Kaca-kaca tinggi ballroom hotel mewah itu memantulkan cahaya lampu kristal yang berkilauan, menciptakan permainan cahaya yang menari di permukaan lantai marmer.
Ruangan itu luas dan megah, dengan langit-langit yang tinggi dihiasi ukiran-ukiran rumit, sementara tirai beludru merah tua menjuntai anggun di sepanjang dinding.
Aroma anggur tua, parfum berkelas, dan bunga segar dari rangkaian mawar putih yang tersebar di berbagai sudut bercampur menjadi satu, melengkapi atmosfer eksklusif malam itu.
Di tengah gemerlap pesta, suara denting gelas beradu, tawa ringan, dan percakapan penuh basa-basi berpadu dalam simfoni sosial yang seharusnya terasa hangat dan menyenangkan.
Orang-orang bergaun mahal dan jas rapi melayang di antara pelayan yang membawa nampan berisi sampanye dan canapé, berbincang dengan senyum tertata dan gestur anggun.
Namun bagi Amara, semua itu terasa jauh. Seperti melihat dunia lain dari balik kaca tebal—indah
Dari kejauhan, Laksha melihatnya. Ruangan itu penuh dengan orang-orang berkelas, berpakaian rapi, berbincang dengan gelak tawa dan suara gelas beradu yang memenuhi udara. Lampu-lampu kristal menggantung di langit-langit tinggi, memancarkan cahaya keemasan yang membias di dinding marmer.Aroma anggur dan parfum mewah bercampur, menciptakan atmosfer eksklusif khas acara keluarga berpengaruh seperti ini. Namun, di antara kemewahan itu, hanya satu sosok yang menarik perhatian Laksha—Amara. Ia berdiri di sudut ruangan, tampak seperti bagian dari dekorasi tetapi dengan aura yang terlalu nyata untuk diabaikan. Rambutnya yang tergerai lembut jatuh di bahunya, gaun hitam sederhana yang ia kenakan membalut tubuhnya dengan anggun, tetapi bukan itu yang membuat Laksha terpaku.Ada sesuatu dalam cara bahunya menegang, bagaimana matanya menyipit sejenak setiap kali seseorang melewatinya, dan bagaimana jemarinya mencengkeram gelas sampa
Udara malam membungkus mereka dalam keheningan yang berat, seolah waktu melambat di antara embusan angin yang menyusup lembut.Amara berdiri di balkon, jemarinya mencengkeram pagar besi yang dingin, jari-jarinya sedikit gemetar, entah karena suhu malam atau pergulatan batinnya sendiri. Rambutnya yang tergerai ikut menari tertiup angin, beberapa helai menggelitik pipinya, tapi ia tak menghiraukannya.Jakarta masih terjaga di bawah sana, denyut kehidupannya tak pernah benar-benar padam. Lampu-lampu kota berkelip seperti bintang yang jatuh ke bumi, jalanan dipenuhi kendaraan yang melaju tanpa henti, gedung-gedung tinggi berdiri angkuh dalam siluet gelapnya.Tapi di sini, di balkon kecil ini, dunia terasa begitu jauh. Di belakangnya, terdengar suara pintu geser yang bergerak pelan, diikuti dentingan halus saat menutup kembali. Amara tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang. Laksha. Pria itu mendekat, langkahnya mantap tapi t
Hujan turun perlahan di luar, menelusuri kaca jendela dalam garis-garis tipis yang berkilauan di bawah sorot lampu jalan. Langit kelabu menggantung rendah di atas kota, seakan hendak menelan hiruk-pikuk Jakarta yang tak pernah benar-benar tidur.Tapi di dalam kamar itu, segalanya terasa berbeda—lebih sunyi, lebih dingin, seolah waktu melambat dalam keheningan yang berat. Amara duduk di lantai, punggungnya bersandar pada sisi ranjang. Ujung jari-jarinya terasa mati rasa, mencengkeram erat selembar foto usang yang tepinya mulai terkelupas. Wajah-wajah di dalamnya tampak samar di bawah cahaya lampu meja, seperti kenangan yang perlahan memudar.Bahunya bergetar pelan, napasnya tersengal dalam jeda-jeda yang tidak beraturan, seakan setiap tarikan terasa seperti beban yang menghimpit dadanya. Ia tidak tahu sudah berapa lama ia duduk di sana, menangis dalam diam.Yang ia tahu, ada sesuatu yang kosong di dalam dirinya—lubang yang tak kunjung bi
Pagi itu, aroma tanah basah masih tersisa di udara, bercampur dengan hembusan angin sejuk yang menerobos masuk dari jendela yang sedikit terbuka. Tirai putih tipis bergoyang pelan, membiarkan sinar matahari pagi menyelinap ke dalam kamar, menciptakan bayangan lembut di atas lantai kayu yang dingin.Kehangatan samar dari cahaya keemasan itu bertolak belakang dengan suasana hati Amara yang masih terperangkap dalam kebimbangan.Ia duduk di tepi ranjang, jari-jarinya melingkari cangkir kopi yang mulai kehilangan hangatnya. Uap tipis yang tadi sempat mengepul kini menghilang, sama seperti kejernihan pikirannya yang semakin kabur.Pandangannya kosong, menerawang jauh, kembali ke malam sebelumnya—ke genggaman tangan Laksha yang terasa lebih lama dari seharusnya, ke tatapan teduh yang tak pernah ia sangka bisa muncul dari pria itu, dan ke kata-kata samar yang terus bergema di benaknya."Mungkin... itu bukan hal yang buruk."Kalimat itu menggema, meno
Hujan semalam telah meninggalkan jejak embun di dedaunan taman belakang rumah keluarga Wijanarko. Sisa-sisa hujan itu masih mengilap di permukaan daun kamboja yang tumbuh di sudut halaman, menebarkan aroma samar yang bercampur dengan wangi tanah basah.Udara pagi terasa sejuk, menyelinap melalui celah jendela dan membelai kulit dengan kesejukan yang lembut. Langit masih sedikit kelabu, seperti enggan beranjak dari sisa mendung semalam, memberikan suasana syahdu yang seolah menyimpan rahasia di balik megahnya rumah itu.Di lantai dua, Amara berjalan perlahan menyusuri koridor panjang yang sepi. Langkahnya nyaris tak bersuara, sandal rumah yang dikenakannya hanya menimbulkan gesekan halus dengan marmer dingin di bawah kakinya.Namun, hatinya justru terasa bising, penuh oleh suara-suara dari pikirannya sendiri.Sejak kedatangan Reza pagi ini, pikirannya terus berkecamuk. Tawaran itu masih ada dalam genggamannya—bukan secara harfiah, tetapi ia bisa mera
Amara melangkah mundur, dadanya terasa sesak, seolah udara di sekitarnya mendadak menipis. Jantungnya berdegup kencang, tetapi sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, sikunya tanpa sengaja menyenggol vas bunga kecil di atas meja dekat koridor.Brak!Suara pecahan porselen menghantam lantai, memecah keheningan yang sejak tadi menggantung di udara. Sejenak, dunia seolah membeku. Amara menahan napas, telinganya menangkap suara langkah mendekat dari balik pintu ruang kerja.Jantungnya berdebar semakin liar.Pintu terbuka.Di ambang pintu, Indira dan Aditya berdiri dalam bayang-bayang cahaya lampu temaram. Mata Indira sedikit membulat saat melihatnya, tetapi hanya sesaat sebelum ia kembali menguasai ekspresinya.Sementara itu, tatapan Aditya berubah tajam, rahangnya mengeras. Ada sesuatu di matanya—kesadaran mendadak bahwa rahasia yang selama ini ia jaga rapat mungkin telah terungkap oleh orang yang salah.Amara menelan ludah, berusah
Siang itu, langit Jakarta tampak mendung, seolah ikut menahan napas bersama seluruh penghuni rumah keluarga Wijanarko. Angin berembus perlahan, menggoyangkan tirai tipis di jendela besar ruang tamu, sementara suasana di dalam rumah terasa berat, seakan gravitasi bertambah berkali lipat.Namun di luar, dunia terus berputar tanpa peduli.Dalam hitungan jam, berita itu telah menyebar ke segala penjuru—mengalir deras di layar ponsel, terpampang di headline berbagai situs berita, dan berulang kali ditayangkan di televisi."Pernikahan Laksha Wijanarko Hanyalah Kontrak?!""Skandal Besar! CEO Wijanarko Group Menikahi Wanita Misterius Demi Warisan?""Bukti Terungkap: Cinta atau Kesepakatan Bisnis?"Amara menatap layar ponselnya dengan jantung berdegup kencang. Jemarinya sedikit gemetar saat ia menggulir halaman demi halaman artikel yang muncul tanpa henti.Foto-fotonya dengan Laksha terse
Kilatan lampu kamera terus menyambar seperti kilat di malam badai, menciptakan pantulan menyilaukan di lantai marmer lobi utama Wijanarko Group.Udara dipenuhi dengung suara wartawan yang saling bersahutan, memanggil nama Laksha, menuntut jawaban atas skandal yang telah mengguncang dunia bisnis dan sosialita Jakarta.Di tengah kepungan mikrofon dan tatapan penuh tuntutan, Laksha berdiri tegap—seolah badai yang berputar di sekelilingnya tak lebih dari angin sepoi. Setelan hitamnya tetap rapi tanpa cela, namun ada sesuatu yang berbeda di matanya malam itu.Biasanya tajam dan dingin, kini ada sesuatu yang lebih dalam—bukan sekadar kemarahan, bukan sekadar perlawanan.Di belakangnya, Amara berdiri sedikit menjauh. Dadanya terasa sesak melihat pria itu berdiri di bawah sorotan lampu, seperti sosok dalam lukisan yang dipajang di tengah galeri, diamati dan dihakimi dari segala arah.Rahang Laksha mengeras, jemarinya mengepal di sisi tubuhnya,
Hujan semalam masih meninggalkan jejaknya di pagi yang lembab. Butiran air menggantung di ujung daun-daun kecil yang tumbuh di tepi balkon, sesekali jatuh dan pecah di atas lantai semen yang mulai menghangat di bawah sinar matahari.Udara membawa campuran aroma tanah basah dan wangi kopi yang mengepul dari cangkir di tangan Amara—hangat, pahit, akrab. Ia berdiri bersandar di pagar besi, pandangannya terpaku pada langit yang perlahan berubah warna. Jakarta yang sibuk masih terkantuk-kantuk dalam kantung embun pagi, tapi pikirannya sudah terbang jauh, melintasi batas-batas yang selama ini menahannya. Lalu, suara langkah kaki terdengar, tak tergesa tapi cukup kuat untuk menariknya kembali ke dunia nyata. “Pagi-pagi udah melamun?” Suara itu berat, sedikit serak, masih membawa sisa kantuk. Amara menoleh. Laksha berdiri di ambang pintu balkon, bersandar dengan santai pada kusen kayu. Kaus putih
Udara pagi masih membawa kesejukan yang jarang bertahan lama di Jakarta. Dari balik jendela apartemennya, Laksha menatap cakrawala kota yang mulai tersiram cahaya keemasan.Gedung-gedung pencakar langit berdiri tegak dalam siluet yang sedikit berkabut, sementara jalanan di bawah sana mulai ramai dengan kehidupan. Dalam genggamannya, secangkir kopi masih mengepul, tetapi ia bahkan belum menyesapnya.Pikirannya terlalu penuh.Keputusan ini bukan hal yang mudah. Meninggalkan perusahaan keluarga, merintis sesuatu dari nol, melepaskan diri dari nama besar yang selama ini menjadi tameng sekaligus beban—itu langkah yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.Tetapi sekarang, di sinilah ia berdiri, di persimpangan antara kenyamanan dan kebebasan.Tiba-tiba, sepasang lengan melingkar di pinggangnya dari belakang, tubuh hangat seseorang bersandar padanya. Laksha tersenyum kecil bahkan sebelum mendengar suaranya.“Kau terlihat seperti seseoran
Ruang keluarga kediaman Wijanarko bermandikan cahaya keemasan dari lampu gantung kristal yang tergantung di langit-langit tinggi. Pancaran hangatnya membias di permukaan meja kaca, memantulkan siluet samar dari cangkir-cangkir teh yang tersusun rapi.Aroma melati yang baru diseduh melayang di udara, bercampur dengan sesuatu yang lebih tajam dan sulit dijabarkan—tegangan halus yang merayap di antara orang-orang yang duduk di dalamnya. Indira Wijanarko duduk di salah satu sofa kulit berwarna krem, punggungnya lurus sempurna, tangan bersedekap di pangkuan. Wajahnya tetap tenang, nyaris tak terbaca, seperti lukisan yang disusun dengan palet warna-warna lembut.Tapi di matanya, ada sesuatu yang berbeda—ketegasan yang selama ini jarang muncul, sesuatu yang bahkan membuat ruangan terasa lebih sempit. Di seberangnya, Laksha duduk dengan satu kaki disilangkan, gerakannya terlihat santai, tapi ketegangan menjalar dari garis-garis rahangnya
Pagi itu, udara masih terasa sejuk, menyisakan embun tipis di dedaunan yang berkilau diterpa cahaya matahari yang mulai naik.Di sebuah ruangan luas dengan dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan kota yang mulai sibuk, Laksha duduk di kursi kerja dengan punggung tegak, jari-jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja. Di seberangnya, Amara berdiri dengan tangan terlipat di dada, wajahnya menampakkan ekspresi berpikir.Mereka harus mulai mengambil langkah.Pertama, media.Kabar tentang pernikahan mereka sudah menyebar seperti api yang tersulut angin. Tak semua berita menyajikan kisah romantis dua insan yang memilih bersama.Sebagian justru mengupasnya dengan nada sinis—menyebut Amara sebagai ‘wanita tanpa latar belakang’ yang ‘menjebak’ pewaris keluarga Wijanarko. Ada pula spekulasi yang menganggap ini tak lebih dari pernikahan bisnis, sebuah sandiwara demi kepentingan korporasi.Laksha tak tinggal diam. Dengan r
Udara pagi masih terasa sejuk ketika Amara membuka matanya. Cahaya matahari mengintip dari celah gorden, menyinari ruangan dengan semburat keemasan yang lembut, menari di atas seprai kusut dan menyapu permukaan kayu di lantai kamar.Aroma kopi yang baru diseduh menyelinap masuk, berpadu dengan wangi maskulin yang sudah begitu lekat di inderanya—aroma yang selama ini selalu memberinya rasa nyaman tanpa ia sadari. Ia menoleh ke samping. Laksha masih tertidur, napasnya teratur, dengan satu lengan terentang ke arah tempatnya berbaring, seolah mencari keberadaannya bahkan dalam lelap.Wajah pria itu tampak lebih damai dibanding biasanya, tanpa ekspresi arogan atau sorot mata dingin yang sering ia tunjukkan di hadapan dunia. Garis-garis tegas di wajahnya melunak, membuatnya terlihat jauh lebih muda—lebih manusiawi. Amara tersenyum kecil sebelum pelan-pelan turun dari tempat tidur, membiarkan telapak kakinya menyentuh permukaan kayu yan
Malam sudah larut ketika suara ketukan sepatu hak tinggi menggema di lantai marmer restoran eksklusif di jantung Jakarta. Setiap langkah yang diayunkan memancarkan ketegasan, penuh percaya diri, seolah dunia masih berputar sesuai kehendaknya.Lidya Pramesti bukan tipe wanita yang mudah menyerah—dan malam ini, ia datang bukan sekadar untuk berbasa-basi.Restoran itu diterangi cahaya temaram dari lampu gantung kristal yang menggantung anggun di langit-langit tinggi, memancarkan kilauan keemasan yang lembut. Aroma wine mahal dan hidangan mewah bercampur dalam udara, berpadu dengan alunan musik jazz pelan yang mengalir dari sudut ruangan.Meja-meja berlapis kain putih tertata rapi, dihiasi lilin-lilin kecil yang berkelap-kelip, menambah kesan intim di antara bisikan para tamu yang tengah menikmati malam mereka.Namun, kehadiran Lidya tak bisa diabaikan begitu saja. Beberapa pasang mata melirik ke arahnya, tertarik oleh aura dingin yang dibawanya.
Udara pagi di Jakarta terasa lebih segar dari biasanya, meskipun suara klakson mobil, deru mesin, dan gemuruh kota masih mendominasi. Dari balkon apartemen mereka di lantai dua puluh, Amara bersandar pada pagar besi yang dingin, membiarkan angin pagi membelai wajahnya yang masih sedikit mengantuk.Matanya mengembara ke hamparan gedung-gedung tinggi yang menjulang di bawah langit biru pucat, beberapa di antaranya masih berkedip-kedip dengan lampu-lampu yang belum dipadamkan.Jauh di bawah sana, jalanan mulai sibuk—mobil-mobil berdesakan di persimpangan, pejalan kaki melangkah tergesa, dan pedagang kaki lima mulai menggelar lapaknya di trotoar.Namun, semua itu hanya latar. Di kepalanya, pikiran Amara masih dipenuhi kejadian semalam—pertengkaran Laksha dengan ayahnya, suara tegas pria itu saat berhadapan dengan figur yang selama ini begitu dominan dalam hidupnya.Dan kemudian, Indira. Perempuan itu berdiri di pihak mereka, sesuatu yang tidak per
Udara di ruang kerja Aditya Wijanarko terasa lebih berat dari biasanya, seolah-olah mengandung beban yang tak kasatmata. Lampu gantung kristal di langit-langit memancarkan cahaya keemasan, memantul lembut di permukaan meja kayu mahoni yang kokoh di tengah ruangan.Aroma kayu tua bercampur samar dengan wangi kertas lama dari rak-rak buku yang memenuhi dinding. Deretan jilid tebal dengan punggung berlapis emas berdiri tegak, seakan menjadi saksi bisu ketegangan yang merayap di antara dua pria yang saling berhadapan. Laksha berdiri tegak di hadapan ayahnya, jarinya mencengkeram gagang cangkir kopi yang belum sempat ia teguk. Cairan hitam di dalamnya masih mengepulkan uap tipis, kontras dengan hawa dingin yang perlahan menjalar dari kata-kata yang belum terucap.Rahangnya mengeras, sorot matanya tajam, tetapi ada kilatan lain di sana—sesuatu yang tak mudah diartikan. Kemarahan? Kekecewaan? Atau hanya kesadaran bahwa perdebatan ini tak akan berakhir tanp
Senja menumpahkan cahaya keemasan ke seluruh sudut apartemen, membentuk bayangan lembut yang menari di dinding. Langit di luar bergradasi dari jingga pekat ke ungu tua, seolah alam sendiri sedang melukiskan peralihan hari dengan warna-warna paling indahnya.Angin sore menyelinap masuk melalui celah balkon, menggoyangkan gorden tipis yang melambai perlahan, menciptakan tarian sunyi yang nyaris melankolis.Di dalam ruangan, aroma kopi hitam yang masih mengepul bercampur dengan wangi maskulin khas Laksha—kombinasi yang selama ini terasa asing bagi Amara, tetapi kini menghadirkan kenyamanan yang tak ia duga. Amara berdiri di dekat meja makan, jari-jarinya menggambar lingkaran tak beraturan di tepian gelas. Matanya tak sepenuhnya terfokus, seakan pikirannya melayang di antara kenyataan dan sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang tak ingin ia akui sepenuhnya.Di hadapannya, Laksha duduk dengan sikap santai, satu lengannya terlipat di atas meja