Home / Rumah Tangga / Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova / Bab 94: Surat yang Tak Terlambat

Share

Bab 94: Surat yang Tak Terlambat

Author: Rizki Adinda
last update Last Updated: 2025-03-27 15:07:00

Hujan menari pelan di balik kaca jendela, menciptakan irama samar yang menyusup ke dalam kamar Amara. Udara malam yang lembap berembus melalui celah sempit, membawa serta aroma tanah basah yang bercampur dengan bau buku-buku tua yang memenuhi rak kayunya.

Cahaya lampu meja berpendar lembut, membentuk bayangan samar di dinding, seakan ikut menyimpan rahasia yang berat di dada.

Di tangannya, selembar kertas lusuh tergenggam erat—sebuah surat yang tepinya mulai lecek karena terlalu sering dilipat dan dibuka. Jemarinya terus meraba permukaannya, seolah berharap menemukan jawaban di antara serat kertas yang tipis.

Ia telah membaca surat itu berulang kali, setiap katanya terpatri di benaknya seperti ukiran yang tak bisa dihapus. Tulisan tangan itu begitu familiar—goresan khas yang selama ini lebih sering ia temui dalam dokumen-dokumen bisnis, laporan rapat, kontrak kerja.

Selalu tegas, selalu tanpa cela. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Gor

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 95: Jarak yang Tak Pernah Benar-Benar Ada

    Gemerlap lampu kristal di ballroom hotel itu menari-nari di atas permukaan marmer, menciptakan kilauan yang berpendar seperti bintang jatuh.Aroma sampanye dan parfum mahal bercampur dengan nada lembut musik jazz yang mengalun dari sudut ruangan, melukiskan kemewahan yang hampir terasa asing bagi Amara.Ia berdiri di salah satu sisi ruangan, setengah tersembunyi di balik pilar berukir. Jemarinya menggenggam gelas anggur yang dinginnya merambat ke kulit, tapi isinya masih utuh. Gaun satin biru tua membalut tubuhnya dengan sempurna, mengikuti lekuknya dengan anggun.Rambutnya disanggul sederhana, hanya beberapa helai yang lolos dan jatuh di sisi wajahnya—membingkainya dengan lembut. Dari luar, ia mungkin tampak seperti bagian dari dunia ini: elegan, tenang, tak tersentuh.Tapi di balik raut wajah yang tampak terkendali, jantungnya berdebar kencang.Bukan karena gemerlap pesta.Bukan karena tatapan tamu-tamu yang sesekali meliriknya denga

    Last Updated : 2025-03-28
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 96: Bisikan di Tengah Jazz yang Syahdu

    Langkah Laksha terasa berat. Bukan karena lantai marmer ballroom yang licin atau kerumunan tamu yang bergerak anggun di antara kelopak gaun dan percakapan samar. Bukan pula karena dentingan gelas sampanye yang beradu di udara, menambah riuh malam yang dipenuhi tawa dan basa-basi.Beban itu datang dari sesuatu yang lebih dalam, lebih sunyi—ketakutan yang selama ini tak pernah ia akui.Ketakutan bahwa Amara akan menolaknya. Namun, ketika matanya kembali menemukan sosok itu, segalanya seakan berhenti. Amara berdiri di sana, dalam balutan gaun biru tua yang mengalir lembut di tubuhnya, seperti lautan yang tenang sebelum badai.Cahaya lampu kristal yang menggantung di langit-langit ballroom memantulkan kilau samar di kulitnya, menciptakan bayangan tipis di sepanjang lekuk wajahnya. Ia begitu nyata, begitu dekat, tetapi terasa seperti dunia yang tak lagi bisa dijangkau. Amara menatapnya, tetapi tidak bergerak.

    Last Updated : 2025-03-28
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 97: Di Antara Dua Diri

    Angin malam membelai wajah Amara dengan lembut, menyelusup di antara helaian rambutnya yang tergerai, membawa aroma aspal basah dan sisa hujan yang masih melekat di jalanan.Ia berdiri di balkon, memeluk dirinya sendiri dalam diam, seolah-olah itu satu-satunya cara untuk menahan sesuatu yang perlahan-lahan menggerogoti hatinya.Di bawah sana, Jakarta berkelip dalam jutaan cahaya. Gedung-gedung tinggi berdiri angkuh, jendela-jendelanya memantulkan kilau lampu jalan, sementara kendaraan mengalir tanpa henti, mengisi udara dengan dengung mesin dan klakson yang samar terdengar dari kejauhan.Kota ini selalu hidup, tapi malam ini, bagi Amara, semuanya terasa sunyi.Ia menarik napas dalam, membiarkan udara malam mengisi paru-parunya sebelum mengembuskannya perlahan. Tapi tetap saja, ada sesuatu yang mengganjal di dadanya—sesuatu yang tak bisa ia hembuskan begitu saja.Mimpi-mimpinya.Dulu, segala sesuatunya jelas. Ia tahu apa yang ia kejar,

    Last Updated : 2025-03-29
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 98: Langkah yang Tak Terucap

    Pagi itu, sinar matahari menyelinap lembut melalui jendela besar kafe, menari di permukaan meja kayu tempat Amara duduk.Secangkir cappuccino di depannya telah kehilangan uap hangatnya, dan di sebelahnya, selembar brosur lusuh terlipat di beberapa sudut—jejak dari jari-jarinya yang tak henti meremas dan merapikannya kembali."Beasiswa Pascasarjana – Program Studi Bisnis dan Manajemen, Universitas Leiden, Belanda."Matanya menelusuri kata-kata itu berulang kali, seolah jawaban yang ia cari tersembunyi di antara baris-baris huruf. Dulu, ia tak pernah ragu mengejar impiannya. Namun kini, ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang membuat langkahnya terasa lebih berat dari yang seharusnya.Di dalam kepalanya, suara kecil terus berbisik: Kalau kamu pergi, apakah semuanya akan berubah?Sebuah gesekan kursi mendadak memecah lamunannya.Amara mengangkat kepala dan mendapati Laksha sudah duduk di hadapannya.Pria itu tampak berbeda

    Last Updated : 2025-03-29
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 99: Menemukan Kembali Amara

    Malam turun perlahan, menyelimuti Jakarta dalam pijar lampu-lampu jalan yang berkedip seperti bintang jatuh. Dari balik jendela taksi, Amara menatap pantulan cahaya di kaca, berpendar seiring lalu lintas yang tak pernah benar-benar tidur.Bayangan gedung-gedung tinggi berkelebat, tapi pikirannya melayang jauh, tenggelam dalam pusaran tanya yang tak kunjung menemukan jawaban.Di pangkuannya, secarik kertas terlipat rapi. Sebuah alamat."Ada sesuatu yang mau aku tunjukkan."Itu satu-satunya pesan dari Laksha sejak pertemuan mereka sore tadi di kafe. Tanpa penjelasan, tanpa petunjuk. Hanya kalimat singkat yang menggantung di benaknya selama berjam-jam, membuatnya ragu—dan entah bagaimana, tetap memutuskan untuk datang.Ketika taksi melambat dan akhirnya berhenti, Amara mengangkat wajah. Di hadapannya, berdiri sebuah bangunan tua, berbeda dari hiruk-pikuk kota yang selalu bergerak. Dinding putihnya sedikit pudar, menampakkan jejak waktu.J

    Last Updated : 2025-03-30
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 100: Sentuhan Tanpa Kata

    Langit Jakarta sore itu menyelimuti kota dengan warna jingga yang lembut, seperti pelukannya pada setiap sudut yang terpapar cahaya. Di sepanjang koridor hotel mewah, bayangan panjang para tamu melintasi lantai yang dipoles mengilap, menciptakan ilusi gerak yang tak berujung.Suara tawa ringan, obrolan serius, dan gemericik gelas sampanye berpadu menjadi simfoni yang hampir memabukkan.Di dalam ballroom yang megah, semua orang seolah terjebak dalam permainan sosial—senyum-senyum licik, tatapan penuh perhitungan—di mana setiap gerakan, kata, dan sikap dipilih dengan hati-hati, seolah segala sesuatunya harus tampak sempurna.Di antara kerumunan itu, Amara berdiri sendirian di sudut ruangan, matanya menatap kosong pada gelas mocktail yang mulai mencair di tangannya. Ujung-ujung es yang perlahan runtuh menambah perasaan dingin yang merayap di hatinya.Ia tidak suka berada di sini. Acara seperti ini selalu terasa seperti permainan yang harus diikut

    Last Updated : 2025-03-30
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 1: Jakarta Tak Pernah Ramah

    TIN! Bunyi klakson bertalu-talu bercampur dengan suara hujan yang menghantam atap halte bus. Jakarta di sore hari adalah ladang peperangan bagi siapa pun yang tidak cukup beruntung untuk memiliki kendaraan pribadi atau sopir pribadi.Di trotoar yang becek, Amara Larasati melangkah cepat, menghindari genangan air yang terbentuk di lubang-lubang aspal yang tak terurus. Jaket tipis yang dikenakannya sudah nyaris basah oleh gerimis, dan sepatu ketsnya yang sudah agak usang pun tak bisa lagi menahan air yang mulai meresap ke kaus kakinya.Amara sontak mempercepat langkah, melewati deretan warung kaki lima yang menjajakan gorengan, sate, dan mi instan. Perutnya berontak, mengingatkan bahwa dia belum makan sejak siang tadi, tapi dia hanya merogoh kantong celananya dan merasakan sisa uang kertas yang tak seberapa.Bukan saatnya membeli makan, pikirnya.Amara pun menyibak rambut hitam panjangnya yang mulai lengket di tengkuk karena keringat, lalu mengangkat ponsel untuk mengecek waktu. S

    Last Updated : 2025-02-03
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 2: Pertemuan di Tengah Hiruk Pikuk

    "Sabar," ucap Amara tanpa mengangkat kepala. "Minuman lo nggak akan kemana-mana kok."Pria itu terkekeh, tapi Amara telah beralih ke pesanan berikutnya.Baginya, malam itu hanya rutinitas biasa. Wajah-wajah yang datang dan pergi, percakapan-percakapan yang fana dan tak perlu diingat.Semuanya serupa.Namun, mata Amara tertarik pada sosok pria yang baru saja memasuki klub.Auranya dominan, seolah ia membelah keramaian dan mengubah atmosfer sekitarnya. Langkahnya percaya diri, nyaris arogan, seolah ruangan ini adalah miliknya.Setelan mahalnya memeluk tubuh tegap dengan sempurna, kancing atas dibiarkan terbuka, sedikit menampilkan kulit lehernya yang terkena cahaya.Laksha Wijanarko.Nama itu bukan nama asing di telinga Amara, seringkali terdengar dari obrolan para pengunjung. Pewaris tunggal Wijanarko Group, konglomerat muda dengan reputasi secerah rekening banknya—seorang playboy yang dikelilingi oleh wanita-wanita cantik dan pesta-pesta eksklusif.Malam itu, dia hanya berdiri beberap

    Last Updated : 2025-02-03

Latest chapter

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 100: Sentuhan Tanpa Kata

    Langit Jakarta sore itu menyelimuti kota dengan warna jingga yang lembut, seperti pelukannya pada setiap sudut yang terpapar cahaya. Di sepanjang koridor hotel mewah, bayangan panjang para tamu melintasi lantai yang dipoles mengilap, menciptakan ilusi gerak yang tak berujung.Suara tawa ringan, obrolan serius, dan gemericik gelas sampanye berpadu menjadi simfoni yang hampir memabukkan.Di dalam ballroom yang megah, semua orang seolah terjebak dalam permainan sosial—senyum-senyum licik, tatapan penuh perhitungan—di mana setiap gerakan, kata, dan sikap dipilih dengan hati-hati, seolah segala sesuatunya harus tampak sempurna.Di antara kerumunan itu, Amara berdiri sendirian di sudut ruangan, matanya menatap kosong pada gelas mocktail yang mulai mencair di tangannya. Ujung-ujung es yang perlahan runtuh menambah perasaan dingin yang merayap di hatinya.Ia tidak suka berada di sini. Acara seperti ini selalu terasa seperti permainan yang harus diikut

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 99: Menemukan Kembali Amara

    Malam turun perlahan, menyelimuti Jakarta dalam pijar lampu-lampu jalan yang berkedip seperti bintang jatuh. Dari balik jendela taksi, Amara menatap pantulan cahaya di kaca, berpendar seiring lalu lintas yang tak pernah benar-benar tidur.Bayangan gedung-gedung tinggi berkelebat, tapi pikirannya melayang jauh, tenggelam dalam pusaran tanya yang tak kunjung menemukan jawaban.Di pangkuannya, secarik kertas terlipat rapi. Sebuah alamat."Ada sesuatu yang mau aku tunjukkan."Itu satu-satunya pesan dari Laksha sejak pertemuan mereka sore tadi di kafe. Tanpa penjelasan, tanpa petunjuk. Hanya kalimat singkat yang menggantung di benaknya selama berjam-jam, membuatnya ragu—dan entah bagaimana, tetap memutuskan untuk datang.Ketika taksi melambat dan akhirnya berhenti, Amara mengangkat wajah. Di hadapannya, berdiri sebuah bangunan tua, berbeda dari hiruk-pikuk kota yang selalu bergerak. Dinding putihnya sedikit pudar, menampakkan jejak waktu.J

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 98: Langkah yang Tak Terucap

    Pagi itu, sinar matahari menyelinap lembut melalui jendela besar kafe, menari di permukaan meja kayu tempat Amara duduk.Secangkir cappuccino di depannya telah kehilangan uap hangatnya, dan di sebelahnya, selembar brosur lusuh terlipat di beberapa sudut—jejak dari jari-jarinya yang tak henti meremas dan merapikannya kembali."Beasiswa Pascasarjana – Program Studi Bisnis dan Manajemen, Universitas Leiden, Belanda."Matanya menelusuri kata-kata itu berulang kali, seolah jawaban yang ia cari tersembunyi di antara baris-baris huruf. Dulu, ia tak pernah ragu mengejar impiannya. Namun kini, ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang membuat langkahnya terasa lebih berat dari yang seharusnya.Di dalam kepalanya, suara kecil terus berbisik: Kalau kamu pergi, apakah semuanya akan berubah?Sebuah gesekan kursi mendadak memecah lamunannya.Amara mengangkat kepala dan mendapati Laksha sudah duduk di hadapannya.Pria itu tampak berbeda

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 97: Di Antara Dua Diri

    Angin malam membelai wajah Amara dengan lembut, menyelusup di antara helaian rambutnya yang tergerai, membawa aroma aspal basah dan sisa hujan yang masih melekat di jalanan.Ia berdiri di balkon, memeluk dirinya sendiri dalam diam, seolah-olah itu satu-satunya cara untuk menahan sesuatu yang perlahan-lahan menggerogoti hatinya.Di bawah sana, Jakarta berkelip dalam jutaan cahaya. Gedung-gedung tinggi berdiri angkuh, jendela-jendelanya memantulkan kilau lampu jalan, sementara kendaraan mengalir tanpa henti, mengisi udara dengan dengung mesin dan klakson yang samar terdengar dari kejauhan.Kota ini selalu hidup, tapi malam ini, bagi Amara, semuanya terasa sunyi.Ia menarik napas dalam, membiarkan udara malam mengisi paru-parunya sebelum mengembuskannya perlahan. Tapi tetap saja, ada sesuatu yang mengganjal di dadanya—sesuatu yang tak bisa ia hembuskan begitu saja.Mimpi-mimpinya.Dulu, segala sesuatunya jelas. Ia tahu apa yang ia kejar,

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 96: Bisikan di Tengah Jazz yang Syahdu

    Langkah Laksha terasa berat. Bukan karena lantai marmer ballroom yang licin atau kerumunan tamu yang bergerak anggun di antara kelopak gaun dan percakapan samar. Bukan pula karena dentingan gelas sampanye yang beradu di udara, menambah riuh malam yang dipenuhi tawa dan basa-basi.Beban itu datang dari sesuatu yang lebih dalam, lebih sunyi—ketakutan yang selama ini tak pernah ia akui.Ketakutan bahwa Amara akan menolaknya. Namun, ketika matanya kembali menemukan sosok itu, segalanya seakan berhenti. Amara berdiri di sana, dalam balutan gaun biru tua yang mengalir lembut di tubuhnya, seperti lautan yang tenang sebelum badai.Cahaya lampu kristal yang menggantung di langit-langit ballroom memantulkan kilau samar di kulitnya, menciptakan bayangan tipis di sepanjang lekuk wajahnya. Ia begitu nyata, begitu dekat, tetapi terasa seperti dunia yang tak lagi bisa dijangkau. Amara menatapnya, tetapi tidak bergerak.

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 95: Jarak yang Tak Pernah Benar-Benar Ada

    Gemerlap lampu kristal di ballroom hotel itu menari-nari di atas permukaan marmer, menciptakan kilauan yang berpendar seperti bintang jatuh.Aroma sampanye dan parfum mahal bercampur dengan nada lembut musik jazz yang mengalun dari sudut ruangan, melukiskan kemewahan yang hampir terasa asing bagi Amara.Ia berdiri di salah satu sisi ruangan, setengah tersembunyi di balik pilar berukir. Jemarinya menggenggam gelas anggur yang dinginnya merambat ke kulit, tapi isinya masih utuh. Gaun satin biru tua membalut tubuhnya dengan sempurna, mengikuti lekuknya dengan anggun.Rambutnya disanggul sederhana, hanya beberapa helai yang lolos dan jatuh di sisi wajahnya—membingkainya dengan lembut. Dari luar, ia mungkin tampak seperti bagian dari dunia ini: elegan, tenang, tak tersentuh.Tapi di balik raut wajah yang tampak terkendali, jantungnya berdebar kencang.Bukan karena gemerlap pesta.Bukan karena tatapan tamu-tamu yang sesekali meliriknya denga

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 94: Surat yang Tak Terlambat

    Hujan menari pelan di balik kaca jendela, menciptakan irama samar yang menyusup ke dalam kamar Amara. Udara malam yang lembap berembus melalui celah sempit, membawa serta aroma tanah basah yang bercampur dengan bau buku-buku tua yang memenuhi rak kayunya.Cahaya lampu meja berpendar lembut, membentuk bayangan samar di dinding, seakan ikut menyimpan rahasia yang berat di dada.Di tangannya, selembar kertas lusuh tergenggam erat—sebuah surat yang tepinya mulai lecek karena terlalu sering dilipat dan dibuka. Jemarinya terus meraba permukaannya, seolah berharap menemukan jawaban di antara serat kertas yang tipis.Ia telah membaca surat itu berulang kali, setiap katanya terpatri di benaknya seperti ukiran yang tak bisa dihapus. Tulisan tangan itu begitu familiar—goresan khas yang selama ini lebih sering ia temui dalam dokumen-dokumen bisnis, laporan rapat, kontrak kerja.Selalu tegas, selalu tanpa cela. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Gor

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 93: Tiga Minggu Tanpa Suara

    Langit senja menyelimuti Jakarta dengan gradasi jingga yang perlahan meredup, seolah mencair ke dalam gelapnya malam. Gedung-gedung tinggi berdiri membisu, jendela-jendelanya berpendar oleh cahaya lampu, menciptakan pantulan samar di aspal yang masih menyisakan panas siang tadi.Di sebuah balkon apartemen di lantai tinggi, Laksha berdiri membatu, kedua tangannya bertumpu pada pagar besi hitam yang dingin. Angin sore mengacak rambutnya, menelusup ke dalam kemeja yang tak lagi rapi.Di genggamannya, segelas whiskey hanya tersentuh setengahnya, cairan amber itu berpendar samar di bawah cahaya lampu balkon.Matanya kosong, menatap lalu lintas yang tak pernah berhenti, tetapi pikirannya melayang jauh—terjebak pada satu nama yang tak kunjung pergi dari benaknya.Amara.Sejak kepergiannya tiga minggu lalu, apartemen ini seperti kehilangan nyawanya. Sunyi. Dingin. Sepi. Laksha tak pernah benar-benar peduli pada kesepian sebelumnya—selalu merasa

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 92: Di Antara Rindu dan Luka

    Langit senja perlahan meredup, membiarkan cahaya jingga yang tersisa melebur ke dalam gelap. Lampu-lampu kota mulai menyala, membias di atas aspal yang masih basah oleh sisa hujan.Udara malam membawa aroma tanah lembap yang bercampur dengan wangi kopi dari warung kecil di sudut jalan, menghangatkan atmosfer di tengah dinginnya angin yang berembus perlahan.Namun bagi Amara, tak ada kehangatan di sana.Langkahnya pelan di trotoar, menyusuri jalan tanpa tujuan. Hanya membiarkan kakinya bergerak, berharap pikirannya bisa terbawa pergi bersama angin malam. Tapi semakin jauh ia melangkah, semakin erat bayangan Laksha mencengkeramnya.Ia masih bisa melihat pria itu dengan jelas di benaknya—berdiri di depan pintu rumah Reza, tubuhnya kuyup, rambutnya basah menempel di dahi. Rahangnya mengeras, napasnya sedikit memburu. Tapi yang paling tak bisa Amara lupakan adalah tatapan itu.Mata gelap yang menyimpan begitu banyak hal yang tak terucapkan.

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status