Beranda / Rumah Tangga / Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova / Bab 81: Persimpangan Tanpa Jawaban

Share

Bab 81: Persimpangan Tanpa Jawaban

Penulis: Rizki Adinda
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-21 13:11:31

Udara dini hari merayap masuk melalui celah jendela, membawa serta aroma tanah basah yang tersisa setelah hujan malam. Jalanan Jakarta masih berkilau oleh genangan tipis yang memantulkan cahaya lampu-lampu jalan, menciptakan siluet bayangan yang bergerak pelan di permukaan aspal.

Kota ini belum benar-benar terjaga, tapi juga tak sepenuhnya terlelap—seperti mereka berdua.  

Di dalam kamar yang remang, keheningan menggantung di udara, hanya dipecah oleh tarikan napas yang beriringan dalam ritme yang hampir senada.

Amara duduk bersila di lantai, tubuhnya condong sedikit ke depan, sementara Laksha bersandar di sofa dengan mata terpejam, satu tangannya bertumpu di dahi seolah ada sesuatu yang berat bersarang di kepalanya.  

Mereka tidak saling menatap, tetapi kehadiran satu sama lain terasa begitu nyata. Lebih nyata dari yang seharusnya.  

Amara menggigit bibir, mencoba mengabaikan denyutan aneh yang menguar dari dadanya—peras

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terkait

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 82: Tatapan yang Tak Terelakkan

    Ballroom hotel bintang lima itu bersinar dalam pancaran cahaya keemasan, memantulkan kilaunya di atas lantai marmer yang mengilap. Lampu kristal menggantung anggun di langit-langit tinggi, memancarkan nuansa mewah yang terasa nyaris tak tersentuh.Di sudut ruangan, alunan jazz klasik mengalir lembut, membaur dengan denting halus gelas sampanye yang beradu dalam toast, serta percakapan yang sarat dengan basa-basi sosial.Aroma anggur merah dan wangi parfum mahal melayang di udara, menciptakan simfoni tak kasatmata yang mendefinisikan suasana malam itu.Amara berdiri di dekat meja panjang yang dipenuhi hidangan mewah—tiramisù dalam gelas kristal, tartlet kaviar, potongan steak yang tampak meleleh begitu saja di bawah pencahayaan redup. Namun, tak satu pun dari itu menggugah seleranya.Tangannya menggenggam erat gelas mocktail berwarna jingga—pegangannya terlalu kokoh untuk sesuatu yang seharusnya hanya menjadi minuman santai. Apakah itu s

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-21
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 83: Cemburu yang Tak Bernama

    Langit malam di atas Jakarta tampak muram, pekat seperti tinta yang dituangkan ke atas kanvas langit. Awan-awan berat menggantung, menyimpan sesuatu yang tak terkatakan, sesuatu yang nyaris bisa dirasakan oleh siapa pun yang menatapnya terlalu lama.Angin membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan sisa asap knalpot dan aspal yang mulai mendingin, sebuah kombinasi khas setelah hujan pertama menyentuh bumi.Di bawah sinar lampu jalan yang redup, genangan-genangan kecil mencerminkan cahaya seperti pecahan memori yang berserakan—tak utuh, tapi juga tak benar-benar hilang. Di bawah kanopi hotel, Amara berdiri dengan tubuh sedikit menegang, jari-jarinya mencengkeram clutch bag kecil dalam genggaman, seolah itu satu-satunya pegangan yang bisa ia percaya malam ini.Udara lembap membuat beberapa helai rambutnya menempel di leher, menggoda kulitnya dengan rasa dingin yang menusuk, namun bukan itu yang membuatnya menggigil. Sosok yang

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-22
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 84: Tembok yang Hampir Runtuh

    Hujan telah reda, menyisakan jejak basah yang berkilauan di sepanjang jalanan Jakarta. Genangan kecil memantulkan cahaya lampu jalan, menciptakan kilau keemasan di antara aspal yang menghitam.Aroma tanah basah masih menggantung di udara, berpadu dengan angin malam yang berembus pelan, membawa serta sisa dingin yang menggigit kulit. Dari balkon apartemennya di lantai delapan, Amara berdiri dengan tangan melingkari secangkir teh yang mulai kehilangan hangatnya. Uap tipis yang tadi membubung kini hampir lenyap, menyisakan permukaan air yang tenang, seolah mencerminkan hatinya yang tak menentu.Pandangannya mengembara ke gedung-gedung tinggi di sekelilingnya—monumen bisu yang menjulang dalam kesunyian. Kota ini tak pernah benar-benar tidur, tetapi malam ini terasa berbeda. Lebih sunyi. Lebih lengang. Di dalam, suara pintu yang berderit memecah keheningan. Amara tidak berbalik. Ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang dat

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-22
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 85: Persimpangan yang Tak Terlihat

    Pagi di Jakarta selalu sibuk, penuh dengan suara klakson yang bersahutan dan langkah-langkah tergesa di trotoar. Tapi bagi Amara, semuanya terasa lebih lambat hari ini.Ia duduk di sebuah kafe kecil di sudut Senopati, membiarkan jemarinya melingkari gelas kopi yang kini mulai kehilangan kehangatannya. Aroma espresso yang pekat bercampur dengan wangi croissant hangat yang baru saja keluar dari oven dapur terbuka, tapi tak satu pun menggugah seleranya.Suara sendok beradu dengan cangkir, derit kursi yang bergeser, dan bisikan percakapan dari meja-meja lain menyusup ke telinganya, tapi tetap saja dunia di sekelilingnya terasa jauh, seolah hanya ada ia dan laki-laki yang duduk di depannya.Reza.Pria itu mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung hingga siku, memperlihatkan urat-urat halus di pergelangan tangannya. Ia selalu tampak seperti ini—rapi, effortless, seseorang yang tidak butuh usaha berlebih untuk terlihat menarik.Tapi hari ini,

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-23
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 86: Ketika Kata Tal Lagi Bermakna

    Hujan baru saja reda, menyisakan aroma tanah basah yang samar-samar bercampur dengan udara dingin yang menusuk kulit. Tetesan air masih jatuh perlahan dari dedaunan di luar jendela, menciptakan irama samar yang menyatu dengan desah napas tertahan di dalam kamar itu.Langit Jakarta malam itu kelabu pekat, seakan menyerap segala emosi yang menggenang di ruangan sempit tempat dua hati saling terombang-ambing dalam ketidakpastian. Amara berdiri di tengah kamar mereka, kaki telanjangnya menyentuh lantai kayu yang dingin. Di hadapannya, koper kecil terbuka setengah, pakaian yang tergulung rapi berbaring di dalamnya seperti saksi bisu dari keputusannya.Tangannya gemetar saat meraih sehelai sweater, tapi ia memaksa dirinya untuk tetap bergerak. Jika ia berhenti, ia tahu dadanya akan semakin sesak. Dari belakangnya, langkah kaki terdengar mendekat—berat dan tergesa. “Amara, berhenti.” Suara itu dalam, le

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-23
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 87: Jejak yang Tertinggal

    Hujan turun perlahan, mengetuk-ngetuk kaca jendela apartemen dengan ritme yang seolah menggema di dalam dadanya. Langit di luar kelabu pekat, serupa kanvas kusam yang mencerminkan benang kusut dalam kepalanya.Udara membawa aroma aspal basah dan samar-samar dingin yang merayapi kulit, tetapi Laksha nyaris tak menyadarinya.Ia terduduk di atas sofa, satu tangan menopang dahinya, sementara tangan lain menggenggam gelas kristal berisi bourbon yang tak tersentuh. Cairan keemasan itu berpendar redup di bawah cahaya lampu, tetapi tak ada daya tariknya malam ini.Ruangan ini... terlalu luas. Terlalu sunyi.Dulu, selalu ada suara langkah kecil yang tergesa-gesa di pagi hari, gemerisik sendok beradu dengan cangkir, aroma kopi yang menyelusup dari dapur. Selalu ada dengusan kesal atau lirikan tajam yang mengiringi candaan sarkastisnya.Selalu ada suara Amara.Selalu ada Amara.Sekarang? Kosong.Laksha menghela napas panjang, pundaknya tu

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-24
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 88: Di Bawah Rinai Hujan

    Hujan masih menari-nari di atas aspal saat mobil Laksha melaju membelah jalanan Jakarta yang basah. Lampu-lampu kota berpendar di genangan air, menciptakan refleksi tak beraturan yang berkedip-kedip di kaca depan.Wiper bergerak malas, menyapu rintik-rintik hujan yang terus saja turun.Tangannya mencengkeram kemudi lebih kuat dari yang seharusnya, jemarinya memutih. Rahangnya mengeras, otot-otot di lehernya menegang. Di kepalanya, ingatan tentang Amara berputar tanpa henti, menyisakan lubang yang semakin menganga.Kemana dia pergi?Amara bukan tipe yang akan kembali ke rumah orang tua—karena ia tak punya siapa-siapa di sana. Ia juga bukan seseorang yang akan menghamburkan uang di hotel-hotel mahal. Terlalu boros, terlalu tidak masuk akal baginya.Jika ia ingin menghilang, ke mana?Laksha memejamkan mata sejenak di lampu merah, membiarkan pikirannya menelusuri jejak-jejak kecil yang selama ini luput dari perhatiannya. Percakapan-percaka

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-24
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 89: Sisa Hujan di Hati

    Hujan telah reda, meninggalkan jejak tipis di permukaan jalan yang memantulkan cahaya lampu-lampu kota. Aroma tanah basah menyelinap masuk melalui jendela yang setengah terbuka, bercampur dengan udara malam yang sejuk.Di kejauhan, suara rintik yang tersisa masih terdengar samar-samar, seperti enggan benar-benar pergi.Amara duduk diam di meja makan, tubuhnya nyaris tak bergerak kecuali jemarinya yang menggenggam cangkir teh—cairannya sudah lama kehilangan hangatnya. Pandangannya kosong, tidak benar-benar melihat apapun, seakan pikirannya berada di tempat lain.Di seberangnya, Reza menatapnya lekat-lekat. Ekspresinya lebih serius dari biasanya, rahangnya mengeras seolah menahan sesuatu yang sudah lama ingin ia katakan."Lo nggak bisa terus kayak gini, Ra." Suaranya tenang, tapi ada desakan halus yang sulit diabaikan. "Kalau lo udah pergi, ya udah. Jangan terus-terusan nyangkut di masa lalu."Masa lalu.Kata itu menggantung di udara, me

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-25

Bab terbaru

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 138: Ketika Cinta Tak Lagi Bertanda Tangan

    Kilatan kamera menyambar seperti kilat di malam badai, membekukan momen dalam kilau putih yang sesaat menyilaukan. Sorotan lampu menerangi ballroom hotel megah itu dengan kehangatan artifisial, tapi udara di dalam ruangan justru terasa dingin, nyaris menusuk.Suara para wartawan berdesakan satu sama lain, menyatu dalam dengungan penuh antisipasi, menunggu jawaban yang akan mengubah jalannya cerita.Di atas panggung kecil yang sengaja disiapkan untuk konferensi pers ini, sebuah meja panjang dengan beberapa mikrofon berdiri sebagai batas antara dua orang di hadapannya dan puluhan pasang mata yang siap menghakimi.Laksha Wijanarko duduk di tengah panggung dengan ketenangan yang begitu bertolak belakang dengan atmosfer di sekitarnya. Rahangnya tegas, ekspresinya tak terbaca, hanya tatapan tajamnya yang menunjukkan bahwa ia mengendalikan situasi ini, bukan sebaliknya.Di sebelahnya, Amara duduk dengan punggung lurus sempurna. Jemarinya bertau

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 137: Pernikahan di Atas Kertas, Cinta di Luar Nalar

    Suara kilatan kamera berpadu dengan teriakan wartawan, menciptakan simfoni kacau yang menggema di lobi hotel mewah itu. Lampu-lampu blitz menyambar tanpa ampun, membentuk bayang-bayang tajam di lantai marmer mengilap.Aroma parfum mahal bercampur dengan hawa panas tubuh manusia yang berdesakan, menyelimuti ruangan dengan atmosfer yang begitu menekan. Di tengah hiruk-pikuk itu, Amara berdiri di samping Laksha, jemarinya menggenggam erat lengan pria itu. Ia bisa merasakan ketegangan mengalir dari tubuh Laksha, meski ekspresi pria itu tetap tak terbaca—datar, dingin, nyaris tak tersentuh oleh kekacauan di sekeliling mereka.Jari-jarinya yang panjang dan kokoh tetap santai di sisinya, namun Amara tahu lebih baik dari siapa pun bahwa dalam diamnya, Laksha sedang menakar situasi. Lalu, seolah panggung baru saja dibuka untuk sang pemeran utama, seseorang melangkah maju dengan kepercayaan diri yang mencolok. Gaun merahnya meluncur sempurna di

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 136: Tanpa Janji, Tanpa Kata, Hanya Kita

    Udara malam di balkon apartemen masih membawa sisa hujan yang turun sore tadi. Aromanya khas—perpaduan antara tanah basah dan aspal yang masih menyimpan jejak air. Angin yang bertiup lembut menyelinap di antara helai rambut Amara, membelai kulitnya dengan kesejukan yang samar.Namun, di tengah hawa dingin yang menguar, ada kehangatan lain di sana—kehangatan yang tak berasal dari udara atau minuman hangat di tangannya, melainkan dari kehadiran seseorang di sampingnya. Jakarta, dengan lautan cahayanya, membentang di depan mereka. Gemerlap lampu dari gedung-gedung tinggi dan jalanan yang sibuk menciptakan panorama yang nyaris seperti lukisan—indah, tapi tetap terasa nyata.Di balik hiruk-pikuk yang terus berdenyut, balkon ini seakan menjadi tempat di luar waktu, sebuah ruang kecil di mana mereka bisa berhenti sejenak, bernapas, dan merasakan kehadiran satu sama lain. Amara merapatkan jari-jarinya di sekitar cangkir cokelat pan

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 135: Laksha, Pria yang Tak Pernah Ragu

    Udara di ruang kerja Aditya Wijanarko terasa tebal, seakan-akan menyerap setiap helaan napas yang tercipta di dalamnya. Pendingin ruangan memang menyala, tapi tetap tak mampu mengusir ketegangan yang menggantung di udara.Ruangan itu luas, dengan perabotan kayu mahoni yang memberikan kesan megah sekaligus dingin. Di balik meja besar yang tertata rapi, Aditya duduk tegak, punggungnya lurus seperti seorang jenderal di medan perang. Di hadapannya, Amara duduk dengan postur kaku, kedua jemarinya saling bertaut erat di pangkuan.Sementara itu, di sampingnya, Laksha bersandar di kursi dengan tampang santai yang berbahaya—terlihat seakan tak peduli, padahal rahangnya menegang, jemarinya sedikit mengetuk-ngetuk pahanya, menunjukkan bahwa ia sama tegangnya dengan yang lain. Keheningan di ruangan itu begitu mencekik hingga suara detik jam di sudut terdengar lebih nyaring daripada seharusnya. Lalu, Aditya akhirnya membuka suara. &nb

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 134: Jika Aku Pergi, Akankah Kau Menahanku?

    Hujan semalam masih meninggalkan jejaknya di pagi yang lembab. Butiran air menggantung di ujung daun-daun kecil yang tumbuh di tepi balkon, sesekali jatuh dan pecah di atas lantai semen yang mulai menghangat di bawah sinar matahari.Udara membawa campuran aroma tanah basah dan wangi kopi yang mengepul dari cangkir di tangan Amara—hangat, pahit, akrab. Ia berdiri bersandar di pagar besi, pandangannya terpaku pada langit yang perlahan berubah warna. Jakarta yang sibuk masih terkantuk-kantuk dalam kantung embun pagi, tapi pikirannya sudah terbang jauh, melintasi batas-batas yang selama ini menahannya. Lalu, suara langkah kaki terdengar, tak tergesa tapi cukup kuat untuk menariknya kembali ke dunia nyata. “Pagi-pagi udah melamun?” Suara itu berat, sedikit serak, masih membawa sisa kantuk. Amara menoleh. Laksha berdiri di ambang pintu balkon, bersandar dengan santai pada kusen kayu. Kaus putih

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 133: Meninggalkan Puncak, Membangun Akar

    Udara pagi masih membawa kesejukan yang jarang bertahan lama di Jakarta. Dari balik jendela apartemennya, Laksha menatap cakrawala kota yang mulai tersiram cahaya keemasan.Gedung-gedung pencakar langit berdiri tegak dalam siluet yang sedikit berkabut, sementara jalanan di bawah sana mulai ramai dengan kehidupan. Dalam genggamannya, secangkir kopi masih mengepul, tetapi ia bahkan belum menyesapnya.Pikirannya terlalu penuh.Keputusan ini bukan hal yang mudah. Meninggalkan perusahaan keluarga, merintis sesuatu dari nol, melepaskan diri dari nama besar yang selama ini menjadi tameng sekaligus beban—itu langkah yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.Tetapi sekarang, di sinilah ia berdiri, di persimpangan antara kenyamanan dan kebebasan.Tiba-tiba, sepasang lengan melingkar di pinggangnya dari belakang, tubuh hangat seseorang bersandar padanya. Laksha tersenyum kecil bahkan sebelum mendengar suaranya.“Kau terlihat seperti seseoran

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 132: Saat Ibu Menentang Raja di Rumahnya Sendiri

    Ruang keluarga kediaman Wijanarko bermandikan cahaya keemasan dari lampu gantung kristal yang tergantung di langit-langit tinggi. Pancaran hangatnya membias di permukaan meja kaca, memantulkan siluet samar dari cangkir-cangkir teh yang tersusun rapi.Aroma melati yang baru diseduh melayang di udara, bercampur dengan sesuatu yang lebih tajam dan sulit dijabarkan—tegangan halus yang merayap di antara orang-orang yang duduk di dalamnya. Indira Wijanarko duduk di salah satu sofa kulit berwarna krem, punggungnya lurus sempurna, tangan bersedekap di pangkuan. Wajahnya tetap tenang, nyaris tak terbaca, seperti lukisan yang disusun dengan palet warna-warna lembut.Tapi di matanya, ada sesuatu yang berbeda—ketegasan yang selama ini jarang muncul, sesuatu yang bahkan membuat ruangan terasa lebih sempit. Di seberangnya, Laksha duduk dengan satu kaki disilangkan, gerakannya terlihat santai, tapi ketegangan menjalar dari garis-garis rahangnya

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 131: Menantang Takdir Keluarga Wijanarko

    Pagi itu, udara masih terasa sejuk, menyisakan embun tipis di dedaunan yang berkilau diterpa cahaya matahari yang mulai naik.Di sebuah ruangan luas dengan dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan kota yang mulai sibuk, Laksha duduk di kursi kerja dengan punggung tegak, jari-jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja. Di seberangnya, Amara berdiri dengan tangan terlipat di dada, wajahnya menampakkan ekspresi berpikir.Mereka harus mulai mengambil langkah.Pertama, media.Kabar tentang pernikahan mereka sudah menyebar seperti api yang tersulut angin. Tak semua berita menyajikan kisah romantis dua insan yang memilih bersama.Sebagian justru mengupasnya dengan nada sinis—menyebut Amara sebagai ‘wanita tanpa latar belakang’ yang ‘menjebak’ pewaris keluarga Wijanarko. Ada pula spekulasi yang menganggap ini tak lebih dari pernikahan bisnis, sebuah sandiwara demi kepentingan korporasi.Laksha tak tinggal diam. Dengan r

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 130: Menggenggam Bara di Tangan Musuh

    Udara pagi masih terasa sejuk ketika Amara membuka matanya. Cahaya matahari mengintip dari celah gorden, menyinari ruangan dengan semburat keemasan yang lembut, menari di atas seprai kusut dan menyapu permukaan kayu di lantai kamar.Aroma kopi yang baru diseduh menyelinap masuk, berpadu dengan wangi maskulin yang sudah begitu lekat di inderanya—aroma yang selama ini selalu memberinya rasa nyaman tanpa ia sadari. Ia menoleh ke samping. Laksha masih tertidur, napasnya teratur, dengan satu lengan terentang ke arah tempatnya berbaring, seolah mencari keberadaannya bahkan dalam lelap.Wajah pria itu tampak lebih damai dibanding biasanya, tanpa ekspresi arogan atau sorot mata dingin yang sering ia tunjukkan di hadapan dunia. Garis-garis tegas di wajahnya melunak, membuatnya terlihat jauh lebih muda—lebih manusiawi. Amara tersenyum kecil sebelum pelan-pelan turun dari tempat tidur, membiarkan telapak kakinya menyentuh permukaan kayu yan

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status