***
“Dayana, kamu masih di sana?” Suara Zerga kembali terdengar setelah Dayana hanya diam saking terkejutnya. “Y-ya, aku di sini,” sahutnya tergagap. Zerga menghela napas sebelum berkata, “Saya akan tunggu jawaban dari kamu. Saya harap kamu bisa ambil keputusan terbaik,” katanya. Dayana tidak mengatakan apapun. Lidahnya terasa kelu. “Dan satu pesan dari saya; jangan pernah berniat menggugurkan bayi yang kamu kandung, karena janin itu nggak punya salah apa pun. Ayahnya yang salah, karena nggak mau tanggung jawab. Jadi jangan lampiaskan ke makhluk suci yang nggak bisa memilih kapan hadir." Ucapan Zerga terus terngiang hingga beberapa jam kemudian. Dayana berbaring dengan posisi miring di atas kasurnya. Perasaannya campur aduk. Ia gelisah dan bingung harus melakukan apa. Ia tak menyangka Zerga tiba-tiba bersedia untuk bertanggungjawab. Dayana sempat bertanya alasan pria itu mau menikahinya, karena pernikahan adalah sesuatu yang serius. Dan Zerga memberikannya dua alasan, yaitu; Pertama, Dayana adalah adik tingkat Zerga ketika kuliah dulu, sehingga bagaimana sifat dan sikap Dayana, Zerga tahu, dan tentunya dia percaya jika Dayana tak berbohong. Dua, Zerga adalah saudara kembar sekaligus Kakak sulung Ganesh, sehingga ketika pria itu mengacau, dia merasa punya tanggung jawab untuk mengatasi kekacauan yang dibuat sang adik, termasuk kehamilan Dayana saat ini. “Aku harus apa …,” lirih Dayana pada dirinya sendiri. Di satu sisi, dia lega karena ada yang mau tanggung jawab untuk bayi yang dikandungnya. Tapi di sisi lain, Dayana merasa tak enak hati. Zerga bukan pria yang membuatnya hamil. Mengapa dia yang bertanggung jawab?” Dayana terus larut dalam rasa gundah sampai akhirnya sekitar pukul sepuluh malam, sebuah ketukan terdengar—disusul panggilan dari Amelia. Dayana menyambut sahabatnya yang memang sebelumnya punya rencana berkunjung. Duduk bersama di tepi kasur, Dayana pun menceritakan semuanya pada Amelia, termasuk tawaran dari Zerga. "Bagus dong itu," ucap Amelia setelah cerita panjang lebar Dayana selesai. "Zerga bahkan jauh lebih pantas untuk kamu daripada Ganesh. Dia CEO di perusahaan orang tuanya, punya sifat dan sikap yang baik, terus yang utama adalah dia enggak main perempuan kayak Ganesh." "Aku enggak enak, Mel," desah Dayana—mengungkap lagi beban yang membuatnya sulit memilih. "Yang salah di sini tuh Ganesh, masa Kak Zerga yang tanggung jawab?" "Ya nggak masalah," jawab Amelia santai, seolah kekhawatiran Dayana barusan bukanlah masalah serius. "Toh, Zerga juga kan yang nawarin? Bukan kamu yang minta. Lagian anak kamu juga pasti lebih bangga punya Bapak kayak Zerga dibanding Ganesh. Percaya sama aku." Tak tahu harus menimpali apa, pada akhirnya Dayana hanya bisa menghembuskan napas kasar sebagai respon. "Udah, tidur aja dulu sekarang. Siapa tahu besok kamu udah dapat pencerahan," kata Amelia. "Saran aku, kamu terima tawaran Zerga. Kesempatan nggak datang dua kali, Day." "Nanti aku pikirin lagi," ucap Dayana lagi. "Aku nggak mau egois, karena meskipun butuh pertanggungjawaban, rasanya nggak enak juga kalau harus mengorbankan Kak Zerga." "Kak Zerga nggak dikorbanin, Day, kan dia yang nawarin sendiri," ucap Amelia, mengoreksi ucapan Dayana. "Kalau kamu yang maksa, itu baru dikorbanin." Dayana tersenyum samar. Tiba-tiba teringat lagi pada interaksinya dan Zerga ketika masa kuliah. Seulas senyum getir terukir hingga Amelia memintanya untuk istirahat. Sementara itu, jauh di sebuah rumah mewah, seorang pria justru kesulitan menutup mata. Tiba-tiba saja, Ganesh teringat Dayana, pun segala pengakuan perempuan itu ketika dua kali bertemu dengannya. Entah mengapa, hal tersebut membuat Ganesh tak nyaman. "Kenapa harus mikirin perempuan itu sih?" tanya Ganesh pada dirinya sendiri, sambil mencoba menepis bayangan Dayana dari kepalanya. Setelah kesulitan, pukul setengah dua belas malam Ganesh akhirnya terlelap. Tak ada yang terjadi, malam berlalu dengan tenang hingga pagi menjelang. Ganesh menjalani aktivitasnya seperti biasa. Di tengah pemotretan, sebuah panggilan masuk ke ponselnya. Mendapati nama sang ibu, Ganesh mengernyit sebelum kemudian menjawab panggilan. Menepi dari tempat ramai, dia menyapa, "Halo, Bu, kenapa?" "Ganesh, Ibu shock," ucap Athaya—sang ibu dari seberang sambungan. "Badan Ibu gemeter, dan Ibu rasanya pengen nangis." "Apa apa, Bu?" tanya Ganesh, seketika dilanda rasa khawatir. "Kenapa? Ada yang terjadi?" "Zerga—" ucap Athaya dengan suara tercekat. "Dia hamilin anak orang, Ganesh! Dan sekarang perempuan itu minta tanggung jawab. Ibu harus gimana? Kaget Ibu, sampai rasanya nggak tahu harus ngomong apa." "Apa??" tanya Ganesh berusaha tenang, meskipun rasa kaget menghampirinya. Bukan apa-apa, yang dia tahu Zerga adalah pria baik-baik. Tak seperti dirinya yang seringkali memiliki hubungan dengan banyak perempuan, Zerga tipe laki-laki yang bahkan jarang sekali terdengar dekat dengan seseorang, sehingga ketika kabar tentang sang kakak yang katanya menghamili seorang gadis, Ganesh sulit percaya. "Ibu juga nggak tahu, Ganesh, tapi yang jelas barusan Zerga baru aja bilang ke Papa," ucap Athaya. "Katanya dia sama pacarnya itu khilaf sampai akhirnya tidur berdua, dan sekarang pacarnya hamil. Shock banget Ibu. Nggak tahu harus kasih respon apa karena ini di luar dugaan." Ganesh berusaha menelan rasa terkejutnya. Dia tidak tahu mana yang lebih mengejutkan, Zerga punya pacar atau Zerga yang menghamili pacarnya. "Aku tahu betul Zerga kayak gimana, Bu. Ini benar-benar nggak masuk akal." "Ibu tahu," ucap Athaya. "Jantung Ibu bahkan masih kencang sampai sekarang saking shocknya…." Ganesh tak tahu harus berkata apa. Namun, ada sesuatu yang mengusiknya. "Siapa perempuan itu, Bu? Barangkali Ganesh kenal," tanyanya. "Dayana, Ganesh, mantan manajer kamu."***"Siapa?"Sambil beringsut secara perlahan, pertanyaan tersebut meluncur dari mulut Dayana setelah suara ketukan terdengar dari pintu.Tak pergi bekerja, siang ini dia menetap di kost setelah pagi tadi morning sickness parah dialaminya. Awalnya Dayana berniat untuk tetap bekerja. Namun, larangan dari Zerga yang pagi sekali sudah menghubunginya membuat dia manut pada perintah pria itu.Brak! Brak! Brak!Bukan lagi ketukan, selanjutnya yang Dayana dengar di pintu adalah sebuah tepukan kasar sehingga sambil menahan rasa tak nyaman di perut, dia kembali buka suara."Iya, sebentar!"Berjalan dengan langkah gontai, Dayana membuka pintu kost secara perlahan, kemudian betapa terkejutnya dia setelah di depannya kini berdiri seorang pria yang tak asing lagi.Bukan Zerga yang katanya berjanji akan datang setelah urusan dengan sang orang tua selesai, yang berdiri di depan Dayana justru Ganesh.Pria itu menatap Dayana intens—membuat yang ditatap, dihampiri rasa gugup bahkan takut."Ganesh….""K
“Kak, aku udah siap.”Dengan penampilan yang lebih rapi dari sebelumnya, Dayana memanggil Zerga. Perdebatan bersama Ganesh sudah usai beberapa saat yang lalu. Pria itu tetap tidak mau bertanggungjawab. Kasihan melihat Dayana terus memohon, Zerga melanjutkan niat baiknya untuk menikahi perempuan itu. Siang ini, Zerga mengajak Dayana ke rumah untuk menemui orang tuanya.“Cantik,” puji Zerga melihat penampilan Dayana. “Masih mual enggak?”“Enggak terlalu, Kak,” ucap Dayana dengan senyuman yang canggung. “Kakak bawa mobil?”“Iya di depan,” sahut Zerga sekenanya. “Ayo. Orang tua saya sudah nungguin kamu.”Lagi, Dayana tersenyum samar. Mengikuti Zerga yang sudah berbalik lebih dulu, pikirannya penuh. Ia masih merasa tak enak pada Zerga. Andai bisa, dia ingin sekali mengubah keputusan. Namun, ketidakmapanan Dayana dalam masalah ekonomi membuat keinginannya maju mundur. “Silakan,” ucap Zerga usai membuka pintu mobil.“A-aku duduk di depan, Kak?” tanya Dayana tergagap.“Iya. Kenapa?” tanya
Zerga melayangkan tatapan tajam, sementara pria di ambang pintu yang tak lain adalah Ganesh, berdiri dengan raut wajah berani. Ada di rumah setelah pergi dari kost Dayana, Ganesh menguping semua pembicaraan. Mencari momen yang tepat, dia keluar dari persembunyian setelah sang papa mengajak Dayana tinggal di rumahnya.Tak mau tinggal serumah dengan gadis itu, Ganesh bertekad menggagalkan rencana kedua orang tuanya. Sekali pun harus berdebat, dia rasanya siap karena tentang Dayana, feelingnya cukup buruk."Maksud kamu apa bicara begitu?" tanya Zerga. "Ada yang minta pendapat kamu memangnya di sini?"Ganesh memasang raut wajah tak acuh. Sambil memasukan kedua tangan ke dalam saku, tatapan angkuh dia berikan pada Dayana sebelum menimpali ucapan sang kakak."Aku salah satu penghuni di rumah ini. Jadi aku berhak berpendapat," jawabnya. Beralih pada Roby, dia berkata, "Lagipula apa enggak takut jadi gunjingan tetangga kalau Dayana tinggal sama kita? Dia dan Bang Zerga enggak ada ikatan apa-
***"Ck, tepat enggak ya keputusan yang aku ambil?"Dayana termenung. Dilanda bimbang, dia menimang lagi keputusannya untuk tinggal di kediaman Zerga. Meskipun disambut baik semua orang, Dayana tak tenang karena ada Ganesh yang menolak kehadirannya.Takut menghadirkan huru-hara di dalam keluarga Zerga, Dayana ingin membatalkan keputusan kemarin. Namun, Zerga pasti tak terima karena jika melihat bagaimana pria itu melindunginya, keseriusan Zerga tentang tanggung jawab, begitu nyata."Takut banget bikin keluarga Kak Zerga enggak akur."Duduk di ujung kasur, Dayana bermonolog. Sudah berpenampilan rapi, saat ini dia sedang menunggu jemputan ke rumah Zerga. Jika tak ada halangan, katanya dia akan dijemput pukul delapan pagi."Tapi kalau mendadak berubah pikiran, Kak Zerga pasti ngedesak buat ta-"Belum selesai Dayana bicara, ponselnya berdering. Mendapat telepon dari Zerga, dia lekas menjawab."Halo, Kak.""Halo, Day, kamu sudah siap kan untuk pindah?" tanya Zerga."Udah, Kak," jawab Dayan
***"Akh … Ganesh, tolong, ini salah!"Sekali lagi, Dayana kembali mendorong pria berkaos hitam yang saat ini mengungkung tubuhnya. Namun, pria di atas tubuh Dayana itu justru semakin menggila. Sambil meracau, pria tersebut bahkan tanpa ragu mendaratkan hidung bangirnya di ceruk leher Dayana—membuat perempuan itu tak kuasa menahan geliatan karena gelenyar aneh yang tercipta.“H-hentikan … ah—!”Lenguhan itu lolos dari bibir Dayana saat Ganesh menggigit ujung daun telinganya dengan sensual. Tangannya juga sibuk menjelajahi tubuh Dayana yang mulai bergetar di bawahnya. Dia adalah Adiasta Ganesh, seorang selebgram sekaligus model di sebuah agensi yang Dayana manajeri.Malam ini, Ganesh mendapat undangan birthday party dari salah satu teman satu profesi di sebuah kelab malam. Pesta berjalan dengan semestinya hingga orang-orang yang hadir di sebuah ruangan VIP mulai menggila dan kehilangan kendali.Hampir semua orang mabuk setelah menegak alkohol dalam dosis yang tak sedikit, dan Ganesh
***"Gimana hasilnya? Negatif, kan?"Dayana membisu dengan atensi yang tertuju pada testpack di tangan kirinya. Ia terduduk lemas di closet di kamar mandi kostnya, kedua matanya basah oleh cairan bening sementara perasaannya sendiri porak-poranda.Setelah kabur dari Ganesh usai dirusak pria itu sebulan yang lalu, Dayana pikir penderitaannya selesai. Sudah dua minggu ini dia bekerja di sebuah minimarket, menjalani hari dengan nelangsa. Sampai beberapa hari belakangan, rasa mual tiba-tiba saja menghampirinya. Karena curiga, Dayana memutuskan untuk melakukan pengecekan. Dan hasilnya membuatnya kehilangan kata-kata."Day?" Suara Amelia, sahabatnya, kembali terdengar dari seberang sambungan."Dua garis, Mel, aku hamil," jawab Dayana pada akhirnya, dengan suara yang sedikit bergetar. Tak ada sahutan, suasana mendadak hening hingga Dayana hanyut dalam perasaan terpukul. "Minta pertanggungjawaban kalau gitu, Day," ucap perempuan itu. "Jangan diam aja, karena si brengsek Ganesh harus tahu k
***Pertemuan dengan Zerga kemarin membawa sedikit harapan untuk Dayana.Malam ini, Dayana sudah berada di sebuah taman untuk menemui Ganesh lagi atas bantuan Zerga.Bukan orang lain, Zerga adalah saudara kembar Ganesh. Setelah bertemu dengan Dayana di kafe kemarin, pria itu bertanya apa yang terjadi, dan Dayana pun menceritakan semuanya.Tidak seperti Ganesh, Zerga percaya pada Dayana.Kali ini, Dayana bertekad untuk lebih keras meyakinkan pria itu karena tak ada sedikit pun kebohongan, semua yang dia katakan pada Ganesh, jujur apa adanya."Ya Tuhan, semoga kali ini berhasil," gumam Dayana dengan perasaan yang kembali deg-degan. "Gimana pun juga Ganesh yang bikin aku begini. Jadi dia harus tanggung jawab."Selang beberapa detik setelahnya, dia mendengar sebuah sapaan tak asing—membuatnya dengan segera mengangkat pandangan."Selamat ma—kamu lagi?"Kerutan di kening pria itu seketika terbentuk. Raut wajahnya berubah masam. Sementara Dayana, dengan perasaan tegang yang semakin menggila,