Hanya beberapa langkah di belakang, Rey tengah berdiri menatap kami. Disampingnya, wanita yang aku lihat tempo hari di tokoku bergelayut pada tangan Rey. Nindy.Sejenak aku terkesiap tapi sedetik kemudian berusaha untuk lebih tenang, karena ini tidak bisa lagi dihindari. Siap tidak siap aku harus siap. Kulirik Bang Fyan yang masih merengkuh pundakku. Dia mengangguk menatapku, sementara tangannya yang berada di bahuku perlahan bergerak mengusap seakan memberikan kekuatan dan ketenangan untukku."Tenanglah! Abang bersamamu!" bisiknya seakan mengerti apa yang kurasakan. Mungkin dia mengira aku belum tahu perihal Rey dan Nindy.Aku balas menatap dan mengangguk, lalu melangkah bersama mendekati Rey dan Nindy."Hey Rey! Apa kabar?" sapa Bang Fyan seraya mengulurkan tangannya dan disambut antusias oleh Rey."Baik, selamat ya Bro! Semoga langgeng," keduanya berpelukan sesaat layaknya dua orang sahabat yang lama tidak bertemu."Apa kabar, Ra?" tanya Rey padaku setelah mereka melepas pelukann
"Pokoknya mau sekarang, titik!" Gadis yang duduk di ruang tengah rumahku itu menatapku garang."Tapi ini sudah sore, udah gituh mendung," jawabku mencoba bernegosiasi."Ara bilangin Bunda kalau Abang jahat," katanya seraya bangkit."Eit jangan! Oke, tapi sebentar saja. Cuma beli coklat terus pulang. Lihat, Abang lagi banyak tugas," ucapku sambil menunjuk laptop yang masih menyala.Tanpa menjawab perkataanku, dia bangkit dan berjalan ke arah dapur. Aku tahu pasti akan berpamitan pada Bunda. Sementara aku mematikan laptop kemudian menyambar kunci motorku lalu menunggunya di depan.Namanya Mutiara Putri Baskara, anak kedua Om Baskara, teman Ayah yang rumahnya persis di sebelah rumah orang tuaku. Kami pindah ke sini semenjak aku duduk di bangku sekolah dasar. Hubungan keluarga kami sangat dekat bahkan sudah seperti saudara.Sejak pindah ke sini aku sangat dekat dengan Ara. Aku yang bungsu dari dua bersaudara seperti menemukan sosok seorang adik pada dirinya. Begitu pun Ara yang hanya puny
"Kebiasaan sekali kamu tuh Fyan! Bawa motor nggak bawa jas hujan. Adikmu sampai basah gituh," tegur Bunda begitu kami turun dari motor."Ara-nya juga suka hujan-hujanan, kok Bunda yang heboh," jawabku seraya melirik Ara. Yang dilirik malah senyum-senyum nggak jelas dengan pasang wajah sok imut."Udah, mandi sana! Nanti masuk angin, Abang juga yang diomelin Mama." titahku."Biasa aja kali, nggak usah pasang wajah jutek gituh," jawabnya seraya cemberut.Aku memalingkan wajah menahan gemas melihat dia cemberut seperti itu. Kubuang napas kasar menormalkan gejolak di dalam sini."Ara pamit dulu, ya, Bun," ucapnya pada Bunda yang masih memperhatikan kami dari teras."Iya, cepetan mandi pake air hangat!""Oke, Bunda!" jawabnya kemudian berlari menuju rumahnya yang hanya beberapa meter dari sini."Makasih coklatnya, Bang Fyan!" Dia berteriak setelah sampai di pintu pagar rumahnya sambil mengacungkan cup coklat.Hingga tak terasa ujung bibirku terangkat dan rasanya ada kebahagiaan yang tak bis
"Iya tapi kan beda, Bang. Ada hal-hal yang tidak bisa Rey lakukan seperti Abang. Nanti kalau Ara telat sholat, siapa yang cerewetin Ara. Kalau Ara lupa makan, siapa yang ngingetin. Terus kalau Ara bandel siapa yang mengacak rambut Ara?" Kemudian dia diam dan detik berikutnya aku hanya mendengar isaknya tertahan.Kutarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan, ini memang berat. Hampir dua puluh tahun kami bersama. Melakukan apapun bersama, dan aku sudah menduga perpisahan ini memang akan terjadi. Memberanikan diri menoleh dan menatap wajahnya yang basah, aku ingin merengkuh dan membawanya ke dalam pelukan. Tanganku terangkat tapi segera aku turunkan kembali. Bahkan untuk memeluknya saja aku tak berani, karena meski sedekat apapun hubungan kami aku dan dia tetap tidak halal bersentuhan."Kamu percaya pepatah bahwa setinggi-tingginya burung terbang dia akan kembali ke kubangan. Anggap saja sekarang Abang adalah burung itu. Jika Allah berkehendak suatu saat Dia akan mengembalik
Aku fokus pada pekerjaanku dan karirku. Uang yang kudapatkan selama bekerja dari awal tak pernah aku gunakan. Pertanyaan Bunda tentang menantu perempuan sudah tidak aku hiraukan lagi. Aku akan menikah tapi entah kapan. Mungkin jika suatu saat nanti ada wanita yang benar-benar bisa menggeser Ara dari hatiku."Fyan, kakakmu menyerahkan perusahaan yang dia kelola pada Ayah. Mereka membuka usaha baru dan khawatir tidak bisa menjalankan perusahaan dengan baik. Mungkin sudah saatnya kamu pulang ke sana dan mengelola perusahaan milikmu sendiri," kata Ayah ketika malam ini kami berkumpul di ruang tengah."Perusahaan Fyan? Maksud Ayah?""Perusahaan itu sudah atas nama kamu. Ayah yakin sekarang kamu sudah bisa dipercaya untuk memimpinnya. Pergilah!" Aku sampai lupa kalau Ayah pernah bilang. Melupakan kota Bandung dan berusaha melupakan gadis pujaanku. Kenapa semua hal tentang kota itu ikut raib."Nggak, Fyan disini saja." "Kalau kamu disini terus, kapan Bunda punya mantu?" Bunda menimpali."Bu
"Mama juga tidak yakin, sebab Ara masih bersikeras menuggu Rey. Kami akan coba meyakinkan dia tapi kami juga butuh bantuan kamu.""Apa yang harus Fyan lakukan, Ma?" Tiba-tiba saja pertanyaan itu keluar dari mulutku seiring keyakinan dalam hatiku bahwa aku tak mau kehilangan kesempatan untuk yang kedua kalinya."Yakinkan hatimu! Bismillah, ini jalan yang terbaik buat kalian. Masalah Ara biar kami yang mengurus, tidak mengapa jika awalnya kita sedikit memaksa pada Ara. Mama mohon, Fyan. Mama nggak rela kalau Ara jatuh ke tangan orang lain, Mama sangat berharap padamu." Dengan mata berkaca-kaca dan suara bergetar Mama menggenggam tanganku."Iya Ma, Fyan janji akan menjaga dan membahagiakan Ara. Jujur, Fyan nggak mau kehilangan kesempatan untuk kedua kalinya."Mendengar itu Mama tersenyum dan Papa menepuk pundakku."Alhamdulillah, Papa senang mendengarnya. Papa percaya sama kamu. Hubungi Ara, dan sampaikan niatmu."Aku mengangguk, dalam hati tak hentinya mengucap syukur karena aku mendapa
Aku pikir itu awal yang baik bagi hubungan kami. Tapi nyatanya Ara masih menyimpan rasa pada Rey, terbukti dari wallpaper ponselnya yang masih menggunakan poto mereka dan aku cemburu, wajar bukan jika hal itu aku rasakan. Apalagi sekarang aku adalah suaminya, orang yang paling berhak atas dirinya baik lahir maupun batin. Hingga kali ini kesabaranku sudah sampai pada batasnya. Aku mengganti wallpaper ponselnya dengan poto pernikahan kami dan itu memicu perselisihan lagi. Kali ini aku berada di titik jenuh dan rasanya sudah lelah memperjuangkan rasa ini. Kuputuskan untuk bersikap masa bodoh saja, aku menunggu Ara mengambil keputusan setelah ini. Karena aku tahu Rey sudah kembali ke kota ini. Salah satu teman kuliah kami mengatakan bahwa dia bertemu Rey baru-baru ini. Sengaja aku makin mengabaikan dia untuk memberi kesempatan supaya dia bertemu Rey dan segera menyelesaikan masalah mereka. Apapun keputusan Ara aku siap menerimanya. Jika memang mereka ingin kembali menjalani hubungan, ak
Pov AraKejadian semalam ketika bertemu dengan Rey juga Nindy jujur saja sangat menguras emosiku. Meski aku sudah tahu perihal mereka berdua, tapi melihat Nindy bergelayut pada tangan Rey seraya berkata manja tetap saja membuat ada yang teriris di dalam dadaku.Ditambah lagi prasangka terhadap alasan Bang Fyan menikahiku. Meski kata Bang Fyan dia menikahiku bukan karena kasihan padaku. Namun di hatiku masih ada sedikit ganjalan. Akan aku tanyakan nanti, karena mulai saat ini tak mau lagi ada hal yang disembunyikan diantara kami. Untuk bisa saling menerima mungkin harus dimulai dari saling terbuka. Aku belum bisa mencintai Bang Fyan seperti layaknya seorang istri. Namun akan kucoba menerima kenyataan bahwa dia suamiku.Allah telah mematahkan hatiku karena Dia tahu Rey bukan yang terbaik untukku. Dan Bang Fyan adalah lelaki yang dikirim Allah untuk menjagaku dari efek buruk patah hati karena lelaki bernama Rey. Tidak dapat kubayangkan bagaimana jika ketika kutahu kenyataan tentang Rey
"Ha--hallo ... assalamualaikum .... " Ara tidak bisa membunyikan kegugupannya. Suaranya terdengar bergetar begitu mengucap salam. "Waalaikumsalam, Ra. Abang kira Ara tidak mau menerima telepon dari Abang. Barusan Mama menyampaikan kabar bahagia itu. Makasih, ya." Suara renyah Fyan terdengar sangat familiar di telinga Ara. Seharusnya gadis itu rindu, tetapi entah kenapa saat ini Ara malah terkesan tidak suka. Bukan tidak suka orangnya, namun status mereka yang akan berubah. Itu yang membuat Ara gelisah. "Iya, Bang, tetapi ada syaratnya." "Katakan saja, apa yang harus Abang lakukan. Oh ya, apa kabar kamu, Ra?" Seperti biasa, Fyan selalu mengalah dan berusaha menurut apa yang Ara mau. "Ara baik, Bang. Eum .... ada baiknya kita ketemu, Bang. Kayaknya hal ini nggak bisa dibicarakan lewat telepon." Suara Ara tetap datar. "Eh, iya. Tentu saja kita harus ketemu, besok Abang jemput Ara di toko, ya." "Memangnya Abang tahu di mana toko Ara?" Gadis itu memicing. "Tahu, dong. Aban
Fyan sudah bisa menduga kalau tidak semudah itu Ara menerima perjodohan ini. Bahkan sebenarnya Fyan juga sudah siap jika gadis itu menolak. Meski demikian, kabar dari Mama cukup membuat Fyan mematung beberapa saat.Kecewa. Tentu saja.Hal inilah yang ia takutkan sejak dulu. Empat tahun yang lalu, saat ia merasa ada perasaan lain pada gadis itu. Perasaan lebih dari sekedar sahabat dan seorang kakak. Yang pada akhirnya Fyan harus kehilangan Ara saat gadis itu jatuh ke tangan Rey. "Kamu Jangan berkecil hati, Nak. Mama dan Papa akan terus meyakinkan Ara.""Jangan dipaksakan, Ma. Sesuatu yang terpaksa itu tidak akan baik nantinya. Fyan ingin Ara menerima ini dengan kesadaran penuh dan tanpa paksaan.""Tenang saja, ya. Mama dan Papa tahu kok, harus bagaimana.""Terima kasih, Ma. Kalau begitu izinkan Fyan bertemu dengan Ara, biar Fyan yang menjelaskan padanya.""Sabar dulu, ya, Nak. Tidak secepat itu, nanti setelah Ara bisa ditemui malah akan kabarin, kok."Panggilan terakhir, Fyan meletakk
Pulang dari bertemu dengan mama dan papanya Ara, Fyan merasa lega mendengar kabar gadis itu masih sendiri. Berarti ia mempunyai kesempatan untuk mewujudkan harapannya. Senyum tak lepas dari bibirnya, sepanjang perjalanan Fyan bersenandung kecil. Dunia yang sempat terasa sempit kini kembali melebar. Fyan berharap, semoga saja Ara menyetujui rencana mama dan papanya. Gadis itu pasti kecewa kepada Rey. Semoga kehadiran Fyan kembali akan membuka hatinya dan menjadi pelipur dukanya. Hari itu Fyan tidak kembali ke kantor. Ia mengirim pesan pada sekretarisnya untuk menghandle beberapa pekerjaan. Pemuda itu langsung pulang ke rumah lantaran ingin segera berbaring dan merayakan kebahagiaannya sendiri.Hal yang pertama Fyan lakukan setelah sampai di rumah adalah mencari media sosial Rey. Ia ingin bertanya pada sahabatnya itu kenapa sampai hati melakukan ini pada Ara.Terakhir kali Fyan berkomunikasi dengan Rey entah berapa tahun yang lalu. Kalau tidak salah tak lama setelah dia berada di Sura
Sudah hampir dua bulan Fyan tinggal di kota Bandung. Hari demi hari ia lalui sangat membosankan. Kegiatannya hanya ke kantor dan di rumah. Fyan termasuk orang yang tidak suka keluyuran atau nongkrong tidak jelas. Sesekali menginap di rumah Shafia jika Fyan sedang ingin makan makanan rumahan. Setiap hari makan di restoran memang tidak enak. Mau masak di rumah rasanya tidak seru kalau dimakan sendirian.Shafia pernah menyarankan supaya Fyan mencari seorang ART, tetapi sang adik tidak mau. Untuk bersih-bersih rumah, Fyan bisa mengerjakannya sendiri. Bukankah sekarang sudah banyak alat yang membantu. Pakaian dicuci di laundry. Selain rumah Shafia, hari minggu biasanya Fyan berkunjung rumah yang baru saja ia beli untuk melihat pembangunan yang sudah hampir selesai. Membayangkan suatu saat ia tinggal di sini bersama keluarga kecilnya. Bahagia dengan seorang istri dan mereka saling menyayangi. Lagi-lagi wajah Ara yang muncul ketika Fyan membayangkan masa depan.Selam dua bulan tinggal di B
Satu bulan setelah pernikahan Ajeng dan Pras dilaksanakan. Tepatnya satu bulan setengah setelah Ayah meminta Fyan pindah ke Bandung. Namun belum ada tanda-tanda pemuda itu bersiap-siap untuk pergi ke kota tersebut. Ayah dan Bunda pun belum membahasnya lagi sejak pembicaraan saat itu. Fyan sendiri bukan lupa kalau saat itu dirinya mengiyakan permintaan Ayah. Namun dirinya masih menimbang dan ragu untuk kembali ke kota itu. Meski jujur saja, dalam hatinya penasaran dengan kabar Ara, namun dia masih tetap tidak punya keberanian untuk mencari tahu tentang gadis itu. Malam ini, Ayah dan Bunda kembali membahas hal itu selepas mereka makan malam. "Sudah hampir dua bulan lho, Nak? Jadi mau kapan?" Bunda membuka pembicaraan dengan sebuah pertanyaan."Sebentar lagi, Bun. Ada pembangunan yang belum selesai di panti asuhan. Lagi pula Ajeng dan Pras masih pengantin baru.""Sudah satu bulan menikah, harusnya Ajeng dan Pras sudah kembali aktif. Bulan madu kan bisa kapan-kapan. Kakakmu kemarin sud
"Bagaimana kabar tokonya Ara?" tanya bunda setelah beberapa menit berbasa-basi sekedar bertanya kabar. Pertanyaan itu pun masih bagian dari basa-basi. Terakhir Bunda mendengar kabar kalau Ara membuka usaha toko di ruko yang tidak jauh dari taman flamboyan."Alhamdulillah, Jeng. Karena ditekuni, usahanya semakin lancar bahkan sekarang menerima pesanan lewat online. Ara juga kelihatannya semakin dewasa tidak manja lagi seperti dulu." Terdengar tawa kecil dari seberang telepon. Bunda membayangkan gadis kecil itu sekarang sudah berubah menjadi wanita dewasa. Gadis kecil yang dulu selalu tampil dengan rambut dikuncir satu di belakang yang kerap merengek manja memintanya membuatkan sesuatu tatkala dirinya sedang di dapur."Saya sebenarnya sangat kangen sama Ara. Tapi, kok, nomornya tidak aktif, ya." "Sepertinya Ara ganti nomor, Jeng. Kalau begitu, nanti saya kirim nomor baru Ara.""Ndak usah, Jeng. Ara sekarang sibuk di tokonya, takut mengganggu waktunya. Mendengar dia sehat dan baik-baik
"Hah?! Willy?!"Seketika mama dan papa menatap Ara penuh tanya ketika mendengar anak keduanya itu seperti kaget."Kenapa? Ara kenal?" Mama tak bisa menahan rasa penasarannya."Eum ... anu .... " Ara berusaha menyembunyikannya kagetnya."Atau ... jangan-jangan kalian sudah ...." Mama tersenyum sambil menatap tajam ke arah putrinya, kemudian ia beralih pada suaminya. Berharap kalau Ara dan Willy sudah saling kenal atau bahkan sering berkomunikasi. Itu sebabnya Tuan Markus membahas mereka."Ara pernah dengar nama itu sewaktu kuliah dulu. Kayaknya dia kakak tingkat Ara. Tetapi .... " Ara memutuskan untuk tidak memberitahu Mama dan Papa perihal pertemuannya dengan Willy beberapa hari yang lalu."Tetapi apa?" Lagi, Mama antusias mengajukan pertanyaan. Perempuan itu semakin berharap."Tetapi ... dulu dikenal sebagai mahasiswa yang suka gonta-ganti pacar." Ara melirik Mama yang nampak sedikit kaget.Mama menghempaskan bagian belakang tubuhnya kesadaran kursi. Sesungguhnya ini jawaban yang ti
Usaha yang dijalankan Ara bersama Maya berjalan lancar. Selain melayani pembeli langsung, mereka juga menyediakan layanan online yang lebih dari separuhnya pendapatan mereka berasal dari penjualan online ini. Pelanggannya pun tidak terbatas dari dalam kota saja. Tetapi merambah ke luar kota, bahkan luar provinsi. Modal yang Ara pinjam dari Papa juga sudah dikembalikan. Sebenarnya Papa menolak, tetapi Ara bersikeras. Atas bantuan Mama, akhirnya Papa mengalah. Aktivitas yang cukup menyita waktunya ini berhasil mengalihkan pikiran Ara dari Rey. Pemuda yang ditunggunya selama hampir 3 tahun itu memang sempat membuat hari-hari gadis yang sekarang mantap berhijab itu terasa menyakitkan. Beruntung ada Maya juga mama dan papa yang selalu memberikan dukungan hingga ia bisa berhasil melewati masa-masa sulitnya. Meskipun tidak jarang Ara teringat pada pemuda itu, namun kembali ia menyibukkan diri pada pekerjaannya.Hidup sederhana yang dijalankan oleh Ara membuat ia benar-benar mandiri. Ia p
"Sorry, bukannya kasar ... "Fyan mengangkat tangan tanda tidak ada masalah."Priska, kayak dia gak cocok jadi calon suami lu." Pria itu beralih menatap Priska. "Sorry bro, saya bukan calon suaminya." Fyan menegaskan sekali lagi."Priska bilang lu calon suaminya. Kalian korban perjodohan. Hahaha. Harusnya Priska mendapatkan pendamping hidup yang sesuai dengannya." Pria itu tertawa dengan nada mengejek. "Sudah dibilang saya bukan calon suaminya. Saya hanya teman lama yang baru ketemu lagi tadi siang." Fyan merasa tidak enak mendengar pria itu berkata dengan nada tinggi."Sudah, jangan berdebat. Jadi kamu cuma mau mempermainkan aku, Fyan?!" Sekarang giliran Priska yang berkata dengan nada tak kalah tinggi.Fyan mengalihkan pandangan sejenak. Memang susah kalau ngobrol dengan orang dalam keadaan setengah sadar."Mempermainkan apa, Priska?" "Kita sudah dijodohkan tapi kamu bilang bukan calon suamiku?!" Priska menunjuk wajah Fyan, sungguh tidak ada sopan santun."Tidak ada perjodohan di