Pulang dari rumah Mama aku kembali ke toko. Maya dan anak-anak sudah sibuk mengepak barang untuk dikirim ke para pelanggan online-ku. Bicara soal pelanggan online-ku, aku jadi teringat Nindy."May, Nindy masih suka belanja ke sini, enggak?" Entah mengapa pertanyaan itu tiba-tiba muncul dalam otakku."Hem ... kok jadi bahas Nindy?" Maya menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan lagi."Ish, kenapa jadi balik nanya?""Santai, Neng. Enggak usah sewot gitu, aku cuma heran saja karena sebelumnya kamu engga pernah peduli dengan nama itu," kekeh Maya."Ck.""Apa karena sekarang sudah tahu kalau dia itu istrinya Rey?""Bisa jadi." Aku membuang nafas berat. Tentang Rey, meski aku sudah membuang nama itu, tetap saja jejak pria berambut gondrong itu masih ada yang tertinggal dalam hatiku."Masih saja dikenang." Meski aku tak melihat wajahnya, tapi aku yakin mimik wajah Maya sedang mencibir."Bukan dikenang. Tapi jejak itu tidak akan terhapus begitu saja. Apalagi nama Rey pernah begitu kuat menancap
"Kalau enggak enak badan, enggak usah ke toko. Di rumah saja, istirahat." Bang Fyan mendekat, membuat gerakanku yang sedang mempersiapkan bekal untuknya terpaksa berhenti, lantaran tanganku diraihnya. "Ara enggak apa-apa, kok, Bang. Nanti juga kalau sudah di toko pasti merasa baikan, soalnya ada Maya dan anak-anak yang suka bercanda." Aku berusaha menarik tanganku guna menyelesaikan pekerjaanku. Tetapi, lelakiku ini membuatku tidak bisa berkutik lagi."Atau perlu abang temenin di rumah?" ucapnya lembut. Saat kuangkat wajah, teduh tatapan matanya begitu menenangkan jiwa."Abang "kan harus kerja," sahutku manja."Pekerjaan di kantor itu enggak bakalan ada habisnya. Lagian, Abang punya asisten untuk mengatasinya. Sementara mengurus dan memperhatikan istri Abang ini,.tidak bisa diwakilkan pada siapapun." Aku merasakan usapan lembut di pundakku."Iya, tapi Ara enggak apa-apa, kok. Abang pergi kerja aja, ya. Ara juga mau ke toko. Nggak ada tawaran-tawaran lagi." Kutarik paksa tangan yang m
Mataku sontak melebar meski detik berikutnya aku mencoba menormalkan raut wajahku. Supaya tidak terlihat terlalu kaget. Jadi, rupanya Nindy juga sedang hamil?"Jadi, Mbak Nindy sedang hamil lagi?" Kuredakan perasaan kaget dengan sebuah pertanyaan."Iya nih, Mbak Ara. Alhamdulillah aku sedang mengandung anak kedua, mudah-mudahan cowok. Baru jalan delapan minggu. Jadi belum ketahuan jenis kelaminnya." Nindy kembali mengusap perutnya yang masih terlihat rata, sementara senyumnya mengembang sempurna. Mau tidak mau, aku pun ikut tersenyum. "Selamat ya, mudah-mudahan sesuai dengan yang diharapkan, biar jadi sepasang." "Sebenarnya saya sudah pingin hamil lagi sejak kami di Surabaya. Tapi Mas Rey bilang, dia ingin anak keduanya lahir di Bandung. Saya juga nggak ngerti, kenapa Mas Rey se-cinta itu sama Bandung, hingga anak keduanya harus lahir di sini." Nindy menggeleng pelan dengan senyum yang belum terlepas."Bandung memang selalu membuat rindu. Orang yang pernah tinggal di Bandung pasti a
Sampai di rumah, Bang Fyan segera menyiapkan air hangat. Pria itu meletakkan tas kerjanya di atas kasur lalu masuk kamar mandi. Ia pun keluar dan kondisi tangan baju yang sudah dilipat."Kamu berendam dulu, ya, biar biar rileks!" pintanya lembut."Nanti aja, Bang." "Kalau nanti keburu ngantuk, lebih baik sekarang. Atau perlu Abang temenin?" Raut mukanya sontak berubah ketika ia mengucapkan kalimat terakhir. Aku pun tersenyum samar. Bang Fyan begitu baik, menyiapkan segala sesuatunya tanpa kuminta."Abang mau turun, mau bikin minuman hangat. Kamu mandi dulu, ya!" Pria itu pun mengusap lembut pundakku lalu berlalu tanpa berganti pakaian. Tuhan memberiku suami yang nyari sempurna. Tapi sejak awal aku sudah menulis namanya sebagai kakakku. Menyayanginya sebagai saudara. Seluruh hatiku sudah kuserahkan pada pria bernama Rey. Tidak mudah memang untuk mengubah keadaan itu jadi berubah 180 derajat. Selama beberapa tahun ini aku sudah berusaha memaksimalkan peranku sebagai seorang istri dan
Fyan meletakkan ponselnya ketika mendengar suara mobil berhenti tepat di depan rumahnya. Hari minggu ini pemuda berpostur tegap itu tidak kemana-mana. Selain karena harus menemani Ara mengerjakan skripsinya, ia juga mendapatkan kabar kalau teman dekat sewaktu kuliah dulu akan berkunjung ke sini. Hampir dua tahun Fyan tidak bertemu dengan Rey. Saat itu selepas kuliah, mereka sama-sama menjadi pekerjaan di sebuah perusahaan. Keduanya diterima meski bekerja di divisi yang berbeda. Baik Fyan maupun Rey, sebenarnya bisa saja bekerja di kantor orang tua masing-masing tanpa harus melalui tes atau perjuangan lainnya.Akan tetapi, keduanya bersikeras melamar pekerjaan di perusahaan orang lain dengan meninggalkan identitas orang tuanya sebagai pengusaha sukses. Ingin merasakan bagaimana susahnya mencari pekerjaan, keduanya pun akhirnya bekerja di perusahaan orang lain selama kurang lebih satu tahun. Setelah dirasa punya pengalaman yang cukup, keduanya akhirnya memutuskan kembali ke perusahaan o
Untuk beberapa saat, gadis itu hanya menatap ke arah Rey."Ditanya malah bengong!" Fyan mengibaskan telapak tangannya di depan wajah Ara lantaran melihat gadis itu tak bereaksi apapun."Eh, iya. Alhamdulillah baik. Bang Rey sendiri gimana?' jawab Ara dengan suara bergetar serta salah tingkah. Dalam hatinya merasa malu khawatir kalau Rey sadar dirinya gugup.Fyan mengalihkan pandangan. Melihat gadis itu salah tingkah, tiba-tiba ada rasa tidak enak dalam hatinya, meskipun dia belum tahu pasti penyebabnya."Alhamdulillah baik. Kalau nggak, mana bisa ke sini. Gimana kuliahnya, Ra?" Rey adalah pria yang pandai dalam hal komunikasi. Makanya ia bisa membaca situasi dan melanjutkan basa-basinya."Lagi pusing-pusingnya Bang, nyusun skripsi," sahut Ara sambil menunjuk layar laptop yang ada di hadapannya."Kan ada Fyan. Suruh aja dia yang ngerjain," lanjut Rey sembari menaikkan kedua alisnya, kemudian melirik ke arah Fyan yang tengah menghempaskan tubuhnya di sofa."Yang kuliah 'kan Ara. Masa g
"Berangkat sekarang?" tanya Fyan sambil melirik ke arah Rey. Raut wajah yang semula berubah jadi kembali tenang, lebih tepatnya berusaha dibuat tenang."Ayo. Lagian ini sudah memasuki jam makan siang. Kalau kita tidak gercep, pasti tidak akan kebagian tempat duduk." Melihat hal yang tidak biasa pada raut sahabatnya itu, Rey sontak bangkit. Dirinya semakin yakin kalau Fyan memang punya perasaan yang istimewa pada Ara.Keduanya lalu keluar setelah berpamitan pada Bunda. Sementara Ara tidak banyak bicara, gadis itu mengekor dua pemuda yang berjalan di depannya.Di dalam mobil pun, Ara tetap berdiam diri. Dia yang duduk di kursi belakang hanya menyimak obrolan dua pemuda di barisan depan.Rey kerap mengomentari tempat-tempat yang mereka lalui. Tempat di mana dulu dia dan Fyan menghabiskan waktu bersama sewaktu kuliah dulu. Ara jadi menyimpulkan, meski Fyan mengaku tidak bersahabat dengan Rey, tetapi yakin kalau keduanya cukup dekat terutama bagi Fyan yang sudah jelas tidak punya banyak t
"Kok, pada diem?" tanya Ara sambil menatap keduanya secara bergantian. Sadar kalau Ara menyadari, Rey pun mengusap tengkuknya perlahan sambil tersenyum miring."Kan lagi makan, masa sambil lari-lari," jawab Rey sambil tersenyum kaku. Kemudian ia melirik Fyan. Pemuda itu tidak ada tanda-tanda akan berbicara, dia asik mengaduk-aduk soto yang masih tersisa separuhnya.Ara mengangkat bahunya sambil duduk di tempat semula. "Ya bukan begitu juga, Bang. Maksudnya, 'kan biasanya kalian asik ngobrol," sahut Ara lagi sambil menggeser mangkok soto yang sama sekali belum disentuhnya keburu kebelet ke belakang."Kalau makan jangan sambil bicara. Habiskan sotomu, setelah itu kita pulang," ucap Fyan lembut sambil terus menyuap, pemuda itu sama sekali tidak mau melirik ke arah adik angkatnya."Lho, kok, buru-buru, Bang. Habis makan nggak jalan dulu, ya?" Ara menatap wajah pria di sampingnya, sementara tangannya masih sibuk mengaduk."Kamu 'kan lagi ngerjain skripsi, nanti kalau kita jalan, pulangny
"Ha--hallo ... assalamualaikum .... " Ara tidak bisa membunyikan kegugupannya. Suaranya terdengar bergetar begitu mengucap salam. "Waalaikumsalam, Ra. Abang kira Ara tidak mau menerima telepon dari Abang. Barusan Mama menyampaikan kabar bahagia itu. Makasih, ya." Suara renyah Fyan terdengar sangat familiar di telinga Ara. Seharusnya gadis itu rindu, tetapi entah kenapa saat ini Ara malah terkesan tidak suka. Bukan tidak suka orangnya, namun status mereka yang akan berubah. Itu yang membuat Ara gelisah. "Iya, Bang, tetapi ada syaratnya." "Katakan saja, apa yang harus Abang lakukan. Oh ya, apa kabar kamu, Ra?" Seperti biasa, Fyan selalu mengalah dan berusaha menurut apa yang Ara mau. "Ara baik, Bang. Eum .... ada baiknya kita ketemu, Bang. Kayaknya hal ini nggak bisa dibicarakan lewat telepon." Suara Ara tetap datar. "Eh, iya. Tentu saja kita harus ketemu, besok Abang jemput Ara di toko, ya." "Memangnya Abang tahu di mana toko Ara?" Gadis itu memicing. "Tahu, dong. Aban
Fyan sudah bisa menduga kalau tidak semudah itu Ara menerima perjodohan ini. Bahkan sebenarnya Fyan juga sudah siap jika gadis itu menolak. Meski demikian, kabar dari Mama cukup membuat Fyan mematung beberapa saat.Kecewa. Tentu saja.Hal inilah yang ia takutkan sejak dulu. Empat tahun yang lalu, saat ia merasa ada perasaan lain pada gadis itu. Perasaan lebih dari sekedar sahabat dan seorang kakak. Yang pada akhirnya Fyan harus kehilangan Ara saat gadis itu jatuh ke tangan Rey. "Kamu Jangan berkecil hati, Nak. Mama dan Papa akan terus meyakinkan Ara.""Jangan dipaksakan, Ma. Sesuatu yang terpaksa itu tidak akan baik nantinya. Fyan ingin Ara menerima ini dengan kesadaran penuh dan tanpa paksaan.""Tenang saja, ya. Mama dan Papa tahu kok, harus bagaimana.""Terima kasih, Ma. Kalau begitu izinkan Fyan bertemu dengan Ara, biar Fyan yang menjelaskan padanya.""Sabar dulu, ya, Nak. Tidak secepat itu, nanti setelah Ara bisa ditemui malah akan kabarin, kok."Panggilan terakhir, Fyan meletakk
Pulang dari bertemu dengan mama dan papanya Ara, Fyan merasa lega mendengar kabar gadis itu masih sendiri. Berarti ia mempunyai kesempatan untuk mewujudkan harapannya. Senyum tak lepas dari bibirnya, sepanjang perjalanan Fyan bersenandung kecil. Dunia yang sempat terasa sempit kini kembali melebar. Fyan berharap, semoga saja Ara menyetujui rencana mama dan papanya. Gadis itu pasti kecewa kepada Rey. Semoga kehadiran Fyan kembali akan membuka hatinya dan menjadi pelipur dukanya. Hari itu Fyan tidak kembali ke kantor. Ia mengirim pesan pada sekretarisnya untuk menghandle beberapa pekerjaan. Pemuda itu langsung pulang ke rumah lantaran ingin segera berbaring dan merayakan kebahagiaannya sendiri.Hal yang pertama Fyan lakukan setelah sampai di rumah adalah mencari media sosial Rey. Ia ingin bertanya pada sahabatnya itu kenapa sampai hati melakukan ini pada Ara.Terakhir kali Fyan berkomunikasi dengan Rey entah berapa tahun yang lalu. Kalau tidak salah tak lama setelah dia berada di Sura
Sudah hampir dua bulan Fyan tinggal di kota Bandung. Hari demi hari ia lalui sangat membosankan. Kegiatannya hanya ke kantor dan di rumah. Fyan termasuk orang yang tidak suka keluyuran atau nongkrong tidak jelas. Sesekali menginap di rumah Shafia jika Fyan sedang ingin makan makanan rumahan. Setiap hari makan di restoran memang tidak enak. Mau masak di rumah rasanya tidak seru kalau dimakan sendirian.Shafia pernah menyarankan supaya Fyan mencari seorang ART, tetapi sang adik tidak mau. Untuk bersih-bersih rumah, Fyan bisa mengerjakannya sendiri. Bukankah sekarang sudah banyak alat yang membantu. Pakaian dicuci di laundry. Selain rumah Shafia, hari minggu biasanya Fyan berkunjung rumah yang baru saja ia beli untuk melihat pembangunan yang sudah hampir selesai. Membayangkan suatu saat ia tinggal di sini bersama keluarga kecilnya. Bahagia dengan seorang istri dan mereka saling menyayangi. Lagi-lagi wajah Ara yang muncul ketika Fyan membayangkan masa depan.Selam dua bulan tinggal di B
Satu bulan setelah pernikahan Ajeng dan Pras dilaksanakan. Tepatnya satu bulan setengah setelah Ayah meminta Fyan pindah ke Bandung. Namun belum ada tanda-tanda pemuda itu bersiap-siap untuk pergi ke kota tersebut. Ayah dan Bunda pun belum membahasnya lagi sejak pembicaraan saat itu. Fyan sendiri bukan lupa kalau saat itu dirinya mengiyakan permintaan Ayah. Namun dirinya masih menimbang dan ragu untuk kembali ke kota itu. Meski jujur saja, dalam hatinya penasaran dengan kabar Ara, namun dia masih tetap tidak punya keberanian untuk mencari tahu tentang gadis itu. Malam ini, Ayah dan Bunda kembali membahas hal itu selepas mereka makan malam. "Sudah hampir dua bulan lho, Nak? Jadi mau kapan?" Bunda membuka pembicaraan dengan sebuah pertanyaan."Sebentar lagi, Bun. Ada pembangunan yang belum selesai di panti asuhan. Lagi pula Ajeng dan Pras masih pengantin baru.""Sudah satu bulan menikah, harusnya Ajeng dan Pras sudah kembali aktif. Bulan madu kan bisa kapan-kapan. Kakakmu kemarin sud
"Bagaimana kabar tokonya Ara?" tanya bunda setelah beberapa menit berbasa-basi sekedar bertanya kabar. Pertanyaan itu pun masih bagian dari basa-basi. Terakhir Bunda mendengar kabar kalau Ara membuka usaha toko di ruko yang tidak jauh dari taman flamboyan."Alhamdulillah, Jeng. Karena ditekuni, usahanya semakin lancar bahkan sekarang menerima pesanan lewat online. Ara juga kelihatannya semakin dewasa tidak manja lagi seperti dulu." Terdengar tawa kecil dari seberang telepon. Bunda membayangkan gadis kecil itu sekarang sudah berubah menjadi wanita dewasa. Gadis kecil yang dulu selalu tampil dengan rambut dikuncir satu di belakang yang kerap merengek manja memintanya membuatkan sesuatu tatkala dirinya sedang di dapur."Saya sebenarnya sangat kangen sama Ara. Tapi, kok, nomornya tidak aktif, ya." "Sepertinya Ara ganti nomor, Jeng. Kalau begitu, nanti saya kirim nomor baru Ara.""Ndak usah, Jeng. Ara sekarang sibuk di tokonya, takut mengganggu waktunya. Mendengar dia sehat dan baik-baik
"Hah?! Willy?!"Seketika mama dan papa menatap Ara penuh tanya ketika mendengar anak keduanya itu seperti kaget."Kenapa? Ara kenal?" Mama tak bisa menahan rasa penasarannya."Eum ... anu .... " Ara berusaha menyembunyikannya kagetnya."Atau ... jangan-jangan kalian sudah ...." Mama tersenyum sambil menatap tajam ke arah putrinya, kemudian ia beralih pada suaminya. Berharap kalau Ara dan Willy sudah saling kenal atau bahkan sering berkomunikasi. Itu sebabnya Tuan Markus membahas mereka."Ara pernah dengar nama itu sewaktu kuliah dulu. Kayaknya dia kakak tingkat Ara. Tetapi .... " Ara memutuskan untuk tidak memberitahu Mama dan Papa perihal pertemuannya dengan Willy beberapa hari yang lalu."Tetapi apa?" Lagi, Mama antusias mengajukan pertanyaan. Perempuan itu semakin berharap."Tetapi ... dulu dikenal sebagai mahasiswa yang suka gonta-ganti pacar." Ara melirik Mama yang nampak sedikit kaget.Mama menghempaskan bagian belakang tubuhnya kesadaran kursi. Sesungguhnya ini jawaban yang ti
Usaha yang dijalankan Ara bersama Maya berjalan lancar. Selain melayani pembeli langsung, mereka juga menyediakan layanan online yang lebih dari separuhnya pendapatan mereka berasal dari penjualan online ini. Pelanggannya pun tidak terbatas dari dalam kota saja. Tetapi merambah ke luar kota, bahkan luar provinsi. Modal yang Ara pinjam dari Papa juga sudah dikembalikan. Sebenarnya Papa menolak, tetapi Ara bersikeras. Atas bantuan Mama, akhirnya Papa mengalah. Aktivitas yang cukup menyita waktunya ini berhasil mengalihkan pikiran Ara dari Rey. Pemuda yang ditunggunya selama hampir 3 tahun itu memang sempat membuat hari-hari gadis yang sekarang mantap berhijab itu terasa menyakitkan. Beruntung ada Maya juga mama dan papa yang selalu memberikan dukungan hingga ia bisa berhasil melewati masa-masa sulitnya. Meskipun tidak jarang Ara teringat pada pemuda itu, namun kembali ia menyibukkan diri pada pekerjaannya.Hidup sederhana yang dijalankan oleh Ara membuat ia benar-benar mandiri. Ia p
"Sorry, bukannya kasar ... "Fyan mengangkat tangan tanda tidak ada masalah."Priska, kayak dia gak cocok jadi calon suami lu." Pria itu beralih menatap Priska. "Sorry bro, saya bukan calon suaminya." Fyan menegaskan sekali lagi."Priska bilang lu calon suaminya. Kalian korban perjodohan. Hahaha. Harusnya Priska mendapatkan pendamping hidup yang sesuai dengannya." Pria itu tertawa dengan nada mengejek. "Sudah dibilang saya bukan calon suaminya. Saya hanya teman lama yang baru ketemu lagi tadi siang." Fyan merasa tidak enak mendengar pria itu berkata dengan nada tinggi."Sudah, jangan berdebat. Jadi kamu cuma mau mempermainkan aku, Fyan?!" Sekarang giliran Priska yang berkata dengan nada tak kalah tinggi.Fyan mengalihkan pandangan sejenak. Memang susah kalau ngobrol dengan orang dalam keadaan setengah sadar."Mempermainkan apa, Priska?" "Kita sudah dijodohkan tapi kamu bilang bukan calon suamiku?!" Priska menunjuk wajah Fyan, sungguh tidak ada sopan santun."Tidak ada perjodohan di