Langit pagi Jakarta masih berwarna kelabu saat Amara membuka matanya. Sisa-sisa hujan semalam menggantung di udara, meninggalkan hawa sejuk yang jarang ditemuinya di kota ini.
Namun, kesejukan itu tidak cukup untuk menenangkan pikirannya yang masih berat, penuh dengan jejak mimpi-mimpi samar yang kini menguap begitu saja.
Ia menggeliat di atas ranjang, mencoba merangkai kesadarannya yang masih setengah tertidur. Kamar itu remang-remang, hanya diterangi sinar samar yang menyusup melalui celah tirai. Udara masih mengandung jejak hujan—bau tanah basah yang samar bercampur dengan keheningan pagi.
Matanya bergerak ke sisi tempat tidur—kosong.
Laksha tidak ada di sana.
Tentu saja.
Amara menghela napas, mencoba menekan sesuatu yang menggeliat di dadanya. Ia mengulurkan tangan, meraih ponsel yang tergeletak di atas meja kecil di samping tempat tidur. Saat layar menyala, matanya langsung tertuju pada satu notifikasi yang membuat jantungny
Suasana di lounge hotel seharusnya menawarkan kemewahan yang tenang, dengan pencahayaan temaram yang membentuk bayangan lembut di dinding marmer dan alunan musik jazz yang mengalir halus dari speaker tersembunyi.Aroma kopi mahal bercampur samar dengan wangi parfum para tamu yang berlalu-lalang, menciptakan atmosfer eksklusif yang tak tersentuh oleh hiruk-pikuk dunia luar. Namun, di sudut ruangan itu, di antara dua orang yang duduk berhadapan, udara justru terasa lebih panas daripada seharusnya. Lidya duduk dengan anggun di sofa kulit berwarna cokelat tua, tubuhnya sedikit bersandar ke belakang, satu kakinya bersilang sempurna. Jemari rampingnya memainkan sendok kecil di dalam cangkir kopinya, gerakan santai yang kontras dengan ketegangan yang menggantung di antara mereka.Ia tampak seolah-olah pertemuan ini hanyalah percakapan santai di sore hari, padahal ia tahu betul ini lebih dari sekadar itu. Di seberangnya, Laksha duduk d
Sore itu, hujan turun dengan ritme lembut, menari di atas kaca jendela dalam aliran tipis yang menyerupai kenangan—enggan pergi, tapi juga tak benar-benar tinggal. Suasana apartemen terasa lebih sunyi dari biasanya.Seakan ruangan ini ikut menahan napas, membiarkan waktu mengalir lebih lambat dari yang seharusnya. Amara duduk di lantai, bersandar di sisi tempat tidur dengan lutut ditekuk dan kaki telanjang menyentuh permukaan kayu yang dingin. Di pangkuannya, sebuah album foto tua tergeletak diam, seolah menunggu untuk dihidupkan kembali.Sampulnya berwarna biru tua, sedikit usang dengan sulaman emas di sudut-sudutnya yang telah pudar termakan waktu. Ia menemukannya tanpa sengaja saat membuka lemari Laksha—sebuah penemuan yang tak ia rencanakan, namun entah bagaimana terasa seolah sudah ditakdirkan. Jari-jarinya menyapu debu tipis yang menempel di permukaan album itu. Ragu. Ini bukan miliknya. Ini buka
Hujan telah reda, menyisakan jejak rinai tipis di kaca jendela apartemen. Aroma tanah basah masih samar terasa di udara, bercampur dengan hembusan angin malam yang masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka.Dari lantai atas gedung ini, gemerlap lampu Jakarta tampak berpendar dalam bayangan air hujan yang menggenang di jalanan. Kota ini masih berdenyut dengan kehidupan—dengan suara klakson yang sesekali terdengar dari kejauhan, dengan sirene yang sayup membelah malam.Namun, di dalam ruangan ini, keheningan justru terasa lebih pekat.Amara duduk di ujung sofa, tubuhnya sedikit membungkuk, lutut ditekuk mendekap dirinya sendiri. Sebuah cangkir teh hangat tergenggam di tangannya, uapnya tipis, aroma melatinya lembut, tapi bibirnya tetap kering.Ia tidak benar-benar berniat meminumnya. Jemarinya hanya menggenggam cangkir itu untuk sekadar merasa ada sesuatu yang hangat di tangannya—sesuatu yang nyata, di antara ketidakpastian yang mengisi p
Ruangan itu terasa lebih dingin daripada biasanya, meskipun pendingin udara bekerja dengan suhu yang sama seperti hari-hari sebelumnya. Ada sesuatu di dalam atmosfer yang mengendap di antara dinding-dinding kayu mahoni, menciptakan kesan berat yang sulit dijelaskan.Aroma khas kopi hitam yang masih mengepul di atas meja tak cukup untuk menghangatkan suasana.Laksha berdiri tegap di depan meja kerja ayahnya, posturnya kokoh, tapi jemarinya mengepal erat di sisi tubuhnya. Wajahnya nyaris tanpa ekspresi, namun ada kilatan tajam dalam sorot matanya—sebuah badai yang ia sembunyikan di balik ketenangan semunya.Di seberangnya, Aditya Wijanarko duduk dengan postur sempurna, bahunya tegak, dagunya sedikit terangkat. Matanya tajam menelisik setiap detail ekspresi Laksha, menunggu, mencari celah yang mungkin muncul.Di balik ketenangannya, ada aura dominasi yang tak terbantahkan, seakan ruangan ini adalah wilayahnya, dan siapa pun yang berdiri di hadapannya h
Amara sedang menyiapkan teh di dapur ketika suara pintu apartemen terbuka. Suara dentingan sendok yang sebelumnya terdengar terhenti saat ia menoleh, melihat Laksha masuk dengan ekspresi yang sulit dibaca. Cahaya temaram dari lampu dapur mempertegas garis rahang pria itu, menyoroti ketegangan yang terlihat jelas di wajahnya. Ada sesuatu dalam caranya berjalan—lebih berat, lebih tegang dari biasanya.Seperti seseorang yang baru saja keluar dari medan pertempuran, membawa beban yang tak terlihat di pundaknya. Amara menunggu, berharap Laksha akan mengatakan sesuatu. Tapi pria itu hanya berdiri di ambang pintu, diam, matanya tertuju padanya dengan pandangan yang sulit diartikan. Akhirnya, Amara yang lebih dulu memecah keheningan. Suaranya terdengar lebih pelan dari biasanya, tapi tetap tajam. “Kamu kelihatan seperti baru habis berkelahi dengan seseorang.” Laksha menghela napas panjang, lalu tanpa berkata-ka
Malam semakin larut, membiarkan kegelapan merayap ke setiap sudut apartemen. Hanya pantulan cahaya dari gedung-gedung tinggi yang masih menyala, membentuk siluet kota yang seakan tak pernah tidur.Namun, di dalam ruangan itu, kesunyian terasa lebih pekat dari biasanya. Amara berdiri di dekat jendela, lengannya melingkupi tubuhnya sendiri seolah mencari kehangatan yang tak kunjung ia temukan. Cahaya lampu jalan membias di permukaan kaca, menciptakan bayangan dirinya yang samar, seakan mencerminkan kebingungan yang berputar di dalam kepalanya.Udara dingin dari AC menyentuh kulitnya, menusuk hingga ke tulang. Tapi bukan itu yang membuatnya menggigil. Di belakangnya, Laksha terduduk di sofa. Bahunya jatuh, tubuhnya tampak tenggelam dalam bayangan ruangan yang temaram. Salah satu tangannya terangkat, mengusap wajahnya seakan ingin menghapus beban yang terus menghimpitnya.Ia tampak begitu berbeda. Bukan Laksha yang arogan. &
Kaca-kaca tinggi ballroom hotel mewah itu memantulkan cahaya lampu kristal yang berkilauan, menciptakan permainan cahaya yang menari di permukaan lantai marmer.Ruangan itu luas dan megah, dengan langit-langit yang tinggi dihiasi ukiran-ukiran rumit, sementara tirai beludru merah tua menjuntai anggun di sepanjang dinding.Aroma anggur tua, parfum berkelas, dan bunga segar dari rangkaian mawar putih yang tersebar di berbagai sudut bercampur menjadi satu, melengkapi atmosfer eksklusif malam itu. Di tengah gemerlap pesta, suara denting gelas beradu, tawa ringan, dan percakapan penuh basa-basi berpadu dalam simfoni sosial yang seharusnya terasa hangat dan menyenangkan.Orang-orang bergaun mahal dan jas rapi melayang di antara pelayan yang membawa nampan berisi sampanye dan canapé, berbincang dengan senyum tertata dan gestur anggun. Namun bagi Amara, semua itu terasa jauh. Seperti melihat dunia lain dari balik kaca tebal—indah
Dari kejauhan, Laksha melihatnya. Ruangan itu penuh dengan orang-orang berkelas, berpakaian rapi, berbincang dengan gelak tawa dan suara gelas beradu yang memenuhi udara. Lampu-lampu kristal menggantung di langit-langit tinggi, memancarkan cahaya keemasan yang membias di dinding marmer.Aroma anggur dan parfum mewah bercampur, menciptakan atmosfer eksklusif khas acara keluarga berpengaruh seperti ini. Namun, di antara kemewahan itu, hanya satu sosok yang menarik perhatian Laksha—Amara. Ia berdiri di sudut ruangan, tampak seperti bagian dari dekorasi tetapi dengan aura yang terlalu nyata untuk diabaikan. Rambutnya yang tergerai lembut jatuh di bahunya, gaun hitam sederhana yang ia kenakan membalut tubuhnya dengan anggun, tetapi bukan itu yang membuat Laksha terpaku.Ada sesuatu dalam cara bahunya menegang, bagaimana matanya menyipit sejenak setiap kali seseorang melewatinya, dan bagaimana jemarinya mencengkeram gelas sampa
Langit sore di Jakarta perlahan berpendar keemasan, membiaskan sinar hangat di antara gedung-gedung yang menjulang. Cahaya senja menimpa permukaan gerbang besi di hadapan Amara, memperlihatkan catnya yang mulai terkelupas dan karat yang merayap di beberapa sudut.Di baliknya, berdiri sebuah bangunan sederhana bercat putih dengan halaman luas yang dipenuhi suara tawa anak-anak.Panti Asuhan Cahaya Harapan.Amara menghela napas pelan, membiarkan matanya menelusuri halaman yang hidup oleh gerak dan tawa. Seorang bocah lelaki berlari kecil, mengejar temannya yang terkikik sambil menoleh ke belakang.Di bawah pohon rindang, seorang anak perempuan duduk di atas ayunan, mengayun perlahan sambil memandang langit dengan mata berbinar. Di teras, beberapa anak sibuk dengan krayon warna-warni di tangan mereka, menciptakan dunia dalam garis dan warna di atas kertas.Pemandangan ini seharusnya membawa kehangatan, namun di dada Amara, ada sesuatu yang lebih dalam
Cahaya pagi menyusup lembut melalui celah-celah tirai jendela apartemen mereka, membias ke permukaan lantai kayu dengan semburat keemasan. Udara di dalam ruangan masih menyisakan kesejukan malam, bercampur samar dengan aroma kopi yang baru saja diseduh.Namun, di tengah ketenangan pagi itu, apartemen mereka bagaikan medan pertempuran kecil—tumpukan kain putih terlipat rapi di atas sofa, undangan yang berserakan di meja, dan kertas-kertas penuh coretan yang menandakan proses panjang persiapan pernikahan.Di antara semua kekacauan itu, Amara berdiri di depan cermin, jari-jarinya menyusuri lembut tekstur kain renda berwarna gading yang ia genggam. Cahaya pagi menyentuh wajahnya, menyorot sepasang mata yang menyimpan berbagai perasaan.Perlahan, ia menarik napas, membiarkan pikirannya terombang-ambing di antara rasa tak percaya dan kenyataan yang kini ada di hadapannya."Dulu aku nggak pernah kebayang bakal berdiri di sini, nyiapin pernikahan sama kamu.
Matahari sore menelusup lembut melalui jendela besar apartemen kecil mereka, menyiramkan cahaya keemasan yang hangat ke seluruh ruangan. Tirai putih yang setengah terbuka bergoyang pelan ditiup angin, menari dalam irama yang nyaris tak terdengar.Aroma kopi yang baru diseduh bercampur dengan wangi kayu dari lantai yang telah lama menyerap kehangatan rumah. Suasana senja begitu syahdu, seakan menjadi saksi bisu dari momen yang akan mengubah segalanya. Amara duduk bersila di sofa, layar laptopnya dipenuhi dengan gambar-gambar dekorasi pernikahan.Jari-jarinya yang ramping sesekali menyentuh touchpad, menggulir berbagai inspirasi—pesta sederhana di taman yang penuh bunga liar, pernikahan intim di pinggir pantai dengan debur ombak sebagai musik pengiring.Matanya yang berbinar menelusuri setiap detail, dan sesekali, senyum kecil muncul tanpa ia sadari. Dari dapur kecil di ujung ruangan, Laksha mengawasinya sambil menuangkan kopi ke
Udara malam membelai lembut kulit Laksha saat ia berdiri di balkon apartemen. Angin membawa aroma aspal basah yang samar bercampur dengan wangi teh hangat dalam genggamannya.Dari lantai sepuluh, Jakarta terbentang luas di hadapannya—hamparan cahaya berkilauan seolah bintang-bintang telah jatuh ke bumi, berkedip-kedip dalam keheningan yang kontras dengan hiruk-pikuk kehidupan di bawah sana.Tangannya yang bebas terselip di saku celana, sementara pandangannya menerawang ke kejauhan, tapi pikirannya masih tertahan di satu momen yang terus bergema dalam benaknya.Tatapan ayahnya.Nada suaranya.Dan—lebih dari segalanya—kata-kata yang akhirnya keluar setelah bertahun-tahun ia tunggu."Kamu berhasil."Dua kata sederhana yang seharusnya membawa kelegaan, tapi justru mengguncang sesuatu di dalam dirinya. Pertahanan yang selama ini ia bangun perlahan runtuh, seperti dinding tua yang akhirnya retak setelah menahan te
Suara percakapan membaur dengan denting halus gelas sampanye yang saling bersentuhan, memenuhi ballroom hotel bintang lima dengan atmosfer yang nyaris elektrik.Cahaya dari lampu gantung kristal raksasa berpendar di langit-langit berornamen mewah, jatuh ke lantai marmer yang mengilap, menciptakan refleksi yang hampir magis.Para tamu—pengusaha dengan jas mahal, jurnalis dengan kamera siaga, serta tokoh-tokoh penting yang namanya sering menghiasi halaman bisnis—bergerak di antara meja-meja cocktail, berbincang dalam nada santai namun sarat kepentingan. Di tengah keramaian itu, Laksha berdiri tegak, tubuhnya dibingkai sempurna oleh setelan hitam yang dipilih dengan saksama. Dari kejauhan, ia tampak sepenuhnya menguasai situasi—tatapannya tenang, posturnya tegap, seolah tak ada satu pun hal di ruangan ini yang bisa menggoyahkannya.Namun jika diperhatikan lebih dekat, ada ketegangan samar di rahangnya, jejak kegelisahan yang nyaris t
Mentari pagi merayap masuk melalui celah tirai tipis di apartemen mungil itu, menorehkan guratan-guratan cahaya keemasan di lantai kayu yang dingin. Udara masih segar, sisa embun semalam menyelimuti kaca jendela dalam lapisan tipis yang perlahan memudar.Di sudut dapur, aroma kopi hitam yang baru diseduh bercampur dengan wangi roti panggang—yang sayangnya, sedikit terlalu lama bersentuhan dengan panas. Amara berdiri di depan kompor dengan tangan bersedekap, alisnya bertaut melihat dua potong roti yang kini berwarna cokelat tua, nyaris melewati batas sempurna. Ia menghela napas, sebelum menoleh sekilas ke arah pria yang bersandar santai di meja dapur. "Seharusnya aku nggak percaya kamu buat masak sarapan," gumamnya malas. Laksha, hanya mengenakan kaus putih longgar dan celana pendek, tak tampak terganggu oleh nada protes itu. Ia meniup permukaan kopinya, menyeruput perlahan, lalu menatap hasil masakannya sendiri dengan ekspresi p
Langit sore Jakarta berpendar lembut, mewarnai kaca-kaca gedung tinggi dengan semburat jingga yang temaram.Sinar matahari yang mulai meredup memantul di trotoar basah sisa hujan siang tadi, meninggalkan aroma tanah yang samar bercampur dengan wangi kopi yang menguar dari sebuah kafe kecil di sudut kota.Angin sore berembus masuk lewat pintu yang sesekali terbuka, membawa serta aroma roti panggang yang baru keluar dari oven. Di salah satu sudut kafe, Amara duduk diam. Jemarinya melingkari cangkir kopi yang sudah mulai kehilangan hangatnya, tapi ia tidak berniat menyesapnya. Matanya tertuju ke permukaan cairan hitam itu, bukan karena tertarik, melainkan karena pikirannya terlalu berisik untuk memikirkan hal lain.Seolah-olah, jika ia menatap cukup lama, ia bisa menemukan jawaban di sana—atau setidaknya, sedikit ketenangan. Di hadapannya, Reza duduk dengan postur santai. Satu tangannya memegang cangkir, sementara yang lain bertump
Amara tidak pernah membayangkan momen ini akan terjadi. Ia berdiri di ambang pintu apartemen kecil yang kini ia tinggali bersama Laksha, jantungnya berdebar tidak menentu saat melihat sosok Indira Wijanarko berdiri di hadapannya. Wanita itu tampak seperti selalu—anggun, dengan blouse berwarna gading yang membalut tubuhnya sempurna, serta coat panjang yang jatuh elegan di bahunya. Aroma lembut parfum mahalnya menguar di udara, mengingatkan Amara pada malam-malam gala dan ruang-ruang pertemuan yang dingin.Indira Wijanarko selalu tampil berwibawa, seolah mengendalikan setiap detail kehidupan di sekelilingnya. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Matanya tidak lagi setajam biasanya. Tidak ada tatapan dingin yang menusuk atau garis-garis ketegangan di wajahnya. Sebaliknya, ada sesuatu yang lebih lembut di sana—atau mungkin… keraguan yang nyaris tak kasatmata. "Indira?" suara Amara nyaris seperti bisika
Suara hujan mengetuk jendela kecil di ruang belajar Amara, ritmenya tak beraturan namun menenangkan. Udara Jakarta malam itu lebih sejuk dari biasanya, membawa aroma tanah basah yang samar-samar menyusup dari celah pintu balkon.Di dalam ruangan sempit yang dipenuhi buku-buku, cahaya lampu meja menerangi tumpukan kertas yang berserakan, bayangannya jatuh tak beraturan di permukaan kayu yang masih kasar.Amara duduk di tengah kekacauan itu, wajahnya nyaris tenggelam di balik buku tebal yang terbuka di depannya. Mata bulatnya menelusuri barisan kata-kata yang terasa seperti labirin, sesekali alisnya bertaut, bibirnya sedikit mengerucut.Ujung bolpoin tergigit di antara giginya, kebiasaan lama yang selalu muncul saat pikirannya berusaha memahami sesuatu yang sulit.Beberapa menit berlalu tanpa hasil. Ia menghela napas panjang, meletakkan bolpoin, lalu memijat pelipisnya dengan lelah."Kenapa hukum bisnis ini kayak bahasa alien, sih?" gumamnya, frustra