Langit senja perlahan meredup, membiarkan cahaya jingga yang tersisa melebur ke dalam gelap. Lampu-lampu kota mulai menyala, membias di atas aspal yang masih basah oleh sisa hujan.
Udara malam membawa aroma tanah lembap yang bercampur dengan wangi kopi dari warung kecil di sudut jalan, menghangatkan atmosfer di tengah dinginnya angin yang berembus perlahan.
Namun bagi Amara, tak ada kehangatan di sana.
Langkahnya pelan di trotoar, menyusuri jalan tanpa tujuan. Hanya membiarkan kakinya bergerak, berharap pikirannya bisa terbawa pergi bersama angin malam. Tapi semakin jauh ia melangkah, semakin erat bayangan Laksha mencengkeramnya.
Ia masih bisa melihat pria itu dengan jelas di benaknya—berdiri di depan pintu rumah Reza, tubuhnya kuyup, rambutnya basah menempel di dahi. Rahangnya mengeras, napasnya sedikit memburu. Tapi yang paling tak bisa Amara lupakan adalah tatapan itu.
Mata gelap yang menyimpan begitu banyak hal yang tak terucapkan.
Langit senja menyelimuti Jakarta dengan gradasi jingga yang perlahan meredup, seolah mencair ke dalam gelapnya malam. Gedung-gedung tinggi berdiri membisu, jendela-jendelanya berpendar oleh cahaya lampu, menciptakan pantulan samar di aspal yang masih menyisakan panas siang tadi.Di sebuah balkon apartemen di lantai tinggi, Laksha berdiri membatu, kedua tangannya bertumpu pada pagar besi hitam yang dingin. Angin sore mengacak rambutnya, menelusup ke dalam kemeja yang tak lagi rapi.Di genggamannya, segelas whiskey hanya tersentuh setengahnya, cairan amber itu berpendar samar di bawah cahaya lampu balkon.Matanya kosong, menatap lalu lintas yang tak pernah berhenti, tetapi pikirannya melayang jauh—terjebak pada satu nama yang tak kunjung pergi dari benaknya.Amara.Sejak kepergiannya tiga minggu lalu, apartemen ini seperti kehilangan nyawanya. Sunyi. Dingin. Sepi. Laksha tak pernah benar-benar peduli pada kesepian sebelumnya—selalu merasa
Hujan menari pelan di balik kaca jendela, menciptakan irama samar yang menyusup ke dalam kamar Amara. Udara malam yang lembap berembus melalui celah sempit, membawa serta aroma tanah basah yang bercampur dengan bau buku-buku tua yang memenuhi rak kayunya.Cahaya lampu meja berpendar lembut, membentuk bayangan samar di dinding, seakan ikut menyimpan rahasia yang berat di dada.Di tangannya, selembar kertas lusuh tergenggam erat—sebuah surat yang tepinya mulai lecek karena terlalu sering dilipat dan dibuka. Jemarinya terus meraba permukaannya, seolah berharap menemukan jawaban di antara serat kertas yang tipis.Ia telah membaca surat itu berulang kali, setiap katanya terpatri di benaknya seperti ukiran yang tak bisa dihapus. Tulisan tangan itu begitu familiar—goresan khas yang selama ini lebih sering ia temui dalam dokumen-dokumen bisnis, laporan rapat, kontrak kerja.Selalu tegas, selalu tanpa cela. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Gor
Gemerlap lampu kristal di ballroom hotel itu menari-nari di atas permukaan marmer, menciptakan kilauan yang berpendar seperti bintang jatuh.Aroma sampanye dan parfum mahal bercampur dengan nada lembut musik jazz yang mengalun dari sudut ruangan, melukiskan kemewahan yang hampir terasa asing bagi Amara.Ia berdiri di salah satu sisi ruangan, setengah tersembunyi di balik pilar berukir. Jemarinya menggenggam gelas anggur yang dinginnya merambat ke kulit, tapi isinya masih utuh. Gaun satin biru tua membalut tubuhnya dengan sempurna, mengikuti lekuknya dengan anggun.Rambutnya disanggul sederhana, hanya beberapa helai yang lolos dan jatuh di sisi wajahnya—membingkainya dengan lembut. Dari luar, ia mungkin tampak seperti bagian dari dunia ini: elegan, tenang, tak tersentuh.Tapi di balik raut wajah yang tampak terkendali, jantungnya berdebar kencang.Bukan karena gemerlap pesta.Bukan karena tatapan tamu-tamu yang sesekali meliriknya denga
Langkah Laksha terasa berat. Bukan karena lantai marmer ballroom yang licin atau kerumunan tamu yang bergerak anggun di antara kelopak gaun dan percakapan samar. Bukan pula karena dentingan gelas sampanye yang beradu di udara, menambah riuh malam yang dipenuhi tawa dan basa-basi.Beban itu datang dari sesuatu yang lebih dalam, lebih sunyi—ketakutan yang selama ini tak pernah ia akui.Ketakutan bahwa Amara akan menolaknya. Namun, ketika matanya kembali menemukan sosok itu, segalanya seakan berhenti. Amara berdiri di sana, dalam balutan gaun biru tua yang mengalir lembut di tubuhnya, seperti lautan yang tenang sebelum badai.Cahaya lampu kristal yang menggantung di langit-langit ballroom memantulkan kilau samar di kulitnya, menciptakan bayangan tipis di sepanjang lekuk wajahnya. Ia begitu nyata, begitu dekat, tetapi terasa seperti dunia yang tak lagi bisa dijangkau. Amara menatapnya, tetapi tidak bergerak.
Angin malam membelai wajah Amara dengan lembut, menyelusup di antara helaian rambutnya yang tergerai, membawa aroma aspal basah dan sisa hujan yang masih melekat di jalanan.Ia berdiri di balkon, memeluk dirinya sendiri dalam diam, seolah-olah itu satu-satunya cara untuk menahan sesuatu yang perlahan-lahan menggerogoti hatinya.Di bawah sana, Jakarta berkelip dalam jutaan cahaya. Gedung-gedung tinggi berdiri angkuh, jendela-jendelanya memantulkan kilau lampu jalan, sementara kendaraan mengalir tanpa henti, mengisi udara dengan dengung mesin dan klakson yang samar terdengar dari kejauhan.Kota ini selalu hidup, tapi malam ini, bagi Amara, semuanya terasa sunyi.Ia menarik napas dalam, membiarkan udara malam mengisi paru-parunya sebelum mengembuskannya perlahan. Tapi tetap saja, ada sesuatu yang mengganjal di dadanya—sesuatu yang tak bisa ia hembuskan begitu saja.Mimpi-mimpinya.Dulu, segala sesuatunya jelas. Ia tahu apa yang ia kejar,
Pagi itu, sinar matahari menyelinap lembut melalui jendela besar kafe, menari di permukaan meja kayu tempat Amara duduk.Secangkir cappuccino di depannya telah kehilangan uap hangatnya, dan di sebelahnya, selembar brosur lusuh terlipat di beberapa sudut—jejak dari jari-jarinya yang tak henti meremas dan merapikannya kembali."Beasiswa Pascasarjana – Program Studi Bisnis dan Manajemen, Universitas Leiden, Belanda."Matanya menelusuri kata-kata itu berulang kali, seolah jawaban yang ia cari tersembunyi di antara baris-baris huruf. Dulu, ia tak pernah ragu mengejar impiannya. Namun kini, ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang membuat langkahnya terasa lebih berat dari yang seharusnya.Di dalam kepalanya, suara kecil terus berbisik: Kalau kamu pergi, apakah semuanya akan berubah?Sebuah gesekan kursi mendadak memecah lamunannya.Amara mengangkat kepala dan mendapati Laksha sudah duduk di hadapannya.Pria itu tampak berbeda
Malam turun perlahan, menyelimuti Jakarta dalam pijar lampu-lampu jalan yang berkedip seperti bintang jatuh. Dari balik jendela taksi, Amara menatap pantulan cahaya di kaca, berpendar seiring lalu lintas yang tak pernah benar-benar tidur.Bayangan gedung-gedung tinggi berkelebat, tapi pikirannya melayang jauh, tenggelam dalam pusaran tanya yang tak kunjung menemukan jawaban.Di pangkuannya, secarik kertas terlipat rapi. Sebuah alamat."Ada sesuatu yang mau aku tunjukkan."Itu satu-satunya pesan dari Laksha sejak pertemuan mereka sore tadi di kafe. Tanpa penjelasan, tanpa petunjuk. Hanya kalimat singkat yang menggantung di benaknya selama berjam-jam, membuatnya ragu—dan entah bagaimana, tetap memutuskan untuk datang.Ketika taksi melambat dan akhirnya berhenti, Amara mengangkat wajah. Di hadapannya, berdiri sebuah bangunan tua, berbeda dari hiruk-pikuk kota yang selalu bergerak. Dinding putihnya sedikit pudar, menampakkan jejak waktu.J
Langit Jakarta sore itu menyelimuti kota dengan warna jingga yang lembut, seperti pelukannya pada setiap sudut yang terpapar cahaya. Di sepanjang koridor hotel mewah, bayangan panjang para tamu melintasi lantai yang dipoles mengilap, menciptakan ilusi gerak yang tak berujung.Suara tawa ringan, obrolan serius, dan gemericik gelas sampanye berpadu menjadi simfoni yang hampir memabukkan.Di dalam ballroom yang megah, semua orang seolah terjebak dalam permainan sosial—senyum-senyum licik, tatapan penuh perhitungan—di mana setiap gerakan, kata, dan sikap dipilih dengan hati-hati, seolah segala sesuatunya harus tampak sempurna.Di antara kerumunan itu, Amara berdiri sendirian di sudut ruangan, matanya menatap kosong pada gelas mocktail yang mulai mencair di tangannya. Ujung-ujung es yang perlahan runtuh menambah perasaan dingin yang merayap di hatinya.Ia tidak suka berada di sini. Acara seperti ini selalu terasa seperti permainan yang harus diikut
Langit sore Jakarta berpendar lembut, mewarnai kaca-kaca gedung tinggi dengan semburat jingga yang temaram.Sinar matahari yang mulai meredup memantul di trotoar basah sisa hujan siang tadi, meninggalkan aroma tanah yang samar bercampur dengan wangi kopi yang menguar dari sebuah kafe kecil di sudut kota.Angin sore berembus masuk lewat pintu yang sesekali terbuka, membawa serta aroma roti panggang yang baru keluar dari oven. Di salah satu sudut kafe, Amara duduk diam. Jemarinya melingkari cangkir kopi yang sudah mulai kehilangan hangatnya, tapi ia tidak berniat menyesapnya. Matanya tertuju ke permukaan cairan hitam itu, bukan karena tertarik, melainkan karena pikirannya terlalu berisik untuk memikirkan hal lain.Seolah-olah, jika ia menatap cukup lama, ia bisa menemukan jawaban di sana—atau setidaknya, sedikit ketenangan. Di hadapannya, Reza duduk dengan postur santai. Satu tangannya memegang cangkir, sementara yang lain bertump
Amara tidak pernah membayangkan momen ini akan terjadi. Ia berdiri di ambang pintu apartemen kecil yang kini ia tinggali bersama Laksha, jantungnya berdebar tidak menentu saat melihat sosok Indira Wijanarko berdiri di hadapannya. Wanita itu tampak seperti selalu—anggun, dengan blouse berwarna gading yang membalut tubuhnya sempurna, serta coat panjang yang jatuh elegan di bahunya. Aroma lembut parfum mahalnya menguar di udara, mengingatkan Amara pada malam-malam gala dan ruang-ruang pertemuan yang dingin.Indira Wijanarko selalu tampil berwibawa, seolah mengendalikan setiap detail kehidupan di sekelilingnya. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Matanya tidak lagi setajam biasanya. Tidak ada tatapan dingin yang menusuk atau garis-garis ketegangan di wajahnya. Sebaliknya, ada sesuatu yang lebih lembut di sana—atau mungkin… keraguan yang nyaris tak kasatmata. "Indira?" suara Amara nyaris seperti bisika
Suara hujan mengetuk jendela kecil di ruang belajar Amara, ritmenya tak beraturan namun menenangkan. Udara Jakarta malam itu lebih sejuk dari biasanya, membawa aroma tanah basah yang samar-samar menyusup dari celah pintu balkon.Di dalam ruangan sempit yang dipenuhi buku-buku, cahaya lampu meja menerangi tumpukan kertas yang berserakan, bayangannya jatuh tak beraturan di permukaan kayu yang masih kasar.Amara duduk di tengah kekacauan itu, wajahnya nyaris tenggelam di balik buku tebal yang terbuka di depannya. Mata bulatnya menelusuri barisan kata-kata yang terasa seperti labirin, sesekali alisnya bertaut, bibirnya sedikit mengerucut.Ujung bolpoin tergigit di antara giginya, kebiasaan lama yang selalu muncul saat pikirannya berusaha memahami sesuatu yang sulit.Beberapa menit berlalu tanpa hasil. Ia menghela napas panjang, meletakkan bolpoin, lalu memijat pelipisnya dengan lelah."Kenapa hukum bisnis ini kayak bahasa alien, sih?" gumamnya, frustra
Langit Jakarta masih bergelayut kelabu, seakan enggan melepaskan sisa-sisa embun yang menggantung di udara.Laksha berdiri diam di trotoar yang lembap, matanya terpaku pada bangunan kecil di depannya—sebuah ruko tua dua lantai dengan cat yang mulai mengelupas, jendela berdebu, dan papan nama yang masih kosong. Bangunan itu tidak megah. Tidak ada lobi luas dengan resepsionis berseragam rapi, tidak ada lantai marmer yang mengilap, tidak ada ruang rapat penuh lelaki berjas mahal seperti yang biasa ia temui di Wijanarko Enterprise.Ini jauh dari dunia yang dulu ia kenal. Jemarinya mencengkeram erat map cokelat di tangannya, berisi cetak biru mimpinya yang kini terasa lebih nyata daripada sebelumnya.Napasnya terasa berat, bukan hanya karena udara pagi yang masih menyimpan sisa dingin malam, tapi juga karena kesadaran bahwa untuk pertama kalinya, ia harus membangun segalanya dari nol. "Kamu yakin ini tempat yang cocok?"
Udara di ruang kerja Aditya Wijanarko terasa lebih berat dari biasanya, seakan beban tak kasatmata menggantung di antara dinding-dinding kayu mahoni yang megah. Dari jendela besar di belakang meja kerjanya, langit kelabu terbentang muram, mendung seolah mencerminkan suasana hati di dalam ruangan.Aroma kayu tua yang dipernis halus bercampur dengan wangi kopi hitam yang sudah mulai mendingin, menambah kesan tegang yang memenuhi udara.Laksha berdiri tegak di hadapan ayahnya. Bahunya lurus, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh, namun wajahnya tetap datar—tenang, seperti permukaan air yang menyembunyikan pusaran di bawahnya. Hanya sorot matanya yang mengisyaratkan keteguhan, ketegangan yang tak bisa diabaikan.Di belakangnya, Amara berdiri sedikit lebih dekat daripada yang ia sadari. Jari-jarinya saling bertaut erat di pangkuan, dan ia bisa merasakan denyut jantungnya sendiri yang berdegup lebih cepat dari seharusnya.Matanya bergantian menatap pungg
Langit sore di Jakarta membentang dalam semburat jingga keemasan, menyapu gedung-gedung tinggi dengan cahaya hangat yang berpendar pelan. Dari balkon apartemen lantai dua puluh, kota tampak seperti lautan lampu yang mulai menyala perlahan, bersiap menyambut malam.Udara masih menyisakan jejak panas siang yang menyengat, tetapi angin yang bertiup lembut membawa sejuk yang samar—seakan membisikkan ketenangan yang tak sepenuhnya nyata. Amara berdiri di tepi balkon, kedua tangannya melingkari cangkir teh yang kini hanya tersisa kehangatan tipis. Uapnya sudah menghilang, seperti perasaannya yang perlahan menguap entah ke mana.Matanya menatap kosong ke jalanan di bawah sana, tempat kendaraan berseliweran tanpa henti, membentuk arus kehidupan yang tak peduli pada kegelisahan seseorang di atas sana. Namun, pikirannya melayang jauh, tersesat di pusaran dilema yang tak mudah terurai. Di dalam, Laksha duduk bersandar di sofa, matanya terpejam, s
Sorotan lampu kamera kembali menyinari wajah Laksha Wijanarko, membingkai garis rahangnya yang tegas dan sorot matanya yang tak lagi menyimpan keraguan. Namun kali ini, ia berdiri bukan sebagai pewaris kerajaan bisnis atau tokoh yang dipuja karena kejeniusannya dalam dunia korporasi.Tidak. Hari ini, ia berdiri sebagai seorang pria yang memilih untuk mencintai—tanpa syarat, tanpa perhitungan, tanpa kepura-puraan. Di belakangnya, logo Wijanarko Group terpampang megah, membayangi sosoknya seperti monumen kekuasaan yang telah ia sandang sepanjang hidup. Ruangan luas itu dipenuhi barisan wartawan yang duduk rapi, mata mereka tajam, penuh antisipasi.Mikrofon-mikrofon di depan Laksha berbaris seperti sekumpulan saksi yang siap merekam setiap kata yang akan mengubah narasi hidupnya. Namun di antara semua mata yang tertuju padanya, hanya ada satu pasang yang lebih berarti daripada yang lain. Amara. Ia duduk di bari
Amara menyandarkan punggungnya pada kursi, kedua tangannya bersilang di dada. Tatapannya tajam, menusuk ke arah perempuan di seberangnya. “Jadi, biar aku mengerti. Kau ingin aku meninggalkan Laksha karena kau masih terobsesi padanya?” Lidya tersenyum tipis, bibirnya melengkung dengan keangkuhan yang dingin. “Aku hanya ingin menyelamatkan dia dari seseorang sepertimu.” Amara tertawa pelan, tapi tak ada kehangatan di sana. Sebuah tawa yang lebih mirip cerminan ketidakpercayaan. “Kau benar-benar ingin menyelamatkan dia,” katanya, suaranya nyaris seperti bisikan, “atau kau hanya tidak bisa menerima kenyataan bahwa dia memilihku?” Sorot mata Lidya sedikit berubah, sekilas ketegangan melintas di sana, tapi ia dengan cepat menyembunyikannya di balik ekspresi wajah yang tetap datar. “Percaya atau tidak,” lanjut Amara, suaranya kini lebih stabil, lebih kokoh, “aku sudah m
Kafe di sudut kota itu terasa lebih sepi dari biasanya. Di luar, hujan rintik-rintik mengguyur trotoar, menciptakan genangan yang memantulkan cahaya dari lampu jalan. Butiran air yang menempel di jendela kaca membentuk pola acak, perlahan meluncur ke bawah seolah enggan melepaskan diri.Di dalam, suasana temaram, hangat oleh cahaya keemasan dari lampu gantung yang bergelayut rendah, membentuk bayangan lembut di atas meja marmer.Aroma kopi yang pekat bercampur dengan jejak samar kayu cendana memenuhi udara, menciptakan kehangatan yang menenangkan—setidaknya bagi siapa pun selain Amara.Ia duduk tegak, punggungnya tidak bersandar, seolah setiap otot di tubuhnya bersiaga. Jemarinya saling bertaut di pangkuan, tetapi tidak cukup erat untuk terlihat gugup—hanya cukup untuk menjaga ketenangan.Matanya, tajam dan penuh kewaspadaan, terpaku pada wanita di hadapannya.Lidya Pramesti.Wanita itu bersandar di kursinya dengan sikap angkuh,