Kesal karena kejadian kemarin sore di taman Flamboyan belum juga reda, pagi ini dia sudah menambahnya. Segera aku turun untuk menemuinya di bawah. Dadaku terasa naik turun menahan kesal yang memuncak.Sepagi ini biasanya dia sedang berolahraga kecil di taman. Sebelum membantuku menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah.Tiba di ruang makan aku mendapati dua piring roti bakar. Harum margarin begitu menggoda untuk menikmatinya. Dia tahu kesukaanku.Selain itu terdapat dua buah cangkir yang masing-masing mendampingi satu piring. Teh panas dengan irisan lemon yang sudah tentu untukku dan secangkir kopi miliknya yang sepertinya tersisa setengahnya.Aku berpikir sejenak, apakah ini sogokan agar aku tak marah dengan kelancangannya merubah wallpaper ponselku? Bisa saja iya, karena tidak biasanya dia membuat sarapan untuk kami.Mengabaikan wangi margarin dan lemon tea favoritku, aku melangkah ke taman samping di dekat kolam renang. Tempat biasanya dia berolahraga ringan setiap pagi. Sepi. Lalu d
Maya dan Iren sudah sibuk mengemas barang ketika aku sampai di toko. Alhamdulillah dari hari ke hari makin banyak yang berbelanja secara online, ini berkat promosi yang gencar kami lakukan di berbagai media sosial.Semenjak bertemu Bang Fyan kemarin, karyawan konter sebelah sudah tidak pernah tebar-tebar pesona lagi. Hanya sebatas bertegur sapa ketika secara tidak sengaja bertemu. Ada sedikit rasa kasian melihat sikapnya sekarang. Mengingat kemarin-kemarin dia sangat bersemangat memberikan perhatian. Lucu memang, sebenarnya Bang Ijam itu baik, hanya saja dia kurang bisa menjaga sikap dan punya tingkat percaya diri yang tinggi. Sehingga tidak bisa membedakan mana yang serius menanggapi atau sekedar tak enak hati dan hanya berbasa basi."Pengantin baru kirain mau izin nggak masuk lagi," goda Maya."Apaan sih, May?""Enak ya kalau ada suami hujan-hujan diam di rumah. Pantas saja kamu menolak punya asisten rumah tangga, jadi bisa leluasa berduaan." Maya masih melanjutkan ledekannya meski
Begitu seterusnya, sampai beberapa keliling pun tak lepas dari perdebatan kami. Bang Fyan itu egois, tidak pernah mau mengalah dan cenderung memaksakan kehendak, tapi selalu melindungiku.Seperti saat ini, mungkin sifat aslinya sedang dominan sehingga dia dengan tanpa kompromi, seenaknya mengganti wallpaper ponselku dan setelah itu bersikap tak perduli. Tapi sebelumnya, sikap Bang Fyan selalu manis. Apakah itu pura-pura? Atau memang dia sudah berubah? Ya Tuhan, apa yang sedang terjadi? Padahal kemarin aku sudah berusaha dan hampir berhasil bisa membuka diri. Tapi Bang Fyan mengacaukan semuanya dengan sifat egoisnya.Aku menangkupkan kedua telapak tanganku pada wajah ini. Mencondongkan tubuh ke arah depan dengan siku menumpu pada kedua pahaku. Aku tak ingin mengecewakan Mama dan Papa, tapi apakah harus dengan mengorbankan hatiku?Gawai yang berada di saku gamisku bergetar, segera aku mengambilnya dan melihat siapa yang menghubungiku.Bang Fyan.Kulirik jam tangan, 17.30. mungkin Bang
Dari perawakannya aku tahu itu Rey, namun kini badannya agak sedikit berisi. Gayanya masih tetap sama, celana jeans, kemeja kotak-kotak lengkap dengan kacamata hitam bertengger pada hidung mancungnya. Serta rambut yang dibiarkan agak panjang, sedikit menutupi bagian belakang lehernya. Sehingga akan bergerak jika tertiup angin dan itu yang dulu membuatku tak henti memikirkannya sepanjang waktu. Rey dengan gaya cueknya, selalu mampu menyihirku. Di bawahnya tertulis sebuah caption 'Hidup akan terus berlanjut.' Rey selalu pandai berkata-kata, mungkin itu juga salah satunya yang membuat dia seperti candu untukku.Entah hidup seperti apa yang sedang Rey jalani. Apakah masih ada pengharapan bagi hati yang telah kalah dalam penantian ini. Aku kalah. Aku ingkar. Aku minta maaf, Rey.Sebutan apa yang pantas untukku saat ini? Wanita yang tidak setia menanti kekasihnya dan memilih untuk menikah dengan sahabat dari kekasihnya itu. Apakah aku akan sanggup menjelaskan semua ini pada Rey? Aku tak sa
Matahari kian merendah dan perlahan tenggelam diantara pepohonan yang berjajar rapi di sepanjang jalan perumahan. Meninggalkan bias jingga yang berpendar di sepanjang garis cakrawala di bagian barat. Sekelompok burung pingai atau biasa disebut burung gereja sesekali melintas, terbang menuju sarangnya. Menyempurnakan siluet alam senja ini. Syahdu.Aku tersenyum tipis seraya menghela nafas berat. Suasana seperti ini akan sangat terasa indah jika ada seseorang yang istimewa di sini. Dan saat ini aku tak bisa membayangkan siapapun ada di sini bersamaku"Indah."Suara disamping kiriku itu membuatku sedikit terkejut karena aku sedang fokus melihat ke arah kanan dimana jingga cakrawala senja sedang memanjakan mataku.Kulirik sekilas lelaki halalku tengah menatap ke fokus yang sama denganku barusan."Sayangnya keindahan ini akan tak berarti jika dinikmati dengan hati yang resah," lanjutnya lagi membuatku kembali menoleh ke arahnya. Pandangan kami bertaut. Aku tak mampu menyelam ke dalam kedu
Perbukitan yang nampak hijau kebiruan serta atap-atap rumah penduduk yang nampak kemerahan terlihat sangat indah di bawah naungan langit biru dengan beberapa gumpalan awan putih di siang yang cerah ini.Membuat siapapun akan betah berlama-lama di sini. Itulah yang membuat aku dan Maya serta teman-teman yang lain dulu sering pergi ke sini selain ke taman Flamboyan."Masih suka menikmati alam dari ketinggian?" Terlalu tenggelam dalam buaian angin dan indahnya alam hingga aku tak sadar sudah ada seseorang yang berdiri tak jauh dariku. Dan suara itu sangat tidak asing di telingaku meski sudah 3 tahun tak pernah lagi kudengar."Rey!?" Tak sadar aku menyebut namanya meski mataku masih lurus ke depan."Kamu masih sangat mengenaliku?" Suara itu terdengar lagi."Tentu saja," jawabku masih dalam posisi yang sama."Aku masih sangat mengenalmu kecuali tentang satu hal," lanjutku seraya menoleh ke arahnya. Rey berdiri di sebelah kananku hanya berjarak beberapa langkah saja. Tubuh tegapnya terbalut
Aku mengubah posisiku menjadi berhadapan dengannya. Dadaku terasa sesak mendengar penuturannya barusan."Setelah apa yang kamu lakukan selama empat tahun ini terhadapku. Kamu dengan entengnya minta maaf, Rey? Kamu pikir hatiku terbuat dari apa hingga begitu kuat menerima semua ini?" Meski sudah kucoba untuk setegar mungkin tetap saja suaraku terdengar bergetar. Mataku lurus menatapnya. Kerinduan yang beberapa saat yang lalu melebur dalam tatapan kami telah menguap dan berganti dengan amarah yang sulit dijelaskan."Kamu pikir selama ini aku hidup dengan tenang, Ra? Aku selalu dibayangi perasaan bersalah kepadamu. Dan aku tak kan tenang sebelum semua ini terungkap. Aku pengecut karena tidak berani berkata jujur padamu. Aku bingung harus memulai dari mana untuk menjelaskan padamu." Dia menjeda kalimatnya, lalu mengacak rambutnya frustasi seraya berpaling ke arah kanan dimana alam di bawah langit biru tak lagi menjadi indah bagiku.Sementara aku hanya mematung menahan isakanku yang mewaki
Aku membuka mata dan merasakan kepalaku berat. Kuraba keningku dan mendapati sesuatu menempel di sana. Handuk kecil. Apakah aku dikompres? Aku pun kini terbaring di atas kasur berselimut tebal. Bukankah tadi aku sedang merasakan dinginnya udara malam sambil duduk di atas kursi yang berada di balkon kamarku? Lalu .... ?Kulihat sekeliling dan mendapati Bang Fyan sedang duduk di atas sofa bersama laptopnya. Kucoba bangun tapi tubuhku rasanya sakit dan kepala terasa pusing."Aahh!" Aku kembali berbaring setengah menghempaskan tubuh di atas kasur."Jangan paksakan bangun dulu, kalau butuh sesuatu bilang saja!" ucap Bang Fyan seraya bangkit dan berjalan menghampiriku."Aku tadi ... di balkon." Aku melirik ke arah balkon, tangan kananku sedikit terangkat."Kamu ketiduran di balkon dalam keadaan kedinginan. Jadi Abang pindahin saja ke sini," tuturnya lembut tapi nyaris tanpa ekspresi. Datar dan dingin."Maaf, Ara nunggu Abang sampai ketiduran dan kedinginan begitu," lanjutnya sambil membetul
"Ha--hallo ... assalamualaikum .... " Ara tidak bisa membunyikan kegugupannya. Suaranya terdengar bergetar begitu mengucap salam. "Waalaikumsalam, Ra. Abang kira Ara tidak mau menerima telepon dari Abang. Barusan Mama menyampaikan kabar bahagia itu. Makasih, ya." Suara renyah Fyan terdengar sangat familiar di telinga Ara. Seharusnya gadis itu rindu, tetapi entah kenapa saat ini Ara malah terkesan tidak suka. Bukan tidak suka orangnya, namun status mereka yang akan berubah. Itu yang membuat Ara gelisah. "Iya, Bang, tetapi ada syaratnya." "Katakan saja, apa yang harus Abang lakukan. Oh ya, apa kabar kamu, Ra?" Seperti biasa, Fyan selalu mengalah dan berusaha menurut apa yang Ara mau. "Ara baik, Bang. Eum .... ada baiknya kita ketemu, Bang. Kayaknya hal ini nggak bisa dibicarakan lewat telepon." Suara Ara tetap datar. "Eh, iya. Tentu saja kita harus ketemu, besok Abang jemput Ara di toko, ya." "Memangnya Abang tahu di mana toko Ara?" Gadis itu memicing. "Tahu, dong. Aban
Fyan sudah bisa menduga kalau tidak semudah itu Ara menerima perjodohan ini. Bahkan sebenarnya Fyan juga sudah siap jika gadis itu menolak. Meski demikian, kabar dari Mama cukup membuat Fyan mematung beberapa saat.Kecewa. Tentu saja.Hal inilah yang ia takutkan sejak dulu. Empat tahun yang lalu, saat ia merasa ada perasaan lain pada gadis itu. Perasaan lebih dari sekedar sahabat dan seorang kakak. Yang pada akhirnya Fyan harus kehilangan Ara saat gadis itu jatuh ke tangan Rey. "Kamu Jangan berkecil hati, Nak. Mama dan Papa akan terus meyakinkan Ara.""Jangan dipaksakan, Ma. Sesuatu yang terpaksa itu tidak akan baik nantinya. Fyan ingin Ara menerima ini dengan kesadaran penuh dan tanpa paksaan.""Tenang saja, ya. Mama dan Papa tahu kok, harus bagaimana.""Terima kasih, Ma. Kalau begitu izinkan Fyan bertemu dengan Ara, biar Fyan yang menjelaskan padanya.""Sabar dulu, ya, Nak. Tidak secepat itu, nanti setelah Ara bisa ditemui malah akan kabarin, kok."Panggilan terakhir, Fyan meletakk
Pulang dari bertemu dengan mama dan papanya Ara, Fyan merasa lega mendengar kabar gadis itu masih sendiri. Berarti ia mempunyai kesempatan untuk mewujudkan harapannya. Senyum tak lepas dari bibirnya, sepanjang perjalanan Fyan bersenandung kecil. Dunia yang sempat terasa sempit kini kembali melebar. Fyan berharap, semoga saja Ara menyetujui rencana mama dan papanya. Gadis itu pasti kecewa kepada Rey. Semoga kehadiran Fyan kembali akan membuka hatinya dan menjadi pelipur dukanya. Hari itu Fyan tidak kembali ke kantor. Ia mengirim pesan pada sekretarisnya untuk menghandle beberapa pekerjaan. Pemuda itu langsung pulang ke rumah lantaran ingin segera berbaring dan merayakan kebahagiaannya sendiri.Hal yang pertama Fyan lakukan setelah sampai di rumah adalah mencari media sosial Rey. Ia ingin bertanya pada sahabatnya itu kenapa sampai hati melakukan ini pada Ara.Terakhir kali Fyan berkomunikasi dengan Rey entah berapa tahun yang lalu. Kalau tidak salah tak lama setelah dia berada di Sura
Sudah hampir dua bulan Fyan tinggal di kota Bandung. Hari demi hari ia lalui sangat membosankan. Kegiatannya hanya ke kantor dan di rumah. Fyan termasuk orang yang tidak suka keluyuran atau nongkrong tidak jelas. Sesekali menginap di rumah Shafia jika Fyan sedang ingin makan makanan rumahan. Setiap hari makan di restoran memang tidak enak. Mau masak di rumah rasanya tidak seru kalau dimakan sendirian.Shafia pernah menyarankan supaya Fyan mencari seorang ART, tetapi sang adik tidak mau. Untuk bersih-bersih rumah, Fyan bisa mengerjakannya sendiri. Bukankah sekarang sudah banyak alat yang membantu. Pakaian dicuci di laundry. Selain rumah Shafia, hari minggu biasanya Fyan berkunjung rumah yang baru saja ia beli untuk melihat pembangunan yang sudah hampir selesai. Membayangkan suatu saat ia tinggal di sini bersama keluarga kecilnya. Bahagia dengan seorang istri dan mereka saling menyayangi. Lagi-lagi wajah Ara yang muncul ketika Fyan membayangkan masa depan.Selam dua bulan tinggal di B
Satu bulan setelah pernikahan Ajeng dan Pras dilaksanakan. Tepatnya satu bulan setengah setelah Ayah meminta Fyan pindah ke Bandung. Namun belum ada tanda-tanda pemuda itu bersiap-siap untuk pergi ke kota tersebut. Ayah dan Bunda pun belum membahasnya lagi sejak pembicaraan saat itu. Fyan sendiri bukan lupa kalau saat itu dirinya mengiyakan permintaan Ayah. Namun dirinya masih menimbang dan ragu untuk kembali ke kota itu. Meski jujur saja, dalam hatinya penasaran dengan kabar Ara, namun dia masih tetap tidak punya keberanian untuk mencari tahu tentang gadis itu. Malam ini, Ayah dan Bunda kembali membahas hal itu selepas mereka makan malam. "Sudah hampir dua bulan lho, Nak? Jadi mau kapan?" Bunda membuka pembicaraan dengan sebuah pertanyaan."Sebentar lagi, Bun. Ada pembangunan yang belum selesai di panti asuhan. Lagi pula Ajeng dan Pras masih pengantin baru.""Sudah satu bulan menikah, harusnya Ajeng dan Pras sudah kembali aktif. Bulan madu kan bisa kapan-kapan. Kakakmu kemarin sud
"Bagaimana kabar tokonya Ara?" tanya bunda setelah beberapa menit berbasa-basi sekedar bertanya kabar. Pertanyaan itu pun masih bagian dari basa-basi. Terakhir Bunda mendengar kabar kalau Ara membuka usaha toko di ruko yang tidak jauh dari taman flamboyan."Alhamdulillah, Jeng. Karena ditekuni, usahanya semakin lancar bahkan sekarang menerima pesanan lewat online. Ara juga kelihatannya semakin dewasa tidak manja lagi seperti dulu." Terdengar tawa kecil dari seberang telepon. Bunda membayangkan gadis kecil itu sekarang sudah berubah menjadi wanita dewasa. Gadis kecil yang dulu selalu tampil dengan rambut dikuncir satu di belakang yang kerap merengek manja memintanya membuatkan sesuatu tatkala dirinya sedang di dapur."Saya sebenarnya sangat kangen sama Ara. Tapi, kok, nomornya tidak aktif, ya." "Sepertinya Ara ganti nomor, Jeng. Kalau begitu, nanti saya kirim nomor baru Ara.""Ndak usah, Jeng. Ara sekarang sibuk di tokonya, takut mengganggu waktunya. Mendengar dia sehat dan baik-baik
"Hah?! Willy?!"Seketika mama dan papa menatap Ara penuh tanya ketika mendengar anak keduanya itu seperti kaget."Kenapa? Ara kenal?" Mama tak bisa menahan rasa penasarannya."Eum ... anu .... " Ara berusaha menyembunyikannya kagetnya."Atau ... jangan-jangan kalian sudah ...." Mama tersenyum sambil menatap tajam ke arah putrinya, kemudian ia beralih pada suaminya. Berharap kalau Ara dan Willy sudah saling kenal atau bahkan sering berkomunikasi. Itu sebabnya Tuan Markus membahas mereka."Ara pernah dengar nama itu sewaktu kuliah dulu. Kayaknya dia kakak tingkat Ara. Tetapi .... " Ara memutuskan untuk tidak memberitahu Mama dan Papa perihal pertemuannya dengan Willy beberapa hari yang lalu."Tetapi apa?" Lagi, Mama antusias mengajukan pertanyaan. Perempuan itu semakin berharap."Tetapi ... dulu dikenal sebagai mahasiswa yang suka gonta-ganti pacar." Ara melirik Mama yang nampak sedikit kaget.Mama menghempaskan bagian belakang tubuhnya kesadaran kursi. Sesungguhnya ini jawaban yang ti
Usaha yang dijalankan Ara bersama Maya berjalan lancar. Selain melayani pembeli langsung, mereka juga menyediakan layanan online yang lebih dari separuhnya pendapatan mereka berasal dari penjualan online ini. Pelanggannya pun tidak terbatas dari dalam kota saja. Tetapi merambah ke luar kota, bahkan luar provinsi. Modal yang Ara pinjam dari Papa juga sudah dikembalikan. Sebenarnya Papa menolak, tetapi Ara bersikeras. Atas bantuan Mama, akhirnya Papa mengalah. Aktivitas yang cukup menyita waktunya ini berhasil mengalihkan pikiran Ara dari Rey. Pemuda yang ditunggunya selama hampir 3 tahun itu memang sempat membuat hari-hari gadis yang sekarang mantap berhijab itu terasa menyakitkan. Beruntung ada Maya juga mama dan papa yang selalu memberikan dukungan hingga ia bisa berhasil melewati masa-masa sulitnya. Meskipun tidak jarang Ara teringat pada pemuda itu, namun kembali ia menyibukkan diri pada pekerjaannya.Hidup sederhana yang dijalankan oleh Ara membuat ia benar-benar mandiri. Ia p
"Sorry, bukannya kasar ... "Fyan mengangkat tangan tanda tidak ada masalah."Priska, kayak dia gak cocok jadi calon suami lu." Pria itu beralih menatap Priska. "Sorry bro, saya bukan calon suaminya." Fyan menegaskan sekali lagi."Priska bilang lu calon suaminya. Kalian korban perjodohan. Hahaha. Harusnya Priska mendapatkan pendamping hidup yang sesuai dengannya." Pria itu tertawa dengan nada mengejek. "Sudah dibilang saya bukan calon suaminya. Saya hanya teman lama yang baru ketemu lagi tadi siang." Fyan merasa tidak enak mendengar pria itu berkata dengan nada tinggi."Sudah, jangan berdebat. Jadi kamu cuma mau mempermainkan aku, Fyan?!" Sekarang giliran Priska yang berkata dengan nada tak kalah tinggi.Fyan mengalihkan pandangan sejenak. Memang susah kalau ngobrol dengan orang dalam keadaan setengah sadar."Mempermainkan apa, Priska?" "Kita sudah dijodohkan tapi kamu bilang bukan calon suamiku?!" Priska menunjuk wajah Fyan, sungguh tidak ada sopan santun."Tidak ada perjodohan di