Share

Kembali ke kota

Author: Bulan Mentari
last update Last Updated: 2022-09-21 05:52:50

Demi melancarkan rencana awalku, aku pun terpaksa menerima tawaran Nathan untuk mengantarku hingga ke tempat kos pagi ini. Dia bilang, mau sekalian kembali ke rumah pribadinya di kota sebelah, aku pun menyetujui itu. Padahal, arah kami justru bertolak belakang, tapi dia rela membuang waktu hanya demi mengantarku saja. 

Dari sini bisa kusimpulkan jika Nathan mulai menaruh rasa padaku. Aku yakin, cepat atau lambat dia akan jatuh ke pelukanku. Dengan begitu, rencana balas dendamku padanya akan berjalan sesuai alur yang kubuat. 

Keyakinkanku semakin diperkuat oleh sikap Nathan selama dalam perjalanan menuju indekosku. Dia menghentikan mobilnya lebih dulu di sebuah rumah makan agar kami bisa lebih dulu sarapan, lalu melanjutkan perjalanan setelah selesai. 

Selain itu, obrolan hangat dan canda tawa tak henti-hentinya dia lontarkan dengan ekspresi semangat sebagai seorang laki-laki ke lawan jenisnya demi mengiringi perjalanan kami yang mungkin saja akan terasa membosankan jika hanya diam saja. Tentu aku suka itu. 

Meski begitu, rasaku tidaklah sama seperti dulu. Kebencianku padanya atas perlakuan dia di masa lalu, tidak bisa menutupi sikap baik dia saat ini. Bahkan, aku telah lupa bagaimana perasaanku dulu saat masih memendam rasa yang tak pernah kuungkapkan padanya. 

“Sering-sering kasih kabar, ya, kalo walau sibuk bekerja. Aku juga akan begitu,” celetuk Nathan tiba-tiba memecahkan keheningan sesaat setelah gelak tawa karena sikap lucunya. “Ceritakan jika ada permasalahan apapun, aku siap menjadi pendengar setiamu.” Dia menoleh sejenak ke arahku dengan senyum yang sangat manis. 

“Oke. Tenang ajah,” sahutku santai. 

Tak lama, kami pun sampai di tempat aku menginap selama bekerja di rumah sakit kota. Aku bergegas menurunkan satu kardus berisi oleh-oleh yang mamah siapkan untuk teman di kosanku, dengan dibantu Nathan yang kemudian mengangkatnya menuju halaman bangunan lantai dua bercat hijau itu. 

“Mau aku antar ke kamarmu juga?” tawar Nathan saat baru mendaratkan kardus berisi beberapa camilan itu di dekat pintu pagar. Dia tidak berani masuk setelah kuberitahukan mengenai aturan kosku yang tidak membolehkan laki-laki untuk ikut masuk ke dalam selain saudara atau suami. 

Jadi, selama Nathan belum berstatus suami sahku, dia akan mengantarku hanya sampai di depan pagar saja. Meski begitu, laki-laki itu masih saja menawarkan hal yang sudah jelas bertolak belakang dengan aturan yang ada. Ya, walau tawarannya itu dia susul dengan tawa kecilnya. 

“Kamu hati-hati, ya. Pelan-pelan kalo naik ke tangga, ini berat soalnya,” ucapnya lagi yang semakin meledekku. Kalimat berlebihan itu membuatku ikut tertawa lepas hingga terdengar oleh Bu Erna. 

Wanita paruh baya itu perlahan menghampiri keberadaan kami yang masih di ambang pintu pagar. Seperti biasa, dia akan memasang wajah bengis pada laki-laki yang nampak tengah berbincang dengan penghuni kos jika masih berada di area bangunan miliknya. 

Tanpa menunggu Bu Erna bertanya, aku lebih dulu memberitahukan padanya mengenai status Nathan sebagai saudara yang mengantarku. Saudara dari pihak ibu tentunya, yang kuinfokan padanya. 

Tidak mungkin aku menyebut dia sebagai tunangan, apalagi jika masih pacaran, termasuk status teman. Karena aku pasti akan mendapatkan ceramah panjang lebar dari wanita yang sebenarnya ramah dan baik hati itu. Bu Erna hanya akan terlihat tidak ramah pada laki-laki yang belum dia kenali saja. 

“Oh. Ya, sudah, Nduk. Biarkan saja kardus itu di situ, biar kang Abdul saja yang membawanya nanti, kalo berat.” Bu Erna memberi saran. Namun, kali ini nadanya sudah terdengar ramah yang disusul senyum tipis dari bibirnya. Dia kemudian berlalu setelah Nathan juga ikut berpamitan padanya, dan aku menutup pintu pagar. 

“Loh, Kak Nathan! Kok, bisa ada di sini? Lagi ngapain?” 

Suara wanita yang menurutku tidak terlalu asing ditelinga itu mengejutkanku tiba-tiba. Aku menghentikan langkah saat sudah sampai di tangga kecil menuju teras. Bergegas, aku menoleh ke sumber suara yang sepertinya berada di depan pintu pagar itu. 

Kardus yang sebenarnya tidak terlalu berat ini, yang sudah kuangkat untuk kubawa masuk sendiri, aku letakan kembali di lantai teras. Langkahku kembali menuju pintu pagar untuk memastikan obrolan dari wanita yang kutebak adalah Nanda—teman satu kos di kamar sebelah. 

Dari balik pintu pagar, aku mencoba menguping pembicaraan Nanda dengan Nathan yang ternyata sudah saling mengenal. Tapi aku heran, dimana mereka pernah bertemu sehingga obrolan yang dipenuhi gelak tawa itu begitu nampak akrab sekali. Itu berarti, keduanya pernah saling dekat sebelumnya. 

Sontak, kejadian ini semakin membuatku penasaran. Mendadak, otak pun dipenuhi banyak tanda tanya yang membutuhkan jawabannya segera. Ternyata, takdir yang mempertemukan kembali antara aku dan Nathan menjadi cukup rumit, dengan hadirnya beberapa orang di belakang laki-laki itu. 

“Ranum, kamu sedang apa? Kenapa masih di situ?” 

Nada tegas Bu Erna menggetarkan tubuhku tiba-tiba. Aku langsung berbalik badan, lalu segera menghampiri wanita yang kini tengah berdiri di teras bersama kang Abdul. “Oh, iya, Bu. Maaf,” sahutku menutupi fakta yang ada. 

Aku tidak memberitahu perihal obrolan Nathan dan Nanda di luar pagar. Khawatir, jika nanti Nanda akan mendapatkan masalah karena aduanku yang tidak penting. 

“Ya, sudah. Masuklah!” 

Aku mengangguk mengiakan perintah Bu Erna, lalu melangkah menuju lantai dua mengikuti kang Abdul yang tengah berjalan sambil membawa kardus milikku. 

“Hai, Ranum. Kamu baru datang?” Nanda masuk ke dalam kamarku tanpa permisi. Pintu kamar yang sedikit terbuka membuatnya leluasa masuk begitu saja. Aku pikir, gadis itu masih sibuk berbincang dengan Nathan. 

“Iya, Nan,” sahutku pendek sambil terus membereskan beberapa barang yang kubawa dari rumah. 

Seperti biasa, kami langsung terlibat obrolan ringan yang menghangatkan suasana. Sifat supel dan ramah yang Nanda miliki membuat kami seolah tak berhenti berbincang. Dia terus bertanya, aku pun menjawab yang terkadang dilanjut dengan penjelasan memanjang juga melebar. 

Hingga rasa heran mendadak menghampiri benakku. Iya, aku menjadi bertanya-tanya, kenapa Nanda tidak bertanya padaku perihal laki-laki yang dia temui di luar tadi. Obrolan kami pun tidak sedikit pun menyinggung mengenai itu. Apakah Nanda menutupi soal Nathan? Atau, apa? 

Rasa penasaran tidak bisa kutepis begitu saja, karena ini menyangkut Nathan yang notabenenya adalah pria yang mungkin saja akan menjadi suamiku nanti jika acara perjodohan itu berjalan dengan lancar. 

“Nanda, laki-laki di depan tadi, kamu kenal?” Akhirnya, aku memberanikan bertanya. Ingin segera tahu jawaban dan penjelasan yang Nanda sampaikan. 

“Oh, laki-laki yang ngobrol sama aku tadi?” Nanda balik bertanya, yang kujawab dengan anggukan. 

“Dia itu teman SMA-ku dulu, Num. Malah, kami sempat pacaran.” 

Seketika, kedua mataku membelalak sempurna mendengar jawaban mengejutkan dari Nanda. Dengan santai, dia membuka cerita yang berkaitan dengan masa lalunya. Pasalnya, Nathan lah yang terlibat bersamanya, membuatku terkejut bukan kepalang. 

“Iya, kami pacaran. Cukup lama juga, loh. Dia ganteng, kan?” jelas Nanda setelah aku bertanya memastikan kebenaran yang dia sampaikan. 

Lagi-lagi, aku semakin dibuat terkejut oleh Nanda. Tak bisa dipungkiri, jika saat ini degupan jantung di dalam sana berdetak sangat cepat. Rasa tidak percaya begitu menusuk rongga dada, hingga rasa sesak seolah menghentikan napasku tiba-tiba. 

Jujur, aku tidak menyangka jika ternyata ada banyak wanita yang berada di belakang Nathan sebelumya. Lebih tepatnya, ada dua wanita yang kutahu ikut terlibat dalam masa lalu Nathan. Yang jelas kepastiannya baru satu, Nanda. Sementara gadis bernama Alina itu, aku belum mendapatkan info tentang dia. (*) 

Related chapters

  • Terpaksa Menikah dengan Pria yang Kubenci   Bab 10

    “Menurutmu gimana, Num, kalo aku balikan sama Kak Nathan? Cocok gak? Serasi gak?” Seperti biasa, tanpa basa basi Nanda langsung masuk ke dalam kamarku setelah mengetahui kepulanganku dari tempat kerja. Pakaian dinas perawat bahkan masih melekat di tubuhku, namun Nanda tidak merasa canggung sedikit pun jika harus melihatku berganti pakaian di depannya. “Balikan? Atas dasar apa?” tanyaku. Walau yang kurasakan saat ini bercampur aduk atas pertanyaan Nanda itu, aku tetap menjaga suasana. Kutanggapi biasa layaknya aku tidak tahu apa-apa. Aku dan Nanda memang cukup dekat, hanya saja tidak berada dalam satu kamar. Kedekatan kami pun hanya sebatas teman kerja saja sebagai sesama perawat di rumah sakit swasta di kota ini. Jadi, tetap ada batasan pribadi yang kututup darinya. Namun berbeda dengan Nanda yang selalu mudah mencurahkan isi hatinya padaku setiap kali merasakan sesuatu pada seseorang, baik rasa suka maupun benci. Dia tidak segan-segan meluapkan perasaan itu di depanku. Termasuk m

    Last Updated : 2022-09-22
  • Terpaksa Menikah dengan Pria yang Kubenci   Bab 11

    Empat kamar di lantai bawah telah kami jajaki untuk mencari info yang Nanda inginkan. Dua orang penghuni kos yang Nanda tanyakan, sudah dipastikan bukan gadis yang dia cari. Tentu sesuai dengan jawaban dari Ayu dan Metha sebagai orang yang Nanda tuju di kamar lantai bawah itu. Sementara dua penghuni kos lainnya, walau tidak ditanya pun Nanda sudah tahu jawabannya, pasti bukan mereka. Mbak Asti dan mbak Dina tidak pantas menjadi adik dari mantan pacarnya itu, kata Nanda. Selain Mbak Asti yang berusia kepala empat, wanita itu pun sudah memiliki suami. Sementara mbak Dina, usianya juga terbilang lebih tua dari mbak Asti. Lagi pula, wajahnya tidak mendukung. Kata Nanda, yang pasti wanita ini tidak masuk kategori yang dia maksud. “Tinggal dua lagi, Num. Pasti kalo bukan Cici, ya Nita. Aku yakin, pasti salah satu di antara kedua gadis itu,” ucap Nanda dengan nada resah. Raut wajahnya pun tak kalah menggambarkan kegelisahan mendalam. “Ya, sudah. Kita coba tanya mereka,” usulku menenangk

    Last Updated : 2022-09-22
  • Terpaksa Menikah dengan Pria yang Kubenci   Bab 12

    Aku bergegas naik ke lantai dua indekos, sepulang dari membeli sarapan di warung nasi uduk di ujung gang yang masuk ke jalan raya. Hal utama yang memenuhi pikiranku saat ini adalah balasan pesan dari Nathan. Berharap, laki-laki itu sudah merespons pesanku setelah ponsel kutinggal di kamar kos sekitar sepuluh menit yang lalu. Aku memang sengaja tidak membawa benda pipih itu, agar aktivitasku membeli nasi uduk tidak terganggu dengan terus menekan tombol power di ponsel setiap waktu. Rasanya aneh dan menggelikan, hanya demi mengecek pesan dari Nathan, rela menyibukkan diri dengan hal yang di luar kebiasaan itu. Padahal, sebelumnya tidak pernah sedikit pun. Saat kaki sudah beberapa langkah sampai di lantai dua, terdengar panggilan yang tidak asing di telingaku. Aku hanya meminggirkan tubuh sedikit mepet ke besi pegangan teras, sambil menunggu Nanda karena terus memanggilku beberapa kali. Gadis itu nampak tergopoh-gopoh menaiki tangga demi secepatnya sampai ke hadapanku. “Ranum, kok, kam

    Last Updated : 2022-09-22
  • Terpaksa Menikah dengan Pria yang Kubenci   Bab 13

    Perbincanganku dengan tante Sintia yang berlangsung hampir setengah jam itu kututup dengan salam setelah ibu dari Nathan itu pamit lebih dulu. Aku kembali meletakan ponsel ke tempat semula, di atas kasur busa berlapis seprei bermotif Hello Kitty berwarna hijau daun. “Terancam gagal, deh, rencanaku,” gumamku kesal usai satu kali helaan napas kasar kuhempaskan. Kutinggalkan sejenak nasi uduk yang masih bersemayam di dalam kantong keresek berwarna hitam beserta kerupuk udang di sana. Rasa heran bercampur kesal membuat kemalasan menghampiri yang semakin mendukung tubuh ini untuk kembali merebah di sebelah ponsel. Bantal guling dalam pelukan yang tak mengerti apa-apa ini pun ikut menjadi korban atas luapan kegemasanku pada laki-laki bernama Nathan itu. Selain kuremas-remas kasar, kepalan tanganku juga beberapa kali mendarat pada benda itu, hingga berakhir dengan terlempar jauh setelah kutendang. Tak tertinggal pula dengan beberapa kata menjengkelkan yang selalu kulontarkan setiap kali

    Last Updated : 2022-09-23
  • Terpaksa Menikah dengan Pria yang Kubenci   Bab 14

    “Tante, maaf, ya, aku udah buat Tante khawatir,” ucapku bernada menyesal saat menghampiri tante Sintia dengan membawa nampan berisi dua minuman dan camilan yang kuambil dari dapur. “Tadi data internet gak kuaktifkan, jadi pesan dan panggilan gak masuk,” lanjutku setelah sampai di sofa ruang tamu tempat jamuan pengunjung indekos. Ruangan yang tidak terlalu luas ini dikhususkan untuk orang tua atau saudara yang mengunjungi penghuni indekos Bu Erna. Letaknya berada di sebelah kanan kamar kos yang terdiri dari delapan kamar itu, tepatnya di samping rumah Bu Erna. “Gak papa, Sayang. Kan, tante memang berniat datang ke sini,” sahut tante Sintia lembut. Senyum ramahnya tak lupa juga mengiringi ucapannya setiap kali berbincang denganku, itu yang kusadari sejak awal. “Oh, iya, Habibah. Tante juga minta maaf, ya, gak datang sama Nathan. Dia sibuk banget. Jadi, tante minta Si Raka ini untuk nganter. Ini keponakan tante,” jelas tante Sintia melanjutkan. Oh, namanya Raka. Dia juga tampan, tak k

    Last Updated : 2022-09-25
  • Terpaksa Menikah dengan Pria yang Kubenci   Bab 15

    “Habibah, tolong antarkan Raka ke toilet sebentar, ya?” Aku menghentikan langkah saat kembali menuju ruang tamu untuk bergabung dengan tante Sintia dan Raka. “Oh, tentu, Tante.” Aku dan Raka pun segera menuju toilet di belakang tangga lantai bawah. Saat langkah kami hampir mendekati pintu toilet, aku berhenti. Kupersilakan Raka melanjutkan sendiri karena tempat yang dia tuju sudah terlihat. “Terima kasih,” ucap Raka yang langsung kusahut ramah. “Oh, iya. Kalau tidak salah, kamu Ranum ‘kan?” Pertanyaan Raka sontak mengejutkanku tiba-tiba. Aku kembali berbalik badan menghadap kembali pria itu. “Kamu kenal aku?” tanyaku kemudian. Rasa terkejutku semakin bertambah saat dia mengangguk tersenyum ke arahku. “Sangat kenal, walau kamu pasti lupa sama aku.” Hah? Pria itu mengenalku di saat yang lain masih nampak asing ketika melihatku. Padahal, seingatku kami baru bertemu pertama kali ini. Sebelumnya, bahkan waktu di rumah Nathan, Raka tak kulihat di sana. Selain itu, Habibah adalah nama

    Last Updated : 2022-09-26
  • Terpaksa Menikah dengan Pria yang Kubenci   Bab 16

    Tiga puluh menit sebelum waktu adzan Dzuhur berkumandang, tante Sintia akhirnya memutuskan pulang. Selain karena jam kerjaku akan datang sebentar lagi, dia pun tidak ingin waktu berangkatnya bertabrakan dengan waktu sholat, katanya. Mobil Honda CRV berwarna putih itu pun melaju perlahan meninggalkan area indekosku setelah lambaian tangan tante Sintia kuterima hangat. Setelah ini, aku tinggal berangkat kerja. Untungnya, kondisi kos tengah sepi, termasuk Nanda. Walau aku tidak tahu kemana dia pergi, atau mungkin memutuskan berangkat bekerja, namun kabarnya tak kudengar hingga kini. Padahal biasanya, dia sering mengirim pesan atau mengobrol ringan melalui chat. Dan pagi ini, semenjak itu, berpamitan saja tidak dia. Tapi, biarlah. Terkadang, seorang teman perlu diberi pelajaran untuk sedikit mengerti orang lain. Aku pun kembali masuk ke dalam kamar kos untuk bersiap berangkat ke rumah sakit. Dari sinilah, aku mulai sibuk seolah tak mengenal waktu. Ponsel yang biasa di tangan, lebih ser

    Last Updated : 2022-09-28
  • Terpaksa Menikah dengan Pria yang Kubenci   Bab 17

    Sejak Awal datang ke rumah, aku memang tidak menyadari kondisi sekeliling. Maksudku, hanya kamar saja yang baru kujelajahi untuk meletakan tas juga melepas jilbab yang menutup rambutku sepanjang perjalanan dari indekos menuju rumah. Jadi, kondisi ruang makan yang ternyata telah dipenuhi beberapa menu makanan juga camilan belum tertangkap oleh pandangan kedua mataku. Baru kusadari setelah mamah memintaku menyajikan beberapa minuman dan camilan dari dapur untuk tamu satu keluarga yang baru datang. “Ayo, Bibah. Bawa itu ke ruang tamu,” perintah mamah yang seketika menggetarkan tubuhku karena rasa terkejut. Aku tidak menyadari kedatangannya, namun sosoknya sudah berada di sebelahku dan nampak tengah terburu-buru mengambil sesuatu. “Mamah, apa ini?” tanyaku meminta kepastian jawaban akan yang kulihat di ruang makan. “Emang mau ada acara apa, Mah. Kok, makanan banyak gitu?” “Sudah, Nak. Tanyanya nanti saja. Nanti juga kamu akan tahu.” Mamah berlalu begitu saja sambil membawa nampan beri

    Last Updated : 2022-10-01

Latest chapter

  • Terpaksa Menikah dengan Pria yang Kubenci   Bab 19

    “Habibah .... Nak.” “Astaghfirulloh, Mamah.” Jujur, aku kaget setengah hidup saat tepukan keras mamah mendarat di pangkuanku beberapa kali bersamaan dengan teguran yang hanya kudengar samar, hingga getaran tubuh ini begitu jelas kurasakan. “Mamah. Aku ....” “Kamu kenapa, Nak, hah? Tante Sintia sudah nunggu jawaban kamu dari tadi, malah melamun, sih. Kenapa?” tanya mamah sedikit berbisik. “Kamu gak papa ‘kan?” Aku menggeleng melempar senyum berseri menatap wajah mamah. Syukurlah, apa yang melintas di pikiranku tadi hanya bayangan semata, bukan nyata. Wajah mamah masih nampak bahagia, pun juga dengan papah. Aku menunduk sejenak sambil menghembuskan napas pelan sebanyak tiga kali, menghilangkan sangkaan dan bayangan buruk yang sempat menghampiri. “Maaf, Tante, Om dan semuanya.” Kalimat dari bibirku mulai mengudara memenuhi ruang makan. Aku mengedar pandangan dengan senyum yang kubuat seramah mungkin. “Sebelumnya saya minta maaf, sudah buat semuanya menunggu. Mungkin karena efek sedi

  • Terpaksa Menikah dengan Pria yang Kubenci   Bab 18

    “Habibah, kedatangan tante sekeluarga ke sini punya niat lain selain silaturahmi.” Tante Sintia mulai membuka obrolan serius usai makan malam. Kalimatnya terhenti sejenak untuk sekedar mengedar pandangan ke arah kami yang masih memenuhi ruang makan. Dia tersenyum penuh ceria, nampak dari raut wajahnya yang berseri. “Untuk itu, tante dan om juga kedua orangtuamu ingin memastikan jawaban kamu atas perjodohan yang kami sepakati bersama. Tante harap, jawaban kamu sesuai dengan yang kami semua harapkan.” Aku mengangkat wajah yang sejak tadi setengah menunduk, lalu mengedar pandangan ke seluruh anggota. Tatapan mereka tak jauh beda dengan tante Sintia, begitu berseri, terutama mamah dan papah. Namun, hanya satu pandangan yang kutemukan nampak memendam penekanan mendalam. Sorot matanya datar. Hanya pandangan itu pula yang tidak mengarah kepadaku. Siapa lagi jika bukan Nathan. Sedikit pun tak pernah kudapati kami bertemu pandang meski di posisi tidak sengaja. Tapi anehnya, kenapa hanya aku

  • Terpaksa Menikah dengan Pria yang Kubenci   Bab 17

    Sejak Awal datang ke rumah, aku memang tidak menyadari kondisi sekeliling. Maksudku, hanya kamar saja yang baru kujelajahi untuk meletakan tas juga melepas jilbab yang menutup rambutku sepanjang perjalanan dari indekos menuju rumah. Jadi, kondisi ruang makan yang ternyata telah dipenuhi beberapa menu makanan juga camilan belum tertangkap oleh pandangan kedua mataku. Baru kusadari setelah mamah memintaku menyajikan beberapa minuman dan camilan dari dapur untuk tamu satu keluarga yang baru datang. “Ayo, Bibah. Bawa itu ke ruang tamu,” perintah mamah yang seketika menggetarkan tubuhku karena rasa terkejut. Aku tidak menyadari kedatangannya, namun sosoknya sudah berada di sebelahku dan nampak tengah terburu-buru mengambil sesuatu. “Mamah, apa ini?” tanyaku meminta kepastian jawaban akan yang kulihat di ruang makan. “Emang mau ada acara apa, Mah. Kok, makanan banyak gitu?” “Sudah, Nak. Tanyanya nanti saja. Nanti juga kamu akan tahu.” Mamah berlalu begitu saja sambil membawa nampan beri

  • Terpaksa Menikah dengan Pria yang Kubenci   Bab 16

    Tiga puluh menit sebelum waktu adzan Dzuhur berkumandang, tante Sintia akhirnya memutuskan pulang. Selain karena jam kerjaku akan datang sebentar lagi, dia pun tidak ingin waktu berangkatnya bertabrakan dengan waktu sholat, katanya. Mobil Honda CRV berwarna putih itu pun melaju perlahan meninggalkan area indekosku setelah lambaian tangan tante Sintia kuterima hangat. Setelah ini, aku tinggal berangkat kerja. Untungnya, kondisi kos tengah sepi, termasuk Nanda. Walau aku tidak tahu kemana dia pergi, atau mungkin memutuskan berangkat bekerja, namun kabarnya tak kudengar hingga kini. Padahal biasanya, dia sering mengirim pesan atau mengobrol ringan melalui chat. Dan pagi ini, semenjak itu, berpamitan saja tidak dia. Tapi, biarlah. Terkadang, seorang teman perlu diberi pelajaran untuk sedikit mengerti orang lain. Aku pun kembali masuk ke dalam kamar kos untuk bersiap berangkat ke rumah sakit. Dari sinilah, aku mulai sibuk seolah tak mengenal waktu. Ponsel yang biasa di tangan, lebih ser

  • Terpaksa Menikah dengan Pria yang Kubenci   Bab 15

    “Habibah, tolong antarkan Raka ke toilet sebentar, ya?” Aku menghentikan langkah saat kembali menuju ruang tamu untuk bergabung dengan tante Sintia dan Raka. “Oh, tentu, Tante.” Aku dan Raka pun segera menuju toilet di belakang tangga lantai bawah. Saat langkah kami hampir mendekati pintu toilet, aku berhenti. Kupersilakan Raka melanjutkan sendiri karena tempat yang dia tuju sudah terlihat. “Terima kasih,” ucap Raka yang langsung kusahut ramah. “Oh, iya. Kalau tidak salah, kamu Ranum ‘kan?” Pertanyaan Raka sontak mengejutkanku tiba-tiba. Aku kembali berbalik badan menghadap kembali pria itu. “Kamu kenal aku?” tanyaku kemudian. Rasa terkejutku semakin bertambah saat dia mengangguk tersenyum ke arahku. “Sangat kenal, walau kamu pasti lupa sama aku.” Hah? Pria itu mengenalku di saat yang lain masih nampak asing ketika melihatku. Padahal, seingatku kami baru bertemu pertama kali ini. Sebelumnya, bahkan waktu di rumah Nathan, Raka tak kulihat di sana. Selain itu, Habibah adalah nama

  • Terpaksa Menikah dengan Pria yang Kubenci   Bab 14

    “Tante, maaf, ya, aku udah buat Tante khawatir,” ucapku bernada menyesal saat menghampiri tante Sintia dengan membawa nampan berisi dua minuman dan camilan yang kuambil dari dapur. “Tadi data internet gak kuaktifkan, jadi pesan dan panggilan gak masuk,” lanjutku setelah sampai di sofa ruang tamu tempat jamuan pengunjung indekos. Ruangan yang tidak terlalu luas ini dikhususkan untuk orang tua atau saudara yang mengunjungi penghuni indekos Bu Erna. Letaknya berada di sebelah kanan kamar kos yang terdiri dari delapan kamar itu, tepatnya di samping rumah Bu Erna. “Gak papa, Sayang. Kan, tante memang berniat datang ke sini,” sahut tante Sintia lembut. Senyum ramahnya tak lupa juga mengiringi ucapannya setiap kali berbincang denganku, itu yang kusadari sejak awal. “Oh, iya, Habibah. Tante juga minta maaf, ya, gak datang sama Nathan. Dia sibuk banget. Jadi, tante minta Si Raka ini untuk nganter. Ini keponakan tante,” jelas tante Sintia melanjutkan. Oh, namanya Raka. Dia juga tampan, tak k

  • Terpaksa Menikah dengan Pria yang Kubenci   Bab 13

    Perbincanganku dengan tante Sintia yang berlangsung hampir setengah jam itu kututup dengan salam setelah ibu dari Nathan itu pamit lebih dulu. Aku kembali meletakan ponsel ke tempat semula, di atas kasur busa berlapis seprei bermotif Hello Kitty berwarna hijau daun. “Terancam gagal, deh, rencanaku,” gumamku kesal usai satu kali helaan napas kasar kuhempaskan. Kutinggalkan sejenak nasi uduk yang masih bersemayam di dalam kantong keresek berwarna hitam beserta kerupuk udang di sana. Rasa heran bercampur kesal membuat kemalasan menghampiri yang semakin mendukung tubuh ini untuk kembali merebah di sebelah ponsel. Bantal guling dalam pelukan yang tak mengerti apa-apa ini pun ikut menjadi korban atas luapan kegemasanku pada laki-laki bernama Nathan itu. Selain kuremas-remas kasar, kepalan tanganku juga beberapa kali mendarat pada benda itu, hingga berakhir dengan terlempar jauh setelah kutendang. Tak tertinggal pula dengan beberapa kata menjengkelkan yang selalu kulontarkan setiap kali

  • Terpaksa Menikah dengan Pria yang Kubenci   Bab 12

    Aku bergegas naik ke lantai dua indekos, sepulang dari membeli sarapan di warung nasi uduk di ujung gang yang masuk ke jalan raya. Hal utama yang memenuhi pikiranku saat ini adalah balasan pesan dari Nathan. Berharap, laki-laki itu sudah merespons pesanku setelah ponsel kutinggal di kamar kos sekitar sepuluh menit yang lalu. Aku memang sengaja tidak membawa benda pipih itu, agar aktivitasku membeli nasi uduk tidak terganggu dengan terus menekan tombol power di ponsel setiap waktu. Rasanya aneh dan menggelikan, hanya demi mengecek pesan dari Nathan, rela menyibukkan diri dengan hal yang di luar kebiasaan itu. Padahal, sebelumnya tidak pernah sedikit pun. Saat kaki sudah beberapa langkah sampai di lantai dua, terdengar panggilan yang tidak asing di telingaku. Aku hanya meminggirkan tubuh sedikit mepet ke besi pegangan teras, sambil menunggu Nanda karena terus memanggilku beberapa kali. Gadis itu nampak tergopoh-gopoh menaiki tangga demi secepatnya sampai ke hadapanku. “Ranum, kok, kam

  • Terpaksa Menikah dengan Pria yang Kubenci   Bab 11

    Empat kamar di lantai bawah telah kami jajaki untuk mencari info yang Nanda inginkan. Dua orang penghuni kos yang Nanda tanyakan, sudah dipastikan bukan gadis yang dia cari. Tentu sesuai dengan jawaban dari Ayu dan Metha sebagai orang yang Nanda tuju di kamar lantai bawah itu. Sementara dua penghuni kos lainnya, walau tidak ditanya pun Nanda sudah tahu jawabannya, pasti bukan mereka. Mbak Asti dan mbak Dina tidak pantas menjadi adik dari mantan pacarnya itu, kata Nanda. Selain Mbak Asti yang berusia kepala empat, wanita itu pun sudah memiliki suami. Sementara mbak Dina, usianya juga terbilang lebih tua dari mbak Asti. Lagi pula, wajahnya tidak mendukung. Kata Nanda, yang pasti wanita ini tidak masuk kategori yang dia maksud. “Tinggal dua lagi, Num. Pasti kalo bukan Cici, ya Nita. Aku yakin, pasti salah satu di antara kedua gadis itu,” ucap Nanda dengan nada resah. Raut wajahnya pun tak kalah menggambarkan kegelisahan mendalam. “Ya, sudah. Kita coba tanya mereka,” usulku menenangk

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status