Home / Rumah Tangga / Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova / Bab 100: Sentuhan Tanpa Kata

Share

Bab 100: Sentuhan Tanpa Kata

Author: Rizki Adinda
last update Last Updated: 2025-03-30 15:30:05

Langit Jakarta sore itu menyelimuti kota dengan warna jingga yang lembut, seperti pelukannya pada setiap sudut yang terpapar cahaya. Di sepanjang koridor hotel mewah, bayangan panjang para tamu melintasi lantai yang dipoles mengilap, menciptakan ilusi gerak yang tak berujung.

Suara tawa ringan, obrolan serius, dan gemericik gelas sampanye berpadu menjadi simfoni yang hampir memabukkan.

Di dalam ballroom yang megah, semua orang seolah terjebak dalam permainan sosial—senyum-senyum licik, tatapan penuh perhitungan—di mana setiap gerakan, kata, dan sikap dipilih dengan hati-hati, seolah segala sesuatunya harus tampak sempurna.

Di antara kerumunan itu, Amara berdiri sendirian di sudut ruangan, matanya menatap kosong pada gelas mocktail yang mulai mencair di tangannya. Ujung-ujung es yang perlahan runtuh menambah perasaan dingin yang merayap di hatinya.

Ia tidak suka berada di sini. Acara seperti ini selalu terasa seperti permainan yang harus diikut

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 101: Malam yang Memilih Kembali

    Langit malam menggantung dengan tenang di atas Jakarta, seolah menyelimuti kota yang sibuk dengan kilauan lampu-lampu kecil yang berkerlap-kerlip, seakan mimpi yang terjerat di celah-celah kegelapan.Bintang-bintang, yang samar dan tersembunyi di balik pendar cahaya itu, berbisik pelan, memberi ruang bagi keheningan malam yang memeluk segala yang ada di bawahnya.Amara berdiri di depan pintu apartemen Laksha, jemarinya menggenggam erat tali tas tangan, seolah mencari pegangan di tengah kegelisahannya. Udara malam terasa lembap dan hangat, meskipun hatinya berdetak lebih cepat dari biasanya.Rasanya, segala sesuatu di sekitarnya berputar lebih cepat, menariknya ke titik ini—ke titik di mana ia harus memilih apakah akan melangkah maju atau mundur lagi.Ia sudah pernah berdiri di sini sebelumnya, beberapa kali, dengan perasaan yang berbeda-beda. Dulu, ada keraguan yang terus menggerogoti setiap langkahnya, ada amarah yang tersimpan rapat di dadanya, ad

    Last Updated : 2025-03-31
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 102: Cinta yang Mulai Tumbuh

    Pagi merayap perlahan ke dalam apartemen Laksha, menyapa ruangannya dengan cara yang lembut. Cahaya matahari yang temaram menerobos tirai putih yang menggantung, melukis pola-pola keemasan di atas lantai kayu yang mengilap.Ruangan itu terasa hangat, meskipun udara pagi masih menyisakan kesegaran semalam. Aroma kopi yang baru diseduh menyebar memenuhi udara, bersaing dengan sisa-sisa kehangatan dari malam yang belum sepenuhnya hilang.Di dapur, Amara duduk dengan santai di kursi kayu, mengenakan kaus longgar milik Laksha yang terasa kebesaran di tubuhnya. Rambutnya yang acak-acakan tidak tampak mengganggu, justru memberi kesan santai yang jarang ia tunjukkan.Wajahnya, meski terlihat lelah, dipenuhi ketenangan yang begitu asing baginya. Di depannya, secangkir teh yang sudah setengah dingin tergeletak di atas meja, tidak lagi menarik perhatian.Amara memperhatikan Laksha yang sedang berdiri dekat meja dapur, tubuhnya yang tegap tampak lebih ringan tanpa se

    Last Updated : 2025-03-31
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 103: Luka yang Tak Pernah Sembuh

    Hujan turun tipis, menari di atas kaca jendela apartemen, membentuk pola-pola acak yang memudar seiring waktu. Di luar sana, Jakarta tetap terjaga—lampu kendaraan berpendar di jalanan basah, menciptakan pantulan berkilauan di aspal yang licin.Suara klakson dan gemuruh kendaraan samar terdengar menembus dinding, tapi di dalam ruangan ini, dunia terasa lebih kecil. Lebih sunyi. Lebih berat.Laksha duduk di sofa panjang berwarna abu-abu, tubuhnya sedikit membungkuk ke depan. Kedua sikunya bertumpu pada lutut, jemarinya saling bertaut, seolah menggenggam sesuatu yang tak kasat mata—sesuatu yang rapuh dan nyaris lepas dari genggamannya.Matanya terpaku pada satu titik di lantai, kosong. Bukan karena ia tidak peduli, tetapi karena pikirannya sedang mengembara ke tempat lain. Ke suatu sudut dalam hidupnya yang mungkin sudah lama ia hindari.Di dekatnya, Amara berdiri dalam diam, memeluk cangkir teh yang masih mengepul di tangannya. Kehangatannya ter

    Last Updated : 2025-04-01
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 104: Luka yang Tak Bernama

    Hujan telah reda, tapi sisa rinainya masih melekat di kaca jendela, membentuk garis-garis transparan yang perlahan memudar. Uap tipis masih menggantung di udara, mengaburkan cahaya kota yang berpendar di kejauhan, membuat lampu-lampu gedung terlihat seperti lukisan cat air yang hampir luntur.Malam semakin larut, namun tak satu pun dari mereka beranjak. Seolah waktu berhenti di ruangan itu, membiarkan mereka terperangkap dalam keheningan yang menggantung di antara embusan napas.Amara masih duduk di sofa, kedua tangannya saling meremas di pangkuan. Telapak tangannya terasa dingin, bukan hanya karena sisa udara hujan, tetapi juga karena pikirannya yang masih berusaha mencerna kata-kata Laksha barusan.Radit.Nama itu terasa berat di lidahnya, meski ia hanya mengucapkannya dalam hati. Nama yang membawa kembali luka yang tak pernah benar-benar sembuh. Luka yang selama ini ternyata bukan hanya miliknya, tetapi juga milik pria di hadapannya.

    Last Updated : 2025-04-01
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 1: Jakarta Tak Pernah Ramah

    TIN! Bunyi klakson bertalu-talu bercampur dengan suara hujan yang menghantam atap halte bus. Jakarta di sore hari adalah ladang peperangan bagi siapa pun yang tidak cukup beruntung untuk memiliki kendaraan pribadi atau sopir pribadi.Di trotoar yang becek, Amara Larasati melangkah cepat, menghindari genangan air yang terbentuk di lubang-lubang aspal yang tak terurus. Jaket tipis yang dikenakannya sudah nyaris basah oleh gerimis, dan sepatu ketsnya yang sudah agak usang pun tak bisa lagi menahan air yang mulai meresap ke kaus kakinya.Amara sontak mempercepat langkah, melewati deretan warung kaki lima yang menjajakan gorengan, sate, dan mi instan. Perutnya berontak, mengingatkan bahwa dia belum makan sejak siang tadi, tapi dia hanya merogoh kantong celananya dan merasakan sisa uang kertas yang tak seberapa.Bukan saatnya membeli makan, pikirnya.Amara pun menyibak rambut hitam panjangnya yang mulai lengket di tengkuk karena keringat, lalu mengangkat ponsel untuk mengecek waktu. S

    Last Updated : 2025-02-03
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 2: Pertemuan di Tengah Hiruk Pikuk

    "Sabar," ucap Amara tanpa mengangkat kepala. "Minuman lo nggak akan kemana-mana kok."Pria itu terkekeh, tapi Amara telah beralih ke pesanan berikutnya.Baginya, malam itu hanya rutinitas biasa. Wajah-wajah yang datang dan pergi, percakapan-percakapan yang fana dan tak perlu diingat.Semuanya serupa.Namun, mata Amara tertarik pada sosok pria yang baru saja memasuki klub.Auranya dominan, seolah ia membelah keramaian dan mengubah atmosfer sekitarnya. Langkahnya percaya diri, nyaris arogan, seolah ruangan ini adalah miliknya.Setelan mahalnya memeluk tubuh tegap dengan sempurna, kancing atas dibiarkan terbuka, sedikit menampilkan kulit lehernya yang terkena cahaya.Laksha Wijanarko.Nama itu bukan nama asing di telinga Amara, seringkali terdengar dari obrolan para pengunjung. Pewaris tunggal Wijanarko Group, konglomerat muda dengan reputasi secerah rekening banknya—seorang playboy yang dikelilingi oleh wanita-wanita cantik dan pesta-pesta eksklusif.Malam itu, dia hanya berdiri beberap

    Last Updated : 2025-02-03
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 3: Tawaran Gila

    Laksha tersenyum, sebuah senyum yang lebih mengundang tanya daripada memberi jawaban. “Nggak tahu,” ujarnya seraya mengangkat gelasnya, memainkan whiskey di dalamnya sebelum meneguknya sampai habis. “Aku cuma penasaran.”“Penasaran apa?” Amara mempertahankan nada datarnya, meskipun di dalam hatinya, keingintahuan mulai bertunas.Laksha meletakkan gelasnya di meja, sedikit mencondongkan tubuh mendekati Amara. “Gimana rasanya jadi seseorang yang nggak bisa aku baca.”Amara terkekeh sinis. “Gue bukan teka-teki, Laksha.”“Tapi kamu bikin aku pengen nyari jawabannya,” lanjut Laksha, suaranya rendah, penuh dengan ketulusan yang tidak terduga.Mata mereka bertemu lagi, kali ini lebih lama, lebih dalam. Ada sesuatu yang tidak terucapkan, sebuah permainan tarik-ulur yang tidak hanya sederhana tapi juga kompleks.Amara tidak mengatakan apa-apa, menahan kata-kata yang berkecamuk di dalam dirinya. Di dalam hatinya, ia tahu—pria ini adalah masalah. Masalah besar. Dan dia belum tahu apakah dia puny

    Last Updated : 2025-02-04
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 4: Batas Harga Diri

    Udara malam di Jakarta memang lebih sejuk, namun bukan semilir angin yang menjadi penyebabnya. Kedinginan yang Amara rasakan justru bersumber dari keabsurdan yang baru saja ia dengarkan dari Laksha.Mereka berdiri berhadapan, dengan Amara yang masih mencoba mencari tanda-tanda canda di wajah Laksha. Ia berharap bahwa apa yang baru saja didengarnya adalah salah satu lelucon Laksha, hanya sekedar permainan kata untuk mengusik suasana.Namun, tidak ada tawa renyah atau senyuman geli yang biasa menghiasi wajah Laksha kali ini.Dia serius.Dengan tawa kering, Amara berkata, "Lucu sekali."Laksha hanya mengangkat alisnya, teguh. "Gue serius, bukan bercanda.""Tentu saja kau bercanda," Amara mendesah, hampir tidak percaya. "Baru beberapa jam kita berkenalan, di klub tempat aku bekerja, dan sekarang kau tiba-tiba melamar aku?"Laksha mengangkat bahu, seolah-olah apa yang ia katakan adalah hal yang paling wajar di dunia. "Untuk membuat kesepakatan, kita tidak perlu tahu terlalu banyak satu sam

    Last Updated : 2025-02-04

Latest chapter

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 104: Luka yang Tak Bernama

    Hujan telah reda, tapi sisa rinainya masih melekat di kaca jendela, membentuk garis-garis transparan yang perlahan memudar. Uap tipis masih menggantung di udara, mengaburkan cahaya kota yang berpendar di kejauhan, membuat lampu-lampu gedung terlihat seperti lukisan cat air yang hampir luntur.Malam semakin larut, namun tak satu pun dari mereka beranjak. Seolah waktu berhenti di ruangan itu, membiarkan mereka terperangkap dalam keheningan yang menggantung di antara embusan napas.Amara masih duduk di sofa, kedua tangannya saling meremas di pangkuan. Telapak tangannya terasa dingin, bukan hanya karena sisa udara hujan, tetapi juga karena pikirannya yang masih berusaha mencerna kata-kata Laksha barusan.Radit.Nama itu terasa berat di lidahnya, meski ia hanya mengucapkannya dalam hati. Nama yang membawa kembali luka yang tak pernah benar-benar sembuh. Luka yang selama ini ternyata bukan hanya miliknya, tetapi juga milik pria di hadapannya.

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 103: Luka yang Tak Pernah Sembuh

    Hujan turun tipis, menari di atas kaca jendela apartemen, membentuk pola-pola acak yang memudar seiring waktu. Di luar sana, Jakarta tetap terjaga—lampu kendaraan berpendar di jalanan basah, menciptakan pantulan berkilauan di aspal yang licin.Suara klakson dan gemuruh kendaraan samar terdengar menembus dinding, tapi di dalam ruangan ini, dunia terasa lebih kecil. Lebih sunyi. Lebih berat.Laksha duduk di sofa panjang berwarna abu-abu, tubuhnya sedikit membungkuk ke depan. Kedua sikunya bertumpu pada lutut, jemarinya saling bertaut, seolah menggenggam sesuatu yang tak kasat mata—sesuatu yang rapuh dan nyaris lepas dari genggamannya.Matanya terpaku pada satu titik di lantai, kosong. Bukan karena ia tidak peduli, tetapi karena pikirannya sedang mengembara ke tempat lain. Ke suatu sudut dalam hidupnya yang mungkin sudah lama ia hindari.Di dekatnya, Amara berdiri dalam diam, memeluk cangkir teh yang masih mengepul di tangannya. Kehangatannya ter

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 102: Cinta yang Mulai Tumbuh

    Pagi merayap perlahan ke dalam apartemen Laksha, menyapa ruangannya dengan cara yang lembut. Cahaya matahari yang temaram menerobos tirai putih yang menggantung, melukis pola-pola keemasan di atas lantai kayu yang mengilap.Ruangan itu terasa hangat, meskipun udara pagi masih menyisakan kesegaran semalam. Aroma kopi yang baru diseduh menyebar memenuhi udara, bersaing dengan sisa-sisa kehangatan dari malam yang belum sepenuhnya hilang.Di dapur, Amara duduk dengan santai di kursi kayu, mengenakan kaus longgar milik Laksha yang terasa kebesaran di tubuhnya. Rambutnya yang acak-acakan tidak tampak mengganggu, justru memberi kesan santai yang jarang ia tunjukkan.Wajahnya, meski terlihat lelah, dipenuhi ketenangan yang begitu asing baginya. Di depannya, secangkir teh yang sudah setengah dingin tergeletak di atas meja, tidak lagi menarik perhatian.Amara memperhatikan Laksha yang sedang berdiri dekat meja dapur, tubuhnya yang tegap tampak lebih ringan tanpa se

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 101: Malam yang Memilih Kembali

    Langit malam menggantung dengan tenang di atas Jakarta, seolah menyelimuti kota yang sibuk dengan kilauan lampu-lampu kecil yang berkerlap-kerlip, seakan mimpi yang terjerat di celah-celah kegelapan.Bintang-bintang, yang samar dan tersembunyi di balik pendar cahaya itu, berbisik pelan, memberi ruang bagi keheningan malam yang memeluk segala yang ada di bawahnya.Amara berdiri di depan pintu apartemen Laksha, jemarinya menggenggam erat tali tas tangan, seolah mencari pegangan di tengah kegelisahannya. Udara malam terasa lembap dan hangat, meskipun hatinya berdetak lebih cepat dari biasanya.Rasanya, segala sesuatu di sekitarnya berputar lebih cepat, menariknya ke titik ini—ke titik di mana ia harus memilih apakah akan melangkah maju atau mundur lagi.Ia sudah pernah berdiri di sini sebelumnya, beberapa kali, dengan perasaan yang berbeda-beda. Dulu, ada keraguan yang terus menggerogoti setiap langkahnya, ada amarah yang tersimpan rapat di dadanya, ad

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 100: Sentuhan Tanpa Kata

    Langit Jakarta sore itu menyelimuti kota dengan warna jingga yang lembut, seperti pelukannya pada setiap sudut yang terpapar cahaya. Di sepanjang koridor hotel mewah, bayangan panjang para tamu melintasi lantai yang dipoles mengilap, menciptakan ilusi gerak yang tak berujung.Suara tawa ringan, obrolan serius, dan gemericik gelas sampanye berpadu menjadi simfoni yang hampir memabukkan.Di dalam ballroom yang megah, semua orang seolah terjebak dalam permainan sosial—senyum-senyum licik, tatapan penuh perhitungan—di mana setiap gerakan, kata, dan sikap dipilih dengan hati-hati, seolah segala sesuatunya harus tampak sempurna.Di antara kerumunan itu, Amara berdiri sendirian di sudut ruangan, matanya menatap kosong pada gelas mocktail yang mulai mencair di tangannya. Ujung-ujung es yang perlahan runtuh menambah perasaan dingin yang merayap di hatinya.Ia tidak suka berada di sini. Acara seperti ini selalu terasa seperti permainan yang harus diikut

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 99: Menemukan Kembali Amara

    Malam turun perlahan, menyelimuti Jakarta dalam pijar lampu-lampu jalan yang berkedip seperti bintang jatuh. Dari balik jendela taksi, Amara menatap pantulan cahaya di kaca, berpendar seiring lalu lintas yang tak pernah benar-benar tidur.Bayangan gedung-gedung tinggi berkelebat, tapi pikirannya melayang jauh, tenggelam dalam pusaran tanya yang tak kunjung menemukan jawaban.Di pangkuannya, secarik kertas terlipat rapi. Sebuah alamat."Ada sesuatu yang mau aku tunjukkan."Itu satu-satunya pesan dari Laksha sejak pertemuan mereka sore tadi di kafe. Tanpa penjelasan, tanpa petunjuk. Hanya kalimat singkat yang menggantung di benaknya selama berjam-jam, membuatnya ragu—dan entah bagaimana, tetap memutuskan untuk datang.Ketika taksi melambat dan akhirnya berhenti, Amara mengangkat wajah. Di hadapannya, berdiri sebuah bangunan tua, berbeda dari hiruk-pikuk kota yang selalu bergerak. Dinding putihnya sedikit pudar, menampakkan jejak waktu.J

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 98: Langkah yang Tak Terucap

    Pagi itu, sinar matahari menyelinap lembut melalui jendela besar kafe, menari di permukaan meja kayu tempat Amara duduk.Secangkir cappuccino di depannya telah kehilangan uap hangatnya, dan di sebelahnya, selembar brosur lusuh terlipat di beberapa sudut—jejak dari jari-jarinya yang tak henti meremas dan merapikannya kembali."Beasiswa Pascasarjana – Program Studi Bisnis dan Manajemen, Universitas Leiden, Belanda."Matanya menelusuri kata-kata itu berulang kali, seolah jawaban yang ia cari tersembunyi di antara baris-baris huruf. Dulu, ia tak pernah ragu mengejar impiannya. Namun kini, ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang membuat langkahnya terasa lebih berat dari yang seharusnya.Di dalam kepalanya, suara kecil terus berbisik: Kalau kamu pergi, apakah semuanya akan berubah?Sebuah gesekan kursi mendadak memecah lamunannya.Amara mengangkat kepala dan mendapati Laksha sudah duduk di hadapannya.Pria itu tampak berbeda

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 97: Di Antara Dua Diri

    Angin malam membelai wajah Amara dengan lembut, menyelusup di antara helaian rambutnya yang tergerai, membawa aroma aspal basah dan sisa hujan yang masih melekat di jalanan.Ia berdiri di balkon, memeluk dirinya sendiri dalam diam, seolah-olah itu satu-satunya cara untuk menahan sesuatu yang perlahan-lahan menggerogoti hatinya.Di bawah sana, Jakarta berkelip dalam jutaan cahaya. Gedung-gedung tinggi berdiri angkuh, jendela-jendelanya memantulkan kilau lampu jalan, sementara kendaraan mengalir tanpa henti, mengisi udara dengan dengung mesin dan klakson yang samar terdengar dari kejauhan.Kota ini selalu hidup, tapi malam ini, bagi Amara, semuanya terasa sunyi.Ia menarik napas dalam, membiarkan udara malam mengisi paru-parunya sebelum mengembuskannya perlahan. Tapi tetap saja, ada sesuatu yang mengganjal di dadanya—sesuatu yang tak bisa ia hembuskan begitu saja.Mimpi-mimpinya.Dulu, segala sesuatunya jelas. Ia tahu apa yang ia kejar,

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 96: Bisikan di Tengah Jazz yang Syahdu

    Langkah Laksha terasa berat. Bukan karena lantai marmer ballroom yang licin atau kerumunan tamu yang bergerak anggun di antara kelopak gaun dan percakapan samar. Bukan pula karena dentingan gelas sampanye yang beradu di udara, menambah riuh malam yang dipenuhi tawa dan basa-basi.Beban itu datang dari sesuatu yang lebih dalam, lebih sunyi—ketakutan yang selama ini tak pernah ia akui.Ketakutan bahwa Amara akan menolaknya. Namun, ketika matanya kembali menemukan sosok itu, segalanya seakan berhenti. Amara berdiri di sana, dalam balutan gaun biru tua yang mengalir lembut di tubuhnya, seperti lautan yang tenang sebelum badai.Cahaya lampu kristal yang menggantung di langit-langit ballroom memantulkan kilau samar di kulitnya, menciptakan bayangan tipis di sepanjang lekuk wajahnya. Ia begitu nyata, begitu dekat, tetapi terasa seperti dunia yang tak lagi bisa dijangkau. Amara menatapnya, tetapi tidak bergerak.

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status