nunggu jawaban kamu dari tadi, malah melamun, sih. Kenapa?” tanya mamah sedikit berbisik. “Kamu gak papa ‘kan?” Aku menggeleng melempar senyum berseri menatap wajah mamah. Syukurlah, apa yang melintas di pikiranku tadi hanya bayangan semata, bukan nyata. Wajah mamah masih nampak bahagia, pun juga dengan papah. Aku menunduk sejenak sambil menghembuskan napas pelan sebanyak tiga kali, menghilangkan sangkaan dan bayangan buruk yang sempat menghampiri. “Maaf, Tante, Om dan semuanya.” Kalimat dari bibirku mulai mengudara memenuhi ruang makan. Aku mengedar pandangan dengan senyum yang kubuat seramah mungkin. “Sebelumnya saya minta maaf, sudah buat semuanya menunggu. Mungkin karena efek sedi
“Habibah, kedatangan tante sekeluarga ke sini punya niat lain selain silaturahmi.” Tante Sintia mulai membuka obrolan serius usai makan malam. Kalimatnya terhenti sejenak untuk sekedar mengedar pandangan ke arah kami yang masih memenuhi ruang makan. Dia tersenyum penuh ceria, nampak dari raut wajahnya yang berseri. “Untuk itu, tante dan om juga kedua orangtuamu ingin memastikan jawaban kamu atas perjodohan yang kami sepakati bersama. Tante harap, jawaban kamu sesuai dengan yang kami semua harapkan.” Aku mengangkat wajah yang sejak tadi setengah menunduk, lalu mengedar pandangan ke seluruh anggota. Tatapan mereka tak jauh beda dengan tante Sintia, begitu berseri, terutama mamah dan papah. Namun, hanya satu pandangan yang kutemukan nampak memendam penekanan mendalam. Sorot matanya datar. Hanya pandangan itu pula yang tidak mengarah kepadaku. Siapa lagi jika bukan Nathan. Sedikit pun tak pernah kudapati kami bertemu pandang meski di posisi tidak sengaja. Tapi anehnya, kenapa hanya aku
Sejak Awal datang ke rumah, aku memang tidak menyadari kondisi sekeliling. Maksudku, hanya kamar saja yang baru kujelajahi untuk meletakan tas juga melepas jilbab yang menutup rambutku sepanjang perjalanan dari indekos menuju rumah. Jadi, kondisi ruang makan yang ternyata telah dipenuhi beberapa menu makanan juga camilan belum tertangkap oleh pandangan kedua mataku. Baru kusadari setelah mamah memintaku menyajikan beberapa minuman dan camilan dari dapur untuk tamu satu keluarga yang baru datang. “Ayo, Bibah. Bawa itu ke ruang tamu,” perintah mamah yang seketika menggetarkan tubuhku karena rasa terkejut. Aku tidak menyadari kedatangannya, namun sosoknya sudah berada di sebelahku dan nampak tengah terburu-buru mengambil sesuatu. “Mamah, apa ini?” tanyaku meminta kepastian jawaban akan yang kulihat di ruang makan. “Emang mau ada acara apa, Mah. Kok, makanan banyak gitu?” “Sudah, Nak. Tanyanya nanti saja. Nanti juga kamu akan tahu.” Mamah berlalu begitu saja sambil membawa nampan beri
Tiga puluh menit sebelum waktu adzan Dzuhur berkumandang, tante Sintia akhirnya memutuskan pulang. Selain karena jam kerjaku akan datang sebentar lagi, dia pun tidak ingin waktu berangkatnya bertabrakan dengan waktu sholat, katanya. Mobil Honda CRV berwarna putih itu pun melaju perlahan meninggalkan area indekosku setelah lambaian tangan tante Sintia kuterima hangat. Setelah ini, aku tinggal berangkat kerja. Untungnya, kondisi kos tengah sepi, termasuk Nanda. Walau aku tidak tahu kemana dia pergi, atau mungkin memutuskan berangkat bekerja, namun kabarnya tak kudengar hingga kini. Padahal biasanya, dia sering mengirim pesan atau mengobrol ringan melalui chat. Dan pagi ini, semenjak itu, berpamitan saja tidak dia. Tapi, biarlah. Terkadang, seorang teman perlu diberi pelajaran untuk sedikit mengerti orang lain. Aku pun kembali masuk ke dalam kamar kos untuk bersiap berangkat ke rumah sakit. Dari sinilah, aku mulai sibuk seolah tak mengenal waktu. Ponsel yang biasa di tangan, lebih ser
“Habibah, tolong antarkan Raka ke toilet sebentar, ya?” Aku menghentikan langkah saat kembali menuju ruang tamu untuk bergabung dengan tante Sintia dan Raka. “Oh, tentu, Tante.” Aku dan Raka pun segera menuju toilet di belakang tangga lantai bawah. Saat langkah kami hampir mendekati pintu toilet, aku berhenti. Kupersilakan Raka melanjutkan sendiri karena tempat yang dia tuju sudah terlihat. “Terima kasih,” ucap Raka yang langsung kusahut ramah. “Oh, iya. Kalau tidak salah, kamu Ranum ‘kan?” Pertanyaan Raka sontak mengejutkanku tiba-tiba. Aku kembali berbalik badan menghadap kembali pria itu. “Kamu kenal aku?” tanyaku kemudian. Rasa terkejutku semakin bertambah saat dia mengangguk tersenyum ke arahku. “Sangat kenal, walau kamu pasti lupa sama aku.” Hah? Pria itu mengenalku di saat yang lain masih nampak asing ketika melihatku. Padahal, seingatku kami baru bertemu pertama kali ini. Sebelumnya, bahkan waktu di rumah Nathan, Raka tak kulihat di sana. Selain itu, Habibah adalah nama
“Tante, maaf, ya, aku udah buat Tante khawatir,” ucapku bernada menyesal saat menghampiri tante Sintia dengan membawa nampan berisi dua minuman dan camilan yang kuambil dari dapur. “Tadi data internet gak kuaktifkan, jadi pesan dan panggilan gak masuk,” lanjutku setelah sampai di sofa ruang tamu tempat jamuan pengunjung indekos. Ruangan yang tidak terlalu luas ini dikhususkan untuk orang tua atau saudara yang mengunjungi penghuni indekos Bu Erna. Letaknya berada di sebelah kanan kamar kos yang terdiri dari delapan kamar itu, tepatnya di samping rumah Bu Erna. “Gak papa, Sayang. Kan, tante memang berniat datang ke sini,” sahut tante Sintia lembut. Senyum ramahnya tak lupa juga mengiringi ucapannya setiap kali berbincang denganku, itu yang kusadari sejak awal. “Oh, iya, Habibah. Tante juga minta maaf, ya, gak datang sama Nathan. Dia sibuk banget. Jadi, tante minta Si Raka ini untuk nganter. Ini keponakan tante,” jelas tante Sintia melanjutkan. Oh, namanya Raka. Dia juga tampan, tak k
Perbincanganku dengan tante Sintia yang berlangsung hampir setengah jam itu kututup dengan salam setelah ibu dari Nathan itu pamit lebih dulu. Aku kembali meletakan ponsel ke tempat semula, di atas kasur busa berlapis seprei bermotif Hello Kitty berwarna hijau daun. “Terancam gagal, deh, rencanaku,” gumamku kesal usai satu kali helaan napas kasar kuhempaskan. Kutinggalkan sejenak nasi uduk yang masih bersemayam di dalam kantong keresek berwarna hitam beserta kerupuk udang di sana. Rasa heran bercampur kesal membuat kemalasan menghampiri yang semakin mendukung tubuh ini untuk kembali merebah di sebelah ponsel. Bantal guling dalam pelukan yang tak mengerti apa-apa ini pun ikut menjadi korban atas luapan kegemasanku pada laki-laki bernama Nathan itu. Selain kuremas-remas kasar, kepalan tanganku juga beberapa kali mendarat pada benda itu, hingga berakhir dengan terlempar jauh setelah kutendang. Tak tertinggal pula dengan beberapa kata menjengkelkan yang selalu kulontarkan setiap kali
Aku bergegas naik ke lantai dua indekos, sepulang dari membeli sarapan di warung nasi uduk di ujung gang yang masuk ke jalan raya. Hal utama yang memenuhi pikiranku saat ini adalah balasan pesan dari Nathan. Berharap, laki-laki itu sudah merespons pesanku setelah ponsel kutinggal di kamar kos sekitar sepuluh menit yang lalu. Aku memang sengaja tidak membawa benda pipih itu, agar aktivitasku membeli nasi uduk tidak terganggu dengan terus menekan tombol power di ponsel setiap waktu. Rasanya aneh dan menggelikan, hanya demi mengecek pesan dari Nathan, rela menyibukkan diri dengan hal yang di luar kebiasaan itu. Padahal, sebelumnya tidak pernah sedikit pun. Saat kaki sudah beberapa langkah sampai di lantai dua, terdengar panggilan yang tidak asing di telingaku. Aku hanya meminggirkan tubuh sedikit mepet ke besi pegangan teras, sambil menunggu Nanda karena terus memanggilku beberapa kali. Gadis itu nampak tergopoh-gopoh menaiki tangga demi secepatnya sampai ke hadapanku. “Ranum, kok, kam
Empat kamar di lantai bawah telah kami jajaki untuk mencari info yang Nanda inginkan. Dua orang penghuni kos yang Nanda tanyakan, sudah dipastikan bukan gadis yang dia cari. Tentu sesuai dengan jawaban dari Ayu dan Metha sebagai orang yang Nanda tuju di kamar lantai bawah itu. Sementara dua penghuni kos lainnya, walau tidak ditanya pun Nanda sudah tahu jawabannya, pasti bukan mereka. Mbak Asti dan mbak Dina tidak pantas menjadi adik dari mantan pacarnya itu, kata Nanda. Selain Mbak Asti yang berusia kepala empat, wanita itu pun sudah memiliki suami. Sementara mbak Dina, usianya juga terbilang lebih tua dari mbak Asti. Lagi pula, wajahnya tidak mendukung. Kata Nanda, yang pasti wanita ini tidak masuk kategori yang dia maksud. “Tinggal dua lagi, Num. Pasti kalo bukan Cici, ya Nita. Aku yakin, pasti salah satu di antara kedua gadis itu,” ucap Nanda dengan nada resah. Raut wajahnya pun tak kalah menggambarkan kegelisahan mendalam. “Ya, sudah. Kita coba tanya mereka,” usulku menenangk