“Zj, kamu ngapain buka bajumu?” tanya Om Zuan sambil menutup kedua matanya dengan telapak tangannya. “E ... Ini, Om. Bukannya ....”“Pijat plus kerokin, plus balurin minyak kayu putih ya, Zi! Badanku pegal semua.”“Kerokin , Om?”“Iya, Zi. Telingamu masih normalkan? Masih mampu mendengar dengan baikkan?”“I-iya, Om”. Aku bergegas mengaitkan kancingku kembali dan mengambil minyak putih di tas.Pertama ku balur seluruh punggungnya dengan minyak kayu putih, lalu kupijat-pijat sebentar dan akhirnya ku gosok punggung itu dengan uang koin. Om Zuan tampak menikmati setiap gerakan tanganku, ia bahkan tak merasa kesakitan sama sekali.“Om, apa Om Zuan melihat Mesa baru sekali ini?” tanyaku untuk memecah keheningan malam.“hm,” jawabnya masih dengan tidur bertelungkup.“Mesa cantik ya, Om?” “Iya, cantik sekali.”Ah, rasanya mendengar jawaban Om Zuan ingin kuremas-remas kasar punggungnya saat ini.“Au sakit, Zi. Pelanan dikit mijitnya,” protes Om Zuan.“Om menyesal? Tidak jadi menikah denganny
Kamar mandi di rumah Om Zuan memang besar sekali, jadi suara apapun tak terdengar dari luar, berbeda sekali dengan kamar mandi bude, pintunya saja rusak dan belum mampu diperbaiki. Semenjak Mesa kuliah, keuangan bude sedikit berantakan. Wajar sekali biaya kuliah saja, setinggi gunung. “Zi, kenapa dari tadi mondar mandir di depan pintu kamar mandi?” tanya Simbok menatapku keheranan. “Iya, Mbok. Zi hanya ....”Simbok tersenyum simpul. “Iya, iya, Simbok tahu,” ucapnya dan kemudian berlalu. Tak selang lama Mesa datang, mengenakan piyama berbahan tipis yang menampilkan auratnya.“Zi. Kenapa berdiri di depan pintu seperti itu? Aku mau mandi,” ucap Mesa sambil mencoba meraih gagang pintu. “Jangan!!!”“Kamu apa-apaan sih, Zi. Aneh.”“Om Zuan lagi mandi, Mes. Kan kamu tahu sendiri kalau pintu ini rusak. Jadi mesti ada yang jagain,” jawabku. Mesa terkekeh. “Zi, Zi, dari dulu kamu selalu lucu. Masa panggil suaminya Om? Atau jangan-jangan ... ““Ehem,”Seorang lelaki di belakangku berdehem
Om Zuan terkekeh. ‘Ya Allah Ya Robbi. Apa yang di maksud Om Zuan adalah kecupan semalam?’“Om.”Aku menutup bibirku yang tak punya akhlak ini, dengan senangnya ia menghampiri pipi Om Zuan dengan begitu saja. Sungguh, jika ada cermin besar di depan ini. Aku pasti akan memandang wanita cantik dengan pipi yang merona. “Kecupan, Om?” tanyaku lirih. Aku malu mengakui semua, apalagi kalau Om Zuan mendengar yang Zi ucapkan. Berakhir sudah riwayatku.“Kecupan, Zi?” tanya Om Zuan yang diikuti gelak tawanya. Aku menunduk, kuyakin wajahku ini benar-benar merah. Aduh, Zi. Kenapa kamu bodoh sekali. Ssst ...Laju motor ini terhenti di bahu jalan, dan tiba-tiba saja Om Zuan mendekat dan memanggutkan bibirnya, dan (sensor)“Beginilah namanya kecupan.”Aku menatap bola mata coklat Om Zuan yang berbinar, senyumnya mengembang begitu indah. Tak pernah aku melihat lelaki itu sebahagia ini. Sesaat aku kembali mengingat kejadian beberapa menit itu. “Bibirku? Sudah tak suci?” Siapa sangka Om Zuan kemb
“Boleh tidak Zi minta dibeliin minum. Zi haus.” Aku menunjuk salah bangunan tak berukuran besar yang di hampiri beberapa pengunjung. Banyak di antara mereka yang ke luar dengan membawa teh berbentuk gelas. Beberapa di antaranya, terlihat duduk dengan beberapa cemilan di depannya. “Atau, kalau Om capek. Biar Zi saja yang beli,” imbuhku lagi. “Ya sudah kita ke sana bersama.”Dengan jarak sepuluh meter itu, akhirnya kita sampai juga di tempatnya. Aku memesan teh dingin sedangkan Om Zuan memesan air mineral saja. Tidak lupa beberapa cemilan yang akan menjadi pengganjal perutku untuk kembali mengelilingi tempat ini. “Ini Mbak minuman dan cemilannya.”Wanita petugas itu memberikan menu yang kita pesan di atas nampan.“Ambil, Zi. Kenapa dibiarkan saja,” ucap Om Zuan sambil memberikan beberapa lembar uang untuk membayarnya.“Tapi, Om. Ini ....”Aku melirik ke arah tanganku yang masih di genggam erat, seketika ia melepasnya. Dan petugas wanita itu tampak menahan senyumnya.Kami duduk saling
Aku menengok ke sumber suara ketika nama lelaki di depanku disebut. Wanita berparas ayu dengan memakai celana jeans dan kaos ketat itu menghampiri kami. Wajahnya cantik dengan warna lipstik yang menyala. Ia memeluk Om Zuan begitu saja. Siapa dia, Om? Kenapa hati Zi sakit.“Kamu?” ucap wanita itu sambil menatap ke arahku.“Tolong bawakan tasku ini dong. Berat.” Ia melepas tas punggung yang dikenakannya.“Eh dengar gak sih kamu?” Aku masih melongo menatapnya, berparas cantik dengan mata sipit dan bibir tipis, khas wanita-wanita Korea. Tapi kenapa unggah ungguhnya sama sekali tak punya.“Jaga sikapmu, Re.”“Zuan, kenapa kamu masih sama? Di luar dingin di dalam hangat.” Ia tersenyum manja.Apa maksud omongan wanita itu? Di dalam hangat. Itu artinya?“Eh, ini cepat ambil. Bawakan tasku!” Wanita tak punya sopan santun itu meneriakiku. Dengan sigap aku menerima tasnya dan melemparnya ke tong sampah yang tak jauh dariku. “Kamu?” Dua bola mata wanita itu melotot kepadaku. Tamparan hampir
Aku mendelik ke arahnya. Kepada lelaki yang telah membuatku berbunga -bunga setiap hari tapi juga selalu membuatku sebal setiap bersamanya. “Hm.”“Tuh kan cuek lagi.”“Aku harus jawab apa, Zi? Kamu sendiri kan yang meminta untuk menghabiskan waktu bersama kita hanya dalam sebulan. Tidak, ini masih bersisa dua Minggu saja.”“Om Zuan!”“Apalagi? Jangan membuatku kesal dengan menciummu seperti tadi pagi.” Aku kembali mendelik ke arahnya. Mengingat kejadian tempo hari yang membuatku malu. Terlebih lagi saat seseorang memergoki mobil yang kita tumpangi bergoyang. “Jangan!” Aku menjerit sekenanya sambil menutup mata.“Kamu kenapa, Zi.” Om Zuan yang terkaget mendengar jeritanku kini menatapku penuh khawatir, manik mata coklat dengan rahang simetris itu benar-benar ketakutan terjadi sesuatu kepadaku.Tit ....Klakson terdengar begitu keras, serta cahaya yang lampu yang memasuki kornea mataku begitu menyilaukan. Hingga akhirnya pandangan mata ini menjadi kabur dan gelap. Aku mencoba memb
Aku mencoba bangkit dari keterpurukan, sebisa mungkin aku harus sehat. Aku butuh jawaban dan penjelasan atas semua yang aku dengar.“Ren,” ucapku lirih sambil menatapnya.Lagi-lagi kulihat matanya mengembun. Sepersekian detik air mata hendak menetes, sebelum ia menyekanya.Sungguh sesak, membayangkan saja teramat menyakitkan. Bukankah dia baru bilang juga mencintaiku? Lalu kenapa semua harus berakhir seperti ini? “Nona Zi yang sabar ya. Saya yakin Nona kuat.”Dukungan itu ia tujukan kepada hatiku yang rapuh, bagai ranting kering yang terinjak dan terhempas oleh angin. Menyakitkan. Semua terasa berat untuk aku jalani.“Om Zuan, Ren?”Rendra memberikanku ponsel miliknya, berita kecelakaan itu terekspose media. Di mana Om Zuan banting setir dan menabrak pohon besar, Om Zuan masih sempat sadar, berbeda sekali denganku. Ia terlihat berusaha menarikku keluar dari mobil, dan berteriak meminta bantuan. Wajah paniknya saat memelukku terlihat begitu jelas. Namun naas, umur memang tak pernah ad
Air mata ini terus luruh, meskipun aku menyekanya, setiap kejadian demi kejadian dengan Om Zuan seakan terus berjalan di memoriku, bahkan tak memberiku sedikit saja waktu, sekedar beristirahat melupakan tentangnya. Lelaki yang telihat dingin, namun begitu hangat, lelaki yang terlihat cuek, tapi terus saja perhatian. Lelaki yang penuh kasih sayang dengan caranya sendiri. Jari jemariku terus menyusuri ponsel Om Zuan, selama ini aku tak pernah mengotak ngatik handphonenya, meskipun barang pribadinya ini tanpa sandi. Lagi-lagi sudut mataku kembali mengembun, ketika membaca draft dari ponsel yang saat ini kupegang. Pesan-pesan untuk kontak bernama Zi , yang tak pernah terkirim.[ Zi, kenapa kamu menciumku hanya tiap aku tertidur? Apakah aku harus selamnya jadi pangeran tidur untuk terus mendapatkan itu semua darimu?] Aku sedikit melengkungkan bibir, meskipun hatiku masih terasa begitu sakit. Om Zuan mengetahui semuanya? Dan dia melakukan hal biasa, seperti tak terjadi apa-apa?[ Zi, ken