Home / Rumah Tangga / Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova / Bab 115: Langkah yang Tak Pergi

Share

Bab 115: Langkah yang Tak Pergi

Author: Rizki Adinda
last update Last Updated: 2025-04-07 12:34:28

Hujan turun perlahan di luar, menelusuri kaca jendela dalam garis-garis tipis yang berkilauan di bawah sorot lampu jalan. Langit kelabu menggantung rendah di atas kota, seakan hendak menelan hiruk-pikuk Jakarta yang tak pernah benar-benar tidur.

Tapi di dalam kamar itu, segalanya terasa berbeda—lebih sunyi, lebih dingin, seolah waktu melambat dalam keheningan yang berat.  

Amara duduk di lantai, punggungnya bersandar pada sisi ranjang. Ujung jari-jarinya terasa mati rasa, mencengkeram erat selembar foto usang yang tepinya mulai terkelupas. Wajah-wajah di dalamnya tampak samar di bawah cahaya lampu meja, seperti kenangan yang perlahan memudar.

Bahunya bergetar pelan, napasnya tersengal dalam jeda-jeda yang tidak beraturan, seakan setiap tarikan terasa seperti beban yang menghimpit dadanya. Ia tidak tahu sudah berapa lama ia duduk di sana, menangis dalam diam.

Yang ia tahu, ada sesuatu yang kosong di dalam dirinya—lubang yang tak kunjung bi

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 116: Persimpangan Takdir

    Pagi itu, aroma tanah basah masih tersisa di udara, bercampur dengan hembusan angin sejuk yang menerobos masuk dari jendela yang sedikit terbuka. Tirai putih tipis bergoyang pelan, membiarkan sinar matahari pagi menyelinap ke dalam kamar, menciptakan bayangan lembut di atas lantai kayu yang dingin.Kehangatan samar dari cahaya keemasan itu bertolak belakang dengan suasana hati Amara yang masih terperangkap dalam kebimbangan.Ia duduk di tepi ranjang, jari-jarinya melingkari cangkir kopi yang mulai kehilangan hangatnya. Uap tipis yang tadi sempat mengepul kini menghilang, sama seperti kejernihan pikirannya yang semakin kabur.Pandangannya kosong, menerawang jauh, kembali ke malam sebelumnya—ke genggaman tangan Laksha yang terasa lebih lama dari seharusnya, ke tatapan teduh yang tak pernah ia sangka bisa muncul dari pria itu, dan ke kata-kata samar yang terus bergema di benaknya."Mungkin... itu bukan hal yang buruk."Kalimat itu menggema, meno

    Last Updated : 2025-04-07
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 117: Bayang-Bayang Radit

    Hujan semalam telah meninggalkan jejak embun di dedaunan taman belakang rumah keluarga Wijanarko. Sisa-sisa hujan itu masih mengilap di permukaan daun kamboja yang tumbuh di sudut halaman, menebarkan aroma samar yang bercampur dengan wangi tanah basah.Udara pagi terasa sejuk, menyelinap melalui celah jendela dan membelai kulit dengan kesejukan yang lembut. Langit masih sedikit kelabu, seperti enggan beranjak dari sisa mendung semalam, memberikan suasana syahdu yang seolah menyimpan rahasia di balik megahnya rumah itu.Di lantai dua, Amara berjalan perlahan menyusuri koridor panjang yang sepi. Langkahnya nyaris tak bersuara, sandal rumah yang dikenakannya hanya menimbulkan gesekan halus dengan marmer dingin di bawah kakinya.Namun, hatinya justru terasa bising, penuh oleh suara-suara dari pikirannya sendiri.Sejak kedatangan Reza pagi ini, pikirannya terus berkecamuk. Tawaran itu masih ada dalam genggamannya—bukan secara harfiah, tetapi ia bisa mera

    Last Updated : 2025-04-08
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 118: Retakan di Balik Rahasia

    Amara melangkah mundur, dadanya terasa sesak, seolah udara di sekitarnya mendadak menipis. Jantungnya berdegup kencang, tetapi sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, sikunya tanpa sengaja menyenggol vas bunga kecil di atas meja dekat koridor.Brak!Suara pecahan porselen menghantam lantai, memecah keheningan yang sejak tadi menggantung di udara. Sejenak, dunia seolah membeku. Amara menahan napas, telinganya menangkap suara langkah mendekat dari balik pintu ruang kerja.Jantungnya berdebar semakin liar.Pintu terbuka.Di ambang pintu, Indira dan Aditya berdiri dalam bayang-bayang cahaya lampu temaram. Mata Indira sedikit membulat saat melihatnya, tetapi hanya sesaat sebelum ia kembali menguasai ekspresinya.Sementara itu, tatapan Aditya berubah tajam, rahangnya mengeras. Ada sesuatu di matanya—kesadaran mendadak bahwa rahasia yang selama ini ia jaga rapat mungkin telah terungkap oleh orang yang salah.Amara menelan ludah, berusah

    Last Updated : 2025-04-08
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 119: Panggung Milik Lidya

    Siang itu, langit Jakarta tampak mendung, seolah ikut menahan napas bersama seluruh penghuni rumah keluarga Wijanarko. Angin berembus perlahan, menggoyangkan tirai tipis di jendela besar ruang tamu, sementara suasana di dalam rumah terasa berat, seakan gravitasi bertambah berkali lipat.Namun di luar, dunia terus berputar tanpa peduli.Dalam hitungan jam, berita itu telah menyebar ke segala penjuru—mengalir deras di layar ponsel, terpampang di headline berbagai situs berita, dan berulang kali ditayangkan di televisi."Pernikahan Laksha Wijanarko Hanyalah Kontrak?!""Skandal Besar! CEO Wijanarko Group Menikahi Wanita Misterius Demi Warisan?""Bukti Terungkap: Cinta atau Kesepakatan Bisnis?"Amara menatap layar ponselnya dengan jantung berdegup kencang. Jemarinya sedikit gemetar saat ia menggulir halaman demi halaman artikel yang muncul tanpa henti.Foto-fotonya dengan Laksha terse

    Last Updated : 2025-04-09
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 120: Aku Memilihnya

    Kilatan lampu kamera terus menyambar seperti kilat di malam badai, menciptakan pantulan menyilaukan di lantai marmer lobi utama Wijanarko Group.Udara dipenuhi dengung suara wartawan yang saling bersahutan, memanggil nama Laksha, menuntut jawaban atas skandal yang telah mengguncang dunia bisnis dan sosialita Jakarta.Di tengah kepungan mikrofon dan tatapan penuh tuntutan, Laksha berdiri tegap—seolah badai yang berputar di sekelilingnya tak lebih dari angin sepoi. Setelan hitamnya tetap rapi tanpa cela, namun ada sesuatu yang berbeda di matanya malam itu.Biasanya tajam dan dingin, kini ada sesuatu yang lebih dalam—bukan sekadar kemarahan, bukan sekadar perlawanan.Di belakangnya, Amara berdiri sedikit menjauh. Dadanya terasa sesak melihat pria itu berdiri di bawah sorotan lampu, seperti sosok dalam lukisan yang dipajang di tengah galeri, diamati dan dihakimi dari segala arah.Rahang Laksha mengeras, jemarinya mengepal di sisi tubuhnya,

    Last Updated : 2025-04-09
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 121: Tak Ada Lagi Tempat untuk Bersembunyi

    Angin malam berembus lembut, menyelinap melalui celah balkon kamar Amara, membawa serta aroma hujan yang tertinggal di jalanan kota. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat gemerlap lampu-lampu Jakarta yang terus berpendar, berkilauan seperti bintang-bintang yang jatuh ke bumi.Hiruk-pikuk metropolis itu seakan tidak peduli dengan kekacauan yang sedang melanda hatinya—sebuah ironi yang begitu nyata.Jari-jari Amara menggenggam pagar besi balkon, erat, seakan itu satu-satunya pegangan yang bisa menahannya agar tetap berdiri. Namun, genggaman itu sedikit bergetar. Bukan karena dingin, melainkan karena badai yang berkecamuk dalam dadanya sejak siang tadi."Aku mencintainya. Dan tidak ada kertas apa pun yang bisa membuktikan atau menghapus perasaan itu."Suara Laksha masih terngiang di telinganya, mengulang-ulang seperti gema yang enggan menghilang. Kata-kata itu nyata. Tidak ada paksaan. Tidak ada kepura-puraan.Dan justru itulah yang membuatnya

    Last Updated : 2025-04-10
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 122: Keputusan yang Mengubah Segalanya

    Suasana di ruang kerja Aditya Wijanarko terasa berat, seolah setiap helaan napas membawa beban yang tak kasatmata. Senja di luar mewarnai langit dengan semburat jingga keemasan, cahayanya menembus jendela besar di belakang meja mahoni yang kokoh.Namun, kehangatan cahaya itu tak mampu mencairkan ketegangan yang mengisi udara. Laksha berdiri tegak di tengah ruangan, rahangnya mengeras, bahunya tegang seperti busur yang siap dilepaskan. Sorot matanya tajam, terarah lurus pada sosok pria yang duduk di balik meja kerja yang megah itu—ayahnya. Aditya Wijanarko menautkan jemarinya di atas meja, ekspresinya tetap datar, tetapi setiap garis di wajahnya menyiratkan ketegasan. Pria itu tampak seperti seorang hakim yang akan menjatuhkan vonis. Di sisinya, Indira berdiri diam.Tubuhnya tampak rileks, tetapi sorot matanya mengisyaratkan sesuatu yang lebih dalam—sebuah kegelisahan yang tak terucap, entah karena keraguan, entah karena ketakutan

    Last Updated : 2025-04-10
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 123: Jejak yang Kutinggalkan

    Langit Jakarta masih menyisakan jejak senja, memulas cakrawala dengan warna jingga yang perlahan larut dalam kegelapan malam. Siluet gedung-gedung tinggi menjulang, membelah angkasa yang mulai dipenuhi titik-titik cahaya dari lampu-lampu kota.Dari atas apartemen di pusat kota, dunia di bawah sana tampak sibuk seperti biasa—deretan kendaraan merayap di jalanan, klakson bersahutan, dan lampu-lampu reklame berkedip dalam ritme yang terasa asing di tengah keheningan kamar ini.Amara berdiri di depan jendela besar, pandangannya kosong menatap keluar. Refleksi dirinya samar-samar terlihat di kaca—wajahnya pucat, matanya kehilangan sinarnya, dan bibirnya sedikit bergetar. Tangannya mengepal di sisi tubuh, berusaha meredam gemetar yang merayapi jemarinya."Aku memilihmu."Suara Laksha masih bergema di benaknya, mengalun berulang-ulang seperti melodi yang tak kunjung reda. Kata-kata itu seharusnya membahagiakannya. Seharusnya menjadi alasan u

    Last Updated : 2025-04-11

Latest chapter

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 134: Jika Aku Pergi, Akankah Kau Menahanku?

    Hujan semalam masih meninggalkan jejaknya di pagi yang lembab. Butiran air menggantung di ujung daun-daun kecil yang tumbuh di tepi balkon, sesekali jatuh dan pecah di atas lantai semen yang mulai menghangat di bawah sinar matahari.Udara membawa campuran aroma tanah basah dan wangi kopi yang mengepul dari cangkir di tangan Amara—hangat, pahit, akrab. Ia berdiri bersandar di pagar besi, pandangannya terpaku pada langit yang perlahan berubah warna. Jakarta yang sibuk masih terkantuk-kantuk dalam kantung embun pagi, tapi pikirannya sudah terbang jauh, melintasi batas-batas yang selama ini menahannya. Lalu, suara langkah kaki terdengar, tak tergesa tapi cukup kuat untuk menariknya kembali ke dunia nyata. “Pagi-pagi udah melamun?” Suara itu berat, sedikit serak, masih membawa sisa kantuk. Amara menoleh. Laksha berdiri di ambang pintu balkon, bersandar dengan santai pada kusen kayu. Kaus putih

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 133: Meninggalkan Puncak, Membangun Akar

    Udara pagi masih membawa kesejukan yang jarang bertahan lama di Jakarta. Dari balik jendela apartemennya, Laksha menatap cakrawala kota yang mulai tersiram cahaya keemasan.Gedung-gedung pencakar langit berdiri tegak dalam siluet yang sedikit berkabut, sementara jalanan di bawah sana mulai ramai dengan kehidupan. Dalam genggamannya, secangkir kopi masih mengepul, tetapi ia bahkan belum menyesapnya.Pikirannya terlalu penuh.Keputusan ini bukan hal yang mudah. Meninggalkan perusahaan keluarga, merintis sesuatu dari nol, melepaskan diri dari nama besar yang selama ini menjadi tameng sekaligus beban—itu langkah yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.Tetapi sekarang, di sinilah ia berdiri, di persimpangan antara kenyamanan dan kebebasan.Tiba-tiba, sepasang lengan melingkar di pinggangnya dari belakang, tubuh hangat seseorang bersandar padanya. Laksha tersenyum kecil bahkan sebelum mendengar suaranya.“Kau terlihat seperti seseoran

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 132: Saat Ibu Menentang Raja di Rumahnya Sendiri

    Ruang keluarga kediaman Wijanarko bermandikan cahaya keemasan dari lampu gantung kristal yang tergantung di langit-langit tinggi. Pancaran hangatnya membias di permukaan meja kaca, memantulkan siluet samar dari cangkir-cangkir teh yang tersusun rapi.Aroma melati yang baru diseduh melayang di udara, bercampur dengan sesuatu yang lebih tajam dan sulit dijabarkan—tegangan halus yang merayap di antara orang-orang yang duduk di dalamnya. Indira Wijanarko duduk di salah satu sofa kulit berwarna krem, punggungnya lurus sempurna, tangan bersedekap di pangkuan. Wajahnya tetap tenang, nyaris tak terbaca, seperti lukisan yang disusun dengan palet warna-warna lembut.Tapi di matanya, ada sesuatu yang berbeda—ketegasan yang selama ini jarang muncul, sesuatu yang bahkan membuat ruangan terasa lebih sempit. Di seberangnya, Laksha duduk dengan satu kaki disilangkan, gerakannya terlihat santai, tapi ketegangan menjalar dari garis-garis rahangnya

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 131: Menantang Takdir Keluarga Wijanarko

    Pagi itu, udara masih terasa sejuk, menyisakan embun tipis di dedaunan yang berkilau diterpa cahaya matahari yang mulai naik.Di sebuah ruangan luas dengan dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan kota yang mulai sibuk, Laksha duduk di kursi kerja dengan punggung tegak, jari-jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja. Di seberangnya, Amara berdiri dengan tangan terlipat di dada, wajahnya menampakkan ekspresi berpikir.Mereka harus mulai mengambil langkah.Pertama, media.Kabar tentang pernikahan mereka sudah menyebar seperti api yang tersulut angin. Tak semua berita menyajikan kisah romantis dua insan yang memilih bersama.Sebagian justru mengupasnya dengan nada sinis—menyebut Amara sebagai ‘wanita tanpa latar belakang’ yang ‘menjebak’ pewaris keluarga Wijanarko. Ada pula spekulasi yang menganggap ini tak lebih dari pernikahan bisnis, sebuah sandiwara demi kepentingan korporasi.Laksha tak tinggal diam. Dengan r

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 130: Menggenggam Bara di Tangan Musuh

    Udara pagi masih terasa sejuk ketika Amara membuka matanya. Cahaya matahari mengintip dari celah gorden, menyinari ruangan dengan semburat keemasan yang lembut, menari di atas seprai kusut dan menyapu permukaan kayu di lantai kamar.Aroma kopi yang baru diseduh menyelinap masuk, berpadu dengan wangi maskulin yang sudah begitu lekat di inderanya—aroma yang selama ini selalu memberinya rasa nyaman tanpa ia sadari. Ia menoleh ke samping. Laksha masih tertidur, napasnya teratur, dengan satu lengan terentang ke arah tempatnya berbaring, seolah mencari keberadaannya bahkan dalam lelap.Wajah pria itu tampak lebih damai dibanding biasanya, tanpa ekspresi arogan atau sorot mata dingin yang sering ia tunjukkan di hadapan dunia. Garis-garis tegas di wajahnya melunak, membuatnya terlihat jauh lebih muda—lebih manusiawi. Amara tersenyum kecil sebelum pelan-pelan turun dari tempat tidur, membiarkan telapak kakinya menyentuh permukaan kayu yan

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 129: Langkah Terakhir Lidya

    Malam sudah larut ketika suara ketukan sepatu hak tinggi menggema di lantai marmer restoran eksklusif di jantung Jakarta. Setiap langkah yang diayunkan memancarkan ketegasan, penuh percaya diri, seolah dunia masih berputar sesuai kehendaknya.Lidya Pramesti bukan tipe wanita yang mudah menyerah—dan malam ini, ia datang bukan sekadar untuk berbasa-basi.Restoran itu diterangi cahaya temaram dari lampu gantung kristal yang menggantung anggun di langit-langit tinggi, memancarkan kilauan keemasan yang lembut. Aroma wine mahal dan hidangan mewah bercampur dalam udara, berpadu dengan alunan musik jazz pelan yang mengalir dari sudut ruangan.Meja-meja berlapis kain putih tertata rapi, dihiasi lilin-lilin kecil yang berkelap-kelip, menambah kesan intim di antara bisikan para tamu yang tengah menikmati malam mereka.Namun, kehadiran Lidya tak bisa diabaikan begitu saja. Beberapa pasang mata melirik ke arahnya, tertarik oleh aura dingin yang dibawanya.

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 128: Menggenggammu di Bawah Langit Jakarta

    Udara pagi di Jakarta terasa lebih segar dari biasanya, meskipun suara klakson mobil, deru mesin, dan gemuruh kota masih mendominasi. Dari balkon apartemen mereka di lantai dua puluh, Amara bersandar pada pagar besi yang dingin, membiarkan angin pagi membelai wajahnya yang masih sedikit mengantuk.Matanya mengembara ke hamparan gedung-gedung tinggi yang menjulang di bawah langit biru pucat, beberapa di antaranya masih berkedip-kedip dengan lampu-lampu yang belum dipadamkan.Jauh di bawah sana, jalanan mulai sibuk—mobil-mobil berdesakan di persimpangan, pejalan kaki melangkah tergesa, dan pedagang kaki lima mulai menggelar lapaknya di trotoar.Namun, semua itu hanya latar. Di kepalanya, pikiran Amara masih dipenuhi kejadian semalam—pertengkaran Laksha dengan ayahnya, suara tegas pria itu saat berhadapan dengan figur yang selama ini begitu dominan dalam hidupnya.Dan kemudian, Indira. Perempuan itu berdiri di pihak mereka, sesuatu yang tidak per

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 127: Melawan Garis Takdir

    Udara di ruang kerja Aditya Wijanarko terasa lebih berat dari biasanya, seolah-olah mengandung beban yang tak kasatmata. Lampu gantung kristal di langit-langit memancarkan cahaya keemasan, memantul lembut di permukaan meja kayu mahoni yang kokoh di tengah ruangan.Aroma kayu tua bercampur samar dengan wangi kertas lama dari rak-rak buku yang memenuhi dinding. Deretan jilid tebal dengan punggung berlapis emas berdiri tegak, seakan menjadi saksi bisu ketegangan yang merayap di antara dua pria yang saling berhadapan. Laksha berdiri tegak di hadapan ayahnya, jarinya mencengkeram gagang cangkir kopi yang belum sempat ia teguk. Cairan hitam di dalamnya masih mengepulkan uap tipis, kontras dengan hawa dingin yang perlahan menjalar dari kata-kata yang belum terucap.Rahangnya mengeras, sorot matanya tajam, tetapi ada kilatan lain di sana—sesuatu yang tak mudah diartikan. Kemarahan? Kekecewaan? Atau hanya kesadaran bahwa perdebatan ini tak akan berakhir tanp

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 126: Tanpa Syarat, Tanpa Kebohongan

    Senja menumpahkan cahaya keemasan ke seluruh sudut apartemen, membentuk bayangan lembut yang menari di dinding. Langit di luar bergradasi dari jingga pekat ke ungu tua, seolah alam sendiri sedang melukiskan peralihan hari dengan warna-warna paling indahnya.Angin sore menyelinap masuk melalui celah balkon, menggoyangkan gorden tipis yang melambai perlahan, menciptakan tarian sunyi yang nyaris melankolis.Di dalam ruangan, aroma kopi hitam yang masih mengepul bercampur dengan wangi maskulin khas Laksha—kombinasi yang selama ini terasa asing bagi Amara, tetapi kini menghadirkan kenyamanan yang tak ia duga. Amara berdiri di dekat meja makan, jari-jarinya menggambar lingkaran tak beraturan di tepian gelas. Matanya tak sepenuhnya terfokus, seakan pikirannya melayang di antara kenyataan dan sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang tak ingin ia akui sepenuhnya.Di hadapannya, Laksha duduk dengan sikap santai, satu lengannya terlipat di atas meja

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status