Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui celah tirai jendela, menebarkan cahaya keemasan di atas meja makan. Aroma kopi yang mulai dingin bercampur dengan semilir udara pagi, namun bagi Amara, kehangatan itu tak ada artinya.
Jari-jarinya membungkus cangkir keramik dengan erat, tapi pikirannya melayang jauh, tidak benar-benar berada di dalam ruangan ini.
Di hadapannya, lembaran koran terbuka lebar, menampilkan headline bisnis yang seharusnya menarik perhatiannya—tentang ekspansi terbaru Wijanarko Group. Namun, bukan kata-kata yang mencuri perhatiannya. Matanya justru terpaku pada foto yang menyertainya.
Sebuah potret Laksha dan Lidya.
Laksha tampak seperti biasa—setelan jas hitam yang rapi membingkai tubuhnya dengan sempurna, ekspresi percaya diri yang selalu ia kenakan seperti baju zirah. Tapi yang lebih mengusik Amara adalah sosok di sampingnya.
Lidya. Gaun putih elegan membalut tubuh perempuan itu, senyumnya terlalu manis, terlalu
Laksha duduk di tepi ranjang, bahunya sedikit merosot, punggung membungkuk dalam diam. Kedua sikunya bertumpu pada lutut, sementara jemarinya saling bertaut, mencengkeram seolah ingin menahan sesuatu—sesuatu yang perlahan tumbuh, mendesak keluar dari dalam dadanya.Di luar, langit Jakarta sudah gelap, tapi kota tak pernah benar-benar tidur. Sorot lampu-lampu gedung masih bersinar, pantulannya membias di kaca jendela, berpendar seperti kilatan ingatan yang tak mau padam.Samar-samar, deru kendaraan terdengar, sesekali bercampur dengan suara klakson yang pecah di antara desir angin malam yang menyelinap masuk melalui celah balkon.Tapi semua itu terasa jauh. Samar. Seperti suara yang ditenggelamkan oleh badai yang berputar-putar dalam kepalanya.Di layar ponselnya, sebuah foto masih terbuka.Amara dan Reza.Mereka duduk berhadapan di sebuah kafe. Tertawa. Dengan cara yang terlalu akrab, terlalu nyaman—seakan dunia di sekitar mereka
Musik jazz mengalun lembut di ballroom hotel bintang lima, mengisi udara dengan sentuhan kemewahan yang seharusnya menenangkan. Kilauan lampu gantung kristal memantulkan cahaya ke segala arah, menyatu dengan derai tawa dan dentingan gelas sampanye yang saling bersulang.Namun, bagi Amara, semua itu hanya seperti latar belakang kabur—suara-suara yang teredam, seperti gema dari dunia lain yang terasa semakin jauh.Ia berdiri di sudut ruangan, jemarinya melingkari gelas mocktail yang dinginnya sudah hampir lenyap, meninggalkan jejak embun tipis di permukaan kaca.Dari tempatnya berdiri, lautan tamu tampak seperti gelombang yang bergerak tanpa bentuk, penuh gaun elegan dan setelan jas yang berbaur dalam percakapan ringan. Tapi matanya hanya terpaku pada satu titik. Pada satu sosok.Laksha.Dan Lidya.Wanita itu berdiri terlalu dekat, nyaris menempel di sisi Laksha. Gaun satin merah darahnya membalut tubuhnya dengan sempurna, lekukan kainny
Udara di ruang kerja Indira Wijanarko terasa lebih berat dari biasanya, seolah gravitasi bertambah tanpa alasan yang jelas. Wangi teh melati yang mengepul dari cangkir porselen seharusnya membawa ketenangan, tetapi bagi Laksha, aromanya justru terasa hambar.Ia duduk di sofa berhadapan dengan ibunya, tatapannya kosong, menembus jendela besar yang menghadap lanskap malam Jakarta. Gemerlap kota seperti lautan cahaya yang terus bergerak, tapi pikirannya tak ada di sana.Ia melayang, terjebak di satu titik yang tak bisa ia hindari. Atau lebih tepatnya—pada satu sosok.Amara.Wajah itu terukir jelas dalam benaknya. Cara bahunya sedikit merosot sebelum akhirnya ia berbalik pergi tadi malam. Cara bibirnya bergetar sedikit, seakan menahan sesuatu yang tak bisa ia katakan. Kemarahan? Kekecewaan? Atau mungkin sesuatu yang lebih dalam?Sialnya, bayangan itu mengganggunya lebih dari yang seharusnya.“Kamu belum menyentuh teh
Acara amal di Grand Aurora Hotel malam itu berkilauan dalam kemewahan, seolah-olah setiap sudut ruangan dipenuhi bintang yang jatuh dari langit.Lampu kristal yang menggantung di langit-langit ballroom memancarkan cahaya keemasan, memantul di permukaan meja-meja bundar yang tertata sempurna dengan taplak putih, rangkaian bunga lili, dan lilin-lilin kecil yang berkedip lembut.Aroma mawar dan sampanye bercampur di udara, menyatu dengan gemuruh percakapan dan tawa halus para tamu.Di antara para pebisnis, selebriti, dan sosialita yang mengenakan busana terbaik mereka, Amara berdiri di sisi Laksha. Gaun satin emerald membalut tubuhnya dengan anggun, mengikuti setiap lekuknya dengan keanggunan yang nyaris mistis.Rambutnya disanggul sederhana, menyisakan beberapa helai yang jatuh lembut di pelipisnya. Wajahnya tenang, seakan tak tergoyahkan oleh gemerlap di sekitarnya.Namun, di dalam dadanya, ada sesuatu yang tak bisa diabaikan—sisa-sisa k
Malam itu, udara di balkon kamar hotel mereka terasa lebih dingin dari biasanya. Jakarta membentang di bawah mereka—hamparan cahaya kota berkelip-kelip, seperti bintang yang tersesat di antara beton dan kaca.Suara kendaraan masih bergemuruh di kejauhan, teredam oleh ketinggian mereka, menciptakan ilusi bahwa dunia di bawah sana adalah miniatur kehidupan yang terus bergerak, tak peduli siapa yang mengamatinya. Amara bersandar pada pagar besi hitam, ujung jemarinya menyentuh dinginnya logam. Matanya terpaku pada jalanan yang sibuk, tetapi pikirannya berada di tempat lain.Percakapan di acara tadi masih bergema di kepalanya—kata-kata Lidya yang terselubung racun, tatapan penuh perhitungan, senyum yang tak pernah benar-benar hangat. Ia mengira akan kehilangan kendali, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Ia berdiri tegak, berbicara dengan ketenangan yang bahkan tidak ia sangka mampu ia pertahankan. Lidya boleh bermain licik, tapi ia
Kafe kecil di sudut Kemang itu masih sama seperti dulu—hangat, menenangkan, dan penuh dengan aroma kopi yang menguar lembut dari mesin espresso di belakang barista. Lampu-lampu gantung bercahaya temaram, memantulkan kilau samar di permukaan meja kayu yang dipoles rapi.Dindingnya berlapis bata ekspos, dihiasi rak kayu berisi buku-buku tua dan pot-pot kecil berisi tanaman hijau yang memberi sentuhan kehidupan pada ruangan.Di luar, hujan gerimis mulai turun, membasahi jendela kaca besar di samping tempat duduk mereka. Tetesan air jatuh perlahan, menciptakan pola acak yang menari dalam cahaya lampu jalanan.Udara yang lembap membawa serta aroma tanah basah, bercampur samar dengan wangi kopi yang menggantung di udara.Amara duduk di salah satu sudut kafe, jari-jarinya melingkari cangkir cappuccino yang mulai kehilangan panasnya. Ia mengaduk busa susu yang hampir mencair dengan gerakan lambat, seperti seseorang yang berpikir tapi enggan menyentuh inti d
Denting sendok yang beradu dengan piring porselen terdengar sayup, terselip di antara irama hujan yang menari-nari di balik jendela restoran.Aroma kopi yang pekat bercampur dengan wangi roti panggang yang baru keluar dari oven, menguar di udara, mengimbangi dingin yang merayap pelan dari hembusan AC. Lampu-lampu gantung berpendar lembut, menciptakan bayangan hangat di meja-meja kayu yang tersusun rapi.Amara merapatkan jaketnya, menatap ke luar jendela dengan tatapan kosong. Di luar, hujan mengguyur jalanan Jakarta tanpa ampun, membasahi trotoar dan atap mobil yang berbaris di antara kerlip lampu lalu lintas.Genangan air di aspal memantulkan cahaya reklame neon, menciptakan pantulan warna-warni yang berkedip samar. Ada sesuatu yang melankolis dalam pemandangan itu—atau mungkin, itu hanya pantulan dari apa yang ia rasakan.Ia melirik jam di pergelangan tangan. Lebih dari dua puluh menit.Laksha belum juga tiba.Ia menarik napas pelan,
Langit pagi masih kelabu, seolah enggan menyerahkan hari sepenuhnya pada cahaya. Sisa hujan semalam meninggalkan aroma tanah basah yang samar-samar menguar, bercampur dengan wangi dedaunan yang masih menyimpan sisa embun.Angin pagi berembus lembut, mengelus kulit dengan kesejukan yang menenangkan. Namun, di balik keindahan pagi yang perlahan terbangun, kota tak pernah benar-benar beristirahat. Deru kendaraan mulai memenuhi jalanan, klakson bersahutan seperti alunan orkestra yang menandai hari baru di Jakarta.Amara berdiri di balkon apartemennya, diam di tengah riuhnya dunia. Matanya menatap jauh, tetapi pikirannya tak benar-benar menangkap apa yang ada di hadapannya. Jakarta bergerak cepat, seperti biasa, tetapi bagi Amara, waktu terasa berjalan lebih lambat dari yang seharusnya.Jari-jarinya menggenggam cangkir teh yang sudah lama kehilangan kehangatannya. Uap yang tadi mengepul kini lenyap, meninggalkan permukaan air yang dingin, tak tersentuh. Namun, yang l
Langit senja perlahan meredup, membiarkan cahaya jingga yang tersisa melebur ke dalam gelap. Lampu-lampu kota mulai menyala, membias di atas aspal yang masih basah oleh sisa hujan.Udara malam membawa aroma tanah lembap yang bercampur dengan wangi kopi dari warung kecil di sudut jalan, menghangatkan atmosfer di tengah dinginnya angin yang berembus perlahan.Namun bagi Amara, tak ada kehangatan di sana.Langkahnya pelan di trotoar, menyusuri jalan tanpa tujuan. Hanya membiarkan kakinya bergerak, berharap pikirannya bisa terbawa pergi bersama angin malam. Tapi semakin jauh ia melangkah, semakin erat bayangan Laksha mencengkeramnya.Ia masih bisa melihat pria itu dengan jelas di benaknya—berdiri di depan pintu rumah Reza, tubuhnya kuyup, rambutnya basah menempel di dahi. Rahangnya mengeras, napasnya sedikit memburu. Tapi yang paling tak bisa Amara lupakan adalah tatapan itu.Mata gelap yang menyimpan begitu banyak hal yang tak terucapkan.
Laksha tersentak, tubuhnya menegang seolah ibunya baru saja membuka sesuatu yang selama ini terkunci rapat di sudut terdalam hatinya. Ia memalingkan wajah, menatap ke arah jendela besar yang terbuka, seakan berharap angin malam yang masuk bisa mendinginkan gejolak yang tiba-tiba menyerangnya.Di luar, langit pekat bertabur bintang. Cahaya bulan memantulkan bayangan samar di lantai kayu ruang tamu yang luas, tetapi bagi Laksha, malam terasa lebih sempit dari biasanya. Udara seolah berat, seperti menekan dadanya, menahan setiap kata yang ingin ia ucapkan.Ia ingin membantah. Ingin berkata bahwa ini bukan tentang cinta, bahwa ia hanya merasa terganggu karena Amara pergi begitu saja tanpa peringatan. Tapi mulutnya tetap tertutup, seolah ada sesuatu yang mengunci semua penyangkalan itu di dalam tenggorokan.Indira memperhatikan putranya dalam diam. Ada kelembutan di matanya, tetapi juga ketajaman seorang ibu yang mengenal anaknya lebih baik daripada siapa pun. Senyum
Di ruang tamu yang luas dan penuh kehangatan terselubung, cahaya lampu kristal yang lembut jatuh ke permukaan marmer, menciptakan kilauan samar di lantai. Aroma teh melati yang baru diseduh menguar pelan, bercampur dengan wangi kayu mahoni dari perabotan yang tertata sempurna.Meski ruangan ini begitu mewah dan teratur, ada sesuatu yang terasa berat di udara—sebuah ketegangan yang sunyi namun nyata. Laksha duduk di sofa beludru berwarna cokelat tua, tubuhnya sedikit merosot, seolah kelelahan yang ia bawa tak hanya berasal dari fisiknya, tetapi juga dari dalam hatinya.Jaketnya tersampir sembarangan di sandaran sofa, kerahnya sedikit kusut akibat tangan yang berkali-kali menariknya sepanjang perjalanan ke rumah ini. Kedua tangannya saling bertaut di depan wajah, jemarinya mengetuk-ngetuk ibu jari dalam irama yang tak beraturan.Pandangannya tertuju pada meja kopi di depannya—bukan karena ada sesuatu yang menarik di sana, tetapi lebih kar
Hujan telah reda, meninggalkan jejak tipis di permukaan jalan yang memantulkan cahaya lampu-lampu kota. Aroma tanah basah menyelinap masuk melalui jendela yang setengah terbuka, bercampur dengan udara malam yang sejuk.Di kejauhan, suara rintik yang tersisa masih terdengar samar-samar, seperti enggan benar-benar pergi.Amara duduk diam di meja makan, tubuhnya nyaris tak bergerak kecuali jemarinya yang menggenggam cangkir teh—cairannya sudah lama kehilangan hangatnya. Pandangannya kosong, tidak benar-benar melihat apapun, seakan pikirannya berada di tempat lain.Di seberangnya, Reza menatapnya lekat-lekat. Ekspresinya lebih serius dari biasanya, rahangnya mengeras seolah menahan sesuatu yang sudah lama ingin ia katakan."Lo nggak bisa terus kayak gini, Ra." Suaranya tenang, tapi ada desakan halus yang sulit diabaikan. "Kalau lo udah pergi, ya udah. Jangan terus-terusan nyangkut di masa lalu."Masa lalu.Kata itu menggantung di udara, me
Hujan masih menari-nari di atas aspal saat mobil Laksha melaju membelah jalanan Jakarta yang basah. Lampu-lampu kota berpendar di genangan air, menciptakan refleksi tak beraturan yang berkedip-kedip di kaca depan.Wiper bergerak malas, menyapu rintik-rintik hujan yang terus saja turun.Tangannya mencengkeram kemudi lebih kuat dari yang seharusnya, jemarinya memutih. Rahangnya mengeras, otot-otot di lehernya menegang. Di kepalanya, ingatan tentang Amara berputar tanpa henti, menyisakan lubang yang semakin menganga.Kemana dia pergi?Amara bukan tipe yang akan kembali ke rumah orang tua—karena ia tak punya siapa-siapa di sana. Ia juga bukan seseorang yang akan menghamburkan uang di hotel-hotel mahal. Terlalu boros, terlalu tidak masuk akal baginya.Jika ia ingin menghilang, ke mana?Laksha memejamkan mata sejenak di lampu merah, membiarkan pikirannya menelusuri jejak-jejak kecil yang selama ini luput dari perhatiannya. Percakapan-percaka
Hujan turun perlahan, mengetuk-ngetuk kaca jendela apartemen dengan ritme yang seolah menggema di dalam dadanya. Langit di luar kelabu pekat, serupa kanvas kusam yang mencerminkan benang kusut dalam kepalanya.Udara membawa aroma aspal basah dan samar-samar dingin yang merayapi kulit, tetapi Laksha nyaris tak menyadarinya.Ia terduduk di atas sofa, satu tangan menopang dahinya, sementara tangan lain menggenggam gelas kristal berisi bourbon yang tak tersentuh. Cairan keemasan itu berpendar redup di bawah cahaya lampu, tetapi tak ada daya tariknya malam ini.Ruangan ini... terlalu luas. Terlalu sunyi.Dulu, selalu ada suara langkah kecil yang tergesa-gesa di pagi hari, gemerisik sendok beradu dengan cangkir, aroma kopi yang menyelusup dari dapur. Selalu ada dengusan kesal atau lirikan tajam yang mengiringi candaan sarkastisnya.Selalu ada suara Amara.Selalu ada Amara.Sekarang? Kosong.Laksha menghela napas panjang, pundaknya tu
Hujan baru saja reda, menyisakan aroma tanah basah yang samar-samar bercampur dengan udara dingin yang menusuk kulit. Tetesan air masih jatuh perlahan dari dedaunan di luar jendela, menciptakan irama samar yang menyatu dengan desah napas tertahan di dalam kamar itu.Langit Jakarta malam itu kelabu pekat, seakan menyerap segala emosi yang menggenang di ruangan sempit tempat dua hati saling terombang-ambing dalam ketidakpastian. Amara berdiri di tengah kamar mereka, kaki telanjangnya menyentuh lantai kayu yang dingin. Di hadapannya, koper kecil terbuka setengah, pakaian yang tergulung rapi berbaring di dalamnya seperti saksi bisu dari keputusannya.Tangannya gemetar saat meraih sehelai sweater, tapi ia memaksa dirinya untuk tetap bergerak. Jika ia berhenti, ia tahu dadanya akan semakin sesak. Dari belakangnya, langkah kaki terdengar mendekat—berat dan tergesa. “Amara, berhenti.” Suara itu dalam, le
Pagi di Jakarta selalu sibuk, penuh dengan suara klakson yang bersahutan dan langkah-langkah tergesa di trotoar. Tapi bagi Amara, semuanya terasa lebih lambat hari ini.Ia duduk di sebuah kafe kecil di sudut Senopati, membiarkan jemarinya melingkari gelas kopi yang kini mulai kehilangan kehangatannya. Aroma espresso yang pekat bercampur dengan wangi croissant hangat yang baru saja keluar dari oven dapur terbuka, tapi tak satu pun menggugah seleranya.Suara sendok beradu dengan cangkir, derit kursi yang bergeser, dan bisikan percakapan dari meja-meja lain menyusup ke telinganya, tapi tetap saja dunia di sekelilingnya terasa jauh, seolah hanya ada ia dan laki-laki yang duduk di depannya.Reza.Pria itu mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung hingga siku, memperlihatkan urat-urat halus di pergelangan tangannya. Ia selalu tampak seperti ini—rapi, effortless, seseorang yang tidak butuh usaha berlebih untuk terlihat menarik.Tapi hari ini,
Hujan telah reda, menyisakan jejak basah yang berkilauan di sepanjang jalanan Jakarta. Genangan kecil memantulkan cahaya lampu jalan, menciptakan kilau keemasan di antara aspal yang menghitam.Aroma tanah basah masih menggantung di udara, berpadu dengan angin malam yang berembus pelan, membawa serta sisa dingin yang menggigit kulit. Dari balkon apartemennya di lantai delapan, Amara berdiri dengan tangan melingkari secangkir teh yang mulai kehilangan hangatnya. Uap tipis yang tadi membubung kini hampir lenyap, menyisakan permukaan air yang tenang, seolah mencerminkan hatinya yang tak menentu.Pandangannya mengembara ke gedung-gedung tinggi di sekelilingnya—monumen bisu yang menjulang dalam kesunyian. Kota ini tak pernah benar-benar tidur, tetapi malam ini terasa berbeda. Lebih sunyi. Lebih lengang. Di dalam, suara pintu yang berderit memecah keheningan. Amara tidak berbalik. Ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang dat