"Kamu mau ke suatu tempat, Ra?" Akhirnya dia bersuara meski tanpa melihatku."Kok, nanya Ara?""Siapa tahu kamu ada keinginan atau impian kalau ke Surabaya mau berkunjung ke mana, gitu.""Nggak ada," jawabku singkat, padahal aku pernah penasaran dengan Taman Bungkul. Tapi kali ini aku sedang tidak ingin mengungkapkan isi hatiku."Nanti kalau sudah di Bandung kamu ngomel-ngomel, pengin ke sini pengin ke sana.""Ya kita tinggal pergi ke Surabaya lagi, beres 'kan?""Kalau keseringan ke Surabaya juga nggak ada waktu kan. Abang pikir mumpung kita di sini jadi apa yang sempat terpikir apa salahnya sekarang di wujudkan.""Sekarang juga kerjaan Abang lagi banyak di Bandung 'kan? Tapi Abang sempet-sempetin pergi ke sini," sindirku.Kulirik Bang Fyan mengalihkan pandangan ke arah samping sambil membuang napas panjang. Mobil berbelok dan berhenti di pinggir jalan. Tanpa diperintah lagi aku mengikuti ketika lelaki halalku itu turun dan berjalan.Taman Bungkul, begitu kubaca aksara yang terbuat da
"Kirain kalian nggak lapar," ledek Bunda sambil tersenyum jail ketika kami baru turun pagi ini. Aku membalas senyum Bunda malu-malu. Bagiamana tidak, ini pertama kalinya aku tidur di rumah mertuaku, bukannya bantuan masak, bangun saja kesiangan.Semua ini gara-gara perbuatan Bang Fyan yang semalam membobol benteng pertahananku setelah beberapa bulan kami menikah. Pagi harinya badanku serasa remuk. Hampir saja aku tak mau bangun kalau tidak ingat sedang berada di rumah Bunda."Maaf, Bun. Ara jadi malu di rumah mertua malah nggak bantuan bunda masak," ucapku merasa tidak enak hati."Gagal dong mau jadi menantu teladan." Bang Fyan terkekeh sambil menarik kursi."Nggak lah, Ara kan menantu idaman. Iya, kan, Bun?" Aku beralih menatap Bunda."Mana ada menantu idaman bangun kesiangan?" ledeknya lagi yang segera kuhadiahi cubitan."Sudah, sudah! Kalian ini sudah jadi suami istri masih saja seperti dulu! Tapi Bunda seneng banget liat kalian rukun seperti ini. Soal masak dan pekerjaan lain 'ka
Mobil berhenti di depan sebuah bangunan sederhana tapi terlihat rapi dan asri. Ada taman kecil dan berbagai sarana bermain anak-anak. Mirip sekolah TK. Tapi tidak ada papan namanya, aku mengedarkan pandangan."Alhamdulillah sampai. Ayo, turun!" Pria di sampingku berseru."Ah, iya." Aku terperanjat ketika Bang Fyan memintaku untuk turun."Ini panti asuhannya?" tanyaku sambil memandang sekitar."Iya, tempatnya sederhana tapi lumayanlah buat anak-anak berlindung." Bang Fyan berdiri memandang bangunan itu dengan kedua tangan berada di saku celananya.Ya Tuhan, kenapa sekarang setiap kali aku memandangnya dalam posisi apapun, dia selalu terlihat sempurna. Hatiku berdesir apalagi kalau bertaut pandang."Ayo, Mbak?" Suara Ajeng mengagetkanku. Dia sudah berada di sampingku sambil mendorong kursi roda Bimo."Ah, iya." Aku segera mengikuti mereka untuk memasuki pintu pagar. Beberapa langkah setelah kami masuk ke halaman panti, tiba-tiba beberapa anak keluar dari dalam panti setengah berlarian.
"Aku ingin menunjukkan sesuatu," ucap wanita yang usianya tidak jauh berbeda denganku itu. "Sesuatu?" Aku bertanya heran.Ajeng hanya tersenyum dan mengangguk, langkahnya seperti kesulitan karena perutnya yang sudah membesar.Aku jadi membayangkan kalau aku hamil nanti mungkin akan seperti Ajeng. Tapi dibalik itu pasti ada rasa senang karena sebentar lagi akan punya anak, buah cinta bersama suami.Tak terasa aku tersenyum sambil mengusap perutku."Mbak Ara kenapa? Apa sakit perut?" Pertanyaan Ajeng itu sukses membuatku gelagapan, pasalnya aku ketahuan sedang mengusap perut sendiri."Ah, enggak, aku cuma lagi ngebayangin kalau suatu saat perutku seperti perut kamu." Aku menunjuk perutnya malu-malu.Ajeng spontan memasang wajah lucu, ia menautkan alisnya sambil menahan senyum."Kenapa?" Aku ikut menautkan alis."Mudah-mudahan Mbak Ara juga cepet isi, ya.""Aamiin.""Soalnya Mas Fyan udah pengin banget punya anak, sepertinya," jawab Ajeng kemudian tertawa lepas.Kami berjalan berdamping
"Mbak Ara mau minum apa?" Pertanyaan Ajeng membuat pandanganku beralih dari poto-poto itu kepada wanita yang kerap mengusap perut buncitnya itu."Tidak usah merepotkan, nanti saya ambil sendiri," tolakku halus."Enggak merepotkan, kok, Mbak. Sekalian aku juga pengin minum.""Terserah saja, deh." "Oke, Mbak Ara tunggu sebentar, ya."Setelah berkata demikian, Ajeng keluar dari ruangan ini. Sementara aku memilih duduk di sofa. Karena untuk melanjutkan melihat-lihat poto di dinding rasanya enggan.Tak lama Ajeng sudah kembali dengan dua buah gelas teh panas. Terlihat dari asapnya yang masih mengepul."Pria dan wanita yang datang itu siapa?" Karena tak tahan akhirnya aku bertanya pada Ajeng.Ajeng menyeruput teh miliknya, kemudian menaruh kembali gelas itu diatas meja. Ia nampak ragu dan menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab."Mereka Pak Rahman dan Bu Silvia. Setiap bulan datang ke sini untuk memberikan sumbangan." Ajeng menjelaskan."Pak Rahman itu, Bapaknya Silvia?" tanyaku ragu. M
Rencana untuk tinggal satu hari lagi di Surabaya akhirnya batal. Dengan segala alasan dan rengekan akhirnya aku berhasil mengajak Bang Fyan pulang.Bunda sempat menahanku dengan alasan masih kangen. Tapi hatiku terlanjur kesal pada Bang Fyan."Bunda masih kangen, Ra. Kata Fyan kalian akan tinggal di sini satu hari lagi." Bunda merangkul pundakku sementara aku melirik priaku yang duduk tak jauh dari kami.Kedua alisnya terangkat dengan raut dingin. Sedetik kemudian tangannya terangkat dan jari-jarinya memijit pangkal hidungnya. "Maafkan Ara, Bun. Tapi Ara ada kerjaan mendadak. Insha Allah nanti kami rencanakan lagi, deh.""Iya, Sayang. Bunda ngerti. Lain kali kalian rencanakan lagi ke sini, ya. Kalian di sana yang akur, ya. Namanya orang berumah tangga itu pasti ada saja perbedaan pendapat. Kalau ada masalah segera diselesaikan, jangan dibiarkan berlarut-larut." Bunda memberikan nasehat yang terasa pas banget kena di hatiku. "Siap, Bun." Aku berusaha terlihat baik-baik saja di depan
"Deuh ... yang habis honeymoon-an dari Surabaya sampai lupa bawa oleh-oleh buat kita." Maya menggerutu ketika aku memasuki toko pagi ini."Namanya juga honeymoon, Mbak. Pasti fokusnya sama yang ono bukan sama oleh-oleh," timpal Iren sambil membersihkan rak pajangan."Kalian ini ngomong apa, sih? Kemarin itu bukan honeymoon, tapi ...." jawabku sambil menaruh tas ke atas meja setengah dilempar."Ya, namanya pengantin baru terus jalan berdua tetap saja judulnya honeymoon," sahut Maya sambil tertawa disusul suara cekikikan Iren dan Rasti."Iya deh, terserah kalian. Asal kalian tahu selama aku ke Surabaya kemarin, aku tersiksa perasaan."Maya mendekat begitupun Iren. Hanya Rasti saja yang tidak ikut-ikutan, mungkin karena dia karyawan baru. Jadi belum begitu akrab dan masih ada rasa sungkan."Memangnya ada apa?" Jiwa kepo Maya langsung meronta.Aku menghela nafas panjang sebelum bersuara. Mengingat aku telah berburuk sangka pada Ajeng dan menyangka yang tidak-tidak pada Bimo."Ih ... Ara .
Pulang dari rumah Mama aku kembali ke toko. Maya dan anak-anak sudah sibuk mengepak barang untuk dikirim ke para pelanggan online-ku. Bicara soal pelanggan online-ku, aku jadi teringat Nindy."May, Nindy masih suka belanja ke sini, enggak?" Entah mengapa pertanyaan itu tiba-tiba muncul dalam otakku."Hem ... kok jadi bahas Nindy?" Maya menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan lagi."Ish, kenapa jadi balik nanya?""Santai, Neng. Enggak usah sewot gitu, aku cuma heran saja karena sebelumnya kamu engga pernah peduli dengan nama itu," kekeh Maya."Ck.""Apa karena sekarang sudah tahu kalau dia itu istrinya Rey?""Bisa jadi." Aku membuang nafas berat. Tentang Rey, meski aku sudah membuang nama itu, tetap saja jejak pria berambut gondrong itu masih ada yang tertinggal dalam hatiku."Masih saja dikenang." Meski aku tak melihat wajahnya, tapi aku yakin mimik wajah Maya sedang mencibir."Bukan dikenang. Tapi jejak itu tidak akan terhapus begitu saja. Apalagi nama Rey pernah begitu kuat menancap
"Ha--hallo ... assalamualaikum .... " Ara tidak bisa membunyikan kegugupannya. Suaranya terdengar bergetar begitu mengucap salam. "Waalaikumsalam, Ra. Abang kira Ara tidak mau menerima telepon dari Abang. Barusan Mama menyampaikan kabar bahagia itu. Makasih, ya." Suara renyah Fyan terdengar sangat familiar di telinga Ara. Seharusnya gadis itu rindu, tetapi entah kenapa saat ini Ara malah terkesan tidak suka. Bukan tidak suka orangnya, namun status mereka yang akan berubah. Itu yang membuat Ara gelisah. "Iya, Bang, tetapi ada syaratnya." "Katakan saja, apa yang harus Abang lakukan. Oh ya, apa kabar kamu, Ra?" Seperti biasa, Fyan selalu mengalah dan berusaha menurut apa yang Ara mau. "Ara baik, Bang. Eum .... ada baiknya kita ketemu, Bang. Kayaknya hal ini nggak bisa dibicarakan lewat telepon." Suara Ara tetap datar. "Eh, iya. Tentu saja kita harus ketemu, besok Abang jemput Ara di toko, ya." "Memangnya Abang tahu di mana toko Ara?" Gadis itu memicing. "Tahu, dong. Aban
Fyan sudah bisa menduga kalau tidak semudah itu Ara menerima perjodohan ini. Bahkan sebenarnya Fyan juga sudah siap jika gadis itu menolak. Meski demikian, kabar dari Mama cukup membuat Fyan mematung beberapa saat.Kecewa. Tentu saja.Hal inilah yang ia takutkan sejak dulu. Empat tahun yang lalu, saat ia merasa ada perasaan lain pada gadis itu. Perasaan lebih dari sekedar sahabat dan seorang kakak. Yang pada akhirnya Fyan harus kehilangan Ara saat gadis itu jatuh ke tangan Rey. "Kamu Jangan berkecil hati, Nak. Mama dan Papa akan terus meyakinkan Ara.""Jangan dipaksakan, Ma. Sesuatu yang terpaksa itu tidak akan baik nantinya. Fyan ingin Ara menerima ini dengan kesadaran penuh dan tanpa paksaan.""Tenang saja, ya. Mama dan Papa tahu kok, harus bagaimana.""Terima kasih, Ma. Kalau begitu izinkan Fyan bertemu dengan Ara, biar Fyan yang menjelaskan padanya.""Sabar dulu, ya, Nak. Tidak secepat itu, nanti setelah Ara bisa ditemui malah akan kabarin, kok."Panggilan terakhir, Fyan meletakk
Pulang dari bertemu dengan mama dan papanya Ara, Fyan merasa lega mendengar kabar gadis itu masih sendiri. Berarti ia mempunyai kesempatan untuk mewujudkan harapannya. Senyum tak lepas dari bibirnya, sepanjang perjalanan Fyan bersenandung kecil. Dunia yang sempat terasa sempit kini kembali melebar. Fyan berharap, semoga saja Ara menyetujui rencana mama dan papanya. Gadis itu pasti kecewa kepada Rey. Semoga kehadiran Fyan kembali akan membuka hatinya dan menjadi pelipur dukanya. Hari itu Fyan tidak kembali ke kantor. Ia mengirim pesan pada sekretarisnya untuk menghandle beberapa pekerjaan. Pemuda itu langsung pulang ke rumah lantaran ingin segera berbaring dan merayakan kebahagiaannya sendiri.Hal yang pertama Fyan lakukan setelah sampai di rumah adalah mencari media sosial Rey. Ia ingin bertanya pada sahabatnya itu kenapa sampai hati melakukan ini pada Ara.Terakhir kali Fyan berkomunikasi dengan Rey entah berapa tahun yang lalu. Kalau tidak salah tak lama setelah dia berada di Sura
Sudah hampir dua bulan Fyan tinggal di kota Bandung. Hari demi hari ia lalui sangat membosankan. Kegiatannya hanya ke kantor dan di rumah. Fyan termasuk orang yang tidak suka keluyuran atau nongkrong tidak jelas. Sesekali menginap di rumah Shafia jika Fyan sedang ingin makan makanan rumahan. Setiap hari makan di restoran memang tidak enak. Mau masak di rumah rasanya tidak seru kalau dimakan sendirian.Shafia pernah menyarankan supaya Fyan mencari seorang ART, tetapi sang adik tidak mau. Untuk bersih-bersih rumah, Fyan bisa mengerjakannya sendiri. Bukankah sekarang sudah banyak alat yang membantu. Pakaian dicuci di laundry. Selain rumah Shafia, hari minggu biasanya Fyan berkunjung rumah yang baru saja ia beli untuk melihat pembangunan yang sudah hampir selesai. Membayangkan suatu saat ia tinggal di sini bersama keluarga kecilnya. Bahagia dengan seorang istri dan mereka saling menyayangi. Lagi-lagi wajah Ara yang muncul ketika Fyan membayangkan masa depan.Selam dua bulan tinggal di B
Satu bulan setelah pernikahan Ajeng dan Pras dilaksanakan. Tepatnya satu bulan setengah setelah Ayah meminta Fyan pindah ke Bandung. Namun belum ada tanda-tanda pemuda itu bersiap-siap untuk pergi ke kota tersebut. Ayah dan Bunda pun belum membahasnya lagi sejak pembicaraan saat itu. Fyan sendiri bukan lupa kalau saat itu dirinya mengiyakan permintaan Ayah. Namun dirinya masih menimbang dan ragu untuk kembali ke kota itu. Meski jujur saja, dalam hatinya penasaran dengan kabar Ara, namun dia masih tetap tidak punya keberanian untuk mencari tahu tentang gadis itu. Malam ini, Ayah dan Bunda kembali membahas hal itu selepas mereka makan malam. "Sudah hampir dua bulan lho, Nak? Jadi mau kapan?" Bunda membuka pembicaraan dengan sebuah pertanyaan."Sebentar lagi, Bun. Ada pembangunan yang belum selesai di panti asuhan. Lagi pula Ajeng dan Pras masih pengantin baru.""Sudah satu bulan menikah, harusnya Ajeng dan Pras sudah kembali aktif. Bulan madu kan bisa kapan-kapan. Kakakmu kemarin sud
"Bagaimana kabar tokonya Ara?" tanya bunda setelah beberapa menit berbasa-basi sekedar bertanya kabar. Pertanyaan itu pun masih bagian dari basa-basi. Terakhir Bunda mendengar kabar kalau Ara membuka usaha toko di ruko yang tidak jauh dari taman flamboyan."Alhamdulillah, Jeng. Karena ditekuni, usahanya semakin lancar bahkan sekarang menerima pesanan lewat online. Ara juga kelihatannya semakin dewasa tidak manja lagi seperti dulu." Terdengar tawa kecil dari seberang telepon. Bunda membayangkan gadis kecil itu sekarang sudah berubah menjadi wanita dewasa. Gadis kecil yang dulu selalu tampil dengan rambut dikuncir satu di belakang yang kerap merengek manja memintanya membuatkan sesuatu tatkala dirinya sedang di dapur."Saya sebenarnya sangat kangen sama Ara. Tapi, kok, nomornya tidak aktif, ya." "Sepertinya Ara ganti nomor, Jeng. Kalau begitu, nanti saya kirim nomor baru Ara.""Ndak usah, Jeng. Ara sekarang sibuk di tokonya, takut mengganggu waktunya. Mendengar dia sehat dan baik-baik
"Hah?! Willy?!"Seketika mama dan papa menatap Ara penuh tanya ketika mendengar anak keduanya itu seperti kaget."Kenapa? Ara kenal?" Mama tak bisa menahan rasa penasarannya."Eum ... anu .... " Ara berusaha menyembunyikannya kagetnya."Atau ... jangan-jangan kalian sudah ...." Mama tersenyum sambil menatap tajam ke arah putrinya, kemudian ia beralih pada suaminya. Berharap kalau Ara dan Willy sudah saling kenal atau bahkan sering berkomunikasi. Itu sebabnya Tuan Markus membahas mereka."Ara pernah dengar nama itu sewaktu kuliah dulu. Kayaknya dia kakak tingkat Ara. Tetapi .... " Ara memutuskan untuk tidak memberitahu Mama dan Papa perihal pertemuannya dengan Willy beberapa hari yang lalu."Tetapi apa?" Lagi, Mama antusias mengajukan pertanyaan. Perempuan itu semakin berharap."Tetapi ... dulu dikenal sebagai mahasiswa yang suka gonta-ganti pacar." Ara melirik Mama yang nampak sedikit kaget.Mama menghempaskan bagian belakang tubuhnya kesadaran kursi. Sesungguhnya ini jawaban yang ti
Usaha yang dijalankan Ara bersama Maya berjalan lancar. Selain melayani pembeli langsung, mereka juga menyediakan layanan online yang lebih dari separuhnya pendapatan mereka berasal dari penjualan online ini. Pelanggannya pun tidak terbatas dari dalam kota saja. Tetapi merambah ke luar kota, bahkan luar provinsi. Modal yang Ara pinjam dari Papa juga sudah dikembalikan. Sebenarnya Papa menolak, tetapi Ara bersikeras. Atas bantuan Mama, akhirnya Papa mengalah. Aktivitas yang cukup menyita waktunya ini berhasil mengalihkan pikiran Ara dari Rey. Pemuda yang ditunggunya selama hampir 3 tahun itu memang sempat membuat hari-hari gadis yang sekarang mantap berhijab itu terasa menyakitkan. Beruntung ada Maya juga mama dan papa yang selalu memberikan dukungan hingga ia bisa berhasil melewati masa-masa sulitnya. Meskipun tidak jarang Ara teringat pada pemuda itu, namun kembali ia menyibukkan diri pada pekerjaannya.Hidup sederhana yang dijalankan oleh Ara membuat ia benar-benar mandiri. Ia p
"Sorry, bukannya kasar ... "Fyan mengangkat tangan tanda tidak ada masalah."Priska, kayak dia gak cocok jadi calon suami lu." Pria itu beralih menatap Priska. "Sorry bro, saya bukan calon suaminya." Fyan menegaskan sekali lagi."Priska bilang lu calon suaminya. Kalian korban perjodohan. Hahaha. Harusnya Priska mendapatkan pendamping hidup yang sesuai dengannya." Pria itu tertawa dengan nada mengejek. "Sudah dibilang saya bukan calon suaminya. Saya hanya teman lama yang baru ketemu lagi tadi siang." Fyan merasa tidak enak mendengar pria itu berkata dengan nada tinggi."Sudah, jangan berdebat. Jadi kamu cuma mau mempermainkan aku, Fyan?!" Sekarang giliran Priska yang berkata dengan nada tak kalah tinggi.Fyan mengalihkan pandangan sejenak. Memang susah kalau ngobrol dengan orang dalam keadaan setengah sadar."Mempermainkan apa, Priska?" "Kita sudah dijodohkan tapi kamu bilang bukan calon suamiku?!" Priska menunjuk wajah Fyan, sungguh tidak ada sopan santun."Tidak ada perjodohan di