Hujan menari pelan di balik kaca jendela, menciptakan irama samar yang menyusup ke dalam kamar Amara. Udara malam yang lembap berembus melalui celah sempit, membawa serta aroma tanah basah yang bercampur dengan bau buku-buku tua yang memenuhi rak kayunya.
Cahaya lampu meja berpendar lembut, membentuk bayangan samar di dinding, seakan ikut menyimpan rahasia yang berat di dada.
Di tangannya, selembar kertas lusuh tergenggam erat—sebuah surat yang tepinya mulai lecek karena terlalu sering dilipat dan dibuka. Jemarinya terus meraba permukaannya, seolah berharap menemukan jawaban di antara serat kertas yang tipis.
Ia telah membaca surat itu berulang kali, setiap katanya terpatri di benaknya seperti ukiran yang tak bisa dihapus. Tulisan tangan itu begitu familiar—goresan khas yang selama ini lebih sering ia temui dalam dokumen-dokumen bisnis, laporan rapat, kontrak kerja.
Selalu tegas, selalu tanpa cela. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Gor
Gemerlap lampu kristal di ballroom hotel itu menari-nari di atas permukaan marmer, menciptakan kilauan yang berpendar seperti bintang jatuh.Aroma sampanye dan parfum mahal bercampur dengan nada lembut musik jazz yang mengalun dari sudut ruangan, melukiskan kemewahan yang hampir terasa asing bagi Amara.Ia berdiri di salah satu sisi ruangan, setengah tersembunyi di balik pilar berukir. Jemarinya menggenggam gelas anggur yang dinginnya merambat ke kulit, tapi isinya masih utuh. Gaun satin biru tua membalut tubuhnya dengan sempurna, mengikuti lekuknya dengan anggun.Rambutnya disanggul sederhana, hanya beberapa helai yang lolos dan jatuh di sisi wajahnya—membingkainya dengan lembut. Dari luar, ia mungkin tampak seperti bagian dari dunia ini: elegan, tenang, tak tersentuh.Tapi di balik raut wajah yang tampak terkendali, jantungnya berdebar kencang.Bukan karena gemerlap pesta.Bukan karena tatapan tamu-tamu yang sesekali meliriknya denga
Langkah Laksha terasa berat. Bukan karena lantai marmer ballroom yang licin atau kerumunan tamu yang bergerak anggun di antara kelopak gaun dan percakapan samar. Bukan pula karena dentingan gelas sampanye yang beradu di udara, menambah riuh malam yang dipenuhi tawa dan basa-basi.Beban itu datang dari sesuatu yang lebih dalam, lebih sunyi—ketakutan yang selama ini tak pernah ia akui.Ketakutan bahwa Amara akan menolaknya. Namun, ketika matanya kembali menemukan sosok itu, segalanya seakan berhenti. Amara berdiri di sana, dalam balutan gaun biru tua yang mengalir lembut di tubuhnya, seperti lautan yang tenang sebelum badai.Cahaya lampu kristal yang menggantung di langit-langit ballroom memantulkan kilau samar di kulitnya, menciptakan bayangan tipis di sepanjang lekuk wajahnya. Ia begitu nyata, begitu dekat, tetapi terasa seperti dunia yang tak lagi bisa dijangkau. Amara menatapnya, tetapi tidak bergerak.
Angin malam membelai wajah Amara dengan lembut, menyelusup di antara helaian rambutnya yang tergerai, membawa aroma aspal basah dan sisa hujan yang masih melekat di jalanan.Ia berdiri di balkon, memeluk dirinya sendiri dalam diam, seolah-olah itu satu-satunya cara untuk menahan sesuatu yang perlahan-lahan menggerogoti hatinya.Di bawah sana, Jakarta berkelip dalam jutaan cahaya. Gedung-gedung tinggi berdiri angkuh, jendela-jendelanya memantulkan kilau lampu jalan, sementara kendaraan mengalir tanpa henti, mengisi udara dengan dengung mesin dan klakson yang samar terdengar dari kejauhan.Kota ini selalu hidup, tapi malam ini, bagi Amara, semuanya terasa sunyi.Ia menarik napas dalam, membiarkan udara malam mengisi paru-parunya sebelum mengembuskannya perlahan. Tapi tetap saja, ada sesuatu yang mengganjal di dadanya—sesuatu yang tak bisa ia hembuskan begitu saja.Mimpi-mimpinya.Dulu, segala sesuatunya jelas. Ia tahu apa yang ia kejar,
Pagi itu, sinar matahari menyelinap lembut melalui jendela besar kafe, menari di permukaan meja kayu tempat Amara duduk.Secangkir cappuccino di depannya telah kehilangan uap hangatnya, dan di sebelahnya, selembar brosur lusuh terlipat di beberapa sudut—jejak dari jari-jarinya yang tak henti meremas dan merapikannya kembali."Beasiswa Pascasarjana – Program Studi Bisnis dan Manajemen, Universitas Leiden, Belanda."Matanya menelusuri kata-kata itu berulang kali, seolah jawaban yang ia cari tersembunyi di antara baris-baris huruf. Dulu, ia tak pernah ragu mengejar impiannya. Namun kini, ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang membuat langkahnya terasa lebih berat dari yang seharusnya.Di dalam kepalanya, suara kecil terus berbisik: Kalau kamu pergi, apakah semuanya akan berubah?Sebuah gesekan kursi mendadak memecah lamunannya.Amara mengangkat kepala dan mendapati Laksha sudah duduk di hadapannya.Pria itu tampak berbeda
Malam turun perlahan, menyelimuti Jakarta dalam pijar lampu-lampu jalan yang berkedip seperti bintang jatuh. Dari balik jendela taksi, Amara menatap pantulan cahaya di kaca, berpendar seiring lalu lintas yang tak pernah benar-benar tidur.Bayangan gedung-gedung tinggi berkelebat, tapi pikirannya melayang jauh, tenggelam dalam pusaran tanya yang tak kunjung menemukan jawaban.Di pangkuannya, secarik kertas terlipat rapi. Sebuah alamat."Ada sesuatu yang mau aku tunjukkan."Itu satu-satunya pesan dari Laksha sejak pertemuan mereka sore tadi di kafe. Tanpa penjelasan, tanpa petunjuk. Hanya kalimat singkat yang menggantung di benaknya selama berjam-jam, membuatnya ragu—dan entah bagaimana, tetap memutuskan untuk datang.Ketika taksi melambat dan akhirnya berhenti, Amara mengangkat wajah. Di hadapannya, berdiri sebuah bangunan tua, berbeda dari hiruk-pikuk kota yang selalu bergerak. Dinding putihnya sedikit pudar, menampakkan jejak waktu.J
Langit Jakarta sore itu menyelimuti kota dengan warna jingga yang lembut, seperti pelukannya pada setiap sudut yang terpapar cahaya. Di sepanjang koridor hotel mewah, bayangan panjang para tamu melintasi lantai yang dipoles mengilap, menciptakan ilusi gerak yang tak berujung.Suara tawa ringan, obrolan serius, dan gemericik gelas sampanye berpadu menjadi simfoni yang hampir memabukkan.Di dalam ballroom yang megah, semua orang seolah terjebak dalam permainan sosial—senyum-senyum licik, tatapan penuh perhitungan—di mana setiap gerakan, kata, dan sikap dipilih dengan hati-hati, seolah segala sesuatunya harus tampak sempurna.Di antara kerumunan itu, Amara berdiri sendirian di sudut ruangan, matanya menatap kosong pada gelas mocktail yang mulai mencair di tangannya. Ujung-ujung es yang perlahan runtuh menambah perasaan dingin yang merayap di hatinya.Ia tidak suka berada di sini. Acara seperti ini selalu terasa seperti permainan yang harus diikut
Langit malam menggantung dengan tenang di atas Jakarta, seolah menyelimuti kota yang sibuk dengan kilauan lampu-lampu kecil yang berkerlap-kerlip, seakan mimpi yang terjerat di celah-celah kegelapan.Bintang-bintang, yang samar dan tersembunyi di balik pendar cahaya itu, berbisik pelan, memberi ruang bagi keheningan malam yang memeluk segala yang ada di bawahnya.Amara berdiri di depan pintu apartemen Laksha, jemarinya menggenggam erat tali tas tangan, seolah mencari pegangan di tengah kegelisahannya. Udara malam terasa lembap dan hangat, meskipun hatinya berdetak lebih cepat dari biasanya.Rasanya, segala sesuatu di sekitarnya berputar lebih cepat, menariknya ke titik ini—ke titik di mana ia harus memilih apakah akan melangkah maju atau mundur lagi.Ia sudah pernah berdiri di sini sebelumnya, beberapa kali, dengan perasaan yang berbeda-beda. Dulu, ada keraguan yang terus menggerogoti setiap langkahnya, ada amarah yang tersimpan rapat di dadanya, ad
Pagi merayap perlahan ke dalam apartemen Laksha, menyapa ruangannya dengan cara yang lembut. Cahaya matahari yang temaram menerobos tirai putih yang menggantung, melukis pola-pola keemasan di atas lantai kayu yang mengilap.Ruangan itu terasa hangat, meskipun udara pagi masih menyisakan kesegaran semalam. Aroma kopi yang baru diseduh menyebar memenuhi udara, bersaing dengan sisa-sisa kehangatan dari malam yang belum sepenuhnya hilang.Di dapur, Amara duduk dengan santai di kursi kayu, mengenakan kaus longgar milik Laksha yang terasa kebesaran di tubuhnya. Rambutnya yang acak-acakan tidak tampak mengganggu, justru memberi kesan santai yang jarang ia tunjukkan.Wajahnya, meski terlihat lelah, dipenuhi ketenangan yang begitu asing baginya. Di depannya, secangkir teh yang sudah setengah dingin tergeletak di atas meja, tidak lagi menarik perhatian.Amara memperhatikan Laksha yang sedang berdiri dekat meja dapur, tubuhnya yang tegap tampak lebih ringan tanpa se
Matahari sore menelusup lembut melalui jendela besar apartemen kecil mereka, menyiramkan cahaya keemasan yang hangat ke seluruh ruangan. Tirai putih yang setengah terbuka bergoyang pelan ditiup angin, menari dalam irama yang nyaris tak terdengar.Aroma kopi yang baru diseduh bercampur dengan wangi kayu dari lantai yang telah lama menyerap kehangatan rumah. Suasana senja begitu syahdu, seakan menjadi saksi bisu dari momen yang akan mengubah segalanya. Amara duduk bersila di sofa, layar laptopnya dipenuhi dengan gambar-gambar dekorasi pernikahan.Jari-jarinya yang ramping sesekali menyentuh touchpad, menggulir berbagai inspirasi—pesta sederhana di taman yang penuh bunga liar, pernikahan intim di pinggir pantai dengan debur ombak sebagai musik pengiring.Matanya yang berbinar menelusuri setiap detail, dan sesekali, senyum kecil muncul tanpa ia sadari. Dari dapur kecil di ujung ruangan, Laksha mengawasinya sambil menuangkan kopi ke
Udara malam membelai lembut kulit Laksha saat ia berdiri di balkon apartemen. Angin membawa aroma aspal basah yang samar bercampur dengan wangi teh hangat dalam genggamannya.Dari lantai sepuluh, Jakarta terbentang luas di hadapannya—hamparan cahaya berkilauan seolah bintang-bintang telah jatuh ke bumi, berkedip-kedip dalam keheningan yang kontras dengan hiruk-pikuk kehidupan di bawah sana.Tangannya yang bebas terselip di saku celana, sementara pandangannya menerawang ke kejauhan, tapi pikirannya masih tertahan di satu momen yang terus bergema dalam benaknya.Tatapan ayahnya.Nada suaranya.Dan—lebih dari segalanya—kata-kata yang akhirnya keluar setelah bertahun-tahun ia tunggu."Kamu berhasil."Dua kata sederhana yang seharusnya membawa kelegaan, tapi justru mengguncang sesuatu di dalam dirinya. Pertahanan yang selama ini ia bangun perlahan runtuh, seperti dinding tua yang akhirnya retak setelah menahan te
Suara percakapan membaur dengan denting halus gelas sampanye yang saling bersentuhan, memenuhi ballroom hotel bintang lima dengan atmosfer yang nyaris elektrik.Cahaya dari lampu gantung kristal raksasa berpendar di langit-langit berornamen mewah, jatuh ke lantai marmer yang mengilap, menciptakan refleksi yang hampir magis.Para tamu—pengusaha dengan jas mahal, jurnalis dengan kamera siaga, serta tokoh-tokoh penting yang namanya sering menghiasi halaman bisnis—bergerak di antara meja-meja cocktail, berbincang dalam nada santai namun sarat kepentingan. Di tengah keramaian itu, Laksha berdiri tegak, tubuhnya dibingkai sempurna oleh setelan hitam yang dipilih dengan saksama. Dari kejauhan, ia tampak sepenuhnya menguasai situasi—tatapannya tenang, posturnya tegap, seolah tak ada satu pun hal di ruangan ini yang bisa menggoyahkannya.Namun jika diperhatikan lebih dekat, ada ketegangan samar di rahangnya, jejak kegelisahan yang nyaris t
Mentari pagi merayap masuk melalui celah tirai tipis di apartemen mungil itu, menorehkan guratan-guratan cahaya keemasan di lantai kayu yang dingin. Udara masih segar, sisa embun semalam menyelimuti kaca jendela dalam lapisan tipis yang perlahan memudar.Di sudut dapur, aroma kopi hitam yang baru diseduh bercampur dengan wangi roti panggang—yang sayangnya, sedikit terlalu lama bersentuhan dengan panas. Amara berdiri di depan kompor dengan tangan bersedekap, alisnya bertaut melihat dua potong roti yang kini berwarna cokelat tua, nyaris melewati batas sempurna. Ia menghela napas, sebelum menoleh sekilas ke arah pria yang bersandar santai di meja dapur. "Seharusnya aku nggak percaya kamu buat masak sarapan," gumamnya malas. Laksha, hanya mengenakan kaus putih longgar dan celana pendek, tak tampak terganggu oleh nada protes itu. Ia meniup permukaan kopinya, menyeruput perlahan, lalu menatap hasil masakannya sendiri dengan ekspresi p
Langit sore Jakarta berpendar lembut, mewarnai kaca-kaca gedung tinggi dengan semburat jingga yang temaram.Sinar matahari yang mulai meredup memantul di trotoar basah sisa hujan siang tadi, meninggalkan aroma tanah yang samar bercampur dengan wangi kopi yang menguar dari sebuah kafe kecil di sudut kota.Angin sore berembus masuk lewat pintu yang sesekali terbuka, membawa serta aroma roti panggang yang baru keluar dari oven. Di salah satu sudut kafe, Amara duduk diam. Jemarinya melingkari cangkir kopi yang sudah mulai kehilangan hangatnya, tapi ia tidak berniat menyesapnya. Matanya tertuju ke permukaan cairan hitam itu, bukan karena tertarik, melainkan karena pikirannya terlalu berisik untuk memikirkan hal lain.Seolah-olah, jika ia menatap cukup lama, ia bisa menemukan jawaban di sana—atau setidaknya, sedikit ketenangan. Di hadapannya, Reza duduk dengan postur santai. Satu tangannya memegang cangkir, sementara yang lain bertump
Amara tidak pernah membayangkan momen ini akan terjadi. Ia berdiri di ambang pintu apartemen kecil yang kini ia tinggali bersama Laksha, jantungnya berdebar tidak menentu saat melihat sosok Indira Wijanarko berdiri di hadapannya. Wanita itu tampak seperti selalu—anggun, dengan blouse berwarna gading yang membalut tubuhnya sempurna, serta coat panjang yang jatuh elegan di bahunya. Aroma lembut parfum mahalnya menguar di udara, mengingatkan Amara pada malam-malam gala dan ruang-ruang pertemuan yang dingin.Indira Wijanarko selalu tampil berwibawa, seolah mengendalikan setiap detail kehidupan di sekelilingnya. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Matanya tidak lagi setajam biasanya. Tidak ada tatapan dingin yang menusuk atau garis-garis ketegangan di wajahnya. Sebaliknya, ada sesuatu yang lebih lembut di sana—atau mungkin… keraguan yang nyaris tak kasatmata. "Indira?" suara Amara nyaris seperti bisika
Suara hujan mengetuk jendela kecil di ruang belajar Amara, ritmenya tak beraturan namun menenangkan. Udara Jakarta malam itu lebih sejuk dari biasanya, membawa aroma tanah basah yang samar-samar menyusup dari celah pintu balkon.Di dalam ruangan sempit yang dipenuhi buku-buku, cahaya lampu meja menerangi tumpukan kertas yang berserakan, bayangannya jatuh tak beraturan di permukaan kayu yang masih kasar.Amara duduk di tengah kekacauan itu, wajahnya nyaris tenggelam di balik buku tebal yang terbuka di depannya. Mata bulatnya menelusuri barisan kata-kata yang terasa seperti labirin, sesekali alisnya bertaut, bibirnya sedikit mengerucut.Ujung bolpoin tergigit di antara giginya, kebiasaan lama yang selalu muncul saat pikirannya berusaha memahami sesuatu yang sulit.Beberapa menit berlalu tanpa hasil. Ia menghela napas panjang, meletakkan bolpoin, lalu memijat pelipisnya dengan lelah."Kenapa hukum bisnis ini kayak bahasa alien, sih?" gumamnya, frustra
Langit Jakarta masih bergelayut kelabu, seakan enggan melepaskan sisa-sisa embun yang menggantung di udara.Laksha berdiri diam di trotoar yang lembap, matanya terpaku pada bangunan kecil di depannya—sebuah ruko tua dua lantai dengan cat yang mulai mengelupas, jendela berdebu, dan papan nama yang masih kosong. Bangunan itu tidak megah. Tidak ada lobi luas dengan resepsionis berseragam rapi, tidak ada lantai marmer yang mengilap, tidak ada ruang rapat penuh lelaki berjas mahal seperti yang biasa ia temui di Wijanarko Enterprise.Ini jauh dari dunia yang dulu ia kenal. Jemarinya mencengkeram erat map cokelat di tangannya, berisi cetak biru mimpinya yang kini terasa lebih nyata daripada sebelumnya.Napasnya terasa berat, bukan hanya karena udara pagi yang masih menyimpan sisa dingin malam, tapi juga karena kesadaran bahwa untuk pertama kalinya, ia harus membangun segalanya dari nol. "Kamu yakin ini tempat yang cocok?"
Udara di ruang kerja Aditya Wijanarko terasa lebih berat dari biasanya, seakan beban tak kasatmata menggantung di antara dinding-dinding kayu mahoni yang megah. Dari jendela besar di belakang meja kerjanya, langit kelabu terbentang muram, mendung seolah mencerminkan suasana hati di dalam ruangan.Aroma kayu tua yang dipernis halus bercampur dengan wangi kopi hitam yang sudah mulai mendingin, menambah kesan tegang yang memenuhi udara.Laksha berdiri tegak di hadapan ayahnya. Bahunya lurus, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh, namun wajahnya tetap datar—tenang, seperti permukaan air yang menyembunyikan pusaran di bawahnya. Hanya sorot matanya yang mengisyaratkan keteguhan, ketegangan yang tak bisa diabaikan.Di belakangnya, Amara berdiri sedikit lebih dekat daripada yang ia sadari. Jari-jarinya saling bertaut erat di pangkuan, dan ia bisa merasakan denyut jantungnya sendiri yang berdegup lebih cepat dari seharusnya.Matanya bergantian menatap pungg