Suara kilatan kamera berpadu dengan teriakan wartawan, menciptakan simfoni kacau yang menggema di lobi hotel mewah itu. Lampu-lampu blitz menyambar tanpa ampun, membentuk bayang-bayang tajam di lantai marmer mengilap.
Aroma parfum mahal bercampur dengan hawa panas tubuh manusia yang berdesakan, menyelimuti ruangan dengan atmosfer yang begitu menekan.
Di tengah hiruk-pikuk itu, Amara berdiri di samping Laksha, jemarinya menggenggam erat lengan pria itu. Ia bisa merasakan ketegangan mengalir dari tubuh Laksha, meski ekspresi pria itu tetap tak terbaca—datar, dingin, nyaris tak tersentuh oleh kekacauan di sekeliling mereka.
Jari-jarinya yang panjang dan kokoh tetap santai di sisinya, namun Amara tahu lebih baik dari siapa pun bahwa dalam diamnya, Laksha sedang menakar situasi.
Lalu, seolah panggung baru saja dibuka untuk sang pemeran utama, seseorang melangkah maju dengan kepercayaan diri yang mencolok. Gaun merahnya meluncur sempurna di
Kilatan kamera menyambar seperti kilat di malam badai, membekukan momen dalam kilau putih yang sesaat menyilaukan. Sorotan lampu menerangi ballroom hotel megah itu dengan kehangatan artifisial, tapi udara di dalam ruangan justru terasa dingin, nyaris menusuk.Suara para wartawan berdesakan satu sama lain, menyatu dalam dengungan penuh antisipasi, menunggu jawaban yang akan mengubah jalannya cerita.Di atas panggung kecil yang sengaja disiapkan untuk konferensi pers ini, sebuah meja panjang dengan beberapa mikrofon berdiri sebagai batas antara dua orang di hadapannya dan puluhan pasang mata yang siap menghakimi.Laksha Wijanarko duduk di tengah panggung dengan ketenangan yang begitu bertolak belakang dengan atmosfer di sekitarnya. Rahangnya tegas, ekspresinya tak terbaca, hanya tatapan tajamnya yang menunjukkan bahwa ia mengendalikan situasi ini, bukan sebaliknya.Di sebelahnya, Amara duduk dengan punggung lurus sempurna. Jemarinya bertau
“Tapi…” Laksha melanjutkan, suaranya lebih dalam, lebih tegas, menusuk keheningan ruangan dengan kepercayaan diri yang tak tergoyahkan.“Yang aku miliki sekarang lebih dari sekadar pernikahan bisnis. Aku mencintai Amara. Aku mencintainya tanpa syarat. Dan jika kalian semua ingin tahu kebenaran yang sebenarnya, maka inilah jawabannya.”Ruangan yang tadinya riuh mendadak sunyi.Amara merasa napasnya tercekat, dadanya berdenyut seakan ada sesuatu yang menghantamnya keras dari dalam. Ia tidak pernah membayangkan Laksha akan mengatakan itu—terlebih di hadapan semua orang.Di depannya, para wartawan saling pandang, beberapa masih menggenggam ponsel atau alat rekam mereka, seolah memastikan bahwa mereka tidak sedang berhalusinasi.Pria yang selama ini dikenal sebagai Cassanova dingin, yang acuh tak acuh terhadap perasaan siapa pun, baru saja mengakui sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar klarifikasi.Se
Udara pagi menusuk lebih dalam dari biasanya, membalut apartemen dalam keheningan yang dingin. Cahaya matahari menelusup melalui jendela besar, menciptakan bayangan panjang di lantai kayu.Namun, kehangatannya terasa enggan menjangkau, seolah terbentur sesuatu yang tak kasatmata—sebuah beban yang menggantung di udara.Di meja dapur, Amara duduk diam. Jari-jarinya melingkari cangkir teh yang telah lama kehilangan kehangatannya. Matanya terpaku pada layar ponsel, di mana nama mereka berdua—Laksha Wijanarko dan Amara Larasati—terpampang dalam huruf-huruf tebal di berbagai headline.“CEO Wijanarko Group Akui Pernikahan Awalnya Hanya Kontrak—Cinta atau Manipulasi?”“Dari Kontrak ke Cinta: Kisah Laksha & Amara yang Memecah Publik”“Skandal atau Ketulusan? Pengakuan Laksha Wijanarko Memicu Pro-Kontra”Kolom komentar di bawahnya jauh lebih liar.
Hujan menari di luar jendela, menciptakan irama tak beraturan di atas kaca yang dingin. Gemericik air berpadu dengan desau angin yang sesekali menerobos celah tirai tipis, membuatnya bergoyang pelan, seolah ikut berbisik pada malam yang sunyi.Udara di dalam kamar terasa lembap, dingin merayap di kulit, tapi bukan itu yang membuat Amara menggigil.Ia duduk di tepi ranjang, lututnya ditarik ke dada, lengannya melingkari tubuh sendiri dengan erat. Seakan kehangatan satu-satunya yang bisa ia andalkan hanyalah dari dirinya sendiri. Pendar cahaya dari layar ponsel masih membias di wajahnya, menyoroti sorot mata yang penuh kelelahan.Di sana, kata-kata bertebaran, berkelebat seperti ribuan belati yang menusuk tanpa ampun."Manipulasi tingkat tinggi.""Semoga Laksha cepat sadar kalau cewek ini cuma numpang tenar.""Drama macam apa ini?""Kita semua tahu dia nggak pantas untuk Laksha."Amara menutup
Suasana ruang kerja Aditya Wijanarko terasa lebih dingin dari biasanya. Bukan hanya karena AC yang terus menyala, tetapi juga karena ketegangan yang menggantung di udara, mengisi setiap sudut ruangan dengan keheningan yang nyaris menyesakkan.Bau khas kayu mahoni dari meja besar di tengah ruangan bercampur dengan aroma kopi yang sudah dingin, menciptakan kontras aneh antara kehangatan dan kebekuan yang merayap di antara mereka.Namun tak ada satu pun dari mereka yang peduli. Laksha berdiri tegak di hadapan ayahnya. Raut wajahnya datar, seolah tak terpengaruh. Tapi Amara bisa melihat tanda-tanda yang lain.Rahangnya mengeras, matanya menyala dalam diam, dan kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya—ketegangan yang terpendam, seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Di balik meja, Aditya duduk dengan sikap yang tak tergoyahkan. Tatapannya tajam, menusuk lurus ke arah putranya, seolah ingin menelanjangi setiap pemikirannya.
Langit sore menjingga, menyapu ruangan dengan cahaya keemasan yang lembut, membiaskan bayangan panjang di dinding berlapis marmer ruang keluarga Wijanarko. Udara hangat membawa aroma mawar dari taman belakang, masuk melalui jendela yang sedikit terbuka.Tirai sutra berwarna krem berkibar pelan, seolah ikut menjadi saksi bisu ketegangan yang memenuhi ruangan.Biasanya, tempat ini dipenuhi suara langkah para pelayan yang sibuk melayani, percakapan formal yang mengalir tanpa cela, dan denting halus porselen bertemu dengan sendok perak. Namun, kali ini, hanya ada keheningan yang begitu padat, seolah setiap partikel udara menyimpan sesuatu yang belum terucapkan.Di salah satu sofa panjang, Indira duduk dengan anggun, posturnya tetap terjaga meski ada sesuatu yang mengendap dalam sorot matanya. Di tangannya, cangkir porselen berisi teh melati masih menggantung di udara, uapnya telah lama sirna, meninggalkan minuman yang kini hanya setengah hangat.Tapi bukan te
Kafe di sudut kota itu terasa lebih sepi dari biasanya. Di luar, hujan rintik-rintik mengguyur trotoar, menciptakan genangan yang memantulkan cahaya dari lampu jalan. Butiran air yang menempel di jendela kaca membentuk pola acak, perlahan meluncur ke bawah seolah enggan melepaskan diri.Di dalam, suasana temaram, hangat oleh cahaya keemasan dari lampu gantung yang bergelayut rendah, membentuk bayangan lembut di atas meja marmer.Aroma kopi yang pekat bercampur dengan jejak samar kayu cendana memenuhi udara, menciptakan kehangatan yang menenangkan—setidaknya bagi siapa pun selain Amara.Ia duduk tegak, punggungnya tidak bersandar, seolah setiap otot di tubuhnya bersiaga. Jemarinya saling bertaut di pangkuan, tetapi tidak cukup erat untuk terlihat gugup—hanya cukup untuk menjaga ketenangan.Matanya, tajam dan penuh kewaspadaan, terpaku pada wanita di hadapannya.Lidya Pramesti.Wanita itu bersandar di kursinya dengan sikap angkuh,
Amara menyandarkan punggungnya pada kursi, kedua tangannya bersilang di dada. Tatapannya tajam, menusuk ke arah perempuan di seberangnya. “Jadi, biar aku mengerti. Kau ingin aku meninggalkan Laksha karena kau masih terobsesi padanya?” Lidya tersenyum tipis, bibirnya melengkung dengan keangkuhan yang dingin. “Aku hanya ingin menyelamatkan dia dari seseorang sepertimu.” Amara tertawa pelan, tapi tak ada kehangatan di sana. Sebuah tawa yang lebih mirip cerminan ketidakpercayaan. “Kau benar-benar ingin menyelamatkan dia,” katanya, suaranya nyaris seperti bisikan, “atau kau hanya tidak bisa menerima kenyataan bahwa dia memilihku?” Sorot mata Lidya sedikit berubah, sekilas ketegangan melintas di sana, tapi ia dengan cepat menyembunyikannya di balik ekspresi wajah yang tetap datar. “Percaya atau tidak,” lanjut Amara, suaranya kini lebih stabil, lebih kokoh, “aku sudah m
Langit sore Jakarta berpendar lembut, mewarnai kaca-kaca gedung tinggi dengan semburat jingga yang temaram.Sinar matahari yang mulai meredup memantul di trotoar basah sisa hujan siang tadi, meninggalkan aroma tanah yang samar bercampur dengan wangi kopi yang menguar dari sebuah kafe kecil di sudut kota.Angin sore berembus masuk lewat pintu yang sesekali terbuka, membawa serta aroma roti panggang yang baru keluar dari oven. Di salah satu sudut kafe, Amara duduk diam. Jemarinya melingkari cangkir kopi yang sudah mulai kehilangan hangatnya, tapi ia tidak berniat menyesapnya. Matanya tertuju ke permukaan cairan hitam itu, bukan karena tertarik, melainkan karena pikirannya terlalu berisik untuk memikirkan hal lain.Seolah-olah, jika ia menatap cukup lama, ia bisa menemukan jawaban di sana—atau setidaknya, sedikit ketenangan. Di hadapannya, Reza duduk dengan postur santai. Satu tangannya memegang cangkir, sementara yang lain bertump
Amara tidak pernah membayangkan momen ini akan terjadi. Ia berdiri di ambang pintu apartemen kecil yang kini ia tinggali bersama Laksha, jantungnya berdebar tidak menentu saat melihat sosok Indira Wijanarko berdiri di hadapannya. Wanita itu tampak seperti selalu—anggun, dengan blouse berwarna gading yang membalut tubuhnya sempurna, serta coat panjang yang jatuh elegan di bahunya. Aroma lembut parfum mahalnya menguar di udara, mengingatkan Amara pada malam-malam gala dan ruang-ruang pertemuan yang dingin.Indira Wijanarko selalu tampil berwibawa, seolah mengendalikan setiap detail kehidupan di sekelilingnya. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Matanya tidak lagi setajam biasanya. Tidak ada tatapan dingin yang menusuk atau garis-garis ketegangan di wajahnya. Sebaliknya, ada sesuatu yang lebih lembut di sana—atau mungkin… keraguan yang nyaris tak kasatmata. "Indira?" suara Amara nyaris seperti bisika
Suara hujan mengetuk jendela kecil di ruang belajar Amara, ritmenya tak beraturan namun menenangkan. Udara Jakarta malam itu lebih sejuk dari biasanya, membawa aroma tanah basah yang samar-samar menyusup dari celah pintu balkon.Di dalam ruangan sempit yang dipenuhi buku-buku, cahaya lampu meja menerangi tumpukan kertas yang berserakan, bayangannya jatuh tak beraturan di permukaan kayu yang masih kasar.Amara duduk di tengah kekacauan itu, wajahnya nyaris tenggelam di balik buku tebal yang terbuka di depannya. Mata bulatnya menelusuri barisan kata-kata yang terasa seperti labirin, sesekali alisnya bertaut, bibirnya sedikit mengerucut.Ujung bolpoin tergigit di antara giginya, kebiasaan lama yang selalu muncul saat pikirannya berusaha memahami sesuatu yang sulit.Beberapa menit berlalu tanpa hasil. Ia menghela napas panjang, meletakkan bolpoin, lalu memijat pelipisnya dengan lelah."Kenapa hukum bisnis ini kayak bahasa alien, sih?" gumamnya, frustra
Langit Jakarta masih bergelayut kelabu, seakan enggan melepaskan sisa-sisa embun yang menggantung di udara.Laksha berdiri diam di trotoar yang lembap, matanya terpaku pada bangunan kecil di depannya—sebuah ruko tua dua lantai dengan cat yang mulai mengelupas, jendela berdebu, dan papan nama yang masih kosong. Bangunan itu tidak megah. Tidak ada lobi luas dengan resepsionis berseragam rapi, tidak ada lantai marmer yang mengilap, tidak ada ruang rapat penuh lelaki berjas mahal seperti yang biasa ia temui di Wijanarko Enterprise.Ini jauh dari dunia yang dulu ia kenal. Jemarinya mencengkeram erat map cokelat di tangannya, berisi cetak biru mimpinya yang kini terasa lebih nyata daripada sebelumnya.Napasnya terasa berat, bukan hanya karena udara pagi yang masih menyimpan sisa dingin malam, tapi juga karena kesadaran bahwa untuk pertama kalinya, ia harus membangun segalanya dari nol. "Kamu yakin ini tempat yang cocok?"
Udara di ruang kerja Aditya Wijanarko terasa lebih berat dari biasanya, seakan beban tak kasatmata menggantung di antara dinding-dinding kayu mahoni yang megah. Dari jendela besar di belakang meja kerjanya, langit kelabu terbentang muram, mendung seolah mencerminkan suasana hati di dalam ruangan.Aroma kayu tua yang dipernis halus bercampur dengan wangi kopi hitam yang sudah mulai mendingin, menambah kesan tegang yang memenuhi udara.Laksha berdiri tegak di hadapan ayahnya. Bahunya lurus, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh, namun wajahnya tetap datar—tenang, seperti permukaan air yang menyembunyikan pusaran di bawahnya. Hanya sorot matanya yang mengisyaratkan keteguhan, ketegangan yang tak bisa diabaikan.Di belakangnya, Amara berdiri sedikit lebih dekat daripada yang ia sadari. Jari-jarinya saling bertaut erat di pangkuan, dan ia bisa merasakan denyut jantungnya sendiri yang berdegup lebih cepat dari seharusnya.Matanya bergantian menatap pungg
Langit sore di Jakarta membentang dalam semburat jingga keemasan, menyapu gedung-gedung tinggi dengan cahaya hangat yang berpendar pelan. Dari balkon apartemen lantai dua puluh, kota tampak seperti lautan lampu yang mulai menyala perlahan, bersiap menyambut malam.Udara masih menyisakan jejak panas siang yang menyengat, tetapi angin yang bertiup lembut membawa sejuk yang samar—seakan membisikkan ketenangan yang tak sepenuhnya nyata. Amara berdiri di tepi balkon, kedua tangannya melingkari cangkir teh yang kini hanya tersisa kehangatan tipis. Uapnya sudah menghilang, seperti perasaannya yang perlahan menguap entah ke mana.Matanya menatap kosong ke jalanan di bawah sana, tempat kendaraan berseliweran tanpa henti, membentuk arus kehidupan yang tak peduli pada kegelisahan seseorang di atas sana. Namun, pikirannya melayang jauh, tersesat di pusaran dilema yang tak mudah terurai. Di dalam, Laksha duduk bersandar di sofa, matanya terpejam, s
Sorotan lampu kamera kembali menyinari wajah Laksha Wijanarko, membingkai garis rahangnya yang tegas dan sorot matanya yang tak lagi menyimpan keraguan. Namun kali ini, ia berdiri bukan sebagai pewaris kerajaan bisnis atau tokoh yang dipuja karena kejeniusannya dalam dunia korporasi.Tidak. Hari ini, ia berdiri sebagai seorang pria yang memilih untuk mencintai—tanpa syarat, tanpa perhitungan, tanpa kepura-puraan. Di belakangnya, logo Wijanarko Group terpampang megah, membayangi sosoknya seperti monumen kekuasaan yang telah ia sandang sepanjang hidup. Ruangan luas itu dipenuhi barisan wartawan yang duduk rapi, mata mereka tajam, penuh antisipasi.Mikrofon-mikrofon di depan Laksha berbaris seperti sekumpulan saksi yang siap merekam setiap kata yang akan mengubah narasi hidupnya. Namun di antara semua mata yang tertuju padanya, hanya ada satu pasang yang lebih berarti daripada yang lain. Amara. Ia duduk di bari
Amara menyandarkan punggungnya pada kursi, kedua tangannya bersilang di dada. Tatapannya tajam, menusuk ke arah perempuan di seberangnya. “Jadi, biar aku mengerti. Kau ingin aku meninggalkan Laksha karena kau masih terobsesi padanya?” Lidya tersenyum tipis, bibirnya melengkung dengan keangkuhan yang dingin. “Aku hanya ingin menyelamatkan dia dari seseorang sepertimu.” Amara tertawa pelan, tapi tak ada kehangatan di sana. Sebuah tawa yang lebih mirip cerminan ketidakpercayaan. “Kau benar-benar ingin menyelamatkan dia,” katanya, suaranya nyaris seperti bisikan, “atau kau hanya tidak bisa menerima kenyataan bahwa dia memilihku?” Sorot mata Lidya sedikit berubah, sekilas ketegangan melintas di sana, tapi ia dengan cepat menyembunyikannya di balik ekspresi wajah yang tetap datar. “Percaya atau tidak,” lanjut Amara, suaranya kini lebih stabil, lebih kokoh, “aku sudah m
Kafe di sudut kota itu terasa lebih sepi dari biasanya. Di luar, hujan rintik-rintik mengguyur trotoar, menciptakan genangan yang memantulkan cahaya dari lampu jalan. Butiran air yang menempel di jendela kaca membentuk pola acak, perlahan meluncur ke bawah seolah enggan melepaskan diri.Di dalam, suasana temaram, hangat oleh cahaya keemasan dari lampu gantung yang bergelayut rendah, membentuk bayangan lembut di atas meja marmer.Aroma kopi yang pekat bercampur dengan jejak samar kayu cendana memenuhi udara, menciptakan kehangatan yang menenangkan—setidaknya bagi siapa pun selain Amara.Ia duduk tegak, punggungnya tidak bersandar, seolah setiap otot di tubuhnya bersiaga. Jemarinya saling bertaut di pangkuan, tetapi tidak cukup erat untuk terlihat gugup—hanya cukup untuk menjaga ketenangan.Matanya, tajam dan penuh kewaspadaan, terpaku pada wanita di hadapannya.Lidya Pramesti.Wanita itu bersandar di kursinya dengan sikap angkuh,