Home / Rumah Tangga / Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova / Bab 109: Permainan yang Terungkap

Share

Bab 109: Permainan yang Terungkap

Author: Rizki Adinda
last update Last Updated: 2025-04-04 12:16:50

Ruangan itu terasa lebih dingin daripada biasanya, meskipun pendingin udara bekerja dengan suhu yang sama seperti hari-hari sebelumnya. Ada sesuatu di dalam atmosfer yang mengendap di antara dinding-dinding kayu mahoni, menciptakan kesan berat yang sulit dijelaskan.

Aroma khas kopi hitam yang masih mengepul di atas meja tak cukup untuk menghangatkan suasana.

Laksha berdiri tegap di depan meja kerja ayahnya, posturnya kokoh, tapi jemarinya mengepal erat di sisi tubuhnya. Wajahnya nyaris tanpa ekspresi, namun ada kilatan tajam dalam sorot matanya—sebuah badai yang ia sembunyikan di balik ketenangan semunya.

Di seberangnya, Aditya Wijanarko duduk dengan postur sempurna, bahunya tegak, dagunya sedikit terangkat. Matanya tajam menelisik setiap detail ekspresi Laksha, menunggu, mencari celah yang mungkin muncul.

Di balik ketenangannya, ada aura dominasi yang tak terbantahkan, seakan ruangan ini adalah wilayahnya, dan siapa pun yang berdiri di hadapannya h

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 110: Pernikahan yang Dipertanyakan

    Amara sedang menyiapkan teh di dapur ketika suara pintu apartemen terbuka. Suara dentingan sendok yang sebelumnya terdengar terhenti saat ia menoleh, melihat Laksha masuk dengan ekspresi yang sulit dibaca. Cahaya temaram dari lampu dapur mempertegas garis rahang pria itu, menyoroti ketegangan yang terlihat jelas di wajahnya. Ada sesuatu dalam caranya berjalan—lebih berat, lebih tegang dari biasanya.Seperti seseorang yang baru saja keluar dari medan pertempuran, membawa beban yang tak terlihat di pundaknya. Amara menunggu, berharap Laksha akan mengatakan sesuatu. Tapi pria itu hanya berdiri di ambang pintu, diam, matanya tertuju padanya dengan pandangan yang sulit diartikan. Akhirnya, Amara yang lebih dulu memecah keheningan. Suaranya terdengar lebih pelan dari biasanya, tapi tetap tajam. “Kamu kelihatan seperti baru habis berkelahi dengan seseorang.” Laksha menghela napas panjang, lalu tanpa berkata-ka

    Last Updated : 2025-04-04
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 111: Ketika Kata-Kata Menyakitkan

    Malam semakin larut, membiarkan kegelapan merayap ke setiap sudut apartemen. Hanya pantulan cahaya dari gedung-gedung tinggi yang masih menyala, membentuk siluet kota yang seakan tak pernah tidur.Namun, di dalam ruangan itu, kesunyian terasa lebih pekat dari biasanya. Amara berdiri di dekat jendela, lengannya melingkupi tubuhnya sendiri seolah mencari kehangatan yang tak kunjung ia temukan. Cahaya lampu jalan membias di permukaan kaca, menciptakan bayangan dirinya yang samar, seakan mencerminkan kebingungan yang berputar di dalam kepalanya.Udara dingin dari AC menyentuh kulitnya, menusuk hingga ke tulang. Tapi bukan itu yang membuatnya menggigil. Di belakangnya, Laksha terduduk di sofa. Bahunya jatuh, tubuhnya tampak tenggelam dalam bayangan ruangan yang temaram. Salah satu tangannya terangkat, mengusap wajahnya seakan ingin menghapus beban yang terus menghimpitnya.Ia tampak begitu berbeda. Bukan Laksha yang arogan. &

    Last Updated : 2025-04-05
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 112: Tamu yang Tak Diundang

    Kaca-kaca tinggi ballroom hotel mewah itu memantulkan cahaya lampu kristal yang berkilauan, menciptakan permainan cahaya yang menari di permukaan lantai marmer.Ruangan itu luas dan megah, dengan langit-langit yang tinggi dihiasi ukiran-ukiran rumit, sementara tirai beludru merah tua menjuntai anggun di sepanjang dinding.Aroma anggur tua, parfum berkelas, dan bunga segar dari rangkaian mawar putih yang tersebar di berbagai sudut bercampur menjadi satu, melengkapi atmosfer eksklusif malam itu. Di tengah gemerlap pesta, suara denting gelas beradu, tawa ringan, dan percakapan penuh basa-basi berpadu dalam simfoni sosial yang seharusnya terasa hangat dan menyenangkan.Orang-orang bergaun mahal dan jas rapi melayang di antara pelayan yang membawa nampan berisi sampanye dan canapé, berbincang dengan senyum tertata dan gestur anggun. Namun bagi Amara, semua itu terasa jauh. Seperti melihat dunia lain dari balik kaca tebal—indah

    Last Updated : 2025-04-05
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 113: Di Antara Keraguan dan Genggaman Tangan

    Dari kejauhan, Laksha melihatnya. Ruangan itu penuh dengan orang-orang berkelas, berpakaian rapi, berbincang dengan gelak tawa dan suara gelas beradu yang memenuhi udara. Lampu-lampu kristal menggantung di langit-langit tinggi, memancarkan cahaya keemasan yang membias di dinding marmer.Aroma anggur dan parfum mewah bercampur, menciptakan atmosfer eksklusif khas acara keluarga berpengaruh seperti ini. Namun, di antara kemewahan itu, hanya satu sosok yang menarik perhatian Laksha—Amara. Ia berdiri di sudut ruangan, tampak seperti bagian dari dekorasi tetapi dengan aura yang terlalu nyata untuk diabaikan. Rambutnya yang tergerai lembut jatuh di bahunya, gaun hitam sederhana yang ia kenakan membalut tubuhnya dengan anggun, tetapi bukan itu yang membuat Laksha terpaku.Ada sesuatu dalam cara bahunya menegang, bagaimana matanya menyipit sejenak setiap kali seseorang melewatinya, dan bagaimana jemarinya mencengkeram gelas sampa

    Last Updated : 2025-04-06
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 114: Takut yang Tak Pernah Terucap

    Udara malam membungkus mereka dalam keheningan yang berat, seolah waktu melambat di antara embusan angin yang menyusup lembut.Amara berdiri di balkon, jemarinya mencengkeram pagar besi yang dingin, jari-jarinya sedikit gemetar, entah karena suhu malam atau pergulatan batinnya sendiri. Rambutnya yang tergerai ikut menari tertiup angin, beberapa helai menggelitik pipinya, tapi ia tak menghiraukannya.Jakarta masih terjaga di bawah sana, denyut kehidupannya tak pernah benar-benar padam. Lampu-lampu kota berkelip seperti bintang yang jatuh ke bumi, jalanan dipenuhi kendaraan yang melaju tanpa henti, gedung-gedung tinggi berdiri angkuh dalam siluet gelapnya.Tapi di sini, di balkon kecil ini, dunia terasa begitu jauh. Di belakangnya, terdengar suara pintu geser yang bergerak pelan, diikuti dentingan halus saat menutup kembali. Amara tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang. Laksha. Pria itu mendekat, langkahnya mantap tapi t

    Last Updated : 2025-04-06
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 115: Langkah yang Tak Pergi

    Hujan turun perlahan di luar, menelusuri kaca jendela dalam garis-garis tipis yang berkilauan di bawah sorot lampu jalan. Langit kelabu menggantung rendah di atas kota, seakan hendak menelan hiruk-pikuk Jakarta yang tak pernah benar-benar tidur.Tapi di dalam kamar itu, segalanya terasa berbeda—lebih sunyi, lebih dingin, seolah waktu melambat dalam keheningan yang berat. Amara duduk di lantai, punggungnya bersandar pada sisi ranjang. Ujung jari-jarinya terasa mati rasa, mencengkeram erat selembar foto usang yang tepinya mulai terkelupas. Wajah-wajah di dalamnya tampak samar di bawah cahaya lampu meja, seperti kenangan yang perlahan memudar.Bahunya bergetar pelan, napasnya tersengal dalam jeda-jeda yang tidak beraturan, seakan setiap tarikan terasa seperti beban yang menghimpit dadanya. Ia tidak tahu sudah berapa lama ia duduk di sana, menangis dalam diam.Yang ia tahu, ada sesuatu yang kosong di dalam dirinya—lubang yang tak kunjung bi

    Last Updated : 2025-04-07
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 116: Persimpangan Takdir

    Pagi itu, aroma tanah basah masih tersisa di udara, bercampur dengan hembusan angin sejuk yang menerobos masuk dari jendela yang sedikit terbuka. Tirai putih tipis bergoyang pelan, membiarkan sinar matahari pagi menyelinap ke dalam kamar, menciptakan bayangan lembut di atas lantai kayu yang dingin.Kehangatan samar dari cahaya keemasan itu bertolak belakang dengan suasana hati Amara yang masih terperangkap dalam kebimbangan.Ia duduk di tepi ranjang, jari-jarinya melingkari cangkir kopi yang mulai kehilangan hangatnya. Uap tipis yang tadi sempat mengepul kini menghilang, sama seperti kejernihan pikirannya yang semakin kabur.Pandangannya kosong, menerawang jauh, kembali ke malam sebelumnya—ke genggaman tangan Laksha yang terasa lebih lama dari seharusnya, ke tatapan teduh yang tak pernah ia sangka bisa muncul dari pria itu, dan ke kata-kata samar yang terus bergema di benaknya."Mungkin... itu bukan hal yang buruk."Kalimat itu menggema, meno

    Last Updated : 2025-04-07
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 117: Bayang-Bayang Radit

    Hujan semalam telah meninggalkan jejak embun di dedaunan taman belakang rumah keluarga Wijanarko. Sisa-sisa hujan itu masih mengilap di permukaan daun kamboja yang tumbuh di sudut halaman, menebarkan aroma samar yang bercampur dengan wangi tanah basah.Udara pagi terasa sejuk, menyelinap melalui celah jendela dan membelai kulit dengan kesejukan yang lembut. Langit masih sedikit kelabu, seperti enggan beranjak dari sisa mendung semalam, memberikan suasana syahdu yang seolah menyimpan rahasia di balik megahnya rumah itu.Di lantai dua, Amara berjalan perlahan menyusuri koridor panjang yang sepi. Langkahnya nyaris tak bersuara, sandal rumah yang dikenakannya hanya menimbulkan gesekan halus dengan marmer dingin di bawah kakinya.Namun, hatinya justru terasa bising, penuh oleh suara-suara dari pikirannya sendiri.Sejak kedatangan Reza pagi ini, pikirannya terus berkecamuk. Tawaran itu masih ada dalam genggamannya—bukan secara harfiah, tetapi ia bisa mera

    Last Updated : 2025-04-08

Latest chapter

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 158: Ketika Pulang Bukan Sekadar Kembali

    Langit sore di Jakarta perlahan berpendar keemasan, membiaskan sinar hangat di antara gedung-gedung yang menjulang. Cahaya senja menimpa permukaan gerbang besi di hadapan Amara, memperlihatkan catnya yang mulai terkelupas dan karat yang merayap di beberapa sudut.Di baliknya, berdiri sebuah bangunan sederhana bercat putih dengan halaman luas yang dipenuhi suara tawa anak-anak.Panti Asuhan Cahaya Harapan.Amara menghela napas pelan, membiarkan matanya menelusuri halaman yang hidup oleh gerak dan tawa. Seorang bocah lelaki berlari kecil, mengejar temannya yang terkikik sambil menoleh ke belakang.Di bawah pohon rindang, seorang anak perempuan duduk di atas ayunan, mengayun perlahan sambil memandang langit dengan mata berbinar. Di teras, beberapa anak sibuk dengan krayon warna-warni di tangan mereka, menciptakan dunia dalam garis dan warna di atas kertas.Pemandangan ini seharusnya membawa kehangatan, namun di dada Amara, ada sesuatu yang lebih dalam

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 157: Bukan Kontrak, Tapi Cinta Nyata

    Cahaya pagi menyusup lembut melalui celah-celah tirai jendela apartemen mereka, membias ke permukaan lantai kayu dengan semburat keemasan. Udara di dalam ruangan masih menyisakan kesejukan malam, bercampur samar dengan aroma kopi yang baru saja diseduh.Namun, di tengah ketenangan pagi itu, apartemen mereka bagaikan medan pertempuran kecil—tumpukan kain putih terlipat rapi di atas sofa, undangan yang berserakan di meja, dan kertas-kertas penuh coretan yang menandakan proses panjang persiapan pernikahan.Di antara semua kekacauan itu, Amara berdiri di depan cermin, jari-jarinya menyusuri lembut tekstur kain renda berwarna gading yang ia genggam. Cahaya pagi menyentuh wajahnya, menyorot sepasang mata yang menyimpan berbagai perasaan.Perlahan, ia menarik napas, membiarkan pikirannya terombang-ambing di antara rasa tak percaya dan kenyataan yang kini ada di hadapannya."Dulu aku nggak pernah kebayang bakal berdiri di sini, nyiapin pernikahan sama kamu.

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 156: Menikah Lagi Tanpa Kebohongan

    Matahari sore menelusup lembut melalui jendela besar apartemen kecil mereka, menyiramkan cahaya keemasan yang hangat ke seluruh ruangan. Tirai putih yang setengah terbuka bergoyang pelan ditiup angin, menari dalam irama yang nyaris tak terdengar.Aroma kopi yang baru diseduh bercampur dengan wangi kayu dari lantai yang telah lama menyerap kehangatan rumah. Suasana senja begitu syahdu, seakan menjadi saksi bisu dari momen yang akan mengubah segalanya. Amara duduk bersila di sofa, layar laptopnya dipenuhi dengan gambar-gambar dekorasi pernikahan.Jari-jarinya yang ramping sesekali menyentuh touchpad, menggulir berbagai inspirasi—pesta sederhana di taman yang penuh bunga liar, pernikahan intim di pinggir pantai dengan debur ombak sebagai musik pengiring.Matanya yang berbinar menelusuri setiap detail, dan sesekali, senyum kecil muncul tanpa ia sadari. Dari dapur kecil di ujung ruangan, Laksha mengawasinya sambil menuangkan kopi ke

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 155: Pengakuan yang Terlambat, Kehampaan yang Tertinggal

    Udara malam membelai lembut kulit Laksha saat ia berdiri di balkon apartemen. Angin membawa aroma aspal basah yang samar bercampur dengan wangi teh hangat dalam genggamannya.Dari lantai sepuluh, Jakarta terbentang luas di hadapannya—hamparan cahaya berkilauan seolah bintang-bintang telah jatuh ke bumi, berkedip-kedip dalam keheningan yang kontras dengan hiruk-pikuk kehidupan di bawah sana.Tangannya yang bebas terselip di saku celana, sementara pandangannya menerawang ke kejauhan, tapi pikirannya masih tertahan di satu momen yang terus bergema dalam benaknya.Tatapan ayahnya.Nada suaranya.Dan—lebih dari segalanya—kata-kata yang akhirnya keluar setelah bertahun-tahun ia tunggu."Kamu berhasil."Dua kata sederhana yang seharusnya membawa kelegaan, tapi justru mengguncang sesuatu di dalam dirinya. Pertahanan yang selama ini ia bangun perlahan runtuh, seperti dinding tua yang akhirnya retak setelah menahan te

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 154: Ayah, Aku Bukan Bayanganmu

    Suara percakapan membaur dengan denting halus gelas sampanye yang saling bersentuhan, memenuhi ballroom hotel bintang lima dengan atmosfer yang nyaris elektrik.Cahaya dari lampu gantung kristal raksasa berpendar di langit-langit berornamen mewah, jatuh ke lantai marmer yang mengilap, menciptakan refleksi yang hampir magis.Para tamu—pengusaha dengan jas mahal, jurnalis dengan kamera siaga, serta tokoh-tokoh penting yang namanya sering menghiasi halaman bisnis—bergerak di antara meja-meja cocktail, berbincang dalam nada santai namun sarat kepentingan. Di tengah keramaian itu, Laksha berdiri tegak, tubuhnya dibingkai sempurna oleh setelan hitam yang dipilih dengan saksama. Dari kejauhan, ia tampak sepenuhnya menguasai situasi—tatapannya tenang, posturnya tegap, seolah tak ada satu pun hal di ruangan ini yang bisa menggoyahkannya.Namun jika diperhatikan lebih dekat, ada ketegangan samar di rahangnya, jejak kegelisahan yang nyaris t

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 153: Pelarian dari Kemewahan

    Mentari pagi merayap masuk melalui celah tirai tipis di apartemen mungil itu, menorehkan guratan-guratan cahaya keemasan di lantai kayu yang dingin. Udara masih segar, sisa embun semalam menyelimuti kaca jendela dalam lapisan tipis yang perlahan memudar.Di sudut dapur, aroma kopi hitam yang baru diseduh bercampur dengan wangi roti panggang—yang sayangnya, sedikit terlalu lama bersentuhan dengan panas. Amara berdiri di depan kompor dengan tangan bersedekap, alisnya bertaut melihat dua potong roti yang kini berwarna cokelat tua, nyaris melewati batas sempurna. Ia menghela napas, sebelum menoleh sekilas ke arah pria yang bersandar santai di meja dapur. "Seharusnya aku nggak percaya kamu buat masak sarapan," gumamnya malas. Laksha, hanya mengenakan kaus putih longgar dan celana pendek, tak tampak terganggu oleh nada protes itu. Ia meniup permukaan kopinya, menyeruput perlahan, lalu menatap hasil masakannya sendiri dengan ekspresi p

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 152: Jarak yang Tak Terucap

    Langit sore Jakarta berpendar lembut, mewarnai kaca-kaca gedung tinggi dengan semburat jingga yang temaram.Sinar matahari yang mulai meredup memantul di trotoar basah sisa hujan siang tadi, meninggalkan aroma tanah yang samar bercampur dengan wangi kopi yang menguar dari sebuah kafe kecil di sudut kota.Angin sore berembus masuk lewat pintu yang sesekali terbuka, membawa serta aroma roti panggang yang baru keluar dari oven. Di salah satu sudut kafe, Amara duduk diam. Jemarinya melingkari cangkir kopi yang sudah mulai kehilangan hangatnya, tapi ia tidak berniat menyesapnya. Matanya tertuju ke permukaan cairan hitam itu, bukan karena tertarik, melainkan karena pikirannya terlalu berisik untuk memikirkan hal lain.Seolah-olah, jika ia menatap cukup lama, ia bisa menemukan jawaban di sana—atau setidaknya, sedikit ketenangan. Di hadapannya, Reza duduk dengan postur santai. Satu tangannya memegang cangkir, sementara yang lain bertump

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 151: Restu di Ambang Pintu

    Amara tidak pernah membayangkan momen ini akan terjadi. Ia berdiri di ambang pintu apartemen kecil yang kini ia tinggali bersama Laksha, jantungnya berdebar tidak menentu saat melihat sosok Indira Wijanarko berdiri di hadapannya. Wanita itu tampak seperti selalu—anggun, dengan blouse berwarna gading yang membalut tubuhnya sempurna, serta coat panjang yang jatuh elegan di bahunya. Aroma lembut parfum mahalnya menguar di udara, mengingatkan Amara pada malam-malam gala dan ruang-ruang pertemuan yang dingin.Indira Wijanarko selalu tampil berwibawa, seolah mengendalikan setiap detail kehidupan di sekelilingnya. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Matanya tidak lagi setajam biasanya. Tidak ada tatapan dingin yang menusuk atau garis-garis ketegangan di wajahnya. Sebaliknya, ada sesuatu yang lebih lembut di sana—atau mungkin… keraguan yang nyaris tak kasatmata. "Indira?" suara Amara nyaris seperti bisika

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 150: Ruang Kecil, Rasa yang Besar

    Suara hujan mengetuk jendela kecil di ruang belajar Amara, ritmenya tak beraturan namun menenangkan. Udara Jakarta malam itu lebih sejuk dari biasanya, membawa aroma tanah basah yang samar-samar menyusup dari celah pintu balkon.Di dalam ruangan sempit yang dipenuhi buku-buku, cahaya lampu meja menerangi tumpukan kertas yang berserakan, bayangannya jatuh tak beraturan di permukaan kayu yang masih kasar.Amara duduk di tengah kekacauan itu, wajahnya nyaris tenggelam di balik buku tebal yang terbuka di depannya. Mata bulatnya menelusuri barisan kata-kata yang terasa seperti labirin, sesekali alisnya bertaut, bibirnya sedikit mengerucut.Ujung bolpoin tergigit di antara giginya, kebiasaan lama yang selalu muncul saat pikirannya berusaha memahami sesuatu yang sulit.Beberapa menit berlalu tanpa hasil. Ia menghela napas panjang, meletakkan bolpoin, lalu memijat pelipisnya dengan lelah."Kenapa hukum bisnis ini kayak bahasa alien, sih?" gumamnya, frustra

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status