Home / Rumah Tangga / Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova / Bab 55: Garis Tipis Antara Nyata dan Palsu

Share

Bab 55: Garis Tipis Antara Nyata dan Palsu

Author: Rizki Adinda
last update Last Updated: 2025-03-08 12:16:49

Langit Jakarta menjingga, meredup perlahan saat matahari mulai tenggelam di balik gedung-gedung tinggi. Sisa hujan tipis yang turun sore tadi meninggalkan jejak samar di trotoar, memantulkan cahaya lampu kota yang mulai menyala satu per satu.

Aroma khas kota menyusup ke dalam indera—perpaduan antara tanah basah, asap kendaraan, dan samar-samar wangi kopi dari kedai di seberang jalan.  

Amara melangkah keluar dari butik dengan langkah ringan namun pikirannya terasa berat. Di tangannya tergantung sebuah tas belanja berwarna gelap dengan logo butik terukir timbul di permukaannya, terasa halus di bawah sentuhan jemarinya yang ramping.

Di dalamnya, tersimpan sehelai gaun satin merah marun—pilihan Indira. Gaun yang harus ia kenakan malam ini. Gaun yang menegaskan peran yang harus ia jalani di samping Laksha Wijanarko.  

"Nyonya Laksha Wijanarko."  

Bisikan itu lolos dari bibirnya tanpa ia sadari, begitu lirih hingga hampir tak

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 56: Ketulusan yang Tidak Disangka

    Lantai marmer ballroom hotel berkilau di bawah pancaran lampu kristal, memantulkan cahaya keemasan yang menari di permukaannya. Siluet para tamu berbalut gaun sutra dan jas elegan bergerak dalam ritme lambat, sementara gelas-gelas sampanye beradu dalam dentingan halus.Aroma parfum mahal bercampur dengan wangi manis hidangan yang tersaji di meja prasmanan, menciptakan atmosfer mewah yang nyaris tak tersentuh realitas di luar sana. Di dekat meja prasmanan, Amara berdiri dengan satu tangan menggenggam batang gelas wine yang bahkan belum ia cicipi. Jemarinya yang ramping mencengkeram kaca dengan sedikit lebih kuat dari seharusnya, seolah gelas itu satu-satunya pegangan yang ia miliki saat ini.Gaun merah marun yang dipilihkan Indira membalut tubuhnya dengan sempurna, mengikuti lekukannya tanpa cela. Kainnya jatuh anggun hingga menyapu lantai, sementara potongan terbuka di pundak memperlihatkan kulitnya yang lembut diterpa cahaya keemasan ruangan.

    Last Updated : 2025-03-08
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 57: Malam yang Membingungkan

    Udara malam masih menyisakan jejak hujan, menguarkan aroma tanah basah yang bercampur dengan aspal dingin Jakarta. Dari balkon kamar hotel yang luas, Amara menatap hamparan lampu kota yang berkedip-kedip, seperti bintang yang tersesat dan jatuh di antara gedung-gedung kaca yang menjulang. Ia berdiri di sana, kedua tangannya bertumpu pada pagar besi yang dinginnya menembus kulit. Angin lembut menyelinap di antara helaian rambutnya, membiarkannya menari sesuka hati.Udara malam seolah membungkus tubuhnya dalam keheningan yang semu, tetapi di dadanya, ada sesuatu yang terus berputar, bergejolak seperti ombak yang tak menemukan tepian. Bukan kemarahan, bukan pula kesedihan.Lebih rumit dari itu—lebih halus, lebih sulit digenggam. Dari dalam kamar, terdengar langkah kaki. Mantap, tetapi tak terburu-buru. Ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa itu. "Kau menghilang tanpa bilang apa-apa." Suara Laksha terdengar leb

    Last Updated : 2025-03-09
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 58: Lintasan Cinta yang Tidak Disengaja

    Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui celah tirai jendela, menebarkan cahaya keemasan di atas meja makan. Aroma kopi yang mulai dingin bercampur dengan semilir udara pagi, namun bagi Amara, kehangatan itu tak ada artinya.Jari-jarinya membungkus cangkir keramik dengan erat, tapi pikirannya melayang jauh, tidak benar-benar berada di dalam ruangan ini.Di hadapannya, lembaran koran terbuka lebar, menampilkan headline bisnis yang seharusnya menarik perhatiannya—tentang ekspansi terbaru Wijanarko Group. Namun, bukan kata-kata yang mencuri perhatiannya. Matanya justru terpaku pada foto yang menyertainya.Sebuah potret Laksha dan Lidya.Laksha tampak seperti biasa—setelan jas hitam yang rapi membingkai tubuhnya dengan sempurna, ekspresi percaya diri yang selalu ia kenakan seperti baju zirah. Tapi yang lebih mengusik Amara adalah sosok di sampingnya.Lidya. Gaun putih elegan membalut tubuh perempuan itu, senyumnya terlalu manis, terlalu

    Last Updated : 2025-03-09
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 59: Mencari Jawaban

    Laksha duduk di tepi ranjang, bahunya sedikit merosot, punggung membungkuk dalam diam. Kedua sikunya bertumpu pada lutut, sementara jemarinya saling bertaut, mencengkeram seolah ingin menahan sesuatu—sesuatu yang perlahan tumbuh, mendesak keluar dari dalam dadanya.Di luar, langit Jakarta sudah gelap, tapi kota tak pernah benar-benar tidur. Sorot lampu-lampu gedung masih bersinar, pantulannya membias di kaca jendela, berpendar seperti kilatan ingatan yang tak mau padam.Samar-samar, deru kendaraan terdengar, sesekali bercampur dengan suara klakson yang pecah di antara desir angin malam yang menyelinap masuk melalui celah balkon.Tapi semua itu terasa jauh. Samar. Seperti suara yang ditenggelamkan oleh badai yang berputar-putar dalam kepalanya.Di layar ponselnya, sebuah foto masih terbuka.Amara dan Reza.Mereka duduk berhadapan di sebuah kafe. Tertawa. Dengan cara yang terlalu akrab, terlalu nyaman—seakan dunia di sekitar mereka

    Last Updated : 2025-03-10
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 60: Langkah yang Salah

    Musik jazz mengalun lembut di ballroom hotel bintang lima, mengisi udara dengan sentuhan kemewahan yang seharusnya menenangkan. Kilauan lampu gantung kristal memantulkan cahaya ke segala arah, menyatu dengan derai tawa dan dentingan gelas sampanye yang saling bersulang.Namun, bagi Amara, semua itu hanya seperti latar belakang kabur—suara-suara yang teredam, seperti gema dari dunia lain yang terasa semakin jauh.Ia berdiri di sudut ruangan, jemarinya melingkari gelas mocktail yang dinginnya sudah hampir lenyap, meninggalkan jejak embun tipis di permukaan kaca.Dari tempatnya berdiri, lautan tamu tampak seperti gelombang yang bergerak tanpa bentuk, penuh gaun elegan dan setelan jas yang berbaur dalam percakapan ringan. Tapi matanya hanya terpaku pada satu titik. Pada satu sosok.Laksha.Dan Lidya.Wanita itu berdiri terlalu dekat, nyaris menempel di sisi Laksha. Gaun satin merah darahnya membalut tubuhnya dengan sempurna, lekukan kainny

    Last Updated : 2025-03-10
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 61: Bukan Sekadar Tugas

    Udara di ruang kerja Indira Wijanarko terasa lebih berat dari biasanya, seolah gravitasi bertambah tanpa alasan yang jelas. Wangi teh melati yang mengepul dari cangkir porselen seharusnya membawa ketenangan, tetapi bagi Laksha, aromanya justru terasa hambar.Ia duduk di sofa berhadapan dengan ibunya, tatapannya kosong, menembus jendela besar yang menghadap lanskap malam Jakarta. Gemerlap kota seperti lautan cahaya yang terus bergerak, tapi pikirannya tak ada di sana.Ia melayang, terjebak di satu titik yang tak bisa ia hindari. Atau lebih tepatnya—pada satu sosok.Amara.Wajah itu terukir jelas dalam benaknya. Cara bahunya sedikit merosot sebelum akhirnya ia berbalik pergi tadi malam. Cara bibirnya bergetar sedikit, seakan menahan sesuatu yang tak bisa ia katakan. Kemarahan? Kekecewaan? Atau mungkin sesuatu yang lebih dalam?Sialnya, bayangan itu mengganggunya lebih dari yang seharusnya.“Kamu belum menyentuh teh

    Last Updated : 2025-03-11
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 62: Panggung Terbuka

    Acara amal di Grand Aurora Hotel malam itu berkilauan dalam kemewahan, seolah-olah setiap sudut ruangan dipenuhi bintang yang jatuh dari langit.Lampu kristal yang menggantung di langit-langit ballroom memancarkan cahaya keemasan, memantul di permukaan meja-meja bundar yang tertata sempurna dengan taplak putih, rangkaian bunga lili, dan lilin-lilin kecil yang berkedip lembut.Aroma mawar dan sampanye bercampur di udara, menyatu dengan gemuruh percakapan dan tawa halus para tamu.Di antara para pebisnis, selebriti, dan sosialita yang mengenakan busana terbaik mereka, Amara berdiri di sisi Laksha. Gaun satin emerald membalut tubuhnya dengan anggun, mengikuti setiap lekuknya dengan keanggunan yang nyaris mistis.Rambutnya disanggul sederhana, menyisakan beberapa helai yang jatuh lembut di pelipisnya. Wajahnya tenang, seakan tak tergoyahkan oleh gemerlap di sekitarnya.Namun, di dalam dadanya, ada sesuatu yang tak bisa diabaikan—sisa-sisa k

    Last Updated : 2025-03-11
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 63: Titik Kelemahan

    Malam itu, udara di balkon kamar hotel mereka terasa lebih dingin dari biasanya. Jakarta membentang di bawah mereka—hamparan cahaya kota berkelip-kelip, seperti bintang yang tersesat di antara beton dan kaca.Suara kendaraan masih bergemuruh di kejauhan, teredam oleh ketinggian mereka, menciptakan ilusi bahwa dunia di bawah sana adalah miniatur kehidupan yang terus bergerak, tak peduli siapa yang mengamatinya. Amara bersandar pada pagar besi hitam, ujung jemarinya menyentuh dinginnya logam. Matanya terpaku pada jalanan yang sibuk, tetapi pikirannya berada di tempat lain.Percakapan di acara tadi masih bergema di kepalanya—kata-kata Lidya yang terselubung racun, tatapan penuh perhitungan, senyum yang tak pernah benar-benar hangat. Ia mengira akan kehilangan kendali, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Ia berdiri tegak, berbicara dengan ketenangan yang bahkan tidak ia sangka mampu ia pertahankan. Lidya boleh bermain licik, tapi ia

    Last Updated : 2025-03-12

Latest chapter

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 134: Jika Aku Pergi, Akankah Kau Menahanku?

    Hujan semalam masih meninggalkan jejaknya di pagi yang lembab. Butiran air menggantung di ujung daun-daun kecil yang tumbuh di tepi balkon, sesekali jatuh dan pecah di atas lantai semen yang mulai menghangat di bawah sinar matahari.Udara membawa campuran aroma tanah basah dan wangi kopi yang mengepul dari cangkir di tangan Amara—hangat, pahit, akrab. Ia berdiri bersandar di pagar besi, pandangannya terpaku pada langit yang perlahan berubah warna. Jakarta yang sibuk masih terkantuk-kantuk dalam kantung embun pagi, tapi pikirannya sudah terbang jauh, melintasi batas-batas yang selama ini menahannya. Lalu, suara langkah kaki terdengar, tak tergesa tapi cukup kuat untuk menariknya kembali ke dunia nyata. “Pagi-pagi udah melamun?” Suara itu berat, sedikit serak, masih membawa sisa kantuk. Amara menoleh. Laksha berdiri di ambang pintu balkon, bersandar dengan santai pada kusen kayu. Kaus putih

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 133: Meninggalkan Puncak, Membangun Akar

    Udara pagi masih membawa kesejukan yang jarang bertahan lama di Jakarta. Dari balik jendela apartemennya, Laksha menatap cakrawala kota yang mulai tersiram cahaya keemasan.Gedung-gedung pencakar langit berdiri tegak dalam siluet yang sedikit berkabut, sementara jalanan di bawah sana mulai ramai dengan kehidupan. Dalam genggamannya, secangkir kopi masih mengepul, tetapi ia bahkan belum menyesapnya.Pikirannya terlalu penuh.Keputusan ini bukan hal yang mudah. Meninggalkan perusahaan keluarga, merintis sesuatu dari nol, melepaskan diri dari nama besar yang selama ini menjadi tameng sekaligus beban—itu langkah yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.Tetapi sekarang, di sinilah ia berdiri, di persimpangan antara kenyamanan dan kebebasan.Tiba-tiba, sepasang lengan melingkar di pinggangnya dari belakang, tubuh hangat seseorang bersandar padanya. Laksha tersenyum kecil bahkan sebelum mendengar suaranya.“Kau terlihat seperti seseoran

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 132: Saat Ibu Menentang Raja di Rumahnya Sendiri

    Ruang keluarga kediaman Wijanarko bermandikan cahaya keemasan dari lampu gantung kristal yang tergantung di langit-langit tinggi. Pancaran hangatnya membias di permukaan meja kaca, memantulkan siluet samar dari cangkir-cangkir teh yang tersusun rapi.Aroma melati yang baru diseduh melayang di udara, bercampur dengan sesuatu yang lebih tajam dan sulit dijabarkan—tegangan halus yang merayap di antara orang-orang yang duduk di dalamnya. Indira Wijanarko duduk di salah satu sofa kulit berwarna krem, punggungnya lurus sempurna, tangan bersedekap di pangkuan. Wajahnya tetap tenang, nyaris tak terbaca, seperti lukisan yang disusun dengan palet warna-warna lembut.Tapi di matanya, ada sesuatu yang berbeda—ketegasan yang selama ini jarang muncul, sesuatu yang bahkan membuat ruangan terasa lebih sempit. Di seberangnya, Laksha duduk dengan satu kaki disilangkan, gerakannya terlihat santai, tapi ketegangan menjalar dari garis-garis rahangnya

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 131: Menantang Takdir Keluarga Wijanarko

    Pagi itu, udara masih terasa sejuk, menyisakan embun tipis di dedaunan yang berkilau diterpa cahaya matahari yang mulai naik.Di sebuah ruangan luas dengan dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan kota yang mulai sibuk, Laksha duduk di kursi kerja dengan punggung tegak, jari-jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja. Di seberangnya, Amara berdiri dengan tangan terlipat di dada, wajahnya menampakkan ekspresi berpikir.Mereka harus mulai mengambil langkah.Pertama, media.Kabar tentang pernikahan mereka sudah menyebar seperti api yang tersulut angin. Tak semua berita menyajikan kisah romantis dua insan yang memilih bersama.Sebagian justru mengupasnya dengan nada sinis—menyebut Amara sebagai ‘wanita tanpa latar belakang’ yang ‘menjebak’ pewaris keluarga Wijanarko. Ada pula spekulasi yang menganggap ini tak lebih dari pernikahan bisnis, sebuah sandiwara demi kepentingan korporasi.Laksha tak tinggal diam. Dengan r

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 130: Menggenggam Bara di Tangan Musuh

    Udara pagi masih terasa sejuk ketika Amara membuka matanya. Cahaya matahari mengintip dari celah gorden, menyinari ruangan dengan semburat keemasan yang lembut, menari di atas seprai kusut dan menyapu permukaan kayu di lantai kamar.Aroma kopi yang baru diseduh menyelinap masuk, berpadu dengan wangi maskulin yang sudah begitu lekat di inderanya—aroma yang selama ini selalu memberinya rasa nyaman tanpa ia sadari. Ia menoleh ke samping. Laksha masih tertidur, napasnya teratur, dengan satu lengan terentang ke arah tempatnya berbaring, seolah mencari keberadaannya bahkan dalam lelap.Wajah pria itu tampak lebih damai dibanding biasanya, tanpa ekspresi arogan atau sorot mata dingin yang sering ia tunjukkan di hadapan dunia. Garis-garis tegas di wajahnya melunak, membuatnya terlihat jauh lebih muda—lebih manusiawi. Amara tersenyum kecil sebelum pelan-pelan turun dari tempat tidur, membiarkan telapak kakinya menyentuh permukaan kayu yan

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 129: Langkah Terakhir Lidya

    Malam sudah larut ketika suara ketukan sepatu hak tinggi menggema di lantai marmer restoran eksklusif di jantung Jakarta. Setiap langkah yang diayunkan memancarkan ketegasan, penuh percaya diri, seolah dunia masih berputar sesuai kehendaknya.Lidya Pramesti bukan tipe wanita yang mudah menyerah—dan malam ini, ia datang bukan sekadar untuk berbasa-basi.Restoran itu diterangi cahaya temaram dari lampu gantung kristal yang menggantung anggun di langit-langit tinggi, memancarkan kilauan keemasan yang lembut. Aroma wine mahal dan hidangan mewah bercampur dalam udara, berpadu dengan alunan musik jazz pelan yang mengalir dari sudut ruangan.Meja-meja berlapis kain putih tertata rapi, dihiasi lilin-lilin kecil yang berkelap-kelip, menambah kesan intim di antara bisikan para tamu yang tengah menikmati malam mereka.Namun, kehadiran Lidya tak bisa diabaikan begitu saja. Beberapa pasang mata melirik ke arahnya, tertarik oleh aura dingin yang dibawanya.

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 128: Menggenggammu di Bawah Langit Jakarta

    Udara pagi di Jakarta terasa lebih segar dari biasanya, meskipun suara klakson mobil, deru mesin, dan gemuruh kota masih mendominasi. Dari balkon apartemen mereka di lantai dua puluh, Amara bersandar pada pagar besi yang dingin, membiarkan angin pagi membelai wajahnya yang masih sedikit mengantuk.Matanya mengembara ke hamparan gedung-gedung tinggi yang menjulang di bawah langit biru pucat, beberapa di antaranya masih berkedip-kedip dengan lampu-lampu yang belum dipadamkan.Jauh di bawah sana, jalanan mulai sibuk—mobil-mobil berdesakan di persimpangan, pejalan kaki melangkah tergesa, dan pedagang kaki lima mulai menggelar lapaknya di trotoar.Namun, semua itu hanya latar. Di kepalanya, pikiran Amara masih dipenuhi kejadian semalam—pertengkaran Laksha dengan ayahnya, suara tegas pria itu saat berhadapan dengan figur yang selama ini begitu dominan dalam hidupnya.Dan kemudian, Indira. Perempuan itu berdiri di pihak mereka, sesuatu yang tidak per

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 127: Melawan Garis Takdir

    Udara di ruang kerja Aditya Wijanarko terasa lebih berat dari biasanya, seolah-olah mengandung beban yang tak kasatmata. Lampu gantung kristal di langit-langit memancarkan cahaya keemasan, memantul lembut di permukaan meja kayu mahoni yang kokoh di tengah ruangan.Aroma kayu tua bercampur samar dengan wangi kertas lama dari rak-rak buku yang memenuhi dinding. Deretan jilid tebal dengan punggung berlapis emas berdiri tegak, seakan menjadi saksi bisu ketegangan yang merayap di antara dua pria yang saling berhadapan. Laksha berdiri tegak di hadapan ayahnya, jarinya mencengkeram gagang cangkir kopi yang belum sempat ia teguk. Cairan hitam di dalamnya masih mengepulkan uap tipis, kontras dengan hawa dingin yang perlahan menjalar dari kata-kata yang belum terucap.Rahangnya mengeras, sorot matanya tajam, tetapi ada kilatan lain di sana—sesuatu yang tak mudah diartikan. Kemarahan? Kekecewaan? Atau hanya kesadaran bahwa perdebatan ini tak akan berakhir tanp

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 126: Tanpa Syarat, Tanpa Kebohongan

    Senja menumpahkan cahaya keemasan ke seluruh sudut apartemen, membentuk bayangan lembut yang menari di dinding. Langit di luar bergradasi dari jingga pekat ke ungu tua, seolah alam sendiri sedang melukiskan peralihan hari dengan warna-warna paling indahnya.Angin sore menyelinap masuk melalui celah balkon, menggoyangkan gorden tipis yang melambai perlahan, menciptakan tarian sunyi yang nyaris melankolis.Di dalam ruangan, aroma kopi hitam yang masih mengepul bercampur dengan wangi maskulin khas Laksha—kombinasi yang selama ini terasa asing bagi Amara, tetapi kini menghadirkan kenyamanan yang tak ia duga. Amara berdiri di dekat meja makan, jari-jarinya menggambar lingkaran tak beraturan di tepian gelas. Matanya tak sepenuhnya terfokus, seakan pikirannya melayang di antara kenyataan dan sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang tak ingin ia akui sepenuhnya.Di hadapannya, Laksha duduk dengan sikap santai, satu lengannya terlipat di atas meja

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status