Udara di ruang kerja Indira Wijanarko terasa lebih berat dari biasanya, seolah gravitasi bertambah tanpa alasan yang jelas. Wangi teh melati yang mengepul dari cangkir porselen seharusnya membawa ketenangan, tetapi bagi Laksha, aromanya justru terasa hambar.
Ia duduk di sofa berhadapan dengan ibunya, tatapannya kosong, menembus jendela besar yang menghadap lanskap malam Jakarta. Gemerlap kota seperti lautan cahaya yang terus bergerak, tapi pikirannya tak ada di sana.
Ia melayang, terjebak di satu titik yang tak bisa ia hindari. Atau lebih tepatnya—pada satu sosok.
Amara.
Wajah itu terukir jelas dalam benaknya. Cara bahunya sedikit merosot sebelum akhirnya ia berbalik pergi tadi malam. Cara bibirnya bergetar sedikit, seakan menahan sesuatu yang tak bisa ia katakan. Kemarahan? Kekecewaan? Atau mungkin sesuatu yang lebih dalam?
Sialnya, bayangan itu mengganggunya lebih dari yang seharusnya.
“Kamu belum menyentuh teh
Acara amal di Grand Aurora Hotel malam itu berkilauan dalam kemewahan, seolah-olah setiap sudut ruangan dipenuhi bintang yang jatuh dari langit.Lampu kristal yang menggantung di langit-langit ballroom memancarkan cahaya keemasan, memantul di permukaan meja-meja bundar yang tertata sempurna dengan taplak putih, rangkaian bunga lili, dan lilin-lilin kecil yang berkedip lembut.Aroma mawar dan sampanye bercampur di udara, menyatu dengan gemuruh percakapan dan tawa halus para tamu.Di antara para pebisnis, selebriti, dan sosialita yang mengenakan busana terbaik mereka, Amara berdiri di sisi Laksha. Gaun satin emerald membalut tubuhnya dengan anggun, mengikuti setiap lekuknya dengan keanggunan yang nyaris mistis.Rambutnya disanggul sederhana, menyisakan beberapa helai yang jatuh lembut di pelipisnya. Wajahnya tenang, seakan tak tergoyahkan oleh gemerlap di sekitarnya.Namun, di dalam dadanya, ada sesuatu yang tak bisa diabaikan—sisa-sisa k
Malam itu, udara di balkon kamar hotel mereka terasa lebih dingin dari biasanya. Jakarta membentang di bawah mereka—hamparan cahaya kota berkelip-kelip, seperti bintang yang tersesat di antara beton dan kaca.Suara kendaraan masih bergemuruh di kejauhan, teredam oleh ketinggian mereka, menciptakan ilusi bahwa dunia di bawah sana adalah miniatur kehidupan yang terus bergerak, tak peduli siapa yang mengamatinya. Amara bersandar pada pagar besi hitam, ujung jemarinya menyentuh dinginnya logam. Matanya terpaku pada jalanan yang sibuk, tetapi pikirannya berada di tempat lain.Percakapan di acara tadi masih bergema di kepalanya—kata-kata Lidya yang terselubung racun, tatapan penuh perhitungan, senyum yang tak pernah benar-benar hangat. Ia mengira akan kehilangan kendali, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Ia berdiri tegak, berbicara dengan ketenangan yang bahkan tidak ia sangka mampu ia pertahankan. Lidya boleh bermain licik, tapi ia
Kafe kecil di sudut Kemang itu masih sama seperti dulu—hangat, menenangkan, dan penuh dengan aroma kopi yang menguar lembut dari mesin espresso di belakang barista. Lampu-lampu gantung bercahaya temaram, memantulkan kilau samar di permukaan meja kayu yang dipoles rapi.Dindingnya berlapis bata ekspos, dihiasi rak kayu berisi buku-buku tua dan pot-pot kecil berisi tanaman hijau yang memberi sentuhan kehidupan pada ruangan.Di luar, hujan gerimis mulai turun, membasahi jendela kaca besar di samping tempat duduk mereka. Tetesan air jatuh perlahan, menciptakan pola acak yang menari dalam cahaya lampu jalanan.Udara yang lembap membawa serta aroma tanah basah, bercampur samar dengan wangi kopi yang menggantung di udara.Amara duduk di salah satu sudut kafe, jari-jarinya melingkari cangkir cappuccino yang mulai kehilangan panasnya. Ia mengaduk busa susu yang hampir mencair dengan gerakan lambat, seperti seseorang yang berpikir tapi enggan menyentuh inti d
Denting sendok yang beradu dengan piring porselen terdengar sayup, terselip di antara irama hujan yang menari-nari di balik jendela restoran.Aroma kopi yang pekat bercampur dengan wangi roti panggang yang baru keluar dari oven, menguar di udara, mengimbangi dingin yang merayap pelan dari hembusan AC. Lampu-lampu gantung berpendar lembut, menciptakan bayangan hangat di meja-meja kayu yang tersusun rapi.Amara merapatkan jaketnya, menatap ke luar jendela dengan tatapan kosong. Di luar, hujan mengguyur jalanan Jakarta tanpa ampun, membasahi trotoar dan atap mobil yang berbaris di antara kerlip lampu lalu lintas.Genangan air di aspal memantulkan cahaya reklame neon, menciptakan pantulan warna-warni yang berkedip samar. Ada sesuatu yang melankolis dalam pemandangan itu—atau mungkin, itu hanya pantulan dari apa yang ia rasakan.Ia melirik jam di pergelangan tangan. Lebih dari dua puluh menit.Laksha belum juga tiba.Ia menarik napas pelan,
Langit pagi masih kelabu, seolah enggan menyerahkan hari sepenuhnya pada cahaya. Sisa hujan semalam meninggalkan aroma tanah basah yang samar-samar menguar, bercampur dengan wangi dedaunan yang masih menyimpan sisa embun.Angin pagi berembus lembut, mengelus kulit dengan kesejukan yang menenangkan. Namun, di balik keindahan pagi yang perlahan terbangun, kota tak pernah benar-benar beristirahat. Deru kendaraan mulai memenuhi jalanan, klakson bersahutan seperti alunan orkestra yang menandai hari baru di Jakarta.Amara berdiri di balkon apartemennya, diam di tengah riuhnya dunia. Matanya menatap jauh, tetapi pikirannya tak benar-benar menangkap apa yang ada di hadapannya. Jakarta bergerak cepat, seperti biasa, tetapi bagi Amara, waktu terasa berjalan lebih lambat dari yang seharusnya.Jari-jarinya menggenggam cangkir teh yang sudah lama kehilangan kehangatannya. Uap yang tadi mengepul kini lenyap, meninggalkan permukaan air yang dingin, tak tersentuh. Namun, yang l
Hujan turun lagi. Rintiknya lembut, jatuh seperti bisikan di atas trotoar yang sudah basah, menciptakan genangan kecil yang memantulkan cahaya lampu jalan.Udara membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang meruapkan kesunyian sore, membaur dengan suara gemericik air dari pancuran kecil di sudut taman.Amara duduk di bangku kayu yang sedikit lembap, membiarkan embusan angin menerpa wajahnya. Taman ini selalu menjadi tempat pelariannya—suaka kecil di tengah kota yang tak pernah benar-benar sepi, tetapi cukup tersembunyi untuk memberinya ruang bernapas.Pepohonan tinggi membentuk kanopi alami, membuatnya nyaris tak tersentuh gerimis, kecuali beberapa tetes yang sesekali jatuh dari ujung dedaunan.Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan riak pikirannya. Namun, sebelum keheningan sempat membawanya tenggelam lebih jauh, suara seseorang memecah udara."Dingin-dingin begini, kau malah duduk di sini sendirian?"Amara tertegun. Suara itu&he
Malam merayap perlahan, membawa keheningan yang lebih pekat dari biasanya. Langit Jakarta membentang dalam gradasi kelam, diselimuti biru gelap yang samar, nyaris hitam.Di bawahnya, gedung-gedung tinggi menjulang, lampu-lampunya berpendar dalam warna emas dan putih, seperti gugusan bintang buatan yang berkelip tak serempak.Angin malam berembus, menyusup di antara celah jendela, menggerakkan tirai tipis yang tergantung di sana, menari perlahan dalam bayangan cahaya yang temaram.Laksha berdiri di depan jendela besar kamarnya, menatap pantulan dirinya di permukaan kaca. Sosok tinggi dengan bahu tegap, rahang kuat, dan sorot mata yang biasanya penuh keyakinan. Namun malam ini, ada sesuatu yang berbeda.Ada keraguan, mengendap di balik iris gelapnya, seperti bayangan samar yang enggan pergi.Di tangannya, sebuah gelas kristal berisi bourbon setengah penuh. Cairan amber itu berkilauan di bawah cahaya lampu kamar, berputar perlahan seiring dengan gerak
Suasana apartemen Amara terasa berbeda malam itu. Gelap lebih mendominasi, hanya diterangi seberkas cahaya hangat dari lampu baca di sudut ruangan. Cahaya temaram itu memantulkan bayangan lembut di dinding, mengukir siluetnya sendiri di antara furnitur yang diam membisu.Aroma teh melati masih menggantung di udara, berpadu dengan wangi khas yang selalu melekat pada tubuhnya—sehalus embusan napas yang tertinggal di ruang-ruang sunyi. Ia duduk di sofa, tubuhnya sedikit condong ke depan. Jemarinya saling bertaut di pangkuan, sesekali mengetuk-ngetuk permukaan pahanya tanpa sadar—ritme kecil yang menggambarkan kegelisahan yang tak terucapkan.Napasnya berayun dalam jeda panjang, menunggu sesuatu yang tak kasatmata, sesuatu yang akan mengubah segalanya. Lalu suara itu datang. Bunyi pintu terbuka, langkah kaki yang mantap, dan kehadiran seseorang yang begitu dikenalnya. Laksha berdiri di ambang pintu. Setelan hitamnya tet
Pagi itu, sinar matahari menyelinap lembut melalui jendela besar kafe, menari di permukaan meja kayu tempat Amara duduk.Secangkir cappuccino di depannya telah kehilangan uap hangatnya, dan di sebelahnya, selembar brosur lusuh terlipat di beberapa sudut—jejak dari jari-jarinya yang tak henti meremas dan merapikannya kembali."Beasiswa Pascasarjana – Program Studi Bisnis dan Manajemen, Universitas Leiden, Belanda."Matanya menelusuri kata-kata itu berulang kali, seolah jawaban yang ia cari tersembunyi di antara baris-baris huruf. Dulu, ia tak pernah ragu mengejar impiannya. Namun kini, ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang membuat langkahnya terasa lebih berat dari yang seharusnya.Di dalam kepalanya, suara kecil terus berbisik: Kalau kamu pergi, apakah semuanya akan berubah?Sebuah gesekan kursi mendadak memecah lamunannya.Amara mengangkat kepala dan mendapati Laksha sudah duduk di hadapannya.Pria itu tampak berbeda
Angin malam membelai wajah Amara dengan lembut, menyelusup di antara helaian rambutnya yang tergerai, membawa aroma aspal basah dan sisa hujan yang masih melekat di jalanan.Ia berdiri di balkon, memeluk dirinya sendiri dalam diam, seolah-olah itu satu-satunya cara untuk menahan sesuatu yang perlahan-lahan menggerogoti hatinya.Di bawah sana, Jakarta berkelip dalam jutaan cahaya. Gedung-gedung tinggi berdiri angkuh, jendela-jendelanya memantulkan kilau lampu jalan, sementara kendaraan mengalir tanpa henti, mengisi udara dengan dengung mesin dan klakson yang samar terdengar dari kejauhan.Kota ini selalu hidup, tapi malam ini, bagi Amara, semuanya terasa sunyi.Ia menarik napas dalam, membiarkan udara malam mengisi paru-parunya sebelum mengembuskannya perlahan. Tapi tetap saja, ada sesuatu yang mengganjal di dadanya—sesuatu yang tak bisa ia hembuskan begitu saja.Mimpi-mimpinya.Dulu, segala sesuatunya jelas. Ia tahu apa yang ia kejar,
Langkah Laksha terasa berat. Bukan karena lantai marmer ballroom yang licin atau kerumunan tamu yang bergerak anggun di antara kelopak gaun dan percakapan samar. Bukan pula karena dentingan gelas sampanye yang beradu di udara, menambah riuh malam yang dipenuhi tawa dan basa-basi.Beban itu datang dari sesuatu yang lebih dalam, lebih sunyi—ketakutan yang selama ini tak pernah ia akui.Ketakutan bahwa Amara akan menolaknya. Namun, ketika matanya kembali menemukan sosok itu, segalanya seakan berhenti. Amara berdiri di sana, dalam balutan gaun biru tua yang mengalir lembut di tubuhnya, seperti lautan yang tenang sebelum badai.Cahaya lampu kristal yang menggantung di langit-langit ballroom memantulkan kilau samar di kulitnya, menciptakan bayangan tipis di sepanjang lekuk wajahnya. Ia begitu nyata, begitu dekat, tetapi terasa seperti dunia yang tak lagi bisa dijangkau. Amara menatapnya, tetapi tidak bergerak.
Gemerlap lampu kristal di ballroom hotel itu menari-nari di atas permukaan marmer, menciptakan kilauan yang berpendar seperti bintang jatuh.Aroma sampanye dan parfum mahal bercampur dengan nada lembut musik jazz yang mengalun dari sudut ruangan, melukiskan kemewahan yang hampir terasa asing bagi Amara.Ia berdiri di salah satu sisi ruangan, setengah tersembunyi di balik pilar berukir. Jemarinya menggenggam gelas anggur yang dinginnya merambat ke kulit, tapi isinya masih utuh. Gaun satin biru tua membalut tubuhnya dengan sempurna, mengikuti lekuknya dengan anggun.Rambutnya disanggul sederhana, hanya beberapa helai yang lolos dan jatuh di sisi wajahnya—membingkainya dengan lembut. Dari luar, ia mungkin tampak seperti bagian dari dunia ini: elegan, tenang, tak tersentuh.Tapi di balik raut wajah yang tampak terkendali, jantungnya berdebar kencang.Bukan karena gemerlap pesta.Bukan karena tatapan tamu-tamu yang sesekali meliriknya denga
Hujan menari pelan di balik kaca jendela, menciptakan irama samar yang menyusup ke dalam kamar Amara. Udara malam yang lembap berembus melalui celah sempit, membawa serta aroma tanah basah yang bercampur dengan bau buku-buku tua yang memenuhi rak kayunya.Cahaya lampu meja berpendar lembut, membentuk bayangan samar di dinding, seakan ikut menyimpan rahasia yang berat di dada.Di tangannya, selembar kertas lusuh tergenggam erat—sebuah surat yang tepinya mulai lecek karena terlalu sering dilipat dan dibuka. Jemarinya terus meraba permukaannya, seolah berharap menemukan jawaban di antara serat kertas yang tipis.Ia telah membaca surat itu berulang kali, setiap katanya terpatri di benaknya seperti ukiran yang tak bisa dihapus. Tulisan tangan itu begitu familiar—goresan khas yang selama ini lebih sering ia temui dalam dokumen-dokumen bisnis, laporan rapat, kontrak kerja.Selalu tegas, selalu tanpa cela. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Gor
Langit senja menyelimuti Jakarta dengan gradasi jingga yang perlahan meredup, seolah mencair ke dalam gelapnya malam. Gedung-gedung tinggi berdiri membisu, jendela-jendelanya berpendar oleh cahaya lampu, menciptakan pantulan samar di aspal yang masih menyisakan panas siang tadi.Di sebuah balkon apartemen di lantai tinggi, Laksha berdiri membatu, kedua tangannya bertumpu pada pagar besi hitam yang dingin. Angin sore mengacak rambutnya, menelusup ke dalam kemeja yang tak lagi rapi.Di genggamannya, segelas whiskey hanya tersentuh setengahnya, cairan amber itu berpendar samar di bawah cahaya lampu balkon.Matanya kosong, menatap lalu lintas yang tak pernah berhenti, tetapi pikirannya melayang jauh—terjebak pada satu nama yang tak kunjung pergi dari benaknya.Amara.Sejak kepergiannya tiga minggu lalu, apartemen ini seperti kehilangan nyawanya. Sunyi. Dingin. Sepi. Laksha tak pernah benar-benar peduli pada kesepian sebelumnya—selalu merasa
Langit senja perlahan meredup, membiarkan cahaya jingga yang tersisa melebur ke dalam gelap. Lampu-lampu kota mulai menyala, membias di atas aspal yang masih basah oleh sisa hujan.Udara malam membawa aroma tanah lembap yang bercampur dengan wangi kopi dari warung kecil di sudut jalan, menghangatkan atmosfer di tengah dinginnya angin yang berembus perlahan.Namun bagi Amara, tak ada kehangatan di sana.Langkahnya pelan di trotoar, menyusuri jalan tanpa tujuan. Hanya membiarkan kakinya bergerak, berharap pikirannya bisa terbawa pergi bersama angin malam. Tapi semakin jauh ia melangkah, semakin erat bayangan Laksha mencengkeramnya.Ia masih bisa melihat pria itu dengan jelas di benaknya—berdiri di depan pintu rumah Reza, tubuhnya kuyup, rambutnya basah menempel di dahi. Rahangnya mengeras, napasnya sedikit memburu. Tapi yang paling tak bisa Amara lupakan adalah tatapan itu.Mata gelap yang menyimpan begitu banyak hal yang tak terucapkan.
Laksha tersentak, tubuhnya menegang seolah ibunya baru saja membuka sesuatu yang selama ini terkunci rapat di sudut terdalam hatinya. Ia memalingkan wajah, menatap ke arah jendela besar yang terbuka, seakan berharap angin malam yang masuk bisa mendinginkan gejolak yang tiba-tiba menyerangnya.Di luar, langit pekat bertabur bintang. Cahaya bulan memantulkan bayangan samar di lantai kayu ruang tamu yang luas, tetapi bagi Laksha, malam terasa lebih sempit dari biasanya. Udara seolah berat, seperti menekan dadanya, menahan setiap kata yang ingin ia ucapkan.Ia ingin membantah. Ingin berkata bahwa ini bukan tentang cinta, bahwa ia hanya merasa terganggu karena Amara pergi begitu saja tanpa peringatan. Tapi mulutnya tetap tertutup, seolah ada sesuatu yang mengunci semua penyangkalan itu di dalam tenggorokan.Indira memperhatikan putranya dalam diam. Ada kelembutan di matanya, tetapi juga ketajaman seorang ibu yang mengenal anaknya lebih baik daripada siapa pun. Senyum
Di ruang tamu yang luas dan penuh kehangatan terselubung, cahaya lampu kristal yang lembut jatuh ke permukaan marmer, menciptakan kilauan samar di lantai. Aroma teh melati yang baru diseduh menguar pelan, bercampur dengan wangi kayu mahoni dari perabotan yang tertata sempurna.Meski ruangan ini begitu mewah dan teratur, ada sesuatu yang terasa berat di udara—sebuah ketegangan yang sunyi namun nyata. Laksha duduk di sofa beludru berwarna cokelat tua, tubuhnya sedikit merosot, seolah kelelahan yang ia bawa tak hanya berasal dari fisiknya, tetapi juga dari dalam hatinya.Jaketnya tersampir sembarangan di sandaran sofa, kerahnya sedikit kusut akibat tangan yang berkali-kali menariknya sepanjang perjalanan ke rumah ini. Kedua tangannya saling bertaut di depan wajah, jemarinya mengetuk-ngetuk ibu jari dalam irama yang tak beraturan.Pandangannya tertuju pada meja kopi di depannya—bukan karena ada sesuatu yang menarik di sana, tetapi lebih kar