Aku mengubah posisiku menjadi berhadapan dengannya. Dadaku terasa sesak mendengar penuturannya barusan."Setelah apa yang kamu lakukan selama empat tahun ini terhadapku. Kamu dengan entengnya minta maaf, Rey? Kamu pikir hatiku terbuat dari apa hingga begitu kuat menerima semua ini?" Meski sudah kucoba untuk setegar mungkin tetap saja suaraku terdengar bergetar. Mataku lurus menatapnya. Kerinduan yang beberapa saat yang lalu melebur dalam tatapan kami telah menguap dan berganti dengan amarah yang sulit dijelaskan."Kamu pikir selama ini aku hidup dengan tenang, Ra? Aku selalu dibayangi perasaan bersalah kepadamu. Dan aku tak kan tenang sebelum semua ini terungkap. Aku pengecut karena tidak berani berkata jujur padamu. Aku bingung harus memulai dari mana untuk menjelaskan padamu." Dia menjeda kalimatnya, lalu mengacak rambutnya frustasi seraya berpaling ke arah kanan dimana alam di bawah langit biru tak lagi menjadi indah bagiku.Sementara aku hanya mematung menahan isakanku yang mewaki
Aku membuka mata dan merasakan kepalaku berat. Kuraba keningku dan mendapati sesuatu menempel di sana. Handuk kecil. Apakah aku dikompres? Aku pun kini terbaring di atas kasur berselimut tebal. Bukankah tadi aku sedang merasakan dinginnya udara malam sambil duduk di atas kursi yang berada di balkon kamarku? Lalu .... ?Kulihat sekeliling dan mendapati Bang Fyan sedang duduk di atas sofa bersama laptopnya. Kucoba bangun tapi tubuhku rasanya sakit dan kepala terasa pusing."Aahh!" Aku kembali berbaring setengah menghempaskan tubuh di atas kasur."Jangan paksakan bangun dulu, kalau butuh sesuatu bilang saja!" ucap Bang Fyan seraya bangkit dan berjalan menghampiriku."Aku tadi ... di balkon." Aku melirik ke arah balkon, tangan kananku sedikit terangkat."Kamu ketiduran di balkon dalam keadaan kedinginan. Jadi Abang pindahin saja ke sini," tuturnya lembut tapi nyaris tanpa ekspresi. Datar dan dingin."Maaf, Ara nunggu Abang sampai ketiduran dan kedinginan begitu," lanjutnya sambil membetul
Semenjak dari subuh, setelah menunaikan shalat, lelaki itu keluar dari kamar dan belum kembali hingga saat ini."Kamu disini saja, jangan kemana-mana sampai Abang kembali!" titahnya sebelum dia keluar. Pria itu pun tergesa-gesa menuruni anak tangga. Aku tahu dari suara langkah kakinya.Tanpa menjawab, aku duduk menunggu di atas sofa yang berada di dekat jendela besar. Cahaya matahari pagi terasa hangat di tubuhku. Sejak bangun tadi, aku merasa tubuhnya agak enakan, hanya merasa sedikit lemas saja. Mungkin efek demam semalam dan juga perut yang tidak terisi maksimal.Sebaiknya aku menghubungi Maya dulu, karena sepertinya tidak bisa pergi ke toko hari ini."Kamu beneran sakit atau hanya perlu memenangkan hati?" tanya Maya ketika kuberitahu perihal keadaanku. Kenapa Maya juga seperti ikut-ikutan meledekku."Semalam aku masuk angin karena ketiduran di balkon dalam keadaan perut kosong. Aku terbangun tengah malam dan sudah berada di atas tempat tidur dalam keadaan demam," paparku malas."Y
"Kamu dengar apa yang tadi dikatakan dokter, 'kan? Jangan stres! Jangan telat makan dan jangan kecapean!" tegasnya sekali lagi ketika kami sudah sampai di rumah.Aku hanya mengangguk, percuma juga menjawabnya karena dia akan semakin cerewet lagi. Aku akui memang akhir-akhir ini kecapean. Mungkin sudah saatnya untuk menambah karyawan lagi di toko. Soal telat makan dan stres memang iya. Pernikahanku dengan Bang Fyan cukup menyita pikiranku. Disatu sisi aku tak ingin mengecewakan orang tua kami dan aku juga sebenarnya sangat ingin bisa menerima Bang Fyan sebagai suamiku, imamku yang seharusnya aku perlakukan sebagai mana mestinya. Tapi sisi hatiku yang lain masih ingin memegang teguh janjiku pada lelaki yang siang malam kunanti dan kupuja. Meski ternyata pada akhirnya aku harus menghadapi kenyataan yang sangat sulit aku terima, ternyata apa yang kulakukan selama tiga tahun ini tidak ada artinya. Jujur saja kenyataan ini membuatku merasa jadi manusia paling bodoh. Aku mengutuk diriku se
Kuusap dada berkali-kali untuk menormalkan detak jantungku. Malu karena ketahuan menatap Bang Fyan secara diam-diam. Sampai beberapa menit kemudian dia keluar dari kamar mandi, aku belum bisa mengendalikan diri ini. Dan, astaga! Dia keluar hanya menggunakan handuk yang menutupi tubuh bagian bawahnya. Alhasil tubuh bagian atasnya terekspos sempurna. Wajah serta rambutnya yang basah membuatku sejenak tak bisa berkedip.Dengan cepat aku berpaling ke arah lain. Meski hampir dua bulan pernikahan kami, tapi pemandangan seperti ini masih sangat tabu untukku. Belum lagi reda gemuruh akibat perkataannya tadi, sekarang harus bertambah karena tingkahnya. Rasanya ingin lari saja keluar kamar, tapi apa daya kakiku belum kuat untuk itu."Ra, kenapa diam saja?" tanyanya membuat aku heran. Memangnya aku harus ngapain?"Ra?" panggilnya lagi.Ck! Kenapa sih?"Abang kenapa sih?" Aku balik bertanya tanpa melihatnya. Kudengar langkahnya kian mendekat membuatku semakin heran, gugup dan salah tingkah."Hey
Seorang pria seumuran Papa yang kuketahui bernama Tuan Heru menyambut kedatangan kami dengan ramah. Di sampingnya seorang wanita cantik meski kelihatan sudah berumur tapi auranya masih menawan. Bang Fyan menyalami keduanya, lalu memperkenalkan aku."Perkenalkan ini istri saya, Mutiara Putri Baskara," ucapnya seraya merangkul pundakku sontak membuat merasa ada getaran halus menjalar ke seluruh tubuhku. Aku menangkupkan kedua tangan di depan Tuan Heru dan menyalami istrinya."Istri anda benar-benar terlihat seperti Mutiara, Tuan Sofyan. Cantik dan elegan," puji sang suami yang disusul anggukan istrinya."Dia memang Mutiara di mata juga di hati saya. Karena itu saya merasa sangat beruntung memilikinya," jawab Bang Fyan membuat pipiku terasa memanas. "Lihatlah Pa, benar-benar pasangan yang serasi. Saya selalu merasa iri kalau melihat pasangan muda yang sedang saling jatuh cinta seperti ini," tutur sang Nyonya membuatku semakin salah tingkah."Selamat menikmati pestanya!" Setelah berbasa
"Kita akan menikmati syurga dunia. Sekarang pejamkan matamu dan jangan membukanya sebelum Abang suruh. Kalau tidak, maka kamu akan menerima hukuman," tuturnya membuat aku semakin heran. Pikiran negatif semakin memenuhi kepalaku. Apakah Bang Fyan akan memaksa meminta haknya malam ini? Terus aku harus bagaimana? Aku belum siap dan tidak mungkin bisa dipaksakan. Aku bergidik dan mengerjap, lalu menatap wajah lelaki yang sedang menggendongku ini. Dalam posisi seperti ini hidung mancungnya terlahir jelas, ada perasaan aneh menyelusup ke dalam rongga dadaku."Oke!" kataku kemudian mulai menutup mata sesuai permintaannya. Dalam hati aku berdoa semoga dugaanku salah. Tapi apakah Tuhan akan mengabulkan doa seorang istri yang dzolim. Istri yang masih menolak melayani suaminya."Nggak boleh ngintip!""Iya!"Selanjutnya kurasakan Bang mulai melangkah entah kemana. Semoga tidak terjadi hal yang tidak aku inginkan."Santai saja, jangan tegang," bisiknya."Nggak kok," bantahku."Kamu kira Abang tida
Hanya beberapa langkah di belakang, Rey tengah berdiri menatap kami. Disampingnya, wanita yang aku lihat tempo hari di tokoku bergelayut pada tangan Rey. Nindy.Sejenak aku terkesiap tapi sedetik kemudian berusaha untuk lebih tenang, karena ini tidak bisa lagi dihindari. Siap tidak siap aku harus siap. Kulirik Bang Fyan yang masih merengkuh pundakku. Dia mengangguk menatapku, sementara tangannya yang berada di bahuku perlahan bergerak mengusap seakan memberikan kekuatan dan ketenangan untukku."Tenanglah! Abang bersamamu!" bisiknya seakan mengerti apa yang kurasakan. Mungkin dia mengira aku belum tahu perihal Rey dan Nindy.Aku balas menatap dan mengangguk, lalu melangkah bersama mendekati Rey dan Nindy."Hey Rey! Apa kabar?" sapa Bang Fyan seraya mengulurkan tangannya dan disambut antusias oleh Rey."Baik, selamat ya Bro! Semoga langgeng," keduanya berpelukan sesaat layaknya dua orang sahabat yang lama tidak bertemu."Apa kabar, Ra?" tanya Rey padaku setelah mereka melepas pelukann