Share

2. Pura-pura Tidur

Author: Tetiimulyati
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Tapi memasuki tahun kedua, Rey mulai berubah tak sesering dulu menghubungiku dengan alasan sibuk bekerja. Aku maklum.

Empat bulan sebelum genap dua tahun, Rey benar-benar menghilang. Nomor telepon dan semua akun media sosialnya tidak aktif.

Dan ini sudah satu tahun dari waktu yang Rey janjikan, aku masih menunggunya. Hingga Bang Fyan datang dan semua orang terdekatku meminta aku untuk mengakhiri penantian pada Rey.

"Ini sudah setahun dari waktu yang Rey janjikan. Dia memintamu menunggunya selama dua tahun, kamu bahkan telah menunggunya tiga tahun tanpa kabar darinya. Sudahlah, Ra. Mama mohon terima saja Fyan! Mama yakin dia bisa menjaga dan membahagiakanmu," kata Mama ketika malam itu tanpa diduga Bang Fyan beserta Ayah dan Bunda datang melamarku.

"Umur kamu sudah cukup untuk berumah tangga, Ra. Jangan buang waktu menunggu yang tidak pasti. Papa yakin Fyan tidak akan mengecewakanmu," tambah Papa

"Kalau aku sudah dari dulu aku berhenti menunggu Rey. Dia sudah nggak layak ditunggu, Ra," omel Maya ketika aku bercerita perihal lamaran Bang Fyan.

Keputusan memang berada di tanganku dan aku berhak bahagia. Bahkan aku masih beranggapan bahwa bahagiaku bersama Rey, tapi mungkin itu salah.

"Abang tahu aku masih menunggu Rey?" tanyaku pada Bang Fyan ketika beberapa hari yang lalu dia mengajakku makan siang.

"Iya, sangat tahu," jawabnya mantap.

"Kalau begitu, kenapa Abang bersikeras ingin menikahi Ara?" tanyaku sedikit ketus. Kulirik Bang Fyan tersenyum dan menatapku lekat.

"Karena Abang sayang sama Ara," jawabnya.

Aku membuang pandangan, bisa-bisanya Bang Fyan berkata seperti itu.

"Berarti Abang pagar makan tanaman dong karena merebut pacar sahabat sendiri?"

"Apakah Rey masih layak disebut pacar? Setelah dua tahun tanpa kabar tanpa komunikasi."

Kalimat Bang Fyan benar-benar kena di hatiku. Dua tahun kami tanpa komunikasi dan aku masih setia menunggunya.

"Abang jangan sok tahu! Bukankah selama ini kita juga nggak ada komunikasi?"

"Meski tak ada komunikasi diantara kita, tapi Abang tahu semuanya. Kemarin, Abang hanya tidak ingin mengganggu kalian. Itu saja."

"Kalau Ara ternyata masih berharap pada Rey dan tetap menanti kedatangannya. Apakah Abang akan tetap menikahi Ara?"

Bang Fyan nampak berpikir sejenak, dia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.

"Suatu saat jika Rey datang, Ara boleh menentukan pilihan. Abang akan terima apapun keputusan Ara. Yang penting saat ini Ara bersedia menikah dengan Abang."

"Kalau begitu Abang mempermainkan pernikahan dong?"

"Tidak ada maksud seperti itu. Abang hanya ingin Ara bahagia dan tidak terus larut dalam penantian yang sia-sia. Jika suatu saat takdir berkata lain, in sha Allah Abang siap."

Aku akan pegang kata-kata Bang Fyan jika suatu saat Rey datang. Aku menghela nafas berat, saat ini aku telah resmi menjadi istri Bang Fyan. Dan aku harus siap dengan segala konsekwensinya.

Berarti malam ini harus berbagi tempat tidur dengannya. Ya, Tuhan! Bagaimana kalau Bang Fyan meminta haknya malam ini? Aku benar-benar belum siap. Alasan apa yang harus aku berikan.

Apa aku pura-pura tidur saja, ya?

Teringat aku belum menunaikan kewajiban shalat Isya. Bergegas aku mengambil wudhu, dan segera menghadap Rabbku.

Mondar mandir aku gelisah sendiri. Duduk di tepi ranjang pengantin kami, yang seharusnya menjadi saksi penyatuan rasa diantara kami. Pelan ku usap sprei putih bertabur kelopak mawar.

Maafkan Ara, Bang Fyan!

Khawatir Bang Fyan segera datang, akhirnya aku mengambil tempat di sisi kanan ranjangku. Berbaring menghadap pinggiran ranjang. Ku taruh guling di belakangku, sebagai pembatas kalau nanti Bang Fyan tidur di sisi kiriku.

Lebih baik aku pura-pura tidur saja. Meskipun kantuk entah kemana perginya. Kucoba memejamkan mata dan memasang telinga. Memastikan pintu kamarku belum terbuka.

Cukup lama aku di posisi begini. Tapi sepertinya belum ada yang masuk ke kamarku. Kugerakkan tubuhku pada posisi terlentang. Tapi tiba-tiba seperti ada yang memutar handle pintu.

Segera aku kembali ke posisi semula. Mudah-mudahan Bang Fyan tidak melihat gerakanku.

Astaga!

Sebisa mungkin kuatur nafasku agar terlihat normal. Terdengar langkah kaki mendekati ranjang. Beberapa detik kemudian ranjang di sebelahku terasa bergerak.

Bang Fyan mungkin sudah berada di belakangku kini.

Bagaimana ini?

Jantungku rasanya seperti hendak meloncat. Terdengar jelas detaknya di telingaku.

"Ra, Abang tahu kamu belum tidur."

Deg!

Bang Fyan kok tahu ya, aku belum tidur. Apa tadi dia melihat pergerakanku? Atau nafasku yang tak beraturan terlihat oleh dia?

"Ara." Aku masih diam tak bergerak.

"Nggak usah pura-pura tidur, Mutiara!" Aduh. Bang Fyan kalau sudah memanggil namaku secara lengkap, biasanya dia sudah sampai pada tahap kesal.

Terdengar Bang Fyan berdecak. Sedetik kemudian aku merasakan tangannya menyentuh bahuku. Mau apa dia? Saking kagetnya aku terlonjak bangun menatap ke arahnya.

"Abang! Apa-apaan sih?" Jujur aku sangat kaget dan menatapnya kesal.

Segera ku tepis tangannya.

Bang Fyan beringsut mundur. Dia memiringkan kepalanya sambil mengerutkan dahi.

"Justru kamu yang kenapa, Ra? Dipanggil nggak jawab."

"Ara .... " Aku tak berani melanjutkan kalimat.

"Kamu udah shalat Isya?" tanyanya melembut.

"U-udah." Aku masih gugup.

"Kok ngga nunggu Abang? Kita kan bisa shalat berjamaah."

"Keburu ngantuk kalau nunggu Abang," gerutuku.

"Ngantuk tapi ngga tidur?"

Aku mendelik. Sebal.

"Abang mau shalat Isya. Tunggu, jangan tidur dulu!" Dia bergegas ke kamar mandi. Tak lama keluar dan segera mengambil sajadah dan sarung, kemudian menunaikan shalat Isya.

Aku melongo, tadi dia menyuruhku menuggu. Untuk apa? Jangan-jangan dia mau meminta haknya malam ini. Aku harus bagaimana?

Diam-diam kuperhatikan dia yang sedang khusuk menghadap Rabbnya. Bang Fyan memang ta'at beribadah, sejak dulu. Dia yang selalu mencerewetiku terutama perihal shalat.

Dia juga yang menceramahiku tentang hijab. Aku yang awalnya nyaman dengan jeans dan kaos oblong, perlahan mulai tertarik menggunakan rok dan gamis.

Bang Fyan melipat peralatan sholat, lalu duduk di pinggiran ranjang. Melirik ke arahku dan menepuk kasur di sebelahnya.

Aku mematung sesaat, dia mengulanginya lagi sambil mengangguk perlahan.

Aku beringsut turun dan berjalan memutar. Dengan ragu duduk di sebelahnya. Berada sedekat ini dengan dia, jangan tanya kondisi jantungku. Meskipun dia halal untukku, tapi sungguh ini belum terbiasa bagiku.

Dulu saat kami selalu bersama pun, tak pernah sedekat ini. Dia selalu menjaga jarak.

"Bang!" Aku memberanikan diri menatapnya.

Dia tak menjawab, seakan menunggu kalimatku selanjutnya.

"Ara ...." Tenggorokanku rasanya tercekat.

"Ya, kenapa? Ngomong aja!" Dia mentapku lekat.

"Ara belum siap jadi istri Abang yang seutuhnya. Perasaan Ara masih seperti dulu terhadap Abang. Tak lebih dari seorang adik pada kakaknya. Maaf." Aku memberanikan diri berbicara. Meliriknya malu-malu.

Senyumnya tertahan, sedetik kemudian terdengar dia terkekeh.

Aku mengerutkan kening. Apa ada yang lucu?

"Abang ngerti, Ra. Abang juga nggak akan maksa,kok. Ini tidak akan mudah, dan Abang akan bersabar sampai Ara siap. Kita pacaran dulu aja, ya. Anggap saja sekarang kita baru jadian." Senyumnya mengembang sambil mengerlingkan sebelah matanya. Genit.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nur Janah
sabar dan baik ya abangnya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Terpaksa Kuterima Lamaran Sahabatmu    3. Siapa Seseorang Itu?

    Ada perasaan sedikit lega mendengar penuturannya. Tapi aku harus tetap waspada, laki-laki kan mana tahan. Astaghfirullah. Kok aku jadi suudzon, ya."Abang cuma ingin mengucapkan terima kasih, Ara sudah mau menjadi istri Abang. Abang janji akan selalu berusaha memberikan yang terbaik buat Ara supaya Ara selalu bahagia. Dan Abang juga minta sama Ara untuk belajar menerima Abang sebagai suami Ara."Aku mengangguk, pelan. Lidahku kaku meski hanya mengucap kata iya. Tangannya kanannya terulur lalu meraih jemariku dan tanpa ada jeda dia membawanya. Detik berikutnya aku merasakan bibirnya menempel pada jemariku dan sontak membuat kedua mataku membulat.Belum lagi reda gemuruh di dadaku, ketika kurasakan sesuatu menempel di keningku. Bang Fyan mengecup keningku? Astaga, irama jantungku kian tak beraturan. Apa dia akan meminta lebih malam ini?Segera ku tarik diriku agak ke belakang. Pipiku terasa memanas. Entah seperti apa rupanya kini.Bang Fyan berdehem sambil memalingkan wajahnya. "Istira

  • Terpaksa Kuterima Lamaran Sahabatmu    4. Kejutan

    "Kita mau kemana, Bang?" tanyaku ketika kami sudah duduk di dalam mobil. Hari pertama setelah pernikahan kami Bang Fyan mengajakku ke luar."Pacaran." jawabnya santai.Aku hanya mencebik mendengarnya."Mumpung Abang masih cuti, apa salahnya kita menghabiskan waktu bersama," lanjutnya.Memilih tak bersuara lagi, dan mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Sejak pagi tadi pagi benda ini tidak kusentuh. Ada beberapa pesan dari Maya juga teman-temanku semasa kuliah dan SMA. Isinya sebagian mengucapkan selamat dan selebihnya meledekku. Resiko pengantin baru, jadi bahan guyonan teman-teman.Asyik membalas chat mereka, aku lupa kalau di sebelahku ada seseorang yang sepertinya merasa diabaikan.Beberapa kali dia berdehem. Aku hanya meliriknya sekilas. Lalu kembali fokus ke layar ponsel.Cekiiiittt!!!Mobil tiba-tiba direm mendadak. Sontak aku menjerit kaget. "Kenapa sih, Bang Fyan?" Aku bertanya dengan nada agak tinggi."Ada kucing tiba-tiba menyebrang," jawabnya dengan tetap fokus ke depan ta

  • Terpaksa Kuterima Lamaran Sahabatmu    5. Belanja

    "Ini kamar tidur kita. Suka?" Aku mengangguk."Pagi hari kita bisa menikmati sunrise melalui jendela besar ini, '' jelasnya seraya menunjuk jendela kaca besar di sebelah kiri kamar. "Dan sorenya, kita bisa menikmati sunset di balkon," lanjutnya menunjuk ke arah balkon."Dan di sana, ada dua kamar tidur lagi. Untuk anak-anak kita nanti." Dia menunjuk ke arah luar kamar sambil tersenyum.Aku tersenyum tipis dan melihatnya sekilas. Bang Fyan sudah mempersiapkan ini untukku? Pelan ku langkahkan kaki mendekatinya yang kini tengah berdiri berdiri di dekat jendela besar di bagian samping kamar. Cahaya matahari siang ini hanya tinggal sedikit masuk membentuk garis miring, menerpa wajahnya yang bersih. Matanya bulatnya menatap lurus ke luar jendela. Dengan kedua tangan berada di saku celana abu-abu yang dia kenakan. Gagah."Kemarin, Abang bilang tinggal sekitar 30 menit perjalanan dari restoran yang tempo hari kita ketemu. Deket toko Ara. Tapi dari sini kan jarak cuma 15 menit, Bang."Aku b

  • Terpaksa Kuterima Lamaran Sahabatmu    6. Takut Khilaf

    Teringat beberapa hari yang lalu ketika Bang Fyan memberikan benda persegi tipis itu padaku."Ini. Peganglah! Untuk keperluan rumah selama satu bulan. Untuk keperluan pribadi Ara, Abang sudah transfer ke nomor rekening Ara."Bang Fyan terlalu baik untukku. Aku tak bisa menerima semua kebaikannya, mengingat sikapku sejauh ini belum bisa menjadi seperti layaknya seorang istri.Ini memang menjadi dilema panjang dalam hidupku kini. Aku bukannya tak mau menjadi istri yang baik buat Bang Fyan. Bukan juga tak tahu tentang hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Ini tentang rasa dan perasaan. Bagiku, segala sesuatunya memang harus dibarengi dengan perasaan. Aku paling tidak bisa mengabaikan perasaan. Dan perasaanku masih sepenuhnya milik dia yang tak kunjung kembali.***Ini malam pertama kami tidur di rumah sendiri. Sejak tiba di rumah beberapa menit yang lalu dan setelah menyimpan belanjaan dan berganti pakaian, aku duduk bermalas-malasan di ruang tengah. Bingung juga mau ngapain. Sebenarn

  • Terpaksa Kuterima Lamaran Sahabatmu    7. Follower Sejati

    Agak tergesa-gesa aku mengendarai motor matic kesayanganku pagi ini. Bukan pagi, ini sudah beralih siang. Aku terlambat setengah jam dari biasanya. Ini hari pertama aku kembali ke toko setelah aku menikah.Pagi tadi Maya mengirim pesan padaku bahwa hari ini dia akan datang terlambat ke toko. Ya, ini jadwal rutinnya menemani ibunya ke dokter.Genangan air di beberapa bagian jalan yang pagi ini sengaja tak kuhindari, menimbulkan percikan air ketika laju motorku sama sekali tak kuperlambat. Biasanya aku akan menghindar demi si merah kesayanganku ini tetap kelihatan bersih.Memasuki area pertokoan yang berjajar rapi, sedikit kupelankan laju motorku. Dengan tergesa-gesa kuparkirkan si merah di depan satu-satunya toko yang masih tutup. Bergegas turun dan tanpa membuka helm aku berjalan sambil mengambil kunci di dalam tas dan berjalan mendekati pintu.Kulihat Iren, satu-satunya karyawanku yang sedari tadi duduk d depan konter sebelah bangkit dan berjalan ke arahku."Pagi, Mbak," sapanya."Pa

  • Terpaksa Kuterima Lamaran Sahabatmu    8. Di Bawah Pohon Flamboyan

    Aku hanya berdecak sebal sementara lelaki tampan di sampingku kembali terkekeh.Bang Fyan mengajakku makan siang di salah satu restoran favorit kami dulu. Letaknya tak jauh dari tokoku. Berada di seberang taman kota yang banyak ditumbuhi pohon Flamboyan. Dan kami sering menyebutnya dengan sebutan taman Flamboyan. Di tempat ini aku kecil sering menghabiskan waktu bersama. Pun setelah dewasa.Di taman ini juga aku dan Rey sering bertemu untuk sekedar ngobrol dan menikmati coklat panas yang kami beli di cafe yang tak jauh dari taman."Taman itu tidak banyak perubahan, ya," ucap Bang Fyan seraya menatap lurus ke seberang jalan. Dari restoran ini memang sangat jelas terlihat aktivitas di taman itu. Banyak para abege dan remaja yang sedang beraktivitas di bawah pohon Flamboyan yang rindang.Selepas makan, Bang Fyan mengajakku duduk di salah satu bangku di bawah pohon Flamboyan. Sebenarnya aku enggan mampir ke sini. Banyak sekali momen yang kulalui di taman ini."Tunggu sebentar, ya!" titah

  • Terpaksa Kuterima Lamaran Sahabatmu    9. Cerita Hujan

    Hari-hari selanjutnya aku jalani seperti biasa, dingin dan kaku. Seperti hubunganku dengan Bang Fyan. Sangat kaku. Tak terasa sudah satu bulan kami menjalani pernikahan seperti ini. Kami halal dan hidup serumah, tapi jarang terlibat obrolan. Hanya sebatas basa-basi menawarkan sarapan atau kopi.Sebenarnya Bang Fyan sering memulai percakapan, tapi aku selalu menanggapinya dingin. Dia juga tak pernah bersikap kasar padaku, meskipun aku terkadang ketus.Seperti malam-malam sebelumnya, kami tidur berjauhan di sisi ranjang yang berbeda. Saling memunggungi, dan ada guling di tengah sebagai pembatas.Bang Fyan tak pernah membahas masalah ini, meskipun aku tahu dia tak menginginkan keadaan ini. Kadang aku pun merasa bersalah dalam situasi seperti ini, tapi entahlah hatiku masih belum terbuka hingga kini.Untuk urusan yang lain aku telaten mengerjakannya. Seperti membuatkan sarapan dan menyiapkan baju kerjanya.Pagi-pagi sekali setelah menunaikan shalat subuh aku sudah mulai membuat sarapan. M

  • Terpaksa Kuterima Lamaran Sahabatmu    10. Bersama

    Sadar tubuh kami masih merapat dengan posisi tangan saling memeluk. Aku secepatnya menarik tubuhku. Begitupun Bang Fyan. Kami sama-sama gugup. Untuk menutupi rasa gugupnya, Bang Fyan meraih tanganku dan membimbingku ke ruang tengah. Membantuku duduk untuk kemudian kembali ke dapur. Beberapa detik kemudian dia datang dengan segelas air putih. Pria itu punya duduk di sampingku dan menyerahkan gelas itu."Minum dulu!" suruhnya lembut.Enggan menjawab, aku menerima gelas dari tangannya kemudian meminum separuh isinya. Berniat meletakkannya di atas meja, tapi tangannya bergerak cepat meraih gelas di tanganku. Dan tak dapat dihindari ketika tangan kami bersentuhan, dia mengambil gelasnya lalu meminum sisa airnya. Setelah itu menaruhnya di atas meja seperti niatku semula.Aku mematung di tempat dudukku, melihat apa yang baru saja dia lakukan."Jadi pergi ke toko?" tanyanya kemudian.Aku menggeleng. Tidak mungkin juga aku pergi ke toko dengan keadaan mata bengkak seperti ini. Meski belum be

Latest chapter

  • Terpaksa Kuterima Lamaran Sahabatmu    92. Restu Orang Tua

    "Ha--hallo ... assalamualaikum .... " Ara tidak bisa membunyikan kegugupannya. Suaranya terdengar bergetar begitu mengucap salam. "Waalaikumsalam, Ra. Abang kira Ara tidak mau menerima telepon dari Abang. Barusan Mama menyampaikan kabar bahagia itu. Makasih, ya." Suara renyah Fyan terdengar sangat familiar di telinga Ara. Seharusnya gadis itu rindu, tetapi entah kenapa saat ini Ara malah terkesan tidak suka. Bukan tidak suka orangnya, namun status mereka yang akan berubah. Itu yang membuat Ara gelisah. "Iya, Bang, tetapi ada syaratnya." "Katakan saja, apa yang harus Abang lakukan. Oh ya, apa kabar kamu, Ra?" Seperti biasa, Fyan selalu mengalah dan berusaha menurut apa yang Ara mau. "Ara baik, Bang. Eum .... ada baiknya kita ketemu, Bang. Kayaknya hal ini nggak bisa dibicarakan lewat telepon." Suara Ara tetap datar. "Eh, iya. Tentu saja kita harus ketemu, besok Abang jemput Ara di toko, ya." "Memangnya Abang tahu di mana toko Ara?" Gadis itu memicing. "Tahu, dong. Aban

  • Terpaksa Kuterima Lamaran Sahabatmu    91. Pilihan Terbaik

    Fyan sudah bisa menduga kalau tidak semudah itu Ara menerima perjodohan ini. Bahkan sebenarnya Fyan juga sudah siap jika gadis itu menolak. Meski demikian, kabar dari Mama cukup membuat Fyan mematung beberapa saat.Kecewa. Tentu saja.Hal inilah yang ia takutkan sejak dulu. Empat tahun yang lalu, saat ia merasa ada perasaan lain pada gadis itu. Perasaan lebih dari sekedar sahabat dan seorang kakak. Yang pada akhirnya Fyan harus kehilangan Ara saat gadis itu jatuh ke tangan Rey. "Kamu Jangan berkecil hati, Nak. Mama dan Papa akan terus meyakinkan Ara.""Jangan dipaksakan, Ma. Sesuatu yang terpaksa itu tidak akan baik nantinya. Fyan ingin Ara menerima ini dengan kesadaran penuh dan tanpa paksaan.""Tenang saja, ya. Mama dan Papa tahu kok, harus bagaimana.""Terima kasih, Ma. Kalau begitu izinkan Fyan bertemu dengan Ara, biar Fyan yang menjelaskan padanya.""Sabar dulu, ya, Nak. Tidak secepat itu, nanti setelah Ara bisa ditemui malah akan kabarin, kok."Panggilan terakhir, Fyan meletakk

  • Terpaksa Kuterima Lamaran Sahabatmu    90. Menolak

    Pulang dari bertemu dengan mama dan papanya Ara, Fyan merasa lega mendengar kabar gadis itu masih sendiri. Berarti ia mempunyai kesempatan untuk mewujudkan harapannya. Senyum tak lepas dari bibirnya, sepanjang perjalanan Fyan bersenandung kecil. Dunia yang sempat terasa sempit kini kembali melebar. Fyan berharap, semoga saja Ara menyetujui rencana mama dan papanya. Gadis itu pasti kecewa kepada Rey. Semoga kehadiran Fyan kembali akan membuka hatinya dan menjadi pelipur dukanya. Hari itu Fyan tidak kembali ke kantor. Ia mengirim pesan pada sekretarisnya untuk menghandle beberapa pekerjaan. Pemuda itu langsung pulang ke rumah lantaran ingin segera berbaring dan merayakan kebahagiaannya sendiri.Hal yang pertama Fyan lakukan setelah sampai di rumah adalah mencari media sosial Rey. Ia ingin bertanya pada sahabatnya itu kenapa sampai hati melakukan ini pada Ara.Terakhir kali Fyan berkomunikasi dengan Rey entah berapa tahun yang lalu. Kalau tidak salah tak lama setelah dia berada di Sura

  • Terpaksa Kuterima Lamaran Sahabatmu    89. Besar Harapan

    Sudah hampir dua bulan Fyan tinggal di kota Bandung. Hari demi hari ia lalui sangat membosankan. Kegiatannya hanya ke kantor dan di rumah. Fyan termasuk orang yang tidak suka keluyuran atau nongkrong tidak jelas. Sesekali menginap di rumah Shafia jika Fyan sedang ingin makan makanan rumahan. Setiap hari makan di restoran memang tidak enak. Mau masak di rumah rasanya tidak seru kalau dimakan sendirian.Shafia pernah menyarankan supaya Fyan mencari seorang ART, tetapi sang adik tidak mau. Untuk bersih-bersih rumah, Fyan bisa mengerjakannya sendiri. Bukankah sekarang sudah banyak alat yang membantu. Pakaian dicuci di laundry. Selain rumah Shafia, hari minggu biasanya Fyan berkunjung rumah yang baru saja ia beli untuk melihat pembangunan yang sudah hampir selesai. Membayangkan suatu saat ia tinggal di sini bersama keluarga kecilnya. Bahagia dengan seorang istri dan mereka saling menyayangi. Lagi-lagi wajah Ara yang muncul ketika Fyan membayangkan masa depan.Selam dua bulan tinggal di B

  • Terpaksa Kuterima Lamaran Sahabatmu    88. Apakah Jodoh?

    Satu bulan setelah pernikahan Ajeng dan Pras dilaksanakan. Tepatnya satu bulan setengah setelah Ayah meminta Fyan pindah ke Bandung. Namun belum ada tanda-tanda pemuda itu bersiap-siap untuk pergi ke kota tersebut. Ayah dan Bunda pun belum membahasnya lagi sejak pembicaraan saat itu. Fyan sendiri bukan lupa kalau saat itu dirinya mengiyakan permintaan Ayah. Namun dirinya masih menimbang dan ragu untuk kembali ke kota itu. Meski jujur saja, dalam hatinya penasaran dengan kabar Ara, namun dia masih tetap tidak punya keberanian untuk mencari tahu tentang gadis itu. Malam ini, Ayah dan Bunda kembali membahas hal itu selepas mereka makan malam. "Sudah hampir dua bulan lho, Nak? Jadi mau kapan?" Bunda membuka pembicaraan dengan sebuah pertanyaan."Sebentar lagi, Bun. Ada pembangunan yang belum selesai di panti asuhan. Lagi pula Ajeng dan Pras masih pengantin baru.""Sudah satu bulan menikah, harusnya Ajeng dan Pras sudah kembali aktif. Bulan madu kan bisa kapan-kapan. Kakakmu kemarin sud

  • Terpaksa Kuterima Lamaran Sahabatmu    87. sepakat

    "Bagaimana kabar tokonya Ara?" tanya bunda setelah beberapa menit berbasa-basi sekedar bertanya kabar. Pertanyaan itu pun masih bagian dari basa-basi. Terakhir Bunda mendengar kabar kalau Ara membuka usaha toko di ruko yang tidak jauh dari taman flamboyan."Alhamdulillah, Jeng. Karena ditekuni, usahanya semakin lancar bahkan sekarang menerima pesanan lewat online. Ara juga kelihatannya semakin dewasa tidak manja lagi seperti dulu." Terdengar tawa kecil dari seberang telepon. Bunda membayangkan gadis kecil itu sekarang sudah berubah menjadi wanita dewasa. Gadis kecil yang dulu selalu tampil dengan rambut dikuncir satu di belakang yang kerap merengek manja memintanya membuatkan sesuatu tatkala dirinya sedang di dapur."Saya sebenarnya sangat kangen sama Ara. Tapi, kok, nomornya tidak aktif, ya." "Sepertinya Ara ganti nomor, Jeng. Kalau begitu, nanti saya kirim nomor baru Ara.""Ndak usah, Jeng. Ara sekarang sibuk di tokonya, takut mengganggu waktunya. Mendengar dia sehat dan baik-baik

  • Terpaksa Kuterima Lamaran Sahabatmu    86. Harus Siap

    "Hah?! Willy?!"Seketika mama dan papa menatap Ara penuh tanya ketika mendengar anak keduanya itu seperti kaget."Kenapa? Ara kenal?" Mama tak bisa menahan rasa penasarannya."Eum ... anu .... " Ara berusaha menyembunyikannya kagetnya."Atau ... jangan-jangan kalian sudah ...." Mama tersenyum sambil menatap tajam ke arah putrinya, kemudian ia beralih pada suaminya. Berharap kalau Ara dan Willy sudah saling kenal atau bahkan sering berkomunikasi. Itu sebabnya Tuan Markus membahas mereka."Ara pernah dengar nama itu sewaktu kuliah dulu. Kayaknya dia kakak tingkat Ara. Tetapi .... " Ara memutuskan untuk tidak memberitahu Mama dan Papa perihal pertemuannya dengan Willy beberapa hari yang lalu."Tetapi apa?" Lagi, Mama antusias mengajukan pertanyaan. Perempuan itu semakin berharap."Tetapi ... dulu dikenal sebagai mahasiswa yang suka gonta-ganti pacar." Ara melirik Mama yang nampak sedikit kaget.Mama menghempaskan bagian belakang tubuhnya kesadaran kursi. Sesungguhnya ini jawaban yang ti

  • Terpaksa Kuterima Lamaran Sahabatmu    85. Kenalan

    Usaha yang dijalankan Ara bersama Maya berjalan lancar. Selain melayani pembeli langsung, mereka juga menyediakan layanan online yang lebih dari separuhnya pendapatan mereka berasal dari penjualan online ini. Pelanggannya pun tidak terbatas dari dalam kota saja. Tetapi merambah ke luar kota, bahkan luar provinsi. Modal yang Ara pinjam dari Papa juga sudah dikembalikan. Sebenarnya Papa menolak, tetapi Ara bersikeras. Atas bantuan Mama, akhirnya Papa mengalah. Aktivitas yang cukup menyita waktunya ini berhasil mengalihkan pikiran Ara dari Rey. Pemuda yang ditunggunya selama hampir 3 tahun itu memang sempat membuat hari-hari gadis yang sekarang mantap berhijab itu terasa menyakitkan. Beruntung ada Maya juga mama dan papa yang selalu memberikan dukungan hingga ia bisa berhasil melewati masa-masa sulitnya. Meskipun tidak jarang Ara teringat pada pemuda itu, namun kembali ia menyibukkan diri pada pekerjaannya.Hidup sederhana yang dijalankan oleh Ara membuat ia benar-benar mandiri. Ia p

  • Terpaksa Kuterima Lamaran Sahabatmu    84. Tidak Cocok

    "Sorry, bukannya kasar ... "Fyan mengangkat tangan tanda tidak ada masalah."Priska, kayak dia gak cocok jadi calon suami lu." Pria itu beralih menatap Priska. "Sorry bro, saya bukan calon suaminya." Fyan menegaskan sekali lagi."Priska bilang lu calon suaminya. Kalian korban perjodohan. Hahaha. Harusnya Priska mendapatkan pendamping hidup yang sesuai dengannya." Pria itu tertawa dengan nada mengejek. "Sudah dibilang saya bukan calon suaminya. Saya hanya teman lama yang baru ketemu lagi tadi siang." Fyan merasa tidak enak mendengar pria itu berkata dengan nada tinggi."Sudah, jangan berdebat. Jadi kamu cuma mau mempermainkan aku, Fyan?!" Sekarang giliran Priska yang berkata dengan nada tak kalah tinggi.Fyan mengalihkan pandangan sejenak. Memang susah kalau ngobrol dengan orang dalam keadaan setengah sadar."Mempermainkan apa, Priska?" "Kita sudah dijodohkan tapi kamu bilang bukan calon suamiku?!" Priska menunjuk wajah Fyan, sungguh tidak ada sopan santun."Tidak ada perjodohan di

DMCA.com Protection Status