Beberapa saat kami berkejaran hingga aku merasa kelelahan dan berhenti. Kemudian dengan napas pendek-pendek aku membungkuk memegangi lutut. Keringat membasahi dahiku dan seluruh wajahku. Perlahan aku mengangkat wajah bersamaan dengan tubuhku yang menegak. Dan dia sudah berada di hadapanku kini sambil berkacak pinggang. Sedikit senyuman terlukis sedangkan aku memasang wajah datar."Sudah Abang bilang kita jalan saja, nggak usah lari-lari," ucapnya tanpa merasa bersalah."Yang lari duluan siapa?" tanyanya geram."Abang bukan lari tapi cuma menghindar saja."Tak mau berdebat lebih jauh lagi aku melangkah mendahuluinya. Meninggalkan dia yang masih berdiri dengan senyum tidak jelas. Setelah beberapa langkah kurasa dia kembali menggenggam jemariku seperti tadi. Aku hanya membiarkanya tanpa banyak bicara. Hingga hampir satu putaran berlalu aku larut dalam pikiranku dan sepertinya lelaki disampingku ini juga larut dalam pikirannya. Sesekali pandangan kami bertemu lalu saling berpaling lagi
Selang beberapa menit, dia kembali dan duduk di tempat semula lalu melanjutkan makannya. Aku ingin bertanya apa yang terjadi tapi lidahku tiba-tiba seperti kaku. Aku belum terbiasa bertanya apapun mengenai perasaannya ataupun aktivitasnya.Akhirnya aku pun kembali melanjutkan makan sambil sesekali melirik ke arahnya. Dia nampak masih gelisah dan sesekali membuang napas berat."Bang .... " Aku memulai lagi percakapan."Iya, kenapa sa .... " Dia menggantung kalimatnya kemudian kami menoleh secara bersamaan. Aku menautkan alisku untuk mewakili pertanyaanku.Bang Fyan mengangkat satu tangannya lalu mengusap tengkuknya sambil mengangkat alis dan tersenyum tipis."Abang kenapa, sih?" "Mau bilang sayang tapi disini tidak ada Rey ataupun Nindy, jadi nggak jadi deh," jawabnya ragu."Memangnya harus?""Semalam kamu protes. 'Cukup Bang. Disini tidak ada Rey, tidak ada Nindy. Jadi nggak usah sok-sokan manggil sayang lagi!' Kamu ingat kan?"Ya, semalam kan, Ara ... masih ... emosi ... jadi .... "
Kami baru saja sampai di rumah setelah duhur. Beristirahat sebentar lalu membersihkan badan dan melaksanakan shalat Dzuhur berjamaah. Ada rasa tak biasa ketika aku melakukan aktivitas di rumah bersamanya. Tanpa rasa canggung dan sungkan, saling bercanda. Seperti beberapa tahun yang lalu, dan sekarang tanpa batas untuk saling memeluk dan memandang.Aku mulai bisa menggeser posisi hatiku, dari merasa sebagai adik menjadi nyaman sebagai istri. Lagipula tak ada alasan lagi untuk menolak pernikahan ini. Rey sudah tidak bisa diharapkan dan aku terlanjur kecewa pada Rey.Memilih untuk menerima Bang Fyan adalah pilihan terbaik untukku. Bukankah kami sudah terbiasa menghabiskan waktu bersama sejak dulu. Meskipun dalam konteks yang berbeda. Setidaknya kami sudah tahu sifat satu sama lain. Hanya perlu merubah rasa dari sayang sebagai saudara menjadi cinta suami istri."Kamu tidak akan tahu patahnya hati Abang dulu ketika harus meninggalkan kota ini. Meninggalkan cinta Abang untuk laki-laki lain
ReyPov ReyGadis bertubuh mungil itu pertama kali aku lihat ketika berkunjung ke rumah salah satu temanku. Teman satu fakultas ketika aku menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Juga teman satu perjuangan ketika memulai karir. Sama-sama diterima bekerja pada sebuah perusahaan.Namanya Mutiara Putri Baskara, tapi aku mendengar Fyan sahabatku lebih sering memanggilnya dengan sebutan Ara. Nama yang bagus, simpel seperti orangnya. Ara termasuk gadis yang mudah beradaptasi dengan orang baru. Sehingga bisa cepat kenal dan akrab.Gadis manis yang kerap mengganggu Fyan itu dikenalkan sebagai adiknya. Tapi belakangan aku tahu kalau Ara anak tetangga sebelah Fyan yang sudah seperti adiknya sendiri.Aku melihat tatapan Fyan berbeda pada Ara, sepertinya dia menyimpan perasaan lain. Muncul niat iseng di dalam hatiku untuk memancing Fyan mau mengakui perasaannya pada Ara.Siang itu ketika aku menyampaikan pada Fyan bahwa aku suka pada Ara, Fyan nampak terkejut meskipun dia berusaha untuk menyembu
Setelah mengetahui bahwa Maya punya andil yang sangat besar dibalik pernikahanku dengan Bang Fyan, aku sangat bersyukur bahwa Allah telah menghadirkan orang-orang terbaik di sekitarku.Sore ini ketika Bang Fyan menjemputku, aku mengajak Maya, Iren serta Rasti makan bersama di sebuah restoran yang cukup mahal. Sekali-kali mengajak mereka makan memang kerap aku lakukan, hanya saja biasanya aku memilih tempat yang lebih sederhana, yang penting kebersamaannya."Ra, kenapa masuk ke sini? Ini mahal loh," bisik Maya ketika kami mencari tempat duduk."Ya, sekali-kali lah.""Aku tahu nih, emang orang kalau lagi seneng apa aja bisa dilakukan ya. Termasuk orang yang lagi kasmaran," goda Maya seraya menjauh dariku."Sok tahu!" Aku memutar bola mata."Kalian ini, tidak malu apa? Udah gede masih becanda ala anak sekolah." Bang Fyan mengusap kepalaku sedang aku hanya tersenyum tipis.Sikap Bang Fyan masih sama seperti itu, sukanya mengacak rambutku ketika aku masih SMA. Setelah aku kuliah dan berhij
Tidak lama setelah dia pergi, ponselnya yang ternyata tertinggal di dalam mobil tiba-tiba menyala. Nama Ajeng kembali terpampang sedang memanggil. Ada rasa tidak suka ketika lagi-lagi melihat dia menelepon. Di dorong oleh rasa penasaran dan rasa kurang suka, membuat aku memberanikan diri menggeser tombol hijau dilayar ponsel suamiku. Lalu mendekatkan benda pipih ini ke telingaku.Hening beberapa saat, karena aku sengaja tidak bersuara."Assalamualaikum Mas," terdengar suara seorang wanita dari seberang telepon. Aku masih diam tak bersuara."Maaf mengganggu Mas, saya tahu ini waktunya Mas Fyan bersama istri Mas. Saya cuma mau menyampaikan terima kasih, alhamdulillah uangnya sudah masuk rekening. Minta do'anya besok Bimo mau operasi dan jika sempat saya mohon Mas mau menjenguk dia."Uangnya masuk rekening? Sepertinya Bang Fyan diam-diam mengirim sejumlah uang pada Ajeng untuk biaya operasi Bimo. Tapi siapa Bimo? Aku menahan nafas supaya tidak terdengar ke seberang sana. Karena kini ak
Jangan tanya lagi bagaimana keadaan hatiku. Sebab berbagai macam prasangka sedang berkumpul di sana. Bagiamana kalau malam ini dia meminta haknya sedang hatiku tengah diliputi berbagai macam pertanyaan mengenai Ajeng."Apakah Abang ada salah?" Rupanya pertanyaan itu yang keluar dari bibirnya."Ti-tidak ada kok, kenapa Abang bertanya seperti itu?""Abang merasa ada yang beda. Kalau ada apa-apa ngomong saja. Abang siap mendengarkan kok." Dia menggenggam tanganku dengan kedua tangannya.Aku tersenyum tipis mendengarnya, sebenarnya ingin sekali bertanya perihal nama wanita yang sejak tadi mengganggu pikiranku."Besok Abang pergi ke Surabaya untuk beberapa hari, kalau kamu tidak berani tinggal sendirian di sini, kamu boleh nginep di rumah Mama. Atau minta Endra tidur di sini saja, dia kan sedang libur semester."Deg!Jadi benar dia akan menemui wanita itu besok? Dan dia tidak mengajakku ikut ke Surabaya? Ini patut dicurigai."Ada urusan apa?""Abang ada sedikit keperluan, paling dua hari k
."Tidak ada yang aneh, kenapa takut dibully?""Memang tidak ada," jawabnya enteng.Aku mencebik lalu meraih koper dan mulai menata baju di dalam lemari."Kamu istirahat, ya! Abang ada perlu sebentar. Nanti sore kita jalan-jalan keliling Surabaya." "Abang mau kemana?" "Ada urusan sebentar, bukankah Abang sudah bilang kalau Abang ke sini ada urusan.""Baiklah." Aku pasrah dengan perintahnya."Abang pergi dulu ya!" ucapnya seraya menghampiri dan mengecup keningku.Manis memang, tapi aku tidak bisa merasakan manisnya. Setelah dia keluar kamar aku berpikir keras bagaimana caranya aku bisa mengikutinya. Sedangkan aku baru pertama kalinya datang ke Surabaya.Terdengar suara mobil meninggalkan rumah, aku berlari ke balkon mengikuti dengan mata ini hingga mobil itu keluar dari pintu gerbang dan berbelok ke arah kanan.Tiba-tiba aku mendapat ide dan segera berlari ke luar kamar setelah sebelumnya menyambar tas di atas kasur."Bunda, apa bang Fyan berpamitan sama Bunda?" tanyaku ketika bertem
"Ha--hallo ... assalamualaikum .... " Ara tidak bisa membunyikan kegugupannya. Suaranya terdengar bergetar begitu mengucap salam. "Waalaikumsalam, Ra. Abang kira Ara tidak mau menerima telepon dari Abang. Barusan Mama menyampaikan kabar bahagia itu. Makasih, ya." Suara renyah Fyan terdengar sangat familiar di telinga Ara. Seharusnya gadis itu rindu, tetapi entah kenapa saat ini Ara malah terkesan tidak suka. Bukan tidak suka orangnya, namun status mereka yang akan berubah. Itu yang membuat Ara gelisah. "Iya, Bang, tetapi ada syaratnya." "Katakan saja, apa yang harus Abang lakukan. Oh ya, apa kabar kamu, Ra?" Seperti biasa, Fyan selalu mengalah dan berusaha menurut apa yang Ara mau. "Ara baik, Bang. Eum .... ada baiknya kita ketemu, Bang. Kayaknya hal ini nggak bisa dibicarakan lewat telepon." Suara Ara tetap datar. "Eh, iya. Tentu saja kita harus ketemu, besok Abang jemput Ara di toko, ya." "Memangnya Abang tahu di mana toko Ara?" Gadis itu memicing. "Tahu, dong. Aban
Fyan sudah bisa menduga kalau tidak semudah itu Ara menerima perjodohan ini. Bahkan sebenarnya Fyan juga sudah siap jika gadis itu menolak. Meski demikian, kabar dari Mama cukup membuat Fyan mematung beberapa saat.Kecewa. Tentu saja.Hal inilah yang ia takutkan sejak dulu. Empat tahun yang lalu, saat ia merasa ada perasaan lain pada gadis itu. Perasaan lebih dari sekedar sahabat dan seorang kakak. Yang pada akhirnya Fyan harus kehilangan Ara saat gadis itu jatuh ke tangan Rey. "Kamu Jangan berkecil hati, Nak. Mama dan Papa akan terus meyakinkan Ara.""Jangan dipaksakan, Ma. Sesuatu yang terpaksa itu tidak akan baik nantinya. Fyan ingin Ara menerima ini dengan kesadaran penuh dan tanpa paksaan.""Tenang saja, ya. Mama dan Papa tahu kok, harus bagaimana.""Terima kasih, Ma. Kalau begitu izinkan Fyan bertemu dengan Ara, biar Fyan yang menjelaskan padanya.""Sabar dulu, ya, Nak. Tidak secepat itu, nanti setelah Ara bisa ditemui malah akan kabarin, kok."Panggilan terakhir, Fyan meletakk
Pulang dari bertemu dengan mama dan papanya Ara, Fyan merasa lega mendengar kabar gadis itu masih sendiri. Berarti ia mempunyai kesempatan untuk mewujudkan harapannya. Senyum tak lepas dari bibirnya, sepanjang perjalanan Fyan bersenandung kecil. Dunia yang sempat terasa sempit kini kembali melebar. Fyan berharap, semoga saja Ara menyetujui rencana mama dan papanya. Gadis itu pasti kecewa kepada Rey. Semoga kehadiran Fyan kembali akan membuka hatinya dan menjadi pelipur dukanya. Hari itu Fyan tidak kembali ke kantor. Ia mengirim pesan pada sekretarisnya untuk menghandle beberapa pekerjaan. Pemuda itu langsung pulang ke rumah lantaran ingin segera berbaring dan merayakan kebahagiaannya sendiri.Hal yang pertama Fyan lakukan setelah sampai di rumah adalah mencari media sosial Rey. Ia ingin bertanya pada sahabatnya itu kenapa sampai hati melakukan ini pada Ara.Terakhir kali Fyan berkomunikasi dengan Rey entah berapa tahun yang lalu. Kalau tidak salah tak lama setelah dia berada di Sura
Sudah hampir dua bulan Fyan tinggal di kota Bandung. Hari demi hari ia lalui sangat membosankan. Kegiatannya hanya ke kantor dan di rumah. Fyan termasuk orang yang tidak suka keluyuran atau nongkrong tidak jelas. Sesekali menginap di rumah Shafia jika Fyan sedang ingin makan makanan rumahan. Setiap hari makan di restoran memang tidak enak. Mau masak di rumah rasanya tidak seru kalau dimakan sendirian.Shafia pernah menyarankan supaya Fyan mencari seorang ART, tetapi sang adik tidak mau. Untuk bersih-bersih rumah, Fyan bisa mengerjakannya sendiri. Bukankah sekarang sudah banyak alat yang membantu. Pakaian dicuci di laundry. Selain rumah Shafia, hari minggu biasanya Fyan berkunjung rumah yang baru saja ia beli untuk melihat pembangunan yang sudah hampir selesai. Membayangkan suatu saat ia tinggal di sini bersama keluarga kecilnya. Bahagia dengan seorang istri dan mereka saling menyayangi. Lagi-lagi wajah Ara yang muncul ketika Fyan membayangkan masa depan.Selam dua bulan tinggal di B
Satu bulan setelah pernikahan Ajeng dan Pras dilaksanakan. Tepatnya satu bulan setengah setelah Ayah meminta Fyan pindah ke Bandung. Namun belum ada tanda-tanda pemuda itu bersiap-siap untuk pergi ke kota tersebut. Ayah dan Bunda pun belum membahasnya lagi sejak pembicaraan saat itu. Fyan sendiri bukan lupa kalau saat itu dirinya mengiyakan permintaan Ayah. Namun dirinya masih menimbang dan ragu untuk kembali ke kota itu. Meski jujur saja, dalam hatinya penasaran dengan kabar Ara, namun dia masih tetap tidak punya keberanian untuk mencari tahu tentang gadis itu. Malam ini, Ayah dan Bunda kembali membahas hal itu selepas mereka makan malam. "Sudah hampir dua bulan lho, Nak? Jadi mau kapan?" Bunda membuka pembicaraan dengan sebuah pertanyaan."Sebentar lagi, Bun. Ada pembangunan yang belum selesai di panti asuhan. Lagi pula Ajeng dan Pras masih pengantin baru.""Sudah satu bulan menikah, harusnya Ajeng dan Pras sudah kembali aktif. Bulan madu kan bisa kapan-kapan. Kakakmu kemarin sud
"Bagaimana kabar tokonya Ara?" tanya bunda setelah beberapa menit berbasa-basi sekedar bertanya kabar. Pertanyaan itu pun masih bagian dari basa-basi. Terakhir Bunda mendengar kabar kalau Ara membuka usaha toko di ruko yang tidak jauh dari taman flamboyan."Alhamdulillah, Jeng. Karena ditekuni, usahanya semakin lancar bahkan sekarang menerima pesanan lewat online. Ara juga kelihatannya semakin dewasa tidak manja lagi seperti dulu." Terdengar tawa kecil dari seberang telepon. Bunda membayangkan gadis kecil itu sekarang sudah berubah menjadi wanita dewasa. Gadis kecil yang dulu selalu tampil dengan rambut dikuncir satu di belakang yang kerap merengek manja memintanya membuatkan sesuatu tatkala dirinya sedang di dapur."Saya sebenarnya sangat kangen sama Ara. Tapi, kok, nomornya tidak aktif, ya." "Sepertinya Ara ganti nomor, Jeng. Kalau begitu, nanti saya kirim nomor baru Ara.""Ndak usah, Jeng. Ara sekarang sibuk di tokonya, takut mengganggu waktunya. Mendengar dia sehat dan baik-baik
"Hah?! Willy?!"Seketika mama dan papa menatap Ara penuh tanya ketika mendengar anak keduanya itu seperti kaget."Kenapa? Ara kenal?" Mama tak bisa menahan rasa penasarannya."Eum ... anu .... " Ara berusaha menyembunyikannya kagetnya."Atau ... jangan-jangan kalian sudah ...." Mama tersenyum sambil menatap tajam ke arah putrinya, kemudian ia beralih pada suaminya. Berharap kalau Ara dan Willy sudah saling kenal atau bahkan sering berkomunikasi. Itu sebabnya Tuan Markus membahas mereka."Ara pernah dengar nama itu sewaktu kuliah dulu. Kayaknya dia kakak tingkat Ara. Tetapi .... " Ara memutuskan untuk tidak memberitahu Mama dan Papa perihal pertemuannya dengan Willy beberapa hari yang lalu."Tetapi apa?" Lagi, Mama antusias mengajukan pertanyaan. Perempuan itu semakin berharap."Tetapi ... dulu dikenal sebagai mahasiswa yang suka gonta-ganti pacar." Ara melirik Mama yang nampak sedikit kaget.Mama menghempaskan bagian belakang tubuhnya kesadaran kursi. Sesungguhnya ini jawaban yang ti
Usaha yang dijalankan Ara bersama Maya berjalan lancar. Selain melayani pembeli langsung, mereka juga menyediakan layanan online yang lebih dari separuhnya pendapatan mereka berasal dari penjualan online ini. Pelanggannya pun tidak terbatas dari dalam kota saja. Tetapi merambah ke luar kota, bahkan luar provinsi. Modal yang Ara pinjam dari Papa juga sudah dikembalikan. Sebenarnya Papa menolak, tetapi Ara bersikeras. Atas bantuan Mama, akhirnya Papa mengalah. Aktivitas yang cukup menyita waktunya ini berhasil mengalihkan pikiran Ara dari Rey. Pemuda yang ditunggunya selama hampir 3 tahun itu memang sempat membuat hari-hari gadis yang sekarang mantap berhijab itu terasa menyakitkan. Beruntung ada Maya juga mama dan papa yang selalu memberikan dukungan hingga ia bisa berhasil melewati masa-masa sulitnya. Meskipun tidak jarang Ara teringat pada pemuda itu, namun kembali ia menyibukkan diri pada pekerjaannya.Hidup sederhana yang dijalankan oleh Ara membuat ia benar-benar mandiri. Ia p
"Sorry, bukannya kasar ... "Fyan mengangkat tangan tanda tidak ada masalah."Priska, kayak dia gak cocok jadi calon suami lu." Pria itu beralih menatap Priska. "Sorry bro, saya bukan calon suaminya." Fyan menegaskan sekali lagi."Priska bilang lu calon suaminya. Kalian korban perjodohan. Hahaha. Harusnya Priska mendapatkan pendamping hidup yang sesuai dengannya." Pria itu tertawa dengan nada mengejek. "Sudah dibilang saya bukan calon suaminya. Saya hanya teman lama yang baru ketemu lagi tadi siang." Fyan merasa tidak enak mendengar pria itu berkata dengan nada tinggi."Sudah, jangan berdebat. Jadi kamu cuma mau mempermainkan aku, Fyan?!" Sekarang giliran Priska yang berkata dengan nada tak kalah tinggi.Fyan mengalihkan pandangan sejenak. Memang susah kalau ngobrol dengan orang dalam keadaan setengah sadar."Mempermainkan apa, Priska?" "Kita sudah dijodohkan tapi kamu bilang bukan calon suamiku?!" Priska menunjuk wajah Fyan, sungguh tidak ada sopan santun."Tidak ada perjodohan di