Langit Jakarta malam itu dipenuhi cahaya neon yang berpendar, mencerminkan gemerlap kota yang tak pernah tidur.
Namun, di dalam rumah keluarga Wijanarko, suasana terasa kontras—dingin, tegang, dan penuh tekanan yang menggantung di udara seperti hujan yang tertahan di langit sebelum akhirnya turun dengan deras.
Amara melangkah pelan di koridor lantai dua, nyaris tanpa suara di atas marmer dingin yang memantulkan cahaya lampu gantung.
Sebenarnya, ia hanya ingin turun ke dapur untuk mengambil segelas air, tetapi langkahnya terhenti ketika samar-samar terdengar suara laki-laki dari balik pintu ruang kerja yang sedikit terbuka.
Awalnya, ia berniat untuk berlalu begitu saja. Ini bukan urusannya. Ia tak ingin terlibat dalam permasalahan pribadi Laksha dan keluarganya. Namun, nada suara yang terdengar dari dalam ruangan begitu keras, dipenuhi emosi yang mentah, membuatnya ragu.
"Aku sudah muak, Ayah!"
Langkahnya terhenti. Itu suara La
"Aku tidak peduli kau menikah dengan siapa," suara Aditya terdengar rendah, nyaris seperti geraman yang tertahan. "Tapi aku ingin melihat komitmen. Aku ingin melihat kau benar-benar bertanggung jawab atas keputusanmu. Bukan sekadar membuat kesepakatan yang kosong."Laksha tertawa pendek, getir. Bukan tawa bahagia, melainkan tawa seseorang yang lelah, yang sudah terlalu sering mendengar kata-kata seperti itu."Tanggung jawab?" ulangnya, seakan mencicipi kata itu dengan sarkasme yang tajam. "Kau bicara tentang tanggung jawab, tapi sepanjang hidupku, aku hanya berusaha memenuhi standar yang bahkan kau sendiri tidak pernah jelaskan dengan jelas."Tatapan Aditya tetap tajam, tidak berubah sedikit pun. "Kedewasaan tidak bisa diajarkan, Laksha," katanya, nada suaranya tetap tegas. "Itu harus dipelajari sendiri. Dan sampai hari ini, aku masih melihat bocah yang keras kepala, yang lebih peduli pada egonya daripada pada sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri."
Angin malam berembus lembut melalui celah jendela besar di kamar Amara, membawa serta aroma tanah basah yang khas setelah hujan.Dari kejauhan, langit Jakarta yang kelam diterangi gemerlap lampu-lampu pencakar langit, menciptakan pendar cahaya yang seakan berkilauan di balik tirai tipis yang bergerak pelan.Namun, di dalam kamar itu, suasana justru terasa berat—seolah ada dinding tak kasatmata yang memisahkan dua sosok yang kini duduk berseberangan di atas sofa. Laksha melangkah masuk tanpa benar-benar menyadari keberadaan Amara. Jaket yang dikenakannya ia lemparkan sembarangan ke kursi di dekat meja kerja, gerakannya sedikit kasar dan tergesa.Bahunya yang tegang, napasnya yang masih sedikit memburu—semua itu memberi isyarat jelas bahwa pikirannya masih dipenuhi oleh percakapan yang baru saja terjadi dengan ayahnya. Amara menarik napas dalam, mencoba menyusun kata-kata yang tepat dalam benaknya. Ia tahu betul bahwa Laksha
Pagi di rumah keluarga Wijanarko dimulai dengan kesibukan yang lebih dari biasanya. Aroma kopi yang baru diseduh bercampur dengan wangi samar parfum mahal, menyelusup di antara udara yang masih dingin sisa hujan semalam.Dari balik jendela kaca besar di lantai dua, langit Jakarta terlihat kelabu, diselimuti mendung tipis yang menggantung rendah. Namun, di dalam rumah ini, suasana terasa lebih pekat daripada awan yang berarak di luar sana. Amara berdiri di ambang pintu kamar Laksha, memperhatikan pria itu yang tengah berdiri di depan cermin besar dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan.Seperti biasa, Laksha tampak sempurna—kemeja putih bersih yang melekat pas di tubuhnya yang tegap, rambut hitamnya tersisir rapi tanpa cela, dan rahangnya terlihat semakin tegas di bawah cahaya remang kamar.Tapi ada satu hal yang sedikit merusak kesempurnaan itu: sepotong dasi yang terkulai di tangannya, sementara alisnya sedikit berkerut, menandakan frustras
Langit Jakarta menjelang sore tampak kelabu, pertanda hujan mungkin akan turun kapan saja. Angin berembus pelan, membawa hawa lembap yang semakin menegaskan firasat itu. Di dalam mobil yang melaju mulus di tengah hiruk-pikuk ibu kota, suasana justru terasa jauh dari nyaman.Laksha duduk di kursi pengemudi, jemarinya mencengkeram setir sedikit lebih erat dari biasanya. Rahangnya mengeras, matanya lurus menatap jalan, tetapi Amara tahu pikirannya sedang melayang entah ke mana.Di sebelahnya, Amara bersedekap, menatap ke luar jendela dengan bibir mengerucut. Ia bisa merasakan ketegangan di antara mereka, menggantung di udara seperti awan yang menahan hujan.Semua ini berawal dari obrolan yang—seharusnya—biasa saja saat makan siang tadi.Mereka memilih sebuah restoran mewah di kawasan SCBD, tempat yang dipilih Laksha untuk membicarakan beberapa agenda penting terkait pernikahan kontrak mereka.Restoran itu begitu elegan—lampu gantung
Denting peralatan makan terdengar lembut di ruang makan keluarga Wijanarko. Meja panjang dari kayu mahoni mengilap tertata sempurna dengan piring porselen beraksen emas dan gelas kristal yang memantulkan cahaya hangat dari lampu gantung mewah di atasnya.Di sekelilingnya, ruangan terasa begitu megah dan berkelas—sebuah dunia yang terasa begitu jauh dari apa yang selama ini Amara kenal. Ia duduk tegak di salah satu kursi dengan punggung lurus, berusaha menyesuaikan diri dengan atmosfer yang terasa asing dan kaku. Aroma makanan yang harum memenuhi udara, tetapi alih-alih merasa nyaman, ia justru merasa seperti tamu yang tidak diundang di tempat ini. Di hadapannya, Indira Wijanarko duduk anggun, seperti seorang ratu di singgasananya. Wajahnya tanpa cela, senyumnya tipis namun penuh perhitungan, dan sorot matanya tajam, seolah tengah menimbang dan menilai. "Pegang garpunya sedikit lebih ringan," ujar Indira akhirnya. Suaranya lembut
Sorot lampu kristal berkilauan di langit-langit ballroom hotel mewah itu, menciptakan refleksi cahaya yang menari lembut di permukaan marmer mengilap. Suasana dipenuhi gemerincing gelas sampanye, tawa ringan, dan alunan musik klasik yang mengalir seperti arus sungai yang tenang.Para tamu berseliweran dalam balutan busana terbaik mereka—gaun-gaun berkilauan yang jatuh anggun hingga lantai, jas mahal yang tersetrika sempurna, serta percakapan yang bergulir dengan elegansi khas kalangan elite. Di tengah gemerlap itu, Amara berdiri di sisi Laksha. Punggungnya tegak, dagunya sedikit terangkat—postur yang telah Indira ajarkan dengan telaten selama berbulan-bulan.Gaun biru tua yang ia kenakan tidak semewah milik tamu-tamu lain, tetapi cukup elegan untuk membantunya melebur tanpa terlihat mencolok. Di sebelahnya, Laksha berdiri dengan caranya yang khas—tenang, percaya diri, dan tanpa perlu berusaha pun, aura kewibawaannya memanca
Hujan masih setia menyelimuti pagi dengan ritme lembutnya, membentuk simfoni yang mengalun di atas atap rumah megah tempat Amara kini tinggal. Udara basah membawa serta aroma tanah yang khas, menelusup melalui celah jendela yang sedikit terbuka.Langit tetap kelabu, enggan memberi ruang bagi matahari untuk menampakkan diri.Di ruang keluarga yang luas dan hangat, Amara duduk di ujung sofa, membungkus tubuhnya dengan selimut tebal. Di tangannya, secangkir teh mengepulkan asap tipis, aromanya samar bercampur dengan hangatnya api perapian yang menyala tenang di sudut ruangan.Ia sudah mencoba menyibukkan diri sejak tadi—membaca buku, menggulir ponsel, bahkan sempat merapikan rak di kamarnya—tapi tetap saja, ada satu hal yang tak bisa diabaikan: ia terjebak di rumah bersama Laksha.Suara langkah mendekat dari belakang, diikuti oleh suara yang terlalu akrab di telinganya."Kenapa melamun?"Amara menoleh sedikit. Laksha berdiri di amba
Hujan masih menari di atas atap, meninggalkan jejak-jejak air yang berkilauan di kaca jendela. Rintiknya jatuh berulang, menciptakan irama samar yang berbaur dengan keheningan dalam rumah.Udara dingin menyelinap masuk melalui celah-celah jendela, mengusik kehangatan yang baru saja tercipta di dapur. Namun, di sini—di antara dua mangkuk ramen yang mengepul dan percakapan yang masih menggantung—ada sesuatu yang berubah.Sesuatu yang lebih lembut dari sekadar kesepakatan bisnis, lebih nyata daripada status istri kontrak yang membatasi mereka.Amara mengaduk ramen dalam mangkuknya, memperhatikan uap yang perlahan melayang sebelum menghilang. Suara Laksha barusan masih terngiang di kepalanya, menggantung di udara seakan menunggu jawaban."Banyak hal tentang aku yang nggak kamu tahu."Ia mengangkat wajahnya, menemukan sepasang mata Laksha yang tetap terarah padanya. Tatapan itu tidak lagi dipenuhi gurauan atau sarkasme seperti biasa
Hujan semalam masih meninggalkan jejaknya di pagi yang lembab. Butiran air menggantung di ujung daun-daun kecil yang tumbuh di tepi balkon, sesekali jatuh dan pecah di atas lantai semen yang mulai menghangat di bawah sinar matahari.Udara membawa campuran aroma tanah basah dan wangi kopi yang mengepul dari cangkir di tangan Amara—hangat, pahit, akrab. Ia berdiri bersandar di pagar besi, pandangannya terpaku pada langit yang perlahan berubah warna. Jakarta yang sibuk masih terkantuk-kantuk dalam kantung embun pagi, tapi pikirannya sudah terbang jauh, melintasi batas-batas yang selama ini menahannya. Lalu, suara langkah kaki terdengar, tak tergesa tapi cukup kuat untuk menariknya kembali ke dunia nyata. “Pagi-pagi udah melamun?” Suara itu berat, sedikit serak, masih membawa sisa kantuk. Amara menoleh. Laksha berdiri di ambang pintu balkon, bersandar dengan santai pada kusen kayu. Kaus putih
Udara pagi masih membawa kesejukan yang jarang bertahan lama di Jakarta. Dari balik jendela apartemennya, Laksha menatap cakrawala kota yang mulai tersiram cahaya keemasan.Gedung-gedung pencakar langit berdiri tegak dalam siluet yang sedikit berkabut, sementara jalanan di bawah sana mulai ramai dengan kehidupan. Dalam genggamannya, secangkir kopi masih mengepul, tetapi ia bahkan belum menyesapnya.Pikirannya terlalu penuh.Keputusan ini bukan hal yang mudah. Meninggalkan perusahaan keluarga, merintis sesuatu dari nol, melepaskan diri dari nama besar yang selama ini menjadi tameng sekaligus beban—itu langkah yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.Tetapi sekarang, di sinilah ia berdiri, di persimpangan antara kenyamanan dan kebebasan.Tiba-tiba, sepasang lengan melingkar di pinggangnya dari belakang, tubuh hangat seseorang bersandar padanya. Laksha tersenyum kecil bahkan sebelum mendengar suaranya.“Kau terlihat seperti seseoran
Ruang keluarga kediaman Wijanarko bermandikan cahaya keemasan dari lampu gantung kristal yang tergantung di langit-langit tinggi. Pancaran hangatnya membias di permukaan meja kaca, memantulkan siluet samar dari cangkir-cangkir teh yang tersusun rapi.Aroma melati yang baru diseduh melayang di udara, bercampur dengan sesuatu yang lebih tajam dan sulit dijabarkan—tegangan halus yang merayap di antara orang-orang yang duduk di dalamnya. Indira Wijanarko duduk di salah satu sofa kulit berwarna krem, punggungnya lurus sempurna, tangan bersedekap di pangkuan. Wajahnya tetap tenang, nyaris tak terbaca, seperti lukisan yang disusun dengan palet warna-warna lembut.Tapi di matanya, ada sesuatu yang berbeda—ketegasan yang selama ini jarang muncul, sesuatu yang bahkan membuat ruangan terasa lebih sempit. Di seberangnya, Laksha duduk dengan satu kaki disilangkan, gerakannya terlihat santai, tapi ketegangan menjalar dari garis-garis rahangnya
Pagi itu, udara masih terasa sejuk, menyisakan embun tipis di dedaunan yang berkilau diterpa cahaya matahari yang mulai naik.Di sebuah ruangan luas dengan dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan kota yang mulai sibuk, Laksha duduk di kursi kerja dengan punggung tegak, jari-jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja. Di seberangnya, Amara berdiri dengan tangan terlipat di dada, wajahnya menampakkan ekspresi berpikir.Mereka harus mulai mengambil langkah.Pertama, media.Kabar tentang pernikahan mereka sudah menyebar seperti api yang tersulut angin. Tak semua berita menyajikan kisah romantis dua insan yang memilih bersama.Sebagian justru mengupasnya dengan nada sinis—menyebut Amara sebagai ‘wanita tanpa latar belakang’ yang ‘menjebak’ pewaris keluarga Wijanarko. Ada pula spekulasi yang menganggap ini tak lebih dari pernikahan bisnis, sebuah sandiwara demi kepentingan korporasi.Laksha tak tinggal diam. Dengan r
Udara pagi masih terasa sejuk ketika Amara membuka matanya. Cahaya matahari mengintip dari celah gorden, menyinari ruangan dengan semburat keemasan yang lembut, menari di atas seprai kusut dan menyapu permukaan kayu di lantai kamar.Aroma kopi yang baru diseduh menyelinap masuk, berpadu dengan wangi maskulin yang sudah begitu lekat di inderanya—aroma yang selama ini selalu memberinya rasa nyaman tanpa ia sadari. Ia menoleh ke samping. Laksha masih tertidur, napasnya teratur, dengan satu lengan terentang ke arah tempatnya berbaring, seolah mencari keberadaannya bahkan dalam lelap.Wajah pria itu tampak lebih damai dibanding biasanya, tanpa ekspresi arogan atau sorot mata dingin yang sering ia tunjukkan di hadapan dunia. Garis-garis tegas di wajahnya melunak, membuatnya terlihat jauh lebih muda—lebih manusiawi. Amara tersenyum kecil sebelum pelan-pelan turun dari tempat tidur, membiarkan telapak kakinya menyentuh permukaan kayu yan
Malam sudah larut ketika suara ketukan sepatu hak tinggi menggema di lantai marmer restoran eksklusif di jantung Jakarta. Setiap langkah yang diayunkan memancarkan ketegasan, penuh percaya diri, seolah dunia masih berputar sesuai kehendaknya.Lidya Pramesti bukan tipe wanita yang mudah menyerah—dan malam ini, ia datang bukan sekadar untuk berbasa-basi.Restoran itu diterangi cahaya temaram dari lampu gantung kristal yang menggantung anggun di langit-langit tinggi, memancarkan kilauan keemasan yang lembut. Aroma wine mahal dan hidangan mewah bercampur dalam udara, berpadu dengan alunan musik jazz pelan yang mengalir dari sudut ruangan.Meja-meja berlapis kain putih tertata rapi, dihiasi lilin-lilin kecil yang berkelap-kelip, menambah kesan intim di antara bisikan para tamu yang tengah menikmati malam mereka.Namun, kehadiran Lidya tak bisa diabaikan begitu saja. Beberapa pasang mata melirik ke arahnya, tertarik oleh aura dingin yang dibawanya.
Udara pagi di Jakarta terasa lebih segar dari biasanya, meskipun suara klakson mobil, deru mesin, dan gemuruh kota masih mendominasi. Dari balkon apartemen mereka di lantai dua puluh, Amara bersandar pada pagar besi yang dingin, membiarkan angin pagi membelai wajahnya yang masih sedikit mengantuk.Matanya mengembara ke hamparan gedung-gedung tinggi yang menjulang di bawah langit biru pucat, beberapa di antaranya masih berkedip-kedip dengan lampu-lampu yang belum dipadamkan.Jauh di bawah sana, jalanan mulai sibuk—mobil-mobil berdesakan di persimpangan, pejalan kaki melangkah tergesa, dan pedagang kaki lima mulai menggelar lapaknya di trotoar.Namun, semua itu hanya latar. Di kepalanya, pikiran Amara masih dipenuhi kejadian semalam—pertengkaran Laksha dengan ayahnya, suara tegas pria itu saat berhadapan dengan figur yang selama ini begitu dominan dalam hidupnya.Dan kemudian, Indira. Perempuan itu berdiri di pihak mereka, sesuatu yang tidak per
Udara di ruang kerja Aditya Wijanarko terasa lebih berat dari biasanya, seolah-olah mengandung beban yang tak kasatmata. Lampu gantung kristal di langit-langit memancarkan cahaya keemasan, memantul lembut di permukaan meja kayu mahoni yang kokoh di tengah ruangan.Aroma kayu tua bercampur samar dengan wangi kertas lama dari rak-rak buku yang memenuhi dinding. Deretan jilid tebal dengan punggung berlapis emas berdiri tegak, seakan menjadi saksi bisu ketegangan yang merayap di antara dua pria yang saling berhadapan. Laksha berdiri tegak di hadapan ayahnya, jarinya mencengkeram gagang cangkir kopi yang belum sempat ia teguk. Cairan hitam di dalamnya masih mengepulkan uap tipis, kontras dengan hawa dingin yang perlahan menjalar dari kata-kata yang belum terucap.Rahangnya mengeras, sorot matanya tajam, tetapi ada kilatan lain di sana—sesuatu yang tak mudah diartikan. Kemarahan? Kekecewaan? Atau hanya kesadaran bahwa perdebatan ini tak akan berakhir tanp
Senja menumpahkan cahaya keemasan ke seluruh sudut apartemen, membentuk bayangan lembut yang menari di dinding. Langit di luar bergradasi dari jingga pekat ke ungu tua, seolah alam sendiri sedang melukiskan peralihan hari dengan warna-warna paling indahnya.Angin sore menyelinap masuk melalui celah balkon, menggoyangkan gorden tipis yang melambai perlahan, menciptakan tarian sunyi yang nyaris melankolis.Di dalam ruangan, aroma kopi hitam yang masih mengepul bercampur dengan wangi maskulin khas Laksha—kombinasi yang selama ini terasa asing bagi Amara, tetapi kini menghadirkan kenyamanan yang tak ia duga. Amara berdiri di dekat meja makan, jari-jarinya menggambar lingkaran tak beraturan di tepian gelas. Matanya tak sepenuhnya terfokus, seakan pikirannya melayang di antara kenyataan dan sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang tak ingin ia akui sepenuhnya.Di hadapannya, Laksha duduk dengan sikap santai, satu lengannya terlipat di atas meja