Setengah jam berlalu dan mobil yang dikendarai Samudra sampai di halaman rumah bergaya eropa klasik yang didominasi warna putih. Rumah peninggalan orang tua Oma Rumana. Tepat di depan tangga teras sudah terparkir sedan hitam yang juga baru saja sampai. Bersamaan, Maliq Zafier baru saja turun dari mobilnya ketika Samudera mematikan mesin mobilnya. "Pa," panggil Rosa turun dari mobil lalu berlari mendekati sang suami yang baru menapaki tangga teras. "Kalian baru datang?" tanya Maliq saat melihat istri, menantu juga putra keduanya mendekat. "Kami langsung berangkat setelah Papa telpon," jawab Rosa setelah berhasil mengikis jarak dengan suaminya. Di belakangnya Renjana menyusul bersama Samudra. "Pah," sapa Renjana sopan, lalu mencium punggung tangan papa mertuanya. Maliq pun tersenyum. Jujur dia salut pada putri Akmal Fahrezi itu. Selain cantik dan pintar, gadis itu juga sopan. "Kenapa Mama tidak dibawa ke rumah sakit saja, Pa?" tanya Mama Rosa menggandeng lengan
"Ada yang bisa jelaskan, hal lain yang dilakukan Ammar diluar rumah selain bekerja?" tanya Oma Rumana. "Mau bicara sendiri, apa perlu aku yang ungkapkan?" tantang Samudra menatap sinis sang kakak. Pria itu tidak bisa menahan diri lagi, mendadak ada yang terbakar di dalam sana saat melihat Ammar melingkar tangannya di pinggang Renjana. Pria itu cemburu. "Bicaralah jika berani," balas Ammar yang sudah berdiri, tak ketinggalan tatapan tajamnya menghujam pada sang adik. Ammar tahu adiknya itu ada hati dengan Renjana. Jika dulu dia tak peduli entah kenapa akhir-akhir ini kedekatan Samudra dengan Renjana mulai terasa mengganggunya. Di samping Ammar, Renjana hanya bisa mendesah berat. Apakah dua pria itu tidak bisa menahan diri barang sebentar saja. Di atas tempat tidur, saat ini sang nenek sedang terbaring lemah karena tekanan darahnya naik, tidaklah dua orang itu takut terjadi sesuatu pada wanita yang sudah berusia senja itu. Tak bisa menahan, Rosa pun menghela nafas naf
"Apa aku tidak salah dengar?" Maliq muncul dari dalam rumah matanya menatap tajam Ammar dan Renjana yang nampak kaget. Di belakang Maliq, terlihat Rosa yang langsung melangkah maju mendahului. "Jadi benar kamu mendorong Ana sampai jatuh dari tangga?" "Iya tapi,...." "Kamu bilang Ana jatuh sendiri saat kalian bertengkar, itu bohong?" potong Rosa tak mau mendengarkan penjelasan putranya. "Maksudku, aku tidak sengaja membuatnya jatuh. Dia berlari dan saat...." Plak......Sebuah tamparan mendarat di rahang Ammar. Tangan itu terlalu kecil untuk membuat pria itu kesakitan. Namun tatapan kekecewaan itu sukses menembus dada Ammar dan membuat luka besar di hatinya. "Mama kecewa sama kamu!! Kamu terus saja membohongi Mama," "Maafkan aku Ma, aku benar-benar tidak sengaja," ucap Ammar sangat menyesal. "Ana, tolong jelaskan!" pintanya pada Renjana yang hanya terpaku. Renana tak menyangka kedua mertuanya itu tiba-tiba muncul dan mendengar semua percakapannya dengan Ammar. "J
"Sudah selesai?" tanya Samudra sambil mengambil alih tas ransel dari tangan Renjana. Gadis cantik dengan tubuh ramping itu baru saja menuruni tangga setelah mengemasi beberapa barangnya di kamarnya. "Makasih," ucapnya merasa sungkan saat Samudra membawakan tasnya. Sikap Samudra sangat berbeda dengan Ammar. Sejak kesalahpahaman itu berakhir, Samudra selalu bersikap lembut dan penuh perhatian, dan itu membuat Renjana merasa sungkan. "Hanya ini?" tanya Samudra merasa heran. Untuk ukuran wanita muda barang-barang Renjana sangat sedikit. "Iya. Mama Rosa bilang tidak perlu bawa banyak baju. Katanya nanti disiapkan. Ini cuma buku-buku kuliah sama barang pribadi." Samudra tersenyum tipis, akhirnya mamanya itu bisa bersikap baik pada Renjana. "Tapi menurutku, untuk ukuran putri bungsu seorang Akmal Fahrezi kamu sangat sederhana." "Begitu ya," ujar Renjana tersenyum tipis. 'Putri bungsu yang tidak pernah diungkapkan di depan umum,' lanjutnya dalam hati. "Maaf Nyonya, kun
"Maaf, Mas. Tadi, Mama telepon meminta kita makan siang di tempat Oma Rumana." Tengah malam, kuberanikan diri untuk berbicara pada Mas Ammar yang kebetulan baru tiba di rumah. Meski takut menghadapi sikap dingin pria berstatus suamiku itu, aku tetap melakukannya. Sebab sejak sore tadi, mama mertuaku sudah memperingatkan agar kami pergi bersama ke sana. Katanya, Oma sudah sangat rindu dengan kami. Dan jika aku gagal mengajak Mas Ammar, mertuaku itu akan membuat perhitungan denganku. Namun, Mas Ammar justru menatapku dingin. “Renjana Zuhayra, apa Kau tak lelah melakukan ini semua?" "Ma-af, Mas?" tanyaku belum paham maksud ucapannya. "Jangan pura-pura tidak mengerti, Renjana. Kau tahu kan, aku adalah kekasih Raline, tapi dengan sengaja Kau tetap menerima perjodohan ini? Bahkan sekarang, Kau mencoba memanfaatkan Oma dan Mama demi mendapatkan perhatianku." Kuhela nafas panjang, menahan rasa sakit yang mendera dalam dada. Tanpa dia mengungkitnya aku sudah tahu Ralin
Sejak kecil, Mama Salwa sangat membenciku. Dia bahkan tak segan membunuh sahabatku yang juga keponakannya sendiri, lalu menjualku ke pernikahan ini demi menyelamatkan perusahaan keluarga yang hampir bangkrut. Rasanya, aku tak ingin mengangkatnya. Namun tahu kekejaman istri sah papaku itu, kubatalkan niatku itu. "Assallam....." “Dengarkan baik-baik, Renjana. Perusahaan Papamu membutuhkan dana tambahan untuk proyek barunya. Kamu bicaralah dengan Ammar, minta dia membatu Papamu.” Tanpa salam dari seberang sana, Mama Salwa sudah langsung memberi perintah. Kuhela nafas, baru saja bertengkar bagaimana bisa aku meminta tolong pada Mas Ammar? "Maaf Ma, untuk kali ini aku tidak bisa," balasku ketakutan. “Apa?” Suara Mama Salwa meninggi. “Apa kamu lupa alasan kamu menikah dengan Ammar? “Aku ingatkan lagi, kamu di sana hanya untuk membantu perusahaan keluarga kita, apa kamu mengerti?” "Aku mengerti, Ma, tapi–” “Baiklah aku tidak akan memaksa. Tapi jangan salahkan aku ji
"E... Tidak ada apa-apa, Oma," balasku cepat. Khawatir Oma curiga, aku memaksa bibirku tersenyum tipis. Sayangnya, mama mertuaku yang kebetulan duduk di samping—justru memincingkan matanya. "Apa Ammar yang mengirim pesan? Dia mau menyusul, kan?” Wanita itu bahkan mencoba melihat layar ponselku! Gegas, kubalikan ponsel di atas meja agar dia tak dapat melihatnya. "Bu-bukan Ma." "Kalau bukan Ammar, kamu kirim-kiriman pesan sama siapa?" sinisnya, “lagian kamu sih … gak becus jadi istri. Bisa-bisanya Ammar gak dateng lagi buat makan siang bersama kami.” Tanganku mengepal, menahan perasaan kesal. Astaghfirullah... Memang mulut Mama mertuaku ini. Sejak awal perjodohan, wanita ini memang tidak menyukaiku. Dia menuduhku sudah memiliki kekasih, bahkan menganggapku serakah karena menikahi putranya demi harta. Tapi anehnya, wanita itu juga tidak merestui hubungan Ammar dengan Raline? Entah, sebenarnya apa maunya? Haruskah aku memberitahunya bahwa putra kebanggaan itu masih
Begitu mobil berhenti Mama Rosa langsung membuka pintu mobil lalu keluar dari mobil. Wanita itu berjalan cepat. Begitu juga denganku. Gegas aku menyusulnya. Tangan itu baru akan membuka pintu saat aku berhasil mencekalnya. "Lepas!" sentaknya sembari melotot padaku. "Ma, tunggu sebentar." "Apa lagi?" tanyanya kesal. "Tolong dengerin aku sebentar saja Ma," pintaku memelas. Kupegang erat tangan mama mertuaku itu berharap dia luluh dan mau mendengarkan aku. Bagaimanapun caranya aku tidak boleh membiarkan Mama bertemu mereka sekarang. Aku sangat yakin Mama Rosa akan marah besar dan situasinya tidak akan baik untuk semua orang, termasuk aku. Saat ini dalam sedang ada acara tidak mungkin aku biarkan Mama Rosa mengamuk di dalam. "Dengerin apa lagi?" Mama Rosa menepis tanganku kasar namun kupegang lagi lebih erat dan menariknya menjauhi dari pintu besar itu. "Kamu kenapa sih?" Lagi-lagi Mama Rosa menepis tanganku. "Kamu itu ngerti gak sih, kalau saya sedang membela kamu? Saya
"Sudah selesai?" tanya Samudra sambil mengambil alih tas ransel dari tangan Renjana. Gadis cantik dengan tubuh ramping itu baru saja menuruni tangga setelah mengemasi beberapa barangnya di kamarnya. "Makasih," ucapnya merasa sungkan saat Samudra membawakan tasnya. Sikap Samudra sangat berbeda dengan Ammar. Sejak kesalahpahaman itu berakhir, Samudra selalu bersikap lembut dan penuh perhatian, dan itu membuat Renjana merasa sungkan. "Hanya ini?" tanya Samudra merasa heran. Untuk ukuran wanita muda barang-barang Renjana sangat sedikit. "Iya. Mama Rosa bilang tidak perlu bawa banyak baju. Katanya nanti disiapkan. Ini cuma buku-buku kuliah sama barang pribadi." Samudra tersenyum tipis, akhirnya mamanya itu bisa bersikap baik pada Renjana. "Tapi menurutku, untuk ukuran putri bungsu seorang Akmal Fahrezi kamu sangat sederhana." "Begitu ya," ujar Renjana tersenyum tipis. 'Putri bungsu yang tidak pernah diungkapkan di depan umum,' lanjutnya dalam hati. "Maaf Nyonya, kun
"Apa aku tidak salah dengar?" Maliq muncul dari dalam rumah matanya menatap tajam Ammar dan Renjana yang nampak kaget. Di belakang Maliq, terlihat Rosa yang langsung melangkah maju mendahului. "Jadi benar kamu mendorong Ana sampai jatuh dari tangga?" "Iya tapi,...." "Kamu bilang Ana jatuh sendiri saat kalian bertengkar, itu bohong?" potong Rosa tak mau mendengarkan penjelasan putranya. "Maksudku, aku tidak sengaja membuatnya jatuh. Dia berlari dan saat...." Plak......Sebuah tamparan mendarat di rahang Ammar. Tangan itu terlalu kecil untuk membuat pria itu kesakitan. Namun tatapan kekecewaan itu sukses menembus dada Ammar dan membuat luka besar di hatinya. "Mama kecewa sama kamu!! Kamu terus saja membohongi Mama," "Maafkan aku Ma, aku benar-benar tidak sengaja," ucap Ammar sangat menyesal. "Ana, tolong jelaskan!" pintanya pada Renjana yang hanya terpaku. Renana tak menyangka kedua mertuanya itu tiba-tiba muncul dan mendengar semua percakapannya dengan Ammar. "J
"Ada yang bisa jelaskan, hal lain yang dilakukan Ammar diluar rumah selain bekerja?" tanya Oma Rumana. "Mau bicara sendiri, apa perlu aku yang ungkapkan?" tantang Samudra menatap sinis sang kakak. Pria itu tidak bisa menahan diri lagi, mendadak ada yang terbakar di dalam sana saat melihat Ammar melingkar tangannya di pinggang Renjana. Pria itu cemburu. "Bicaralah jika berani," balas Ammar yang sudah berdiri, tak ketinggalan tatapan tajamnya menghujam pada sang adik. Ammar tahu adiknya itu ada hati dengan Renjana. Jika dulu dia tak peduli entah kenapa akhir-akhir ini kedekatan Samudra dengan Renjana mulai terasa mengganggunya. Di samping Ammar, Renjana hanya bisa mendesah berat. Apakah dua pria itu tidak bisa menahan diri barang sebentar saja. Di atas tempat tidur, saat ini sang nenek sedang terbaring lemah karena tekanan darahnya naik, tidaklah dua orang itu takut terjadi sesuatu pada wanita yang sudah berusia senja itu. Tak bisa menahan, Rosa pun menghela nafas naf
Setengah jam berlalu dan mobil yang dikendarai Samudra sampai di halaman rumah bergaya eropa klasik yang didominasi warna putih. Rumah peninggalan orang tua Oma Rumana. Tepat di depan tangga teras sudah terparkir sedan hitam yang juga baru saja sampai. Bersamaan, Maliq Zafier baru saja turun dari mobilnya ketika Samudera mematikan mesin mobilnya. "Pa," panggil Rosa turun dari mobil lalu berlari mendekati sang suami yang baru menapaki tangga teras. "Kalian baru datang?" tanya Maliq saat melihat istri, menantu juga putra keduanya mendekat. "Kami langsung berangkat setelah Papa telpon," jawab Rosa setelah berhasil mengikis jarak dengan suaminya. Di belakangnya Renjana menyusul bersama Samudra. "Pah," sapa Renjana sopan, lalu mencium punggung tangan papa mertuanya. Maliq pun tersenyum. Jujur dia salut pada putri Akmal Fahrezi itu. Selain cantik dan pintar, gadis itu juga sopan. "Kenapa Mama tidak dibawa ke rumah sakit saja, Pa?" tanya Mama Rosa menggandeng lengan
"Mulai Sekarang Ana tidak punya kewajiban untuk mematuhimu," ujar Mama Rosa. "Hari ini juga Mama akan bicara sama Oma dan meminta izin untuk kalian bercerai." Renjana menatap Mama Rosa tanpa berkedip. Begitu juga Ammar. Jika biasanya dirinya yang selalu meminta Ana untuk mengajukan ceria, anehnya hari ini ada rasa tidak rela. "Mama tidak bisa memutuskannya. Ini masalahku dan Ana. Biarkan kami sendiri yang memutuskannya," jawab Ammar. "Kenapa tidak bisa. Bukankah ini yang selalu kamu inginkan? Lebih baik kamu ceraikan Ana dari pada kamu terus menyakitinya. Setelah itu kamu bisa bebas bersama kekasihmu itu," sahut Samudra. "Diamlah ini tidak ada urusannya denganmu!" senyak Ammar pada sang adik. "Samudra benar. Lebih baik kalian bercerai saja," sahut Mama Rosa. "Kenapa Mama seenaknya begitu? Pertama Mama memaksa aku menikah dengan Ana, lalu sekarang memaksa aku bercerai," Mama Rosa menarik nafas panjang. Ditatapnya Ammar penuh datar. "Mama akan beritahu alasannya," kat
"Dia Renjana Zuhayra, wanita yang Tante banggakan itu bersedia menikah dengan Mas Ammar karena harta. Ana juga tidak sepolos yang kalian kira, dia memiliki hubungan dengan Arfan, sepupunya sendiri." Degh.... Bak dihantam bongkahan es, tubuh Renjana membeku di tempat. Sungguh dia tidak pernah menyangka jika sahabatnya itu akan mengatakan hal yang bahkan Raline tahu jika itu tidak benar. Untu beberapa detik Renjana memejamkan matanya, menyakinkan dirinya jika yang dia lihat dan dengar itu hanya mimpi. Namun begitu dia membuka mata, dia baru menyadari jika semua ini nyata. "Lebih dari itu, Ana dan Arfan bahkan sudah melakukan hubungan layaknya suami istri. Mereka---" "Cukup!!!" Sentak Renjana. Kesabaran juga ada batasnya. Apakaha Raline tidak mengerti itu? Semua orang terkejut. Renjana gadis pendiam yang bahkan tak pernah membentak tiba-tiba berteriak penuh amarah. Sama halnya dengan Ammar juga Samudra, kedua pria itu tidak bisa menyembunyikan raut terkejutnya. Tubuh
Begitu mobil berhenti Mama Rosa langsung turun. Wanita itu berjalan cepat menuju pintu aula tempat acara amal diadakan. Dengan tergopoh-gopoh Renjana menyusul ibu mertuanya itu. "Ya Tuhan...... apa yang akan terjadi?" ucap Renjana sambil mempercepat langkahnya Namun seberapa cepat kakinya melangkah tetap tidak bisa menyusul Mama Rosa yang sudah jauh di depannya. "Ma, tunggu." Beberapa kali Renjana memanggil tapi tak sekalipun dihiraukan oleh Mama Rosa. Sementara Samudra berjalan tenang di belakang Renjana. Memang inilah yang dia inginkan. Memberi pelajaran pada kakaknya yang sudah menyakiti hati Renjana. "Raline Khalisa," panggil Mama Rosa di tengah-tengah acara yang sedang berlangsung. Sontak membuat semua yang hadir menatap ke arah mertua Renjana itu. Tak terkecuali dua sejoli yang sedang bergandengan di depan sana. Dua pasang mata Itu melotot saking kagetnya. "Lepaskan tanganmu kotormu itu!!! Beraninya kamu menggandeng suami orang di depan umum!!!" Umpatan te
"Assalamu'alaikum, Ma," ucap Renjana setelah membuka pintu mobil. "Wa'alaikum salam. Ayo cepat masuk," perintah Mama pada Renjana. Tak banyak tanya Renjana pun langsung masuk dan mengambil duduk di sebelah mama mertuanya itu. Siang ini Mama Rosa menjemput Renjana dari kampusnya. Seperti isi pesannya semalam, hari ini mereka akan datang ke tempat katering untuk menentukan menu makanan yang akan di sajikan dalam pesta ulang tahun Oma Rumana. "Kita ke tempat katering dulu, baru setelahnya ke butik." "Butik?" Renjana menoleh pada mama mertuanya yang sedang sibuk dengan ponselnya. "Iya, ke butik kenapa?" Mama Rosa memandang Renjana. "Maaf, untuk apa ke butik Ma?" "Ya untuk pesan baju buat pesta," jawab Mama Rosa. "Oh....." Renjana mengangguk meski belum sepenuhnya faham. Pesta yang katanya sederhana tapi kenapa harus pesan baju?, pikir Renjana. Tapi takut membuatmu mertuanya kesal, ia pun mengangguk saja. Berpura-pura mengerti. "Tunggu! Jangan bilang sebelumny
"Ana," Suara lembut itu memanggil saat Renjana batu saja keluar dari kelas. Gadis berambut panjang itu menoleh, menghentikan langkahnya menunggu seorang wanita cantik yang berdiri beberapa meter dari pintu kelas. "Ana, sini!" pangil Raline. Alih-alih mendatangi Renjana kekasih Ammar itu malah meminta sahabatnya untuk menghampirinya. Renjana menghela nafas sebelum akhirnya mengurai senyum tipis. Sangat hafal dengan sifat Raline yang manja dan suka memerintah. Pelan gadis dengan kemeja putih itu berjalan mendekat. "Hai," sapanya sambil tersenyum tipis. "Duh.... yang lagi sibuk. Susah banget sih ketemu kamu sekarang? Sudah kayak artis aja," keluh Raline menggamit lengan Renjana lalu mulai melangkah bersama. "Bukannya kebalik?" sahut Renjana. "Kamu yang gak ada waktu, sibuk terus ngurusin fashion show kamu," Raline mendesah berat. "Sejak sebulan lalu, undangan untuk ikut serta dalam even fashion terus berdatangan. Aku sampek gak punya waktu untuk diriku sendiri. Saking