“Kak, aku udah siap.”
Dengan penampilan yang lebih rapi dari sebelumnya, Dayana memanggil Zerga. Perdebatan bersama Ganesh sudah usai beberapa saat yang lalu. Pria itu tetap tidak mau bertanggungjawab. Kasihan melihat Dayana terus memohon, Zerga melanjutkan niat baiknya untuk menikahi perempuan itu. Siang ini, Zerga mengajak Dayana ke rumah untuk menemui orang tuanya. “Cantik,” puji Zerga melihat penampilan Dayana. “Masih mual enggak?” “Enggak terlalu, Kak,” ucap Dayana dengan senyuman yang canggung. “Kakak bawa mobil?” “Iya di depan,” sahut Zerga sekenanya. “Ayo. Orang tua saya sudah nungguin kamu.” Lagi, Dayana tersenyum samar. Mengikuti Zerga yang sudah berbalik lebih dulu, pikirannya penuh. Ia masih merasa tak enak pada Zerga. Andai bisa, dia ingin sekali mengubah keputusan. Namun, ketidakmapanan Dayana dalam masalah ekonomi membuat keinginannya maju mundur. “Silakan,” ucap Zerga usai membuka pintu mobil. “A-aku duduk di depan, Kak?” tanya Dayana tergagap. “Iya. Kenapa?” tanya Zerga. Berbeda seratus delapan puluh derajat dari Ganesh, pria itu selalu bersikap ramah dan gentle. Namun, bukannya senang Dayana justru canggung. Keramahan Zerga membuat Dayana sedikit tertekan. “Enggak apa-apa,” kata Dayana. “Aku pikir Kakak enggak suka sebelahan sama orang asing.” “Siapa yang asing?” tanya Zerga sambil tersenyum kecil. “Kamu adik tingkat saya lho dulu. Saya hafal gimana kamu.” Dayana tercenung. “Tapi kan kita enggak terlalu akrab, Kak, dulu….” “Bukan berarti enggak bisa dekat di masa sekarang, kan?” tanya Zerga, membuat Dayana semakin kikuk. “Tap—” “Ayo masuk,” ajak Zerga—membuat ucapan Dayana terpotong. Lekas masuk ke dalam mobil, dengan sangat hati-hati Dayana memasang seatbelt. Memandang Zerga yang menyusulnya dari pintu kanan, dia tak berkata apa pun sampai akhirnya mobil pun melaju. Dari kost tempat Dayana tinggal, waktu tempuh menuju kediaman Zerga adalah lima puluh menit. Sempat terjebak macet, keduanya baru sampai satu jam kemudian. Sesampainya di halaman rumah, Dayana tertegun mendapati mobil Ganesh yang terparkir di sana. Perasaannya menjadi gelisah. "Jangan takut sama Ganesh, karena saya bakalan lindungin kamu," ucap pria itu. "Dia sudah menyerahkan tanggung jawab terhadap saya. Jadi sedikit pun, Ganesh enggak berhak apa-apain kamu." Dayana menelan ludah, lalu menatap Zerga. "Gimana pendapat orang tua Kak Zerga soal ini?” tanyanya tiba-tiba. “Aku takut orang tua Kakak marah dan nggak bisa nerima aku.” "Mereka kaget," jawab Zerga apa adanya. "Papa bahkan sempat mengutarakan kekecewaannya, cuman apa boleh buat? Nasi yang sudah menjadi bubur. Jadi setelah tenang, mereka minta saya bawa kamu ke sini." Dayana tersenyum samar. Lagi, rasa bersalah terhadap Zerga muncul, karena tak seharusnya pria itu mendapatkan semuanya. Namun, Zerga menawarkan sendiri untuk bertanggung jawab, dan karena Dayana butuh sosok ayah untuk sang bayi, dia mau tak mau menerima. "Kenapa diam?" "Ngerasa enggak enak sama Kak Zerga," jawab Dayana seadanya. "Kakak enggak ngelakuin kesalahan apa pun, tapi Kakak harus dapat kekecewaan dari orang tua. Enggak adil." "Ini namanya takdir." Seperti biasa, Zerga menjawab dengan suara yang menenangkan. "Semua skenario Tuhan, dan kita sebagai manusia hanya bisa menjalankan." Dayana hanya mampu mengukir senyum tipis. Terlalu speechles karena kebaikan Zerga, kosa kata di otaknya kacau sehingga tak ada satu pun kalimat terlontar. Tak menetap lama di mobil, mereka pun akhirnya turun. Dayana terus didampingi pria itu—seolah jauh sedikit saja jarak mereka, bahaya mengancam. "Bi, tolong panggilkan Mama sama Papa,” kata Zerga pada salah satu ART. Lalu ia mengambil sisi kosong di sofa menemani sang gadis di ruang tamu. Beberapa menit berlalu, kedua orang tua Zerga datang. Memasuki ruang tamu, atensi keduanya tertuju pada Dayana. Mereka murka? Jawabannya adalah tidak, karena meskipun kaget usai mendengar pengakuan Zerga, Roby—selaku kepala keluarga, berhasil menenangkan pikirannya mau pun sang istri. "Jadi begitu ceritanya?" tanya Roby, setelah sebelumnya Dayana menjelaskan kronologi dia dan Zerga sebelum khilaf. Bukan cerita asli, Dayana melontarkan sebuah karangan yang dirangkai oleh Zerga sebelum mereka sampai. "Iya, Om," jawab Dayana. "Maaf karena udah mengecewakan Om dan Tante." "Kami yang seharusnya minta maaf," ucap Athaya—ibu kandung Zerga, yang berhasil membuat Dayana terkejut. "Anak kami sudah merusak kesucian kamu. Padahal, meskipun dalam kejadian itu kalian sama-sama mau, Tante yakin sebelumnya kamu menjaga apa yang kamu punya dengan baik." "Lagian dengan maaf pun kamu enggak akan kembali menjadi gadis yang utuh." Roby menimpali dengan ucapan santai. Namun, berhasil membuat hati Dayana tersentil. "Aku minta maaf, Om," ucap Dayana. "Masalah ini diselesaikan dengan menikah, Dayana, bukan dengan maaf," ucap Roby dengan nada yang terdengar datar. "Bayi yang kamu kandung butuh ayah." "Jangan terlalu mojokkin Dayana," tegur Zerga, seperti biasa pasang badan. "Sini bicara sama aku, jangan sama Dayana terus." "Marah?" tanya Roby dengan senyuman miring. "Iya," kata Zerga—membuat Dayana menatapnya. "Siapa pun yang berani menyerang Dayana, dia berurusan sama aku." "Kak." Dayana mengingatkan dengan suara pelan. Namun, Zerga justru mengangkat telunjuk sebagai perintah agar dirinya diam. "Sekarang gimana? Aku udah mengakui kesalahanku, dan aku juga udah bawa Dayana," kata Zerga pada kedua orang tuanya. "Kamu dan Dayana harus menikah, tapi karena Dayana hamil, pernikahan kalian akan dilangsungkan setelah Dayana melahirkan," ucap Athaya. "Oke." "Dayana juga harus tinggal di sini selama hamil, agar kita bisa mengawasi kondisinya." Dari samping Athaya, Roby menambahkan. "Setuju?" "Enggak." Bukan Zerga mau pun Dayana, jawaban tersebut dilontarkan seorang pemuda dari ambang pintu ruang tamu. Berhasil membuat semua atensi beralih padanya, dengan raut wajah judes, pemuda itu kembali berkata, "Dayana enggak bisa dan enggak boleh tinggal di sini. Aku enggak suka.”Zerga melayangkan tatapan tajam, sementara pria di ambang pintu yang tak lain adalah Ganesh, berdiri dengan raut wajah berani. Ada di rumah setelah pergi dari kost Dayana, Ganesh menguping semua pembicaraan. Mencari momen yang tepat, dia keluar dari persembunyian setelah sang papa mengajak Dayana tinggal di rumahnya.Tak mau tinggal serumah dengan gadis itu, Ganesh bertekad menggagalkan rencana kedua orang tuanya. Sekali pun harus berdebat, dia rasanya siap karena tentang Dayana, feelingnya cukup buruk."Maksud kamu apa bicara begitu?" tanya Zerga. "Ada yang minta pendapat kamu memangnya di sini?"Ganesh memasang raut wajah tak acuh. Sambil memasukan kedua tangan ke dalam saku, tatapan angkuh dia berikan pada Dayana sebelum menimpali ucapan sang kakak."Aku salah satu penghuni di rumah ini. Jadi aku berhak berpendapat," jawabnya. Beralih pada Roby, dia berkata, "Lagipula apa enggak takut jadi gunjingan tetangga kalau Dayana tinggal sama kita? Dia dan Bang Zerga enggak ada ikatan apa-
***"Ck, tepat enggak ya keputusan yang aku ambil?"Dayana termenung. Dilanda bimbang, dia menimang lagi keputusannya untuk tinggal di kediaman Zerga. Meskipun disambut baik semua orang, Dayana tak tenang karena ada Ganesh yang menolak kehadirannya.Takut menghadirkan huru-hara di dalam keluarga Zerga, Dayana ingin membatalkan keputusan kemarin. Namun, Zerga pasti tak terima karena jika melihat bagaimana pria itu melindunginya, keseriusan Zerga tentang tanggung jawab, begitu nyata."Takut banget bikin keluarga Kak Zerga enggak akur."Duduk di ujung kasur, Dayana bermonolog. Sudah berpenampilan rapi, saat ini dia sedang menunggu jemputan ke rumah Zerga. Jika tak ada halangan, katanya dia akan dijemput pukul delapan pagi."Tapi kalau mendadak berubah pikiran, Kak Zerga pasti ngedesak buat ta-"Belum selesai Dayana bicara, ponselnya berdering. Mendapat telepon dari Zerga, dia lekas menjawab."Halo, Kak.""Halo, Day, kamu sudah siap kan untuk pindah?" tanya Zerga."Udah, Kak," jawab Dayan
***"Akh … Ganesh, tolong, ini salah!"Sekali lagi, Dayana kembali mendorong pria berkaos hitam yang saat ini mengungkung tubuhnya. Namun, pria di atas tubuh Dayana itu justru semakin menggila. Sambil meracau, pria tersebut bahkan tanpa ragu mendaratkan hidung bangirnya di ceruk leher Dayana—membuat perempuan itu tak kuasa menahan geliatan karena gelenyar aneh yang tercipta.“H-hentikan … ah—!”Lenguhan itu lolos dari bibir Dayana saat Ganesh menggigit ujung daun telinganya dengan sensual. Tangannya juga sibuk menjelajahi tubuh Dayana yang mulai bergetar di bawahnya. Dia adalah Adiasta Ganesh, seorang selebgram sekaligus model di sebuah agensi yang Dayana manajeri.Malam ini, Ganesh mendapat undangan birthday party dari salah satu teman satu profesi di sebuah kelab malam. Pesta berjalan dengan semestinya hingga orang-orang yang hadir di sebuah ruangan VIP mulai menggila dan kehilangan kendali.Hampir semua orang mabuk setelah menegak alkohol dalam dosis yang tak sedikit, dan Ganesh
***"Gimana hasilnya? Negatif, kan?"Dayana membisu dengan atensi yang tertuju pada testpack di tangan kirinya. Ia terduduk lemas di closet di kamar mandi kostnya, kedua matanya basah oleh cairan bening sementara perasaannya sendiri porak-poranda.Setelah kabur dari Ganesh usai dirusak pria itu sebulan yang lalu, Dayana pikir penderitaannya selesai. Sudah dua minggu ini dia bekerja di sebuah minimarket, menjalani hari dengan nelangsa. Sampai beberapa hari belakangan, rasa mual tiba-tiba saja menghampirinya. Karena curiga, Dayana memutuskan untuk melakukan pengecekan. Dan hasilnya membuatnya kehilangan kata-kata."Day?" Suara Amelia, sahabatnya, kembali terdengar dari seberang sambungan."Dua garis, Mel, aku hamil," jawab Dayana pada akhirnya, dengan suara yang sedikit bergetar. Tak ada sahutan, suasana mendadak hening hingga Dayana hanyut dalam perasaan terpukul. "Minta pertanggungjawaban kalau gitu, Day," ucap perempuan itu. "Jangan diam aja, karena si brengsek Ganesh harus tahu k
***Pertemuan dengan Zerga kemarin membawa sedikit harapan untuk Dayana.Malam ini, Dayana sudah berada di sebuah taman untuk menemui Ganesh lagi atas bantuan Zerga.Bukan orang lain, Zerga adalah saudara kembar Ganesh. Setelah bertemu dengan Dayana di kafe kemarin, pria itu bertanya apa yang terjadi, dan Dayana pun menceritakan semuanya.Tidak seperti Ganesh, Zerga percaya pada Dayana.Kali ini, Dayana bertekad untuk lebih keras meyakinkan pria itu karena tak ada sedikit pun kebohongan, semua yang dia katakan pada Ganesh, jujur apa adanya."Ya Tuhan, semoga kali ini berhasil," gumam Dayana dengan perasaan yang kembali deg-degan. "Gimana pun juga Ganesh yang bikin aku begini. Jadi dia harus tanggung jawab."Selang beberapa detik setelahnya, dia mendengar sebuah sapaan tak asing—membuatnya dengan segera mengangkat pandangan."Selamat ma—kamu lagi?"Kerutan di kening pria itu seketika terbentuk. Raut wajahnya berubah masam. Sementara Dayana, dengan perasaan tegang yang semakin menggila,
***“Dayana, kamu masih di sana?” Suara Zerga kembali terdengar setelah Dayana hanya diam saking terkejutnya. “Y-ya, aku di sini,” sahutnya tergagap.Zerga menghela napas sebelum berkata, “Saya akan tunggu jawaban dari kamu. Saya harap kamu bisa ambil keputusan terbaik,” katanya. Dayana tidak mengatakan apapun. Lidahnya terasa kelu. “Dan satu pesan dari saya; jangan pernah berniat menggugurkan bayi yang kamu kandung, karena janin itu nggak punya salah apa pun. Ayahnya yang salah, karena nggak mau tanggung jawab. Jadi jangan lampiaskan ke makhluk suci yang nggak bisa memilih kapan hadir."Ucapan Zerga terus terngiang hingga beberapa jam kemudian. Dayana berbaring dengan posisi miring di atas kasurnya. Perasaannya campur aduk. Ia gelisah dan bingung harus melakukan apa. Ia tak menyangka Zerga tiba-tiba bersedia untuk bertanggungjawab. Dayana sempat bertanya alasan pria itu mau menikahinya, karena pernikahan adalah sesuatu yang serius. Dan Zerga memberikannya dua alasan, yaitu;Pert
***"Siapa?"Sambil beringsut secara perlahan, pertanyaan tersebut meluncur dari mulut Dayana setelah suara ketukan terdengar dari pintu.Tak pergi bekerja, siang ini dia menetap di kost setelah pagi tadi morning sickness parah dialaminya. Awalnya Dayana berniat untuk tetap bekerja. Namun, larangan dari Zerga yang pagi sekali sudah menghubunginya membuat dia manut pada perintah pria itu.Brak! Brak! Brak!Bukan lagi ketukan, selanjutnya yang Dayana dengar di pintu adalah sebuah tepukan kasar sehingga sambil menahan rasa tak nyaman di perut, dia kembali buka suara."Iya, sebentar!"Berjalan dengan langkah gontai, Dayana membuka pintu kost secara perlahan, kemudian betapa terkejutnya dia setelah di depannya kini berdiri seorang pria yang tak asing lagi.Bukan Zerga yang katanya berjanji akan datang setelah urusan dengan sang orang tua selesai, yang berdiri di depan Dayana justru Ganesh.Pria itu menatap Dayana intens—membuat yang ditatap, dihampiri rasa gugup bahkan takut."Ganesh….""K