Home / Rumah Tangga / Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova / Bab 102: Cinta yang Mulai Tumbuh

Share

Bab 102: Cinta yang Mulai Tumbuh

Author: Rizki Adinda
last update Last Updated: 2025-03-31 15:37:14

Pagi merayap perlahan ke dalam apartemen Laksha, menyapa ruangannya dengan cara yang lembut. Cahaya matahari yang temaram menerobos tirai putih yang menggantung, melukis pola-pola keemasan di atas lantai kayu yang mengilap.

Ruangan itu terasa hangat, meskipun udara pagi masih menyisakan kesegaran semalam. Aroma kopi yang baru diseduh menyebar memenuhi udara, bersaing dengan sisa-sisa kehangatan dari malam yang belum sepenuhnya hilang.

Di dapur, Amara duduk dengan santai di kursi kayu, mengenakan kaus longgar milik Laksha yang terasa kebesaran di tubuhnya. Rambutnya yang acak-acakan tidak tampak mengganggu, justru memberi kesan santai yang jarang ia tunjukkan.

Wajahnya, meski terlihat lelah, dipenuhi ketenangan yang begitu asing baginya. Di depannya, secangkir teh yang sudah setengah dingin tergeletak di atas meja, tidak lagi menarik perhatian.

Amara memperhatikan Laksha yang sedang berdiri dekat meja dapur, tubuhnya yang tegap tampak lebih ringan tanpa se

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 103: Luka yang Tak Pernah Sembuh

    Hujan turun tipis, menari di atas kaca jendela apartemen, membentuk pola-pola acak yang memudar seiring waktu. Di luar sana, Jakarta tetap terjaga—lampu kendaraan berpendar di jalanan basah, menciptakan pantulan berkilauan di aspal yang licin.Suara klakson dan gemuruh kendaraan samar terdengar menembus dinding, tapi di dalam ruangan ini, dunia terasa lebih kecil. Lebih sunyi. Lebih berat.Laksha duduk di sofa panjang berwarna abu-abu, tubuhnya sedikit membungkuk ke depan. Kedua sikunya bertumpu pada lutut, jemarinya saling bertaut, seolah menggenggam sesuatu yang tak kasat mata—sesuatu yang rapuh dan nyaris lepas dari genggamannya.Matanya terpaku pada satu titik di lantai, kosong. Bukan karena ia tidak peduli, tetapi karena pikirannya sedang mengembara ke tempat lain. Ke suatu sudut dalam hidupnya yang mungkin sudah lama ia hindari.Di dekatnya, Amara berdiri dalam diam, memeluk cangkir teh yang masih mengepul di tangannya. Kehangatannya ter

    Last Updated : 2025-04-01
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 104: Luka yang Tak Bernama

    Hujan telah reda, tapi sisa rinainya masih melekat di kaca jendela, membentuk garis-garis transparan yang perlahan memudar. Uap tipis masih menggantung di udara, mengaburkan cahaya kota yang berpendar di kejauhan, membuat lampu-lampu gedung terlihat seperti lukisan cat air yang hampir luntur.Malam semakin larut, namun tak satu pun dari mereka beranjak. Seolah waktu berhenti di ruangan itu, membiarkan mereka terperangkap dalam keheningan yang menggantung di antara embusan napas.Amara masih duduk di sofa, kedua tangannya saling meremas di pangkuan. Telapak tangannya terasa dingin, bukan hanya karena sisa udara hujan, tetapi juga karena pikirannya yang masih berusaha mencerna kata-kata Laksha barusan.Radit.Nama itu terasa berat di lidahnya, meski ia hanya mengucapkannya dalam hati. Nama yang membawa kembali luka yang tak pernah benar-benar sembuh. Luka yang selama ini ternyata bukan hanya miliknya, tetapi juga milik pria di hadapannya.

    Last Updated : 2025-04-01
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 105: Pesan dari Lidya

    Langit pagi Jakarta masih berwarna kelabu saat Amara membuka matanya. Sisa-sisa hujan semalam menggantung di udara, meninggalkan hawa sejuk yang jarang ditemuinya di kota ini.Namun, kesejukan itu tidak cukup untuk menenangkan pikirannya yang masih berat, penuh dengan jejak mimpi-mimpi samar yang kini menguap begitu saja.Ia menggeliat di atas ranjang, mencoba merangkai kesadarannya yang masih setengah tertidur. Kamar itu remang-remang, hanya diterangi sinar samar yang menyusup melalui celah tirai. Udara masih mengandung jejak hujan—bau tanah basah yang samar bercampur dengan keheningan pagi.Matanya bergerak ke sisi tempat tidur—kosong.Laksha tidak ada di sana.Tentu saja.Amara menghela napas, mencoba menekan sesuatu yang menggeliat di dadanya. Ia mengulurkan tangan, meraih ponsel yang tergeletak di atas meja kecil di samping tempat tidur. Saat layar menyala, matanya langsung tertuju pada satu notifikasi yang membuat jantungny

    Last Updated : 2025-04-02
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 106: Pertemuan yang Berbahaya

    Suasana di lounge hotel seharusnya menawarkan kemewahan yang tenang, dengan pencahayaan temaram yang membentuk bayangan lembut di dinding marmer dan alunan musik jazz yang mengalir halus dari speaker tersembunyi.Aroma kopi mahal bercampur samar dengan wangi parfum para tamu yang berlalu-lalang, menciptakan atmosfer eksklusif yang tak tersentuh oleh hiruk-pikuk dunia luar. Namun, di sudut ruangan itu, di antara dua orang yang duduk berhadapan, udara justru terasa lebih panas daripada seharusnya. Lidya duduk dengan anggun di sofa kulit berwarna cokelat tua, tubuhnya sedikit bersandar ke belakang, satu kakinya bersilang sempurna. Jemari rampingnya memainkan sendok kecil di dalam cangkir kopinya, gerakan santai yang kontras dengan ketegangan yang menggantung di antara mereka.Ia tampak seolah-olah pertemuan ini hanyalah percakapan santai di sore hari, padahal ia tahu betul ini lebih dari sekadar itu. Di seberangnya, Laksha duduk d

    Last Updated : 2025-04-02
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 107: Menyusuri Masa Lalu

    Sore itu, hujan turun dengan ritme lembut, menari di atas kaca jendela dalam aliran tipis yang menyerupai kenangan—enggan pergi, tapi juga tak benar-benar tinggal. Suasana apartemen terasa lebih sunyi dari biasanya.Seakan ruangan ini ikut menahan napas, membiarkan waktu mengalir lebih lambat dari yang seharusnya. Amara duduk di lantai, bersandar di sisi tempat tidur dengan lutut ditekuk dan kaki telanjang menyentuh permukaan kayu yang dingin. Di pangkuannya, sebuah album foto tua tergeletak diam, seolah menunggu untuk dihidupkan kembali.Sampulnya berwarna biru tua, sedikit usang dengan sulaman emas di sudut-sudutnya yang telah pudar termakan waktu. Ia menemukannya tanpa sengaja saat membuka lemari Laksha—sebuah penemuan yang tak ia rencanakan, namun entah bagaimana terasa seolah sudah ditakdirkan. Jari-jarinya menyapu debu tipis yang menempel di permukaan album itu. Ragu. Ini bukan miliknya. Ini buka

    Last Updated : 2025-04-03
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 108: Di Antara Hening dan Ragu

    Hujan telah reda, menyisakan jejak rinai tipis di kaca jendela apartemen. Aroma tanah basah masih samar terasa di udara, bercampur dengan hembusan angin malam yang masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka.Dari lantai atas gedung ini, gemerlap lampu Jakarta tampak berpendar dalam bayangan air hujan yang menggenang di jalanan. Kota ini masih berdenyut dengan kehidupan—dengan suara klakson yang sesekali terdengar dari kejauhan, dengan sirene yang sayup membelah malam.Namun, di dalam ruangan ini, keheningan justru terasa lebih pekat.Amara duduk di ujung sofa, tubuhnya sedikit membungkuk, lutut ditekuk mendekap dirinya sendiri. Sebuah cangkir teh hangat tergenggam di tangannya, uapnya tipis, aroma melatinya lembut, tapi bibirnya tetap kering.Ia tidak benar-benar berniat meminumnya. Jemarinya hanya menggenggam cangkir itu untuk sekadar merasa ada sesuatu yang hangat di tangannya—sesuatu yang nyata, di antara ketidakpastian yang mengisi p

    Last Updated : 2025-04-03
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 109: Permainan yang Terungkap

    Ruangan itu terasa lebih dingin daripada biasanya, meskipun pendingin udara bekerja dengan suhu yang sama seperti hari-hari sebelumnya. Ada sesuatu di dalam atmosfer yang mengendap di antara dinding-dinding kayu mahoni, menciptakan kesan berat yang sulit dijelaskan.Aroma khas kopi hitam yang masih mengepul di atas meja tak cukup untuk menghangatkan suasana.Laksha berdiri tegap di depan meja kerja ayahnya, posturnya kokoh, tapi jemarinya mengepal erat di sisi tubuhnya. Wajahnya nyaris tanpa ekspresi, namun ada kilatan tajam dalam sorot matanya—sebuah badai yang ia sembunyikan di balik ketenangan semunya.Di seberangnya, Aditya Wijanarko duduk dengan postur sempurna, bahunya tegak, dagunya sedikit terangkat. Matanya tajam menelisik setiap detail ekspresi Laksha, menunggu, mencari celah yang mungkin muncul.Di balik ketenangannya, ada aura dominasi yang tak terbantahkan, seakan ruangan ini adalah wilayahnya, dan siapa pun yang berdiri di hadapannya h

    Last Updated : 2025-04-04
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 110: Pernikahan yang Dipertanyakan

    Amara sedang menyiapkan teh di dapur ketika suara pintu apartemen terbuka. Suara dentingan sendok yang sebelumnya terdengar terhenti saat ia menoleh, melihat Laksha masuk dengan ekspresi yang sulit dibaca. Cahaya temaram dari lampu dapur mempertegas garis rahang pria itu, menyoroti ketegangan yang terlihat jelas di wajahnya. Ada sesuatu dalam caranya berjalan—lebih berat, lebih tegang dari biasanya.Seperti seseorang yang baru saja keluar dari medan pertempuran, membawa beban yang tak terlihat di pundaknya. Amara menunggu, berharap Laksha akan mengatakan sesuatu. Tapi pria itu hanya berdiri di ambang pintu, diam, matanya tertuju padanya dengan pandangan yang sulit diartikan. Akhirnya, Amara yang lebih dulu memecah keheningan. Suaranya terdengar lebih pelan dari biasanya, tapi tetap tajam. “Kamu kelihatan seperti baru habis berkelahi dengan seseorang.” Laksha menghela napas panjang, lalu tanpa berkata-ka

    Last Updated : 2025-04-04

Latest chapter

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 157: Bukan Kontrak, Tapi Cinta Nyata

    Cahaya pagi menyusup lembut melalui celah-celah tirai jendela apartemen mereka, membias ke permukaan lantai kayu dengan semburat keemasan. Udara di dalam ruangan masih menyisakan kesejukan malam, bercampur samar dengan aroma kopi yang baru saja diseduh.Namun, di tengah ketenangan pagi itu, apartemen mereka bagaikan medan pertempuran kecil—tumpukan kain putih terlipat rapi di atas sofa, undangan yang berserakan di meja, dan kertas-kertas penuh coretan yang menandakan proses panjang persiapan pernikahan.Di antara semua kekacauan itu, Amara berdiri di depan cermin, jari-jarinya menyusuri lembut tekstur kain renda berwarna gading yang ia genggam. Cahaya pagi menyentuh wajahnya, menyorot sepasang mata yang menyimpan berbagai perasaan.Perlahan, ia menarik napas, membiarkan pikirannya terombang-ambing di antara rasa tak percaya dan kenyataan yang kini ada di hadapannya."Dulu aku nggak pernah kebayang bakal berdiri di sini, nyiapin pernikahan sama kamu.

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 156: Menikah Lagi Tanpa Kebohongan

    Matahari sore menelusup lembut melalui jendela besar apartemen kecil mereka, menyiramkan cahaya keemasan yang hangat ke seluruh ruangan. Tirai putih yang setengah terbuka bergoyang pelan ditiup angin, menari dalam irama yang nyaris tak terdengar.Aroma kopi yang baru diseduh bercampur dengan wangi kayu dari lantai yang telah lama menyerap kehangatan rumah. Suasana senja begitu syahdu, seakan menjadi saksi bisu dari momen yang akan mengubah segalanya. Amara duduk bersila di sofa, layar laptopnya dipenuhi dengan gambar-gambar dekorasi pernikahan.Jari-jarinya yang ramping sesekali menyentuh touchpad, menggulir berbagai inspirasi—pesta sederhana di taman yang penuh bunga liar, pernikahan intim di pinggir pantai dengan debur ombak sebagai musik pengiring.Matanya yang berbinar menelusuri setiap detail, dan sesekali, senyum kecil muncul tanpa ia sadari. Dari dapur kecil di ujung ruangan, Laksha mengawasinya sambil menuangkan kopi ke

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 155: Pengakuan yang Terlambat, Kehampaan yang Tertinggal

    Udara malam membelai lembut kulit Laksha saat ia berdiri di balkon apartemen. Angin membawa aroma aspal basah yang samar bercampur dengan wangi teh hangat dalam genggamannya.Dari lantai sepuluh, Jakarta terbentang luas di hadapannya—hamparan cahaya berkilauan seolah bintang-bintang telah jatuh ke bumi, berkedip-kedip dalam keheningan yang kontras dengan hiruk-pikuk kehidupan di bawah sana.Tangannya yang bebas terselip di saku celana, sementara pandangannya menerawang ke kejauhan, tapi pikirannya masih tertahan di satu momen yang terus bergema dalam benaknya.Tatapan ayahnya.Nada suaranya.Dan—lebih dari segalanya—kata-kata yang akhirnya keluar setelah bertahun-tahun ia tunggu."Kamu berhasil."Dua kata sederhana yang seharusnya membawa kelegaan, tapi justru mengguncang sesuatu di dalam dirinya. Pertahanan yang selama ini ia bangun perlahan runtuh, seperti dinding tua yang akhirnya retak setelah menahan te

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 154: Ayah, Aku Bukan Bayanganmu

    Suara percakapan membaur dengan denting halus gelas sampanye yang saling bersentuhan, memenuhi ballroom hotel bintang lima dengan atmosfer yang nyaris elektrik.Cahaya dari lampu gantung kristal raksasa berpendar di langit-langit berornamen mewah, jatuh ke lantai marmer yang mengilap, menciptakan refleksi yang hampir magis.Para tamu—pengusaha dengan jas mahal, jurnalis dengan kamera siaga, serta tokoh-tokoh penting yang namanya sering menghiasi halaman bisnis—bergerak di antara meja-meja cocktail, berbincang dalam nada santai namun sarat kepentingan. Di tengah keramaian itu, Laksha berdiri tegak, tubuhnya dibingkai sempurna oleh setelan hitam yang dipilih dengan saksama. Dari kejauhan, ia tampak sepenuhnya menguasai situasi—tatapannya tenang, posturnya tegap, seolah tak ada satu pun hal di ruangan ini yang bisa menggoyahkannya.Namun jika diperhatikan lebih dekat, ada ketegangan samar di rahangnya, jejak kegelisahan yang nyaris t

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 153: Pelarian dari Kemewahan

    Mentari pagi merayap masuk melalui celah tirai tipis di apartemen mungil itu, menorehkan guratan-guratan cahaya keemasan di lantai kayu yang dingin. Udara masih segar, sisa embun semalam menyelimuti kaca jendela dalam lapisan tipis yang perlahan memudar.Di sudut dapur, aroma kopi hitam yang baru diseduh bercampur dengan wangi roti panggang—yang sayangnya, sedikit terlalu lama bersentuhan dengan panas. Amara berdiri di depan kompor dengan tangan bersedekap, alisnya bertaut melihat dua potong roti yang kini berwarna cokelat tua, nyaris melewati batas sempurna. Ia menghela napas, sebelum menoleh sekilas ke arah pria yang bersandar santai di meja dapur. "Seharusnya aku nggak percaya kamu buat masak sarapan," gumamnya malas. Laksha, hanya mengenakan kaus putih longgar dan celana pendek, tak tampak terganggu oleh nada protes itu. Ia meniup permukaan kopinya, menyeruput perlahan, lalu menatap hasil masakannya sendiri dengan ekspresi p

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 152: Jarak yang Tak Terucap

    Langit sore Jakarta berpendar lembut, mewarnai kaca-kaca gedung tinggi dengan semburat jingga yang temaram.Sinar matahari yang mulai meredup memantul di trotoar basah sisa hujan siang tadi, meninggalkan aroma tanah yang samar bercampur dengan wangi kopi yang menguar dari sebuah kafe kecil di sudut kota.Angin sore berembus masuk lewat pintu yang sesekali terbuka, membawa serta aroma roti panggang yang baru keluar dari oven. Di salah satu sudut kafe, Amara duduk diam. Jemarinya melingkari cangkir kopi yang sudah mulai kehilangan hangatnya, tapi ia tidak berniat menyesapnya. Matanya tertuju ke permukaan cairan hitam itu, bukan karena tertarik, melainkan karena pikirannya terlalu berisik untuk memikirkan hal lain.Seolah-olah, jika ia menatap cukup lama, ia bisa menemukan jawaban di sana—atau setidaknya, sedikit ketenangan. Di hadapannya, Reza duduk dengan postur santai. Satu tangannya memegang cangkir, sementara yang lain bertump

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 151: Restu di Ambang Pintu

    Amara tidak pernah membayangkan momen ini akan terjadi. Ia berdiri di ambang pintu apartemen kecil yang kini ia tinggali bersama Laksha, jantungnya berdebar tidak menentu saat melihat sosok Indira Wijanarko berdiri di hadapannya. Wanita itu tampak seperti selalu—anggun, dengan blouse berwarna gading yang membalut tubuhnya sempurna, serta coat panjang yang jatuh elegan di bahunya. Aroma lembut parfum mahalnya menguar di udara, mengingatkan Amara pada malam-malam gala dan ruang-ruang pertemuan yang dingin.Indira Wijanarko selalu tampil berwibawa, seolah mengendalikan setiap detail kehidupan di sekelilingnya. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Matanya tidak lagi setajam biasanya. Tidak ada tatapan dingin yang menusuk atau garis-garis ketegangan di wajahnya. Sebaliknya, ada sesuatu yang lebih lembut di sana—atau mungkin… keraguan yang nyaris tak kasatmata. "Indira?" suara Amara nyaris seperti bisika

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 150: Ruang Kecil, Rasa yang Besar

    Suara hujan mengetuk jendela kecil di ruang belajar Amara, ritmenya tak beraturan namun menenangkan. Udara Jakarta malam itu lebih sejuk dari biasanya, membawa aroma tanah basah yang samar-samar menyusup dari celah pintu balkon.Di dalam ruangan sempit yang dipenuhi buku-buku, cahaya lampu meja menerangi tumpukan kertas yang berserakan, bayangannya jatuh tak beraturan di permukaan kayu yang masih kasar.Amara duduk di tengah kekacauan itu, wajahnya nyaris tenggelam di balik buku tebal yang terbuka di depannya. Mata bulatnya menelusuri barisan kata-kata yang terasa seperti labirin, sesekali alisnya bertaut, bibirnya sedikit mengerucut.Ujung bolpoin tergigit di antara giginya, kebiasaan lama yang selalu muncul saat pikirannya berusaha memahami sesuatu yang sulit.Beberapa menit berlalu tanpa hasil. Ia menghela napas panjang, meletakkan bolpoin, lalu memijat pelipisnya dengan lelah."Kenapa hukum bisnis ini kayak bahasa alien, sih?" gumamnya, frustra

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 149: Ruko Tua dan Mimpi yang Terlupakan

    Langit Jakarta masih bergelayut kelabu, seakan enggan melepaskan sisa-sisa embun yang menggantung di udara.Laksha berdiri diam di trotoar yang lembap, matanya terpaku pada bangunan kecil di depannya—sebuah ruko tua dua lantai dengan cat yang mulai mengelupas, jendela berdebu, dan papan nama yang masih kosong. Bangunan itu tidak megah. Tidak ada lobi luas dengan resepsionis berseragam rapi, tidak ada lantai marmer yang mengilap, tidak ada ruang rapat penuh lelaki berjas mahal seperti yang biasa ia temui di Wijanarko Enterprise.Ini jauh dari dunia yang dulu ia kenal. Jemarinya mencengkeram erat map cokelat di tangannya, berisi cetak biru mimpinya yang kini terasa lebih nyata daripada sebelumnya.Napasnya terasa berat, bukan hanya karena udara pagi yang masih menyimpan sisa dingin malam, tapi juga karena kesadaran bahwa untuk pertama kalinya, ia harus membangun segalanya dari nol. "Kamu yakin ini tempat yang cocok?"

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status