Teringat beberapa hari yang lalu ketika Bang Fyan memberikan benda persegi tipis itu padaku.
"Ini. Peganglah! Untuk keperluan rumah selama satu bulan. Untuk keperluan pribadi Ara, Abang sudah transfer ke nomor rekening Ara."Bang Fyan terlalu baik untukku. Aku tak bisa menerima semua kebaikannya, mengingat sikapku sejauh ini belum bisa menjadi seperti layaknya seorang istri.Ini memang menjadi dilema panjang dalam hidupku kini. Aku bukannya tak mau menjadi istri yang baik buat Bang Fyan. Bukan juga tak tahu tentang hak dan kewajiban yang harus dipenuhi.Ini tentang rasa dan perasaan. Bagiku, segala sesuatunya memang harus dibarengi dengan perasaan. Aku paling tidak bisa mengabaikan perasaan. Dan perasaanku masih sepenuhnya milik dia yang tak kunjung kembali.***Ini malam pertama kami tidur di rumah sendiri. Sejak tiba di rumah beberapa menit yang lalu dan setelah menyimpan belanjaan dan berganti pakaian, aku duduk bermalas-malasan di ruang tengah. Bingung juga mau ngapain.Sebenarnya aku sudah mulai mengantuk, tapi untuk pergi ke kamar rasanya enggan. Akhirnya menyalakan televisi yang ada di ruang tengah dan memilih tontonan yang satupun tidak ada yang menarik minatku. Sesekali membuka ponsel lalu kembali ke layar televisi."Belum ngantuk?" tanya Bang Fyan yang entah sejak kapan berada di dekat kursi yang kududuki."Eh, belum," jawabku agak gugup bercampur kaget.Lelaki itu berlalu ke belakang dan beberapa menit kemudian kembali dengan dua buah cangkir di tangannya. Lalu memberikan satu cangkir kepadaku dan dengan ragu aku menerimanya."Makasih," ucapku. Asap yang mengepul mengantarkan aroma coklat yang begitu kuat menyapa indera penciumanku. Membuatku sejenak memejamkan mata sambil menghirupnya kuat-kuat. Sempurna."Masih sama ekspresinya ketika bertemu dengan secangkir coklat panas," ucap Bang Fyan yang kini duduk di sampingku.Aku menoleh sejenak sambil tersenyum tipis lalu kembali fokus pada coklat panas di tanganku."Ekspresi yang selama empat tahun ini sangat Abang rindukan," lanjutnya. Membuat aku menghentikan gerakanku untuk menyeruput coklat dalam genggamanku. Lalu kembali menoleh ke arahnya dan mendapati dia tengah tersenyum menatapku lembut.Aku mengerutkan kening sebagai tanda tidak percaya dengan apa yang dia katakan."Abang kira akan selamanya Abang dibelenggu kerinduan terhadap semua yang ada pada Ara. Ternyata Tuhan hanya menguji Abang selama empat tahun ini. Meskipun rasanya seperti berpuluh bahkan ribuan tahun," kekehnya kemudian menyeruput coklat miliknya."Dan ternyata selama empat tahun itu Abang jadi pinter gombal, nya?" cibirku."Sejak dulu Abang sudah ingin gombalin Ara, tapi Abang tahan karena belum saatnya. Yang ada nanti Abang malah diketawain karena ngegombalin adik sendiri," tawanya makin menjadi.Selanjutnya tak kuhiraukan lagi, aku asik menikmati coklat ini. Minuman favoritku dari dulu, dan Bang Fyan sangat faham betul. Bahkan ketika aku merajuk, tak akan susah untuk membuat senyumku mengembang kembali. Cukup dengan memberikan aku coklat panas."Tapi ada satu hal yang Abang sayangkan.""Apa?" tanyaku cepat."Penasaran, ya?""Nggak.""Tadi nanyanya cepet amat.""Biasa aja.""Nggak mau ngaku!""Emang biasa saja!" jawabku tak kalah sewot.Tak terdengar jawaban dari lelaki di sampingku yang kembali asik dengan coklatnya. Aku mendengus kesal sambil memutar bola mataku. Tapi tak ada reaksi apa-apa darinya."Apa!?" ulangku."Tuh kan, kelihatan sekali jiwa keponya." Dia kembali terkekeh membuat kesabaranku menipis. Reflek aku meraih bantal kursi dan melemparkannya pada lelaki yang nampak puas terkekeh."Ihh nyebelin!"Buk!Tepat mengenai tanganya dan spontan cangkir yang masih berisi coklat itu tumpah sebagian mengenai tangan dan piyamanya."Aw!!" Pekiknya.Akupun tak kalah kaget, segera kuletakkan cangkir di atas meja lalu mengambil tisu yang berada tak jauh dari cangkir. Tak membuang waktu aku segera membersihkan dengan tangan kanan dan tangan kiriku memegang pergelangannya.Untuk beberapa saat aku fokus membersihkan sisa-sisa coklat."Maaf," ucapku seraya mengangkat wajah dan kudapati wajahnya yang hanya berjarak beberapa inci dari wajahku sedang menatapku lekat. Sejenak pandangan kami bertaut namun segera aku menunduk kembali karena tak mau berlama-lama menatapnya. Dengan cepat kuselesaikan membersihkan tumpahan coklat pada tangannya.Namun kejadian selanjutnya sangat tidak kuduga. Tangan Bang Fyan yang satunya meraih cangkir yang masih tersisa coklat lalu menumpahkannya sedikit ke atas pahanya yang berbalut piyama. Sontak mataku melebar dan mulutku sedikit terbuka, apa yang dia lakukan?Belum hilang kekagetanku dia meraih tanganku dan membimbingnya mengambil tisu lalu menaruhnya di atas pahanya yang barusan sengaja dia tumpahi sisa coklat. Dalam genggaman tangannya, tanganku bergerak membersihkan tumpahan coklat di sana.Untuk beberapa saat aku bertahan dalam posisi ini, dan selanjutnya aku menarik tanganku dan melepaskannya dari genggamannya."Modus!"Dia hanya tersenyum jahil seraya berdiri."Abang ganti baju dulu," ucapnya yang sengaja tidak kubalas. Aku sangat kesal dengan ulahnya barusan yang sengaja menumpahkan sisa coklat ke atas pahanya. Niat banget sepertinya menggenggam tanganku dan membuat ada perasaan aneh menyelusup tanpa permisi ke dalam hatiku.Selang beberapa menit dia sudah kembali dengan piyama baru. Lalu duduk lagi di sampingku. Memasang wajah datar seakan tidak terjadi apa-apa sebelumnya."Masih penasaran, nggak?""Nggak.""Yakin?""Nggak.""Kok jawabnya nggak mulu?""Abang juga nggak niat jawab kan?"Tiba-tiba terdengar tawanya begitu saja."Abang cuma mau bilang kalau sekarang Ara tuh jadi agak kaku sama Abang. Kenapa?""Ya karena sekarang statusnya juga berbeda kan? Dulu Abang adalah sahabat sekaligus kakak bagi Ara. Sekarang kan suami Ara, jadi .... ""Jadi bagus dong, sekarang kita tidak ada batasan. Bisa pegang tangan dan ... ""Dasar modus!" jawabku cepat."Tapi Ara juga suka kan dimodusin?" tanyanya membuat pipiku sontak memanas."Sok tahu!""Nggak usah bohong. Pipi kamu itu sudah menjawab dengan sendirinya."Astaga!Aku bangkit dan segera meninggalkan dia yang masih senyum-senyum nggak jelas. Lebih baik aku tidur saja daripada terus menerus diledekin. Bang Fyan memang sangat gemar menggodaku. Dulu aku sering menangis karena kerap beradu pendapat dengannya. Dia yang egois dan tak mau mengalah dengan pendapatnya tapi jadi orang pertama yang melindungiku kalau ada yang menggangguku.Aku berbaring di atas sofa yang terletak di dekat jendela besar di kamar."Kenapa tidur di sana? Takut diapa-apain ya sama Abang?" Rupanya dia mengikutiku masuk kamar dan segera berbaring di ranjang.Aku tak menjawab."Ayo tidur di sini saja! Bukankah di rumah Mama juga kita tidur satu ranjang? Apalagi ini rumah kita." Dia menepuk kasur di sebelahnya.Aku tetap diam."Kan Abang sudah bilang, Abang tidak akan memaksa. Anggap saja kita lagi pacaran. Tapi kalau Ara tetap bersikeras tidur di sana, Abang akan memaksa. Sekarang tinggal pilih, mau jalan ke sini sendiri atau Abang gendong?" Dia bangkit dan sepertinya akan segera berjalan menghampiriku."Nggak usah digendong, Ara bisa jalan sendiri!" kataku ketus seraya berjalan ke arah kasur dan berbaring membelakanginya di ujung kasur yang kosong.Semoga saja malam ini Bang Fyan tidak khilaf.Agak tergesa-gesa aku mengendarai motor matic kesayanganku pagi ini. Bukan pagi, ini sudah beralih siang. Aku terlambat setengah jam dari biasanya. Ini hari pertama aku kembali ke toko setelah aku menikah.Pagi tadi Maya mengirim pesan padaku bahwa hari ini dia akan datang terlambat ke toko. Ya, ini jadwal rutinnya menemani ibunya ke dokter.Genangan air di beberapa bagian jalan yang pagi ini sengaja tak kuhindari, menimbulkan percikan air ketika laju motorku sama sekali tak kuperlambat. Biasanya aku akan menghindar demi si merah kesayanganku ini tetap kelihatan bersih.Memasuki area pertokoan yang berjajar rapi, sedikit kupelankan laju motorku. Dengan tergesa-gesa kuparkirkan si merah di depan satu-satunya toko yang masih tutup. Bergegas turun dan tanpa membuka helm aku berjalan sambil mengambil kunci di dalam tas dan berjalan mendekati pintu.Kulihat Iren, satu-satunya karyawanku yang sedari tadi duduk d depan konter sebelah bangkit dan berjalan ke arahku."Pagi, Mbak," sapanya."Pa
Aku hanya berdecak sebal sementara lelaki tampan di sampingku kembali terkekeh.Bang Fyan mengajakku makan siang di salah satu restoran favorit kami dulu. Letaknya tak jauh dari tokoku. Berada di seberang taman kota yang banyak ditumbuhi pohon Flamboyan. Dan kami sering menyebutnya dengan sebutan taman Flamboyan. Di tempat ini aku kecil sering menghabiskan waktu bersama. Pun setelah dewasa.Di taman ini juga aku dan Rey sering bertemu untuk sekedar ngobrol dan menikmati coklat panas yang kami beli di cafe yang tak jauh dari taman."Taman itu tidak banyak perubahan, ya," ucap Bang Fyan seraya menatap lurus ke seberang jalan. Dari restoran ini memang sangat jelas terlihat aktivitas di taman itu. Banyak para abege dan remaja yang sedang beraktivitas di bawah pohon Flamboyan yang rindang.Selepas makan, Bang Fyan mengajakku duduk di salah satu bangku di bawah pohon Flamboyan. Sebenarnya aku enggan mampir ke sini. Banyak sekali momen yang kulalui di taman ini."Tunggu sebentar, ya!" titah
Hari-hari selanjutnya aku jalani seperti biasa, dingin dan kaku. Seperti hubunganku dengan Bang Fyan. Sangat kaku. Tak terasa sudah satu bulan kami menjalani pernikahan seperti ini. Kami halal dan hidup serumah, tapi jarang terlibat obrolan. Hanya sebatas basa-basi menawarkan sarapan atau kopi.Sebenarnya Bang Fyan sering memulai percakapan, tapi aku selalu menanggapinya dingin. Dia juga tak pernah bersikap kasar padaku, meskipun aku terkadang ketus.Seperti malam-malam sebelumnya, kami tidur berjauhan di sisi ranjang yang berbeda. Saling memunggungi, dan ada guling di tengah sebagai pembatas.Bang Fyan tak pernah membahas masalah ini, meskipun aku tahu dia tak menginginkan keadaan ini. Kadang aku pun merasa bersalah dalam situasi seperti ini, tapi entahlah hatiku masih belum terbuka hingga kini.Untuk urusan yang lain aku telaten mengerjakannya. Seperti membuatkan sarapan dan menyiapkan baju kerjanya.Pagi-pagi sekali setelah menunaikan shalat subuh aku sudah mulai membuat sarapan. M
Sadar tubuh kami masih merapat dengan posisi tangan saling memeluk. Aku secepatnya menarik tubuhku. Begitupun Bang Fyan. Kami sama-sama gugup. Untuk menutupi rasa gugupnya, Bang Fyan meraih tanganku dan membimbingku ke ruang tengah. Membantuku duduk untuk kemudian kembali ke dapur. Beberapa detik kemudian dia datang dengan segelas air putih. Pria itu punya duduk di sampingku dan menyerahkan gelas itu."Minum dulu!" suruhnya lembut.Enggan menjawab, aku menerima gelas dari tangannya kemudian meminum separuh isinya. Berniat meletakkannya di atas meja, tapi tangannya bergerak cepat meraih gelas di tanganku. Dan tak dapat dihindari ketika tangan kami bersentuhan, dia mengambil gelasnya lalu meminum sisa airnya. Setelah itu menaruhnya di atas meja seperti niatku semula.Aku mematung di tempat dudukku, melihat apa yang baru saja dia lakukan."Jadi pergi ke toko?" tanyanya kemudian.Aku menggeleng. Tidak mungkin juga aku pergi ke toko dengan keadaan mata bengkak seperti ini. Meski belum be
Sampai cangkir di tangan kiriku tandas, begitupun cangkir yang ada di tangan kanannya. Kosong. Aku melepaskan tangan kananku yang berada di pinggangnya. Meraih cangkir yang kosong di tangan kanannya. Kemudian meletakkan di meja kecil yang berada di samping kursi.Bang Fyan mengikutiku langkahku kemudian membimbingku duduk di kursi sementara dia bersimpuh di hadapanku. Meraup kedua tanganku dan menggenggamnya lembut."Terimakasih sudah memberikan senyuman termanis untuk Abang. Itu sangat berarti bagi Abang. Tetaplah tersenyum untuk Abang. Karena dengan melihat senyum Ara, Abang seperti menggenggam seluruh dunia." Manik hitam itu lekat menatapku, kemudian tanganku terangkat dan berhenti di bawah bibir tipisnya. Kurasakan beberapa kali kecupan lembut di sana, membuat aku semakin merasakan denyutan aneh menjalar ke seluruh tubuhku.Hujan masih rintik-rintik di luar sana. Seperti gerimis di hatiku menyirami sesuatu yang baru tumbuh jauh di dasar paling dalam.Bang Fyan duduk di sampingku
Kulihat Bang Fyan menyugar rambutnya secara kasar. Aku tak suka caranya seperti ini. Kenangan itu tak bisa dipaksakan untuk hilang. Membekas bukan berarti ingin mengulang. Perlu waktu untuk menggantikan seseorang yang telah terpatri di dalam hati. Dan aku sedang berusaha keras untuk itu.Dia masih duduk di bangku itu dengan kedua sikut bertumpu pada pahanya. Kepalanya menunduk dengan urat-urat tegas jelas terlihat di wajahnya. Nampak kemarahannya begitu ingin disembunyikan. Satu sisi hatiku merasa bersalah telah membuat wajahnya begitu memerah namun sisi hatiku yang lain juga merasa marah dengan caranya.Beberapa menit kemudian nampak dia bangkit dan mengusap wajahnya kasar. Lalu berjalan tergesa-gesa menuju mobil dimana aku terlebih dahulu telah masuk.Tanpa suara dia duduk di kursi kemudi, lalu melajukan mobil menuju rumah Mama.Selama perjalanan yang hanya beberapa menit saja, kami saling diam. Tak ada suara selain deru mesin mobil yang memenuhi rongga telinga. Hatiku yang mulai
Kesal karena kejadian kemarin sore di taman Flamboyan belum juga reda, pagi ini dia sudah menambahnya. Segera aku turun untuk menemuinya di bawah. Dadaku terasa naik turun menahan kesal yang memuncak.Sepagi ini biasanya dia sedang berolahraga kecil di taman. Sebelum membantuku menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah.Tiba di ruang makan aku mendapati dua piring roti bakar. Harum margarin begitu menggoda untuk menikmatinya. Dia tahu kesukaanku.Selain itu terdapat dua buah cangkir yang masing-masing mendampingi satu piring. Teh panas dengan irisan lemon yang sudah tentu untukku dan secangkir kopi miliknya yang sepertinya tersisa setengahnya.Aku berpikir sejenak, apakah ini sogokan agar aku tak marah dengan kelancangannya merubah wallpaper ponselku? Bisa saja iya, karena tidak biasanya dia membuat sarapan untuk kami.Mengabaikan wangi margarin dan lemon tea favoritku, aku melangkah ke taman samping di dekat kolam renang. Tempat biasanya dia berolahraga ringan setiap pagi. Sepi. Lalu d
Maya dan Iren sudah sibuk mengemas barang ketika aku sampai di toko. Alhamdulillah dari hari ke hari makin banyak yang berbelanja secara online, ini berkat promosi yang gencar kami lakukan di berbagai media sosial.Semenjak bertemu Bang Fyan kemarin, karyawan konter sebelah sudah tidak pernah tebar-tebar pesona lagi. Hanya sebatas bertegur sapa ketika secara tidak sengaja bertemu. Ada sedikit rasa kasian melihat sikapnya sekarang. Mengingat kemarin-kemarin dia sangat bersemangat memberikan perhatian. Lucu memang, sebenarnya Bang Ijam itu baik, hanya saja dia kurang bisa menjaga sikap dan punya tingkat percaya diri yang tinggi. Sehingga tidak bisa membedakan mana yang serius menanggapi atau sekedar tak enak hati dan hanya berbasa basi."Pengantin baru kirain mau izin nggak masuk lagi," goda Maya."Apaan sih, May?""Enak ya kalau ada suami hujan-hujan diam di rumah. Pantas saja kamu menolak punya asisten rumah tangga, jadi bisa leluasa berduaan." Maya masih melanjutkan ledekannya meski
"Ha--hallo ... assalamualaikum .... " Ara tidak bisa membunyikan kegugupannya. Suaranya terdengar bergetar begitu mengucap salam. "Waalaikumsalam, Ra. Abang kira Ara tidak mau menerima telepon dari Abang. Barusan Mama menyampaikan kabar bahagia itu. Makasih, ya." Suara renyah Fyan terdengar sangat familiar di telinga Ara. Seharusnya gadis itu rindu, tetapi entah kenapa saat ini Ara malah terkesan tidak suka. Bukan tidak suka orangnya, namun status mereka yang akan berubah. Itu yang membuat Ara gelisah. "Iya, Bang, tetapi ada syaratnya." "Katakan saja, apa yang harus Abang lakukan. Oh ya, apa kabar kamu, Ra?" Seperti biasa, Fyan selalu mengalah dan berusaha menurut apa yang Ara mau. "Ara baik, Bang. Eum .... ada baiknya kita ketemu, Bang. Kayaknya hal ini nggak bisa dibicarakan lewat telepon." Suara Ara tetap datar. "Eh, iya. Tentu saja kita harus ketemu, besok Abang jemput Ara di toko, ya." "Memangnya Abang tahu di mana toko Ara?" Gadis itu memicing. "Tahu, dong. Aban
Fyan sudah bisa menduga kalau tidak semudah itu Ara menerima perjodohan ini. Bahkan sebenarnya Fyan juga sudah siap jika gadis itu menolak. Meski demikian, kabar dari Mama cukup membuat Fyan mematung beberapa saat.Kecewa. Tentu saja.Hal inilah yang ia takutkan sejak dulu. Empat tahun yang lalu, saat ia merasa ada perasaan lain pada gadis itu. Perasaan lebih dari sekedar sahabat dan seorang kakak. Yang pada akhirnya Fyan harus kehilangan Ara saat gadis itu jatuh ke tangan Rey. "Kamu Jangan berkecil hati, Nak. Mama dan Papa akan terus meyakinkan Ara.""Jangan dipaksakan, Ma. Sesuatu yang terpaksa itu tidak akan baik nantinya. Fyan ingin Ara menerima ini dengan kesadaran penuh dan tanpa paksaan.""Tenang saja, ya. Mama dan Papa tahu kok, harus bagaimana.""Terima kasih, Ma. Kalau begitu izinkan Fyan bertemu dengan Ara, biar Fyan yang menjelaskan padanya.""Sabar dulu, ya, Nak. Tidak secepat itu, nanti setelah Ara bisa ditemui malah akan kabarin, kok."Panggilan terakhir, Fyan meletakk
Pulang dari bertemu dengan mama dan papanya Ara, Fyan merasa lega mendengar kabar gadis itu masih sendiri. Berarti ia mempunyai kesempatan untuk mewujudkan harapannya. Senyum tak lepas dari bibirnya, sepanjang perjalanan Fyan bersenandung kecil. Dunia yang sempat terasa sempit kini kembali melebar. Fyan berharap, semoga saja Ara menyetujui rencana mama dan papanya. Gadis itu pasti kecewa kepada Rey. Semoga kehadiran Fyan kembali akan membuka hatinya dan menjadi pelipur dukanya. Hari itu Fyan tidak kembali ke kantor. Ia mengirim pesan pada sekretarisnya untuk menghandle beberapa pekerjaan. Pemuda itu langsung pulang ke rumah lantaran ingin segera berbaring dan merayakan kebahagiaannya sendiri.Hal yang pertama Fyan lakukan setelah sampai di rumah adalah mencari media sosial Rey. Ia ingin bertanya pada sahabatnya itu kenapa sampai hati melakukan ini pada Ara.Terakhir kali Fyan berkomunikasi dengan Rey entah berapa tahun yang lalu. Kalau tidak salah tak lama setelah dia berada di Sura
Sudah hampir dua bulan Fyan tinggal di kota Bandung. Hari demi hari ia lalui sangat membosankan. Kegiatannya hanya ke kantor dan di rumah. Fyan termasuk orang yang tidak suka keluyuran atau nongkrong tidak jelas. Sesekali menginap di rumah Shafia jika Fyan sedang ingin makan makanan rumahan. Setiap hari makan di restoran memang tidak enak. Mau masak di rumah rasanya tidak seru kalau dimakan sendirian.Shafia pernah menyarankan supaya Fyan mencari seorang ART, tetapi sang adik tidak mau. Untuk bersih-bersih rumah, Fyan bisa mengerjakannya sendiri. Bukankah sekarang sudah banyak alat yang membantu. Pakaian dicuci di laundry. Selain rumah Shafia, hari minggu biasanya Fyan berkunjung rumah yang baru saja ia beli untuk melihat pembangunan yang sudah hampir selesai. Membayangkan suatu saat ia tinggal di sini bersama keluarga kecilnya. Bahagia dengan seorang istri dan mereka saling menyayangi. Lagi-lagi wajah Ara yang muncul ketika Fyan membayangkan masa depan.Selam dua bulan tinggal di B
Satu bulan setelah pernikahan Ajeng dan Pras dilaksanakan. Tepatnya satu bulan setengah setelah Ayah meminta Fyan pindah ke Bandung. Namun belum ada tanda-tanda pemuda itu bersiap-siap untuk pergi ke kota tersebut. Ayah dan Bunda pun belum membahasnya lagi sejak pembicaraan saat itu. Fyan sendiri bukan lupa kalau saat itu dirinya mengiyakan permintaan Ayah. Namun dirinya masih menimbang dan ragu untuk kembali ke kota itu. Meski jujur saja, dalam hatinya penasaran dengan kabar Ara, namun dia masih tetap tidak punya keberanian untuk mencari tahu tentang gadis itu. Malam ini, Ayah dan Bunda kembali membahas hal itu selepas mereka makan malam. "Sudah hampir dua bulan lho, Nak? Jadi mau kapan?" Bunda membuka pembicaraan dengan sebuah pertanyaan."Sebentar lagi, Bun. Ada pembangunan yang belum selesai di panti asuhan. Lagi pula Ajeng dan Pras masih pengantin baru.""Sudah satu bulan menikah, harusnya Ajeng dan Pras sudah kembali aktif. Bulan madu kan bisa kapan-kapan. Kakakmu kemarin sud
"Bagaimana kabar tokonya Ara?" tanya bunda setelah beberapa menit berbasa-basi sekedar bertanya kabar. Pertanyaan itu pun masih bagian dari basa-basi. Terakhir Bunda mendengar kabar kalau Ara membuka usaha toko di ruko yang tidak jauh dari taman flamboyan."Alhamdulillah, Jeng. Karena ditekuni, usahanya semakin lancar bahkan sekarang menerima pesanan lewat online. Ara juga kelihatannya semakin dewasa tidak manja lagi seperti dulu." Terdengar tawa kecil dari seberang telepon. Bunda membayangkan gadis kecil itu sekarang sudah berubah menjadi wanita dewasa. Gadis kecil yang dulu selalu tampil dengan rambut dikuncir satu di belakang yang kerap merengek manja memintanya membuatkan sesuatu tatkala dirinya sedang di dapur."Saya sebenarnya sangat kangen sama Ara. Tapi, kok, nomornya tidak aktif, ya." "Sepertinya Ara ganti nomor, Jeng. Kalau begitu, nanti saya kirim nomor baru Ara.""Ndak usah, Jeng. Ara sekarang sibuk di tokonya, takut mengganggu waktunya. Mendengar dia sehat dan baik-baik
"Hah?! Willy?!"Seketika mama dan papa menatap Ara penuh tanya ketika mendengar anak keduanya itu seperti kaget."Kenapa? Ara kenal?" Mama tak bisa menahan rasa penasarannya."Eum ... anu .... " Ara berusaha menyembunyikannya kagetnya."Atau ... jangan-jangan kalian sudah ...." Mama tersenyum sambil menatap tajam ke arah putrinya, kemudian ia beralih pada suaminya. Berharap kalau Ara dan Willy sudah saling kenal atau bahkan sering berkomunikasi. Itu sebabnya Tuan Markus membahas mereka."Ara pernah dengar nama itu sewaktu kuliah dulu. Kayaknya dia kakak tingkat Ara. Tetapi .... " Ara memutuskan untuk tidak memberitahu Mama dan Papa perihal pertemuannya dengan Willy beberapa hari yang lalu."Tetapi apa?" Lagi, Mama antusias mengajukan pertanyaan. Perempuan itu semakin berharap."Tetapi ... dulu dikenal sebagai mahasiswa yang suka gonta-ganti pacar." Ara melirik Mama yang nampak sedikit kaget.Mama menghempaskan bagian belakang tubuhnya kesadaran kursi. Sesungguhnya ini jawaban yang ti
Usaha yang dijalankan Ara bersama Maya berjalan lancar. Selain melayani pembeli langsung, mereka juga menyediakan layanan online yang lebih dari separuhnya pendapatan mereka berasal dari penjualan online ini. Pelanggannya pun tidak terbatas dari dalam kota saja. Tetapi merambah ke luar kota, bahkan luar provinsi. Modal yang Ara pinjam dari Papa juga sudah dikembalikan. Sebenarnya Papa menolak, tetapi Ara bersikeras. Atas bantuan Mama, akhirnya Papa mengalah. Aktivitas yang cukup menyita waktunya ini berhasil mengalihkan pikiran Ara dari Rey. Pemuda yang ditunggunya selama hampir 3 tahun itu memang sempat membuat hari-hari gadis yang sekarang mantap berhijab itu terasa menyakitkan. Beruntung ada Maya juga mama dan papa yang selalu memberikan dukungan hingga ia bisa berhasil melewati masa-masa sulitnya. Meskipun tidak jarang Ara teringat pada pemuda itu, namun kembali ia menyibukkan diri pada pekerjaannya.Hidup sederhana yang dijalankan oleh Ara membuat ia benar-benar mandiri. Ia p
"Sorry, bukannya kasar ... "Fyan mengangkat tangan tanda tidak ada masalah."Priska, kayak dia gak cocok jadi calon suami lu." Pria itu beralih menatap Priska. "Sorry bro, saya bukan calon suaminya." Fyan menegaskan sekali lagi."Priska bilang lu calon suaminya. Kalian korban perjodohan. Hahaha. Harusnya Priska mendapatkan pendamping hidup yang sesuai dengannya." Pria itu tertawa dengan nada mengejek. "Sudah dibilang saya bukan calon suaminya. Saya hanya teman lama yang baru ketemu lagi tadi siang." Fyan merasa tidak enak mendengar pria itu berkata dengan nada tinggi."Sudah, jangan berdebat. Jadi kamu cuma mau mempermainkan aku, Fyan?!" Sekarang giliran Priska yang berkata dengan nada tak kalah tinggi.Fyan mengalihkan pandangan sejenak. Memang susah kalau ngobrol dengan orang dalam keadaan setengah sadar."Mempermainkan apa, Priska?" "Kita sudah dijodohkan tapi kamu bilang bukan calon suamiku?!" Priska menunjuk wajah Fyan, sungguh tidak ada sopan santun."Tidak ada perjodohan di