Hujan masih menari-nari di atas aspal saat mobil Laksha melaju membelah jalanan Jakarta yang basah. Lampu-lampu kota berpendar di genangan air, menciptakan refleksi tak beraturan yang berkedip-kedip di kaca depan.
Wiper bergerak malas, menyapu rintik-rintik hujan yang terus saja turun.
Tangannya mencengkeram kemudi lebih kuat dari yang seharusnya, jemarinya memutih. Rahangnya mengeras, otot-otot di lehernya menegang. Di kepalanya, ingatan tentang Amara berputar tanpa henti, menyisakan lubang yang semakin menganga.
Kemana dia pergi?
Amara bukan tipe yang akan kembali ke rumah orang tua—karena ia tak punya siapa-siapa di sana. Ia juga bukan seseorang yang akan menghamburkan uang di hotel-hotel mahal. Terlalu boros, terlalu tidak masuk akal baginya.
Jika ia ingin menghilang, ke mana?
Laksha memejamkan mata sejenak di lampu merah, membiarkan pikirannya menelusuri jejak-jejak kecil yang selama ini luput dari perhatiannya. Percakapan-percaka
Hujan telah reda, meninggalkan jejak tipis di permukaan jalan yang memantulkan cahaya lampu-lampu kota. Aroma tanah basah menyelinap masuk melalui jendela yang setengah terbuka, bercampur dengan udara malam yang sejuk.Di kejauhan, suara rintik yang tersisa masih terdengar samar-samar, seperti enggan benar-benar pergi.Amara duduk diam di meja makan, tubuhnya nyaris tak bergerak kecuali jemarinya yang menggenggam cangkir teh—cairannya sudah lama kehilangan hangatnya. Pandangannya kosong, tidak benar-benar melihat apapun, seakan pikirannya berada di tempat lain.Di seberangnya, Reza menatapnya lekat-lekat. Ekspresinya lebih serius dari biasanya, rahangnya mengeras seolah menahan sesuatu yang sudah lama ingin ia katakan."Lo nggak bisa terus kayak gini, Ra." Suaranya tenang, tapi ada desakan halus yang sulit diabaikan. "Kalau lo udah pergi, ya udah. Jangan terus-terusan nyangkut di masa lalu."Masa lalu.Kata itu menggantung di udara, me
Di ruang tamu yang luas dan penuh kehangatan terselubung, cahaya lampu kristal yang lembut jatuh ke permukaan marmer, menciptakan kilauan samar di lantai. Aroma teh melati yang baru diseduh menguar pelan, bercampur dengan wangi kayu mahoni dari perabotan yang tertata sempurna.Meski ruangan ini begitu mewah dan teratur, ada sesuatu yang terasa berat di udara—sebuah ketegangan yang sunyi namun nyata. Laksha duduk di sofa beludru berwarna cokelat tua, tubuhnya sedikit merosot, seolah kelelahan yang ia bawa tak hanya berasal dari fisiknya, tetapi juga dari dalam hatinya.Jaketnya tersampir sembarangan di sandaran sofa, kerahnya sedikit kusut akibat tangan yang berkali-kali menariknya sepanjang perjalanan ke rumah ini. Kedua tangannya saling bertaut di depan wajah, jemarinya mengetuk-ngetuk ibu jari dalam irama yang tak beraturan.Pandangannya tertuju pada meja kopi di depannya—bukan karena ada sesuatu yang menarik di sana, tetapi lebih kar
Laksha tersentak, tubuhnya menegang seolah ibunya baru saja membuka sesuatu yang selama ini terkunci rapat di sudut terdalam hatinya. Ia memalingkan wajah, menatap ke arah jendela besar yang terbuka, seakan berharap angin malam yang masuk bisa mendinginkan gejolak yang tiba-tiba menyerangnya.Di luar, langit pekat bertabur bintang. Cahaya bulan memantulkan bayangan samar di lantai kayu ruang tamu yang luas, tetapi bagi Laksha, malam terasa lebih sempit dari biasanya. Udara seolah berat, seperti menekan dadanya, menahan setiap kata yang ingin ia ucapkan.Ia ingin membantah. Ingin berkata bahwa ini bukan tentang cinta, bahwa ia hanya merasa terganggu karena Amara pergi begitu saja tanpa peringatan. Tapi mulutnya tetap tertutup, seolah ada sesuatu yang mengunci semua penyangkalan itu di dalam tenggorokan.Indira memperhatikan putranya dalam diam. Ada kelembutan di matanya, tetapi juga ketajaman seorang ibu yang mengenal anaknya lebih baik daripada siapa pun. Senyum
Langit senja perlahan meredup, membiarkan cahaya jingga yang tersisa melebur ke dalam gelap. Lampu-lampu kota mulai menyala, membias di atas aspal yang masih basah oleh sisa hujan.Udara malam membawa aroma tanah lembap yang bercampur dengan wangi kopi dari warung kecil di sudut jalan, menghangatkan atmosfer di tengah dinginnya angin yang berembus perlahan.Namun bagi Amara, tak ada kehangatan di sana.Langkahnya pelan di trotoar, menyusuri jalan tanpa tujuan. Hanya membiarkan kakinya bergerak, berharap pikirannya bisa terbawa pergi bersama angin malam. Tapi semakin jauh ia melangkah, semakin erat bayangan Laksha mencengkeramnya.Ia masih bisa melihat pria itu dengan jelas di benaknya—berdiri di depan pintu rumah Reza, tubuhnya kuyup, rambutnya basah menempel di dahi. Rahangnya mengeras, napasnya sedikit memburu. Tapi yang paling tak bisa Amara lupakan adalah tatapan itu.Mata gelap yang menyimpan begitu banyak hal yang tak terucapkan.
TIN! Bunyi klakson bertalu-talu bercampur dengan suara hujan yang menghantam atap halte bus. Jakarta di sore hari adalah ladang peperangan bagi siapa pun yang tidak cukup beruntung untuk memiliki kendaraan pribadi atau sopir pribadi.Di trotoar yang becek, Amara Larasati melangkah cepat, menghindari genangan air yang terbentuk di lubang-lubang aspal yang tak terurus. Jaket tipis yang dikenakannya sudah nyaris basah oleh gerimis, dan sepatu ketsnya yang sudah agak usang pun tak bisa lagi menahan air yang mulai meresap ke kaus kakinya.Amara sontak mempercepat langkah, melewati deretan warung kaki lima yang menjajakan gorengan, sate, dan mi instan. Perutnya berontak, mengingatkan bahwa dia belum makan sejak siang tadi, tapi dia hanya merogoh kantong celananya dan merasakan sisa uang kertas yang tak seberapa.Bukan saatnya membeli makan, pikirnya.Amara pun menyibak rambut hitam panjangnya yang mulai lengket di tengkuk karena keringat, lalu mengangkat ponsel untuk mengecek waktu. S
"Sabar," ucap Amara tanpa mengangkat kepala. "Minuman lo nggak akan kemana-mana kok."Pria itu terkekeh, tapi Amara telah beralih ke pesanan berikutnya.Baginya, malam itu hanya rutinitas biasa. Wajah-wajah yang datang dan pergi, percakapan-percakapan yang fana dan tak perlu diingat.Semuanya serupa.Namun, mata Amara tertarik pada sosok pria yang baru saja memasuki klub.Auranya dominan, seolah ia membelah keramaian dan mengubah atmosfer sekitarnya. Langkahnya percaya diri, nyaris arogan, seolah ruangan ini adalah miliknya.Setelan mahalnya memeluk tubuh tegap dengan sempurna, kancing atas dibiarkan terbuka, sedikit menampilkan kulit lehernya yang terkena cahaya.Laksha Wijanarko.Nama itu bukan nama asing di telinga Amara, seringkali terdengar dari obrolan para pengunjung. Pewaris tunggal Wijanarko Group, konglomerat muda dengan reputasi secerah rekening banknya—seorang playboy yang dikelilingi oleh wanita-wanita cantik dan pesta-pesta eksklusif.Malam itu, dia hanya berdiri beberap
Laksha tersenyum, sebuah senyum yang lebih mengundang tanya daripada memberi jawaban. “Nggak tahu,” ujarnya seraya mengangkat gelasnya, memainkan whiskey di dalamnya sebelum meneguknya sampai habis. “Aku cuma penasaran.”“Penasaran apa?” Amara mempertahankan nada datarnya, meskipun di dalam hatinya, keingintahuan mulai bertunas.Laksha meletakkan gelasnya di meja, sedikit mencondongkan tubuh mendekati Amara. “Gimana rasanya jadi seseorang yang nggak bisa aku baca.”Amara terkekeh sinis. “Gue bukan teka-teki, Laksha.”“Tapi kamu bikin aku pengen nyari jawabannya,” lanjut Laksha, suaranya rendah, penuh dengan ketulusan yang tidak terduga.Mata mereka bertemu lagi, kali ini lebih lama, lebih dalam. Ada sesuatu yang tidak terucapkan, sebuah permainan tarik-ulur yang tidak hanya sederhana tapi juga kompleks.Amara tidak mengatakan apa-apa, menahan kata-kata yang berkecamuk di dalam dirinya. Di dalam hatinya, ia tahu—pria ini adalah masalah. Masalah besar. Dan dia belum tahu apakah dia puny
Udara malam di Jakarta memang lebih sejuk, namun bukan semilir angin yang menjadi penyebabnya. Kedinginan yang Amara rasakan justru bersumber dari keabsurdan yang baru saja ia dengarkan dari Laksha.Mereka berdiri berhadapan, dengan Amara yang masih mencoba mencari tanda-tanda canda di wajah Laksha. Ia berharap bahwa apa yang baru saja didengarnya adalah salah satu lelucon Laksha, hanya sekedar permainan kata untuk mengusik suasana.Namun, tidak ada tawa renyah atau senyuman geli yang biasa menghiasi wajah Laksha kali ini.Dia serius.Dengan tawa kering, Amara berkata, "Lucu sekali."Laksha hanya mengangkat alisnya, teguh. "Gue serius, bukan bercanda.""Tentu saja kau bercanda," Amara mendesah, hampir tidak percaya. "Baru beberapa jam kita berkenalan, di klub tempat aku bekerja, dan sekarang kau tiba-tiba melamar aku?"Laksha mengangkat bahu, seolah-olah apa yang ia katakan adalah hal yang paling wajar di dunia. "Untuk membuat kesepakatan, kita tidak perlu tahu terlalu banyak satu sam
Langit senja perlahan meredup, membiarkan cahaya jingga yang tersisa melebur ke dalam gelap. Lampu-lampu kota mulai menyala, membias di atas aspal yang masih basah oleh sisa hujan.Udara malam membawa aroma tanah lembap yang bercampur dengan wangi kopi dari warung kecil di sudut jalan, menghangatkan atmosfer di tengah dinginnya angin yang berembus perlahan.Namun bagi Amara, tak ada kehangatan di sana.Langkahnya pelan di trotoar, menyusuri jalan tanpa tujuan. Hanya membiarkan kakinya bergerak, berharap pikirannya bisa terbawa pergi bersama angin malam. Tapi semakin jauh ia melangkah, semakin erat bayangan Laksha mencengkeramnya.Ia masih bisa melihat pria itu dengan jelas di benaknya—berdiri di depan pintu rumah Reza, tubuhnya kuyup, rambutnya basah menempel di dahi. Rahangnya mengeras, napasnya sedikit memburu. Tapi yang paling tak bisa Amara lupakan adalah tatapan itu.Mata gelap yang menyimpan begitu banyak hal yang tak terucapkan.
Laksha tersentak, tubuhnya menegang seolah ibunya baru saja membuka sesuatu yang selama ini terkunci rapat di sudut terdalam hatinya. Ia memalingkan wajah, menatap ke arah jendela besar yang terbuka, seakan berharap angin malam yang masuk bisa mendinginkan gejolak yang tiba-tiba menyerangnya.Di luar, langit pekat bertabur bintang. Cahaya bulan memantulkan bayangan samar di lantai kayu ruang tamu yang luas, tetapi bagi Laksha, malam terasa lebih sempit dari biasanya. Udara seolah berat, seperti menekan dadanya, menahan setiap kata yang ingin ia ucapkan.Ia ingin membantah. Ingin berkata bahwa ini bukan tentang cinta, bahwa ia hanya merasa terganggu karena Amara pergi begitu saja tanpa peringatan. Tapi mulutnya tetap tertutup, seolah ada sesuatu yang mengunci semua penyangkalan itu di dalam tenggorokan.Indira memperhatikan putranya dalam diam. Ada kelembutan di matanya, tetapi juga ketajaman seorang ibu yang mengenal anaknya lebih baik daripada siapa pun. Senyum
Di ruang tamu yang luas dan penuh kehangatan terselubung, cahaya lampu kristal yang lembut jatuh ke permukaan marmer, menciptakan kilauan samar di lantai. Aroma teh melati yang baru diseduh menguar pelan, bercampur dengan wangi kayu mahoni dari perabotan yang tertata sempurna.Meski ruangan ini begitu mewah dan teratur, ada sesuatu yang terasa berat di udara—sebuah ketegangan yang sunyi namun nyata. Laksha duduk di sofa beludru berwarna cokelat tua, tubuhnya sedikit merosot, seolah kelelahan yang ia bawa tak hanya berasal dari fisiknya, tetapi juga dari dalam hatinya.Jaketnya tersampir sembarangan di sandaran sofa, kerahnya sedikit kusut akibat tangan yang berkali-kali menariknya sepanjang perjalanan ke rumah ini. Kedua tangannya saling bertaut di depan wajah, jemarinya mengetuk-ngetuk ibu jari dalam irama yang tak beraturan.Pandangannya tertuju pada meja kopi di depannya—bukan karena ada sesuatu yang menarik di sana, tetapi lebih kar
Hujan telah reda, meninggalkan jejak tipis di permukaan jalan yang memantulkan cahaya lampu-lampu kota. Aroma tanah basah menyelinap masuk melalui jendela yang setengah terbuka, bercampur dengan udara malam yang sejuk.Di kejauhan, suara rintik yang tersisa masih terdengar samar-samar, seperti enggan benar-benar pergi.Amara duduk diam di meja makan, tubuhnya nyaris tak bergerak kecuali jemarinya yang menggenggam cangkir teh—cairannya sudah lama kehilangan hangatnya. Pandangannya kosong, tidak benar-benar melihat apapun, seakan pikirannya berada di tempat lain.Di seberangnya, Reza menatapnya lekat-lekat. Ekspresinya lebih serius dari biasanya, rahangnya mengeras seolah menahan sesuatu yang sudah lama ingin ia katakan."Lo nggak bisa terus kayak gini, Ra." Suaranya tenang, tapi ada desakan halus yang sulit diabaikan. "Kalau lo udah pergi, ya udah. Jangan terus-terusan nyangkut di masa lalu."Masa lalu.Kata itu menggantung di udara, me
Hujan masih menari-nari di atas aspal saat mobil Laksha melaju membelah jalanan Jakarta yang basah. Lampu-lampu kota berpendar di genangan air, menciptakan refleksi tak beraturan yang berkedip-kedip di kaca depan.Wiper bergerak malas, menyapu rintik-rintik hujan yang terus saja turun.Tangannya mencengkeram kemudi lebih kuat dari yang seharusnya, jemarinya memutih. Rahangnya mengeras, otot-otot di lehernya menegang. Di kepalanya, ingatan tentang Amara berputar tanpa henti, menyisakan lubang yang semakin menganga.Kemana dia pergi?Amara bukan tipe yang akan kembali ke rumah orang tua—karena ia tak punya siapa-siapa di sana. Ia juga bukan seseorang yang akan menghamburkan uang di hotel-hotel mahal. Terlalu boros, terlalu tidak masuk akal baginya.Jika ia ingin menghilang, ke mana?Laksha memejamkan mata sejenak di lampu merah, membiarkan pikirannya menelusuri jejak-jejak kecil yang selama ini luput dari perhatiannya. Percakapan-percaka
Hujan turun perlahan, mengetuk-ngetuk kaca jendela apartemen dengan ritme yang seolah menggema di dalam dadanya. Langit di luar kelabu pekat, serupa kanvas kusam yang mencerminkan benang kusut dalam kepalanya.Udara membawa aroma aspal basah dan samar-samar dingin yang merayapi kulit, tetapi Laksha nyaris tak menyadarinya.Ia terduduk di atas sofa, satu tangan menopang dahinya, sementara tangan lain menggenggam gelas kristal berisi bourbon yang tak tersentuh. Cairan keemasan itu berpendar redup di bawah cahaya lampu, tetapi tak ada daya tariknya malam ini.Ruangan ini... terlalu luas. Terlalu sunyi.Dulu, selalu ada suara langkah kecil yang tergesa-gesa di pagi hari, gemerisik sendok beradu dengan cangkir, aroma kopi yang menyelusup dari dapur. Selalu ada dengusan kesal atau lirikan tajam yang mengiringi candaan sarkastisnya.Selalu ada suara Amara.Selalu ada Amara.Sekarang? Kosong.Laksha menghela napas panjang, pundaknya tu
Hujan baru saja reda, menyisakan aroma tanah basah yang samar-samar bercampur dengan udara dingin yang menusuk kulit. Tetesan air masih jatuh perlahan dari dedaunan di luar jendela, menciptakan irama samar yang menyatu dengan desah napas tertahan di dalam kamar itu.Langit Jakarta malam itu kelabu pekat, seakan menyerap segala emosi yang menggenang di ruangan sempit tempat dua hati saling terombang-ambing dalam ketidakpastian. Amara berdiri di tengah kamar mereka, kaki telanjangnya menyentuh lantai kayu yang dingin. Di hadapannya, koper kecil terbuka setengah, pakaian yang tergulung rapi berbaring di dalamnya seperti saksi bisu dari keputusannya.Tangannya gemetar saat meraih sehelai sweater, tapi ia memaksa dirinya untuk tetap bergerak. Jika ia berhenti, ia tahu dadanya akan semakin sesak. Dari belakangnya, langkah kaki terdengar mendekat—berat dan tergesa. “Amara, berhenti.” Suara itu dalam, le
Pagi di Jakarta selalu sibuk, penuh dengan suara klakson yang bersahutan dan langkah-langkah tergesa di trotoar. Tapi bagi Amara, semuanya terasa lebih lambat hari ini.Ia duduk di sebuah kafe kecil di sudut Senopati, membiarkan jemarinya melingkari gelas kopi yang kini mulai kehilangan kehangatannya. Aroma espresso yang pekat bercampur dengan wangi croissant hangat yang baru saja keluar dari oven dapur terbuka, tapi tak satu pun menggugah seleranya.Suara sendok beradu dengan cangkir, derit kursi yang bergeser, dan bisikan percakapan dari meja-meja lain menyusup ke telinganya, tapi tetap saja dunia di sekelilingnya terasa jauh, seolah hanya ada ia dan laki-laki yang duduk di depannya.Reza.Pria itu mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung hingga siku, memperlihatkan urat-urat halus di pergelangan tangannya. Ia selalu tampak seperti ini—rapi, effortless, seseorang yang tidak butuh usaha berlebih untuk terlihat menarik.Tapi hari ini,
Hujan telah reda, menyisakan jejak basah yang berkilauan di sepanjang jalanan Jakarta. Genangan kecil memantulkan cahaya lampu jalan, menciptakan kilau keemasan di antara aspal yang menghitam.Aroma tanah basah masih menggantung di udara, berpadu dengan angin malam yang berembus pelan, membawa serta sisa dingin yang menggigit kulit. Dari balkon apartemennya di lantai delapan, Amara berdiri dengan tangan melingkari secangkir teh yang mulai kehilangan hangatnya. Uap tipis yang tadi membubung kini hampir lenyap, menyisakan permukaan air yang tenang, seolah mencerminkan hatinya yang tak menentu.Pandangannya mengembara ke gedung-gedung tinggi di sekelilingnya—monumen bisu yang menjulang dalam kesunyian. Kota ini tak pernah benar-benar tidur, tetapi malam ini terasa berbeda. Lebih sunyi. Lebih lengang. Di dalam, suara pintu yang berderit memecah keheningan. Amara tidak berbalik. Ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang dat