[Maaf, ya soal tadi siang. Mungkin saya salah karena bercerita tentang mantan pacarku padamu. Padahal, kita akan menikah sebentar lagi.]
[Sekali lagi, maaf.]Aku hanya menatap layar ponsel yang menampilkan pop-up pesan dari Nathan. Membaca kedua pesan itu sekilas, lalu meletakan ponsel yang kupegang kembali ke atas kasur. Untuk malam ini, aku merasa melipat pakaian yang menumpuk lebih penting dari membalas pesan dia.
Dari bahasa yang ditulis di pesannya, mungkin Nathan menyadari jika ijinku membatalkan makan malam di rumahnya karena alasan itu. Terlebih lagi, perjalanan yang sebelumnya begitu hangat dengan canda tawa, siang tadi berubah sunyi karena pembuka obrolan dari Nathan tak sekata pun aku jawab. Aku lebih memilih diam hingga sampai kembali ke rumah.
Sejujurnya bukan itu alasannya. Aku hanya butuh waktu untuk menyegarkan mataku saja, setelah bayangan masa laluku dengan dia terus bergulir mengikuti aktivitas kami siang tadi.
Jika terus bersama Nathan, aku khawatir tangan ini tidak terkontrol ingin meremas-remas mulutnya yang dulu begitu nyinyir membuliku. Untungnya, masih kutahan sekuat hati saat bayangan ingatan begitu kuat melanda.
“Nduk, kamu sakit?” Tanpa permisi lebih dulu, mamah masuk ke dalam kamarku tiba-tiba. Tangannya dengan sigap menghentikan aktivitasku yang baru akan menutup lemari setelah meletakan beberapa pakaian di dalamnya, lalu melekatkan tangan lembutnya ke dahiku. “Gak panas,” ucapnya sambil menampilkan dahi berkernyit.
“Siapa yang bilang aku sakit, Mah?” Walau sebenarnya sudah menebak jika tante Sintia yang memberitahu mamah, pertanyaan itu tetap kulontarkan.
“Tante Sintia,” sahut mamah yang kemudian mengikutiku duduk di bibir ranjang.
Kepada Nathan, siang tadi aku sudah meminta ijin tidak bisa memenuhi undangan tante Sintia untuk makan malam. Alasan sakit memang aku sebutkan, supaya tante Sintia menerima ijinku melalui sambungan telepon dengan putranya itu.
“Jangan bilang karena kamu mau menolak Nathan terus kamu menolak undangan tante Sintia juga, Nduk.”
Nada lembut suara mamah yang penuh tekanan itu sebenarnya menambah hatiku semakin bergejolak, membuat moodku yang hampir kembali baik, menjadi buruk lagi. Sebenarnya, aku hanya butuh ketenangan sesaat saja. Setelah itu, aku akan kembali seperti biasa. Apalagi, rencana balas dendamku pada Nathan sudah tersusun rapi. Harusnya, sikapku memang profesional.
Tapi, apalah daya. Manusia biasa sepertiku masih memiliki banyak nafsu Angkara murka yang cukup sulit kutepis. Dampak sikap Nathan yang begitu hebat tidak mungkin kulupakan begitu saja, selalu menari-nari di sela-sela aktivitasku setiap sedang bersama dia.
“Mamah tenang ajah.” Aku mengusap lembut tangan mamah yang kuangkat dari pangkuannya. “Aku pasti gak akan buat mamah kecewa. Percaya, deh,” lanjutku menganggukkan kepala dengan mata berkedip, meyakinkan hati mamah yang tengah gundah karena sikapku.
Aku tetap berusaha menenangkan wanita bijak yang melahirkanku 28 tahun silam ini. Hasil dari rencanaku nanti, biar menjadi urusan belakangan. Namun, bukannya mamah yang tenang karena ucapanku, justru hatiku yang merasa adem setelah mendapat pelukan hangat darinya.
***
“Assalamualaikum, Tante ....” Aku menyapa ramah setelah memastikan yang membuka pintu rumah besar ini adalah tante Sintia. Kulihat, wajah yang masih nampak mulus di usianya yang sudah kepala lima itu tersenyum pula menyambut kedatanganku.
Sesuai dengan rencana yang kususun semalam, minggu pagi ini aku bertandang ke rumah Nathan. Tujuannya, tentu untuk memuluskan rencanaku sebelumnya. Ya, walau tak lepas dari alasan mamah juga yang memang memintaku untuk datang ke sini.
“Mari, Sayang. Ayo, masuk! Anggap saja rumah sendiri.” Tante Sintia begitu antusias merangkul pundakku, lalu membawaku menelusuri istana pribadinya.
Bangunan rumah yang dua kali lebih besar dari rumah orang tuaku ini tidak masuk kategori mewah, tapi lebih ke suasana elegan dan adem. Beberapa ruangan yang tidak terlalu sempit dengan ventilasi yang memadai, menambah kesan asri. Benar-benar membuatku seketika betah walau baru berdiri di ruang keluarga sebelah tangga.
Bukan hanya itu. Sikap hangat tante Sintia yang tak lain adalah calon mertuaku, semakin menambah hati nyaman andai benar aku tinggal di sini. Ah, tidak. Itu tidak masuk rencanaku. Aku tidak ingin mengkhayal bagian yang bukan merupakan tujuanku.
Aku hanya akan membuat pria yang tengah menuruni anak tangga di sana itu jatuh cinta padaku. Hanya itu. Setelah dia merasa tak ingin kehilangan diriku, barulah aku akan meninggalkannya begitu saja. Aku ingin membuat dia merasakan apa yang aku rasakan kala itu.
Bahkan, jika mau dibandingkan, apa yang dia perbuat padaku dulu, sama sekali tak sebanding sedikit pun dengan pembalasanku kali ini. Mungkin, aku lebih punya hati nurani.
“Sudah datang?” sapa Nathan setelah tubuhnya sampai di depan tempatku berdiri. Senyumnya masih sama seperti kemarin, manis dan bersahaja, walau pesan darinya malam itu tidak kubalas.
Aku hanya mengangguk yang kemudian mengikuti tante Sintia ke dapur. Aku memang terlalu pagi datang ke sini. Pukul tujuh pagi aku sudah meluncur dengan motor matic kesayanganku menuju arah jalan ke rumah Nathan. Tidak terlalu jauh, hanya lima kilometer saja jarak rumah kami. Sehingga waktu yang ditempuh pun tak terlalu lama.
Sedekat itu jaraknya, namun aku heran kenapa mamah dan tante Sintia baru bertemu beberapa tahun lalu, tidak dari dulu saja sejak masa sekolah SMP-ku. Padahal, keduanya berada di sekolah SMA yang sama, lebih tepatnya memang bersahabat saat masa putih abu-abu waktu dulu.
Andai sejak itu aku tahu jika Nathan adalah anak tante Sintia, mungkin sudah kuadukan dari dulu tingkah menyakitkannya itu, hingga laki-laki berkulit kuning langsat itu tak lagi berani membuliku. Atau, bisa jadi kami justru sudah menikah dari dulu karena perjodohan ini pasti akan dilakukan lebih awal.
Satu jam berlalu setelah aku dan Nathan terpisah di dalam rumah besar ini, menu sarapan pagi telah terhidang cantik di ruang makan. Tentu saja aku dan tante Sintia yang menyiapkan semuanya. Tugas mbok Darmi memasak untuk sementara kami ambil alih. Kata tante Sintia, aku yang harus memasak menu yang kubisa, supaya Nathan terkesan.
Akhirnya, nasi goreng menjadi menu pertama yang aku masak pagi ini. Sementara tante Sintia menyiapkan telor ceplok; juga ada roti bakar yang kami buat bersama. Tawa canda sejak aku melangkah ke dapur, sudah mulai menggema hingga akhir dari aktivitas kami di sana.
Walau terbilang baru di rumah ini, aku sudah bisa beradaptasi langsung. Selain karena sudah kenal lama dengan tante Sintia, aku juga pernah datang ke sini beberapa kali. Pertama kali perkenalan kami saat mamah minta diantar ke tempat kondangan. Kami bertemu tanpa sengaja, karena ternyata tante Sintia juga datang di waktu yang bersamaan.
Kata mamah setelah kembali ke rumah, tante Sintia sudah naksir aku, eh. Maksudku, terpesona dengan tampilanku waktu itu. Dia ingin menjodohkan aku dengan anak lelakinya, yang aku sendiri belum pernah bertemu sebelumnya. Hanya saja, ketika itu putranya sudah memiliki calon istri, teman kuliah yang dilamarnya dua bulan sebelumnya. Akhirnya, keinginan kala itu tinggal lah angan.
Eh, ternyata apa yang diangankan tante Sintia sebelumnya sudah di depan mata. Perjodohan yang dia harapkan kini telah terencana, meski belum sepenuhnya aku terima. Kami berbincang dan bercanda ria sudah layaknya ibu dan putrinya. Begitu dekat ibarat tanpa sekat.
Bahkan, tempat dudukku di ruang makan berada di sebelah tante Sintia, tepatnya di seberang meja di depan Nathan yang pagi ini sudah nampak menawan berbalut kaos oblong dan celana training. Dari kejauhan, kami sudah nampak seperti satu keluarga inti. Jika dirasa sampai ke hati, sejujurnya aku terkesan. Apalagi, saat tante Sintia mengambilkan nasi goreng untukku setelah aku lebih dulu mengambilkannya. Aku seperti memiliki dua ibu yang sama-sama baik. Kesan ibu mertua jahat yang sering kudengar sepertinya tak berlaku untukku. (*)
Pemandangan pagi ini begitu menyentuh. Om Darmawan begitu lahap menyantap nasi goreng buatanku, begitu pula Nathan. Bahkan, laki-laki menyebalkan di depanku itu sampai memakan masakanku hingga dua porsi. Ah, walau menyebalkan, setidaknya masakanku bisa disebut enak setelah memindai cara makannya. Meski santai, namun membuat yang melihatnya menjadi ikut lapar. Sementara tante Sintia, dia juga tak jauh beda dengan suami dan anaknya. Berkali-kali wanita paruh baya yang masih nampak muda itu memuji masakanku hingga wajah dan sikapku ikut menjadi penyerta pujian itu. Aku yang sebelumnya cukup percaya diri menjadi malu tiba-tiba. Lebih tepatnya, tersipu malu karena pujian tante Sintia yang berlebihan. Pasalnya, hal itu memancing pandangan om Darmawan dan Nathan untuk terus memperhatikanku. Nathan yang awalnya tak bersuara pun kini menatapku penuh senyum sambil mengajakku ngobrol ringan. Tapi tak bisa dipungkiri, kata mamah dan papah masakanku memang sangat enak. Hanya saja, rasa malas le
Sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, malam ini aku dan Nathan telah berada di kafe tak terlalu jauh dari rumah. Katanya, nongkrong sebentar saja untuk menghilangkan jenuh karena besok kami mulai sibuk dengan aktivitas rutin masing-masing. Sebagai pengusaha muda yang menurutku cukup sukses, Nathan termasuk sosok sempurna sebagai seorang pria. Selain tampan, pemikiran cerdas yang sesuai logika juga menempel menjadi ciri khasnya. Ditambah dengan penghasilan menjanjikan dari usaha yang digelutinya. Kata mamah yang bersumber dari tante Sintia, omset dari usaha restoran kuliner nusantara milik Nathan berkisar hingga 10 juta perhari. Lalu sebulan, katanya pernah hingga 100 juta. Begitu semangat tante Sintia menceritakan itu pada mamah beberapa waktu lalu saat akan mempertemukan aku dan Nathan. Selain itu, tampilan yang selalu rapi dan wangi; kemudian sifat perhatian dan yang paling penting adalah sikap royalnya yang tentu menjadi daya tarik paling utama untuk sekelas wanita. Terbukti dar
Demi melancarkan rencana awalku, aku pun terpaksa menerima tawaran Nathan untuk mengantarku hingga ke tempat kos pagi ini. Dia bilang, mau sekalian kembali ke rumah pribadinya di kota sebelah, aku pun menyetujui itu. Padahal, arah kami justru bertolak belakang, tapi dia rela membuang waktu hanya demi mengantarku saja. Dari sini bisa kusimpulkan jika Nathan mulai menaruh rasa padaku. Aku yakin, cepat atau lambat dia akan jatuh ke pelukanku. Dengan begitu, rencana balas dendamku padanya akan berjalan sesuai alur yang kubuat. Keyakinkanku semakin diperkuat oleh sikap Nathan selama dalam perjalanan menuju indekosku. Dia menghentikan mobilnya lebih dulu di sebuah rumah makan agar kami bisa lebih dulu sarapan, lalu melanjutkan perjalanan setelah selesai. Selain itu, obrolan hangat dan canda tawa tak henti-hentinya dia lontarkan dengan ekspresi semangat sebagai seorang laki-laki ke lawan jenisnya demi mengiringi perjalanan kami yang mungkin saja akan terasa membosankan jika hanya diam saj
“Menurutmu gimana, Num, kalo aku balikan sama Kak Nathan? Cocok gak? Serasi gak?” Seperti biasa, tanpa basa basi Nanda langsung masuk ke dalam kamarku setelah mengetahui kepulanganku dari tempat kerja. Pakaian dinas perawat bahkan masih melekat di tubuhku, namun Nanda tidak merasa canggung sedikit pun jika harus melihatku berganti pakaian di depannya. “Balikan? Atas dasar apa?” tanyaku. Walau yang kurasakan saat ini bercampur aduk atas pertanyaan Nanda itu, aku tetap menjaga suasana. Kutanggapi biasa layaknya aku tidak tahu apa-apa. Aku dan Nanda memang cukup dekat, hanya saja tidak berada dalam satu kamar. Kedekatan kami pun hanya sebatas teman kerja saja sebagai sesama perawat di rumah sakit swasta di kota ini. Jadi, tetap ada batasan pribadi yang kututup darinya. Namun berbeda dengan Nanda yang selalu mudah mencurahkan isi hatinya padaku setiap kali merasakan sesuatu pada seseorang, baik rasa suka maupun benci. Dia tidak segan-segan meluapkan perasaan itu di depanku. Termasuk m
Empat kamar di lantai bawah telah kami jajaki untuk mencari info yang Nanda inginkan. Dua orang penghuni kos yang Nanda tanyakan, sudah dipastikan bukan gadis yang dia cari. Tentu sesuai dengan jawaban dari Ayu dan Metha sebagai orang yang Nanda tuju di kamar lantai bawah itu. Sementara dua penghuni kos lainnya, walau tidak ditanya pun Nanda sudah tahu jawabannya, pasti bukan mereka. Mbak Asti dan mbak Dina tidak pantas menjadi adik dari mantan pacarnya itu, kata Nanda. Selain Mbak Asti yang berusia kepala empat, wanita itu pun sudah memiliki suami. Sementara mbak Dina, usianya juga terbilang lebih tua dari mbak Asti. Lagi pula, wajahnya tidak mendukung. Kata Nanda, yang pasti wanita ini tidak masuk kategori yang dia maksud. “Tinggal dua lagi, Num. Pasti kalo bukan Cici, ya Nita. Aku yakin, pasti salah satu di antara kedua gadis itu,” ucap Nanda dengan nada resah. Raut wajahnya pun tak kalah menggambarkan kegelisahan mendalam. “Ya, sudah. Kita coba tanya mereka,” usulku menenangk
Aku bergegas naik ke lantai dua indekos, sepulang dari membeli sarapan di warung nasi uduk di ujung gang yang masuk ke jalan raya. Hal utama yang memenuhi pikiranku saat ini adalah balasan pesan dari Nathan. Berharap, laki-laki itu sudah merespons pesanku setelah ponsel kutinggal di kamar kos sekitar sepuluh menit yang lalu. Aku memang sengaja tidak membawa benda pipih itu, agar aktivitasku membeli nasi uduk tidak terganggu dengan terus menekan tombol power di ponsel setiap waktu. Rasanya aneh dan menggelikan, hanya demi mengecek pesan dari Nathan, rela menyibukkan diri dengan hal yang di luar kebiasaan itu. Padahal, sebelumnya tidak pernah sedikit pun. Saat kaki sudah beberapa langkah sampai di lantai dua, terdengar panggilan yang tidak asing di telingaku. Aku hanya meminggirkan tubuh sedikit mepet ke besi pegangan teras, sambil menunggu Nanda karena terus memanggilku beberapa kali. Gadis itu nampak tergopoh-gopoh menaiki tangga demi secepatnya sampai ke hadapanku. “Ranum, kok, kam
Perbincanganku dengan tante Sintia yang berlangsung hampir setengah jam itu kututup dengan salam setelah ibu dari Nathan itu pamit lebih dulu. Aku kembali meletakan ponsel ke tempat semula, di atas kasur busa berlapis seprei bermotif Hello Kitty berwarna hijau daun. “Terancam gagal, deh, rencanaku,” gumamku kesal usai satu kali helaan napas kasar kuhempaskan. Kutinggalkan sejenak nasi uduk yang masih bersemayam di dalam kantong keresek berwarna hitam beserta kerupuk udang di sana. Rasa heran bercampur kesal membuat kemalasan menghampiri yang semakin mendukung tubuh ini untuk kembali merebah di sebelah ponsel. Bantal guling dalam pelukan yang tak mengerti apa-apa ini pun ikut menjadi korban atas luapan kegemasanku pada laki-laki bernama Nathan itu. Selain kuremas-remas kasar, kepalan tanganku juga beberapa kali mendarat pada benda itu, hingga berakhir dengan terlempar jauh setelah kutendang. Tak tertinggal pula dengan beberapa kata menjengkelkan yang selalu kulontarkan setiap kali
“Tante, maaf, ya, aku udah buat Tante khawatir,” ucapku bernada menyesal saat menghampiri tante Sintia dengan membawa nampan berisi dua minuman dan camilan yang kuambil dari dapur. “Tadi data internet gak kuaktifkan, jadi pesan dan panggilan gak masuk,” lanjutku setelah sampai di sofa ruang tamu tempat jamuan pengunjung indekos. Ruangan yang tidak terlalu luas ini dikhususkan untuk orang tua atau saudara yang mengunjungi penghuni indekos Bu Erna. Letaknya berada di sebelah kanan kamar kos yang terdiri dari delapan kamar itu, tepatnya di samping rumah Bu Erna. “Gak papa, Sayang. Kan, tante memang berniat datang ke sini,” sahut tante Sintia lembut. Senyum ramahnya tak lupa juga mengiringi ucapannya setiap kali berbincang denganku, itu yang kusadari sejak awal. “Oh, iya, Habibah. Tante juga minta maaf, ya, gak datang sama Nathan. Dia sibuk banget. Jadi, tante minta Si Raka ini untuk nganter. Ini keponakan tante,” jelas tante Sintia melanjutkan. Oh, namanya Raka. Dia juga tampan, tak k
“Habibah .... Nak.” “Astaghfirulloh, Mamah.” Jujur, aku kaget setengah hidup saat tepukan keras mamah mendarat di pangkuanku beberapa kali bersamaan dengan teguran yang hanya kudengar samar, hingga getaran tubuh ini begitu jelas kurasakan. “Mamah. Aku ....” “Kamu kenapa, Nak, hah? Tante Sintia sudah nunggu jawaban kamu dari tadi, malah melamun, sih. Kenapa?” tanya mamah sedikit berbisik. “Kamu gak papa ‘kan?” Aku menggeleng melempar senyum berseri menatap wajah mamah. Syukurlah, apa yang melintas di pikiranku tadi hanya bayangan semata, bukan nyata. Wajah mamah masih nampak bahagia, pun juga dengan papah. Aku menunduk sejenak sambil menghembuskan napas pelan sebanyak tiga kali, menghilangkan sangkaan dan bayangan buruk yang sempat menghampiri. “Maaf, Tante, Om dan semuanya.” Kalimat dari bibirku mulai mengudara memenuhi ruang makan. Aku mengedar pandangan dengan senyum yang kubuat seramah mungkin. “Sebelumnya saya minta maaf, sudah buat semuanya menunggu. Mungkin karena efek sedi
“Habibah, kedatangan tante sekeluarga ke sini punya niat lain selain silaturahmi.” Tante Sintia mulai membuka obrolan serius usai makan malam. Kalimatnya terhenti sejenak untuk sekedar mengedar pandangan ke arah kami yang masih memenuhi ruang makan. Dia tersenyum penuh ceria, nampak dari raut wajahnya yang berseri. “Untuk itu, tante dan om juga kedua orangtuamu ingin memastikan jawaban kamu atas perjodohan yang kami sepakati bersama. Tante harap, jawaban kamu sesuai dengan yang kami semua harapkan.” Aku mengangkat wajah yang sejak tadi setengah menunduk, lalu mengedar pandangan ke seluruh anggota. Tatapan mereka tak jauh beda dengan tante Sintia, begitu berseri, terutama mamah dan papah. Namun, hanya satu pandangan yang kutemukan nampak memendam penekanan mendalam. Sorot matanya datar. Hanya pandangan itu pula yang tidak mengarah kepadaku. Siapa lagi jika bukan Nathan. Sedikit pun tak pernah kudapati kami bertemu pandang meski di posisi tidak sengaja. Tapi anehnya, kenapa hanya aku
Sejak Awal datang ke rumah, aku memang tidak menyadari kondisi sekeliling. Maksudku, hanya kamar saja yang baru kujelajahi untuk meletakan tas juga melepas jilbab yang menutup rambutku sepanjang perjalanan dari indekos menuju rumah. Jadi, kondisi ruang makan yang ternyata telah dipenuhi beberapa menu makanan juga camilan belum tertangkap oleh pandangan kedua mataku. Baru kusadari setelah mamah memintaku menyajikan beberapa minuman dan camilan dari dapur untuk tamu satu keluarga yang baru datang. “Ayo, Bibah. Bawa itu ke ruang tamu,” perintah mamah yang seketika menggetarkan tubuhku karena rasa terkejut. Aku tidak menyadari kedatangannya, namun sosoknya sudah berada di sebelahku dan nampak tengah terburu-buru mengambil sesuatu. “Mamah, apa ini?” tanyaku meminta kepastian jawaban akan yang kulihat di ruang makan. “Emang mau ada acara apa, Mah. Kok, makanan banyak gitu?” “Sudah, Nak. Tanyanya nanti saja. Nanti juga kamu akan tahu.” Mamah berlalu begitu saja sambil membawa nampan beri
Tiga puluh menit sebelum waktu adzan Dzuhur berkumandang, tante Sintia akhirnya memutuskan pulang. Selain karena jam kerjaku akan datang sebentar lagi, dia pun tidak ingin waktu berangkatnya bertabrakan dengan waktu sholat, katanya. Mobil Honda CRV berwarna putih itu pun melaju perlahan meninggalkan area indekosku setelah lambaian tangan tante Sintia kuterima hangat. Setelah ini, aku tinggal berangkat kerja. Untungnya, kondisi kos tengah sepi, termasuk Nanda. Walau aku tidak tahu kemana dia pergi, atau mungkin memutuskan berangkat bekerja, namun kabarnya tak kudengar hingga kini. Padahal biasanya, dia sering mengirim pesan atau mengobrol ringan melalui chat. Dan pagi ini, semenjak itu, berpamitan saja tidak dia. Tapi, biarlah. Terkadang, seorang teman perlu diberi pelajaran untuk sedikit mengerti orang lain. Aku pun kembali masuk ke dalam kamar kos untuk bersiap berangkat ke rumah sakit. Dari sinilah, aku mulai sibuk seolah tak mengenal waktu. Ponsel yang biasa di tangan, lebih ser
“Habibah, tolong antarkan Raka ke toilet sebentar, ya?” Aku menghentikan langkah saat kembali menuju ruang tamu untuk bergabung dengan tante Sintia dan Raka. “Oh, tentu, Tante.” Aku dan Raka pun segera menuju toilet di belakang tangga lantai bawah. Saat langkah kami hampir mendekati pintu toilet, aku berhenti. Kupersilakan Raka melanjutkan sendiri karena tempat yang dia tuju sudah terlihat. “Terima kasih,” ucap Raka yang langsung kusahut ramah. “Oh, iya. Kalau tidak salah, kamu Ranum ‘kan?” Pertanyaan Raka sontak mengejutkanku tiba-tiba. Aku kembali berbalik badan menghadap kembali pria itu. “Kamu kenal aku?” tanyaku kemudian. Rasa terkejutku semakin bertambah saat dia mengangguk tersenyum ke arahku. “Sangat kenal, walau kamu pasti lupa sama aku.” Hah? Pria itu mengenalku di saat yang lain masih nampak asing ketika melihatku. Padahal, seingatku kami baru bertemu pertama kali ini. Sebelumnya, bahkan waktu di rumah Nathan, Raka tak kulihat di sana. Selain itu, Habibah adalah nama
“Tante, maaf, ya, aku udah buat Tante khawatir,” ucapku bernada menyesal saat menghampiri tante Sintia dengan membawa nampan berisi dua minuman dan camilan yang kuambil dari dapur. “Tadi data internet gak kuaktifkan, jadi pesan dan panggilan gak masuk,” lanjutku setelah sampai di sofa ruang tamu tempat jamuan pengunjung indekos. Ruangan yang tidak terlalu luas ini dikhususkan untuk orang tua atau saudara yang mengunjungi penghuni indekos Bu Erna. Letaknya berada di sebelah kanan kamar kos yang terdiri dari delapan kamar itu, tepatnya di samping rumah Bu Erna. “Gak papa, Sayang. Kan, tante memang berniat datang ke sini,” sahut tante Sintia lembut. Senyum ramahnya tak lupa juga mengiringi ucapannya setiap kali berbincang denganku, itu yang kusadari sejak awal. “Oh, iya, Habibah. Tante juga minta maaf, ya, gak datang sama Nathan. Dia sibuk banget. Jadi, tante minta Si Raka ini untuk nganter. Ini keponakan tante,” jelas tante Sintia melanjutkan. Oh, namanya Raka. Dia juga tampan, tak k
Perbincanganku dengan tante Sintia yang berlangsung hampir setengah jam itu kututup dengan salam setelah ibu dari Nathan itu pamit lebih dulu. Aku kembali meletakan ponsel ke tempat semula, di atas kasur busa berlapis seprei bermotif Hello Kitty berwarna hijau daun. “Terancam gagal, deh, rencanaku,” gumamku kesal usai satu kali helaan napas kasar kuhempaskan. Kutinggalkan sejenak nasi uduk yang masih bersemayam di dalam kantong keresek berwarna hitam beserta kerupuk udang di sana. Rasa heran bercampur kesal membuat kemalasan menghampiri yang semakin mendukung tubuh ini untuk kembali merebah di sebelah ponsel. Bantal guling dalam pelukan yang tak mengerti apa-apa ini pun ikut menjadi korban atas luapan kegemasanku pada laki-laki bernama Nathan itu. Selain kuremas-remas kasar, kepalan tanganku juga beberapa kali mendarat pada benda itu, hingga berakhir dengan terlempar jauh setelah kutendang. Tak tertinggal pula dengan beberapa kata menjengkelkan yang selalu kulontarkan setiap kali
Aku bergegas naik ke lantai dua indekos, sepulang dari membeli sarapan di warung nasi uduk di ujung gang yang masuk ke jalan raya. Hal utama yang memenuhi pikiranku saat ini adalah balasan pesan dari Nathan. Berharap, laki-laki itu sudah merespons pesanku setelah ponsel kutinggal di kamar kos sekitar sepuluh menit yang lalu. Aku memang sengaja tidak membawa benda pipih itu, agar aktivitasku membeli nasi uduk tidak terganggu dengan terus menekan tombol power di ponsel setiap waktu. Rasanya aneh dan menggelikan, hanya demi mengecek pesan dari Nathan, rela menyibukkan diri dengan hal yang di luar kebiasaan itu. Padahal, sebelumnya tidak pernah sedikit pun. Saat kaki sudah beberapa langkah sampai di lantai dua, terdengar panggilan yang tidak asing di telingaku. Aku hanya meminggirkan tubuh sedikit mepet ke besi pegangan teras, sambil menunggu Nanda karena terus memanggilku beberapa kali. Gadis itu nampak tergopoh-gopoh menaiki tangga demi secepatnya sampai ke hadapanku. “Ranum, kok, kam
Empat kamar di lantai bawah telah kami jajaki untuk mencari info yang Nanda inginkan. Dua orang penghuni kos yang Nanda tanyakan, sudah dipastikan bukan gadis yang dia cari. Tentu sesuai dengan jawaban dari Ayu dan Metha sebagai orang yang Nanda tuju di kamar lantai bawah itu. Sementara dua penghuni kos lainnya, walau tidak ditanya pun Nanda sudah tahu jawabannya, pasti bukan mereka. Mbak Asti dan mbak Dina tidak pantas menjadi adik dari mantan pacarnya itu, kata Nanda. Selain Mbak Asti yang berusia kepala empat, wanita itu pun sudah memiliki suami. Sementara mbak Dina, usianya juga terbilang lebih tua dari mbak Asti. Lagi pula, wajahnya tidak mendukung. Kata Nanda, yang pasti wanita ini tidak masuk kategori yang dia maksud. “Tinggal dua lagi, Num. Pasti kalo bukan Cici, ya Nita. Aku yakin, pasti salah satu di antara kedua gadis itu,” ucap Nanda dengan nada resah. Raut wajahnya pun tak kalah menggambarkan kegelisahan mendalam. “Ya, sudah. Kita coba tanya mereka,” usulku menenangk