Fyan sudah bisa menduga kalau tidak semudah itu Ara menerima perjodohan ini. Bahkan sebenarnya Fyan juga sudah siap jika gadis itu menolak. Meski demikian, kabar dari Mama cukup membuat Fyan mematung beberapa saat.Kecewa. Tentu saja.Hal inilah yang ia takutkan sejak dulu. Empat tahun yang lalu, saat ia merasa ada perasaan lain pada gadis itu. Perasaan lebih dari sekedar sahabat dan seorang kakak. Yang pada akhirnya Fyan harus kehilangan Ara saat gadis itu jatuh ke tangan Rey. "Kamu Jangan berkecil hati, Nak. Mama dan Papa akan terus meyakinkan Ara.""Jangan dipaksakan, Ma. Sesuatu yang terpaksa itu tidak akan baik nantinya. Fyan ingin Ara menerima ini dengan kesadaran penuh dan tanpa paksaan.""Tenang saja, ya. Mama dan Papa tahu kok, harus bagaimana.""Terima kasih, Ma. Kalau begitu izinkan Fyan bertemu dengan Ara, biar Fyan yang menjelaskan padanya.""Sabar dulu, ya, Nak. Tidak secepat itu, nanti setelah Ara bisa ditemui malah akan kabarin, kok."Panggilan terakhir, Fyan meletakk
"Ha--hallo ... assalamualaikum .... " Ara tidak bisa membunyikan kegugupannya. Suaranya terdengar bergetar begitu mengucap salam. "Waalaikumsalam, Ra. Abang kira Ara tidak mau menerima telepon dari Abang. Barusan Mama menyampaikan kabar bahagia itu. Makasih, ya." Suara renyah Fyan terdengar sangat familiar di telinga Ara. Seharusnya gadis itu rindu, tetapi entah kenapa saat ini Ara malah terkesan tidak suka. Bukan tidak suka orangnya, namun status mereka yang akan berubah. Itu yang membuat Ara gelisah. "Iya, Bang, tetapi ada syaratnya." "Katakan saja, apa yang harus Abang lakukan. Oh ya, apa kabar kamu, Ra?" Seperti biasa, Fyan selalu mengalah dan berusaha menurut apa yang Ara mau. "Ara baik, Bang. Eum .... ada baiknya kita ketemu, Bang. Kayaknya hal ini nggak bisa dibicarakan lewat telepon." Suara Ara tetap datar. "Eh, iya. Tentu saja kita harus ketemu, besok Abang jemput Ara di toko, ya." "Memangnya Abang tahu di mana toko Ara?" Gadis itu memicing. "Tahu, dong. Aban
"Sah!" ucap para saksi serempak. Suaranya menggema di ruang tengah rumah ini. Terdengar jelas hingga ke kamarku yang berada di lantai dua.Aku menarik nafas dalam-dalam lalu memejamkan mata. Tak lama kembali kubuka mataku ketika kurasa sentuhan lembut pada tanganku."Selamat ya, Ra! Sekarang sudah sah jadi Nyonya Sofyan Daud," ucap Maya sahabatku seraya tersenyum."Makasih May, do'akan aku bisa jalani semua ini," jawabku dengan tersenyum getir sambil menggenggam tangan Maya."Kamu pasti bisa Ra, jangan kecewakan Mama sama Papa! Kita semua tahu Bang Fyan orang baik, dia pasti akan jadi imam yang baik buat kamu," balasnya lagi."Aku tahu, May. Tapi hatiku belum siap. Aku ... masih .... " ucapku ragu."Rey? Lupakan dia, Ra! Dia sudah ingkar, kamu jangan terus membuang waktu untuk menunggunya! Ingat, sekarang sudah ada Bang Fyan yang halal kamu cintai!"Aku tetap menyungging senyum miris, mengingat pernikahan ini bukan pernikahan yang kuinginkan. Bang Fyan, yang baru saja menghalalkanku a
Tapi memasuki tahun kedua, Rey mulai berubah tak sesering dulu menghubungiku dengan alasan sibuk bekerja. Aku maklum. Empat bulan sebelum genap dua tahun, Rey benar-benar menghilang. Nomor telepon dan semua akun media sosialnya tidak aktif.Dan ini sudah satu tahun dari waktu yang Rey janjikan, aku masih menunggunya. Hingga Bang Fyan datang dan semua orang terdekatku meminta aku untuk mengakhiri penantian pada Rey."Ini sudah setahun dari waktu yang Rey janjikan. Dia memintamu menunggunya selama dua tahun, kamu bahkan telah menunggunya tiga tahun tanpa kabar darinya. Sudahlah, Ra. Mama mohon terima saja Fyan! Mama yakin dia bisa menjaga dan membahagiakanmu," kata Mama ketika malam itu tanpa diduga Bang Fyan beserta Ayah dan Bunda datang melamarku."Umur kamu sudah cukup untuk berumah tangga, Ra. Jangan buang waktu menunggu yang tidak pasti. Papa yakin Fyan tidak akan mengecewakanmu," tambah Papa "Kalau aku sudah dari dulu aku berhenti menunggu Rey. Dia sudah nggak layak ditunggu, Ra
Ada perasaan sedikit lega mendengar penuturannya. Tapi aku harus tetap waspada, laki-laki kan mana tahan. Astaghfirullah. Kok aku jadi suudzon, ya."Abang cuma ingin mengucapkan terima kasih, Ara sudah mau menjadi istri Abang. Abang janji akan selalu berusaha memberikan yang terbaik buat Ara supaya Ara selalu bahagia. Dan Abang juga minta sama Ara untuk belajar menerima Abang sebagai suami Ara."Aku mengangguk, pelan. Lidahku kaku meski hanya mengucap kata iya. Tangannya kanannya terulur lalu meraih jemariku dan tanpa ada jeda dia membawanya. Detik berikutnya aku merasakan bibirnya menempel pada jemariku dan sontak membuat kedua mataku membulat.Belum lagi reda gemuruh di dadaku, ketika kurasakan sesuatu menempel di keningku. Bang Fyan mengecup keningku? Astaga, irama jantungku kian tak beraturan. Apa dia akan meminta lebih malam ini?Segera ku tarik diriku agak ke belakang. Pipiku terasa memanas. Entah seperti apa rupanya kini.Bang Fyan berdehem sambil memalingkan wajahnya. "Istira
"Kita mau kemana, Bang?" tanyaku ketika kami sudah duduk di dalam mobil. Hari pertama setelah pernikahan kami Bang Fyan mengajakku ke luar."Pacaran." jawabnya santai.Aku hanya mencebik mendengarnya."Mumpung Abang masih cuti, apa salahnya kita menghabiskan waktu bersama," lanjutnya.Memilih tak bersuara lagi, dan mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Sejak pagi tadi pagi benda ini tidak kusentuh. Ada beberapa pesan dari Maya juga teman-temanku semasa kuliah dan SMA. Isinya sebagian mengucapkan selamat dan selebihnya meledekku. Resiko pengantin baru, jadi bahan guyonan teman-teman.Asyik membalas chat mereka, aku lupa kalau di sebelahku ada seseorang yang sepertinya merasa diabaikan.Beberapa kali dia berdehem. Aku hanya meliriknya sekilas. Lalu kembali fokus ke layar ponsel.Cekiiiittt!!!Mobil tiba-tiba direm mendadak. Sontak aku menjerit kaget. "Kenapa sih, Bang Fyan?" Aku bertanya dengan nada agak tinggi."Ada kucing tiba-tiba menyebrang," jawabnya dengan tetap fokus ke depan ta
"Ini kamar tidur kita. Suka?" Aku mengangguk."Pagi hari kita bisa menikmati sunrise melalui jendela besar ini, '' jelasnya seraya menunjuk jendela kaca besar di sebelah kiri kamar. "Dan sorenya, kita bisa menikmati sunset di balkon," lanjutnya menunjuk ke arah balkon."Dan di sana, ada dua kamar tidur lagi. Untuk anak-anak kita nanti." Dia menunjuk ke arah luar kamar sambil tersenyum.Aku tersenyum tipis dan melihatnya sekilas. Bang Fyan sudah mempersiapkan ini untukku? Pelan ku langkahkan kaki mendekatinya yang kini tengah berdiri berdiri di dekat jendela besar di bagian samping kamar. Cahaya matahari siang ini hanya tinggal sedikit masuk membentuk garis miring, menerpa wajahnya yang bersih. Matanya bulatnya menatap lurus ke luar jendela. Dengan kedua tangan berada di saku celana abu-abu yang dia kenakan. Gagah."Kemarin, Abang bilang tinggal sekitar 30 menit perjalanan dari restoran yang tempo hari kita ketemu. Deket toko Ara. Tapi dari sini kan jarak cuma 15 menit, Bang."Aku b
Teringat beberapa hari yang lalu ketika Bang Fyan memberikan benda persegi tipis itu padaku."Ini. Peganglah! Untuk keperluan rumah selama satu bulan. Untuk keperluan pribadi Ara, Abang sudah transfer ke nomor rekening Ara."Bang Fyan terlalu baik untukku. Aku tak bisa menerima semua kebaikannya, mengingat sikapku sejauh ini belum bisa menjadi seperti layaknya seorang istri.Ini memang menjadi dilema panjang dalam hidupku kini. Aku bukannya tak mau menjadi istri yang baik buat Bang Fyan. Bukan juga tak tahu tentang hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Ini tentang rasa dan perasaan. Bagiku, segala sesuatunya memang harus dibarengi dengan perasaan. Aku paling tidak bisa mengabaikan perasaan. Dan perasaanku masih sepenuhnya milik dia yang tak kunjung kembali.***Ini malam pertama kami tidur di rumah sendiri. Sejak tiba di rumah beberapa menit yang lalu dan setelah menyimpan belanjaan dan berganti pakaian, aku duduk bermalas-malasan di ruang tengah. Bingung juga mau ngapain. Sebenarn