Sungguh, semakin aku mengenal Om Zuan, aku semakin dibuat jatuh cinta kepadanya. Lelaki yang terlihat dingin dan galak itu ternyata hatinya lembut. Ia peduli sesama, dan begitu menghargai orang lain. Berbeda sekali penilaian ku dengan saat pertama kali aku melihatnya.“Berhenti, Om!” teriakku, hingga membuat kendaraan beroda empat ini berhenti mendadak. Aku dan Om Zuan sedikit terrpental ke belakang.“Ada apa, Zi? Kamu tidak apa-apakan?”Lelaki itu memperhatikan sekelilingku, seakan memastikan keadaanku.“Itu, Om. Lontong campur kesukaanku,” ucapku sambil menunjuk salah satu warung di tepi jalan.“Hah,” Ia membuang nafas kasar, dan melepaskan sabun pengaman yang kupakai.Sebuah warung kaki lima, dengan kain lusuh bertuliskan lontong campur Mbok Jum menjadi tempat singgah kami, apalagi hari mulai gelap, dan kami hanya diterangi oleh cahaya lampu 5 Watt di tenda ini.“Yakin, kita makan di sini, Zi?” tanya Om Zuan sambil memasuki tenda ini. Ia mengernyitkan dahi, seakan tak nyaman dengan
“Au,” teriak Om Zuan ketika kucubit pahanya. Pandangannya kepada Mesa terus terpaku, memperhatikan dari ujung atas sampai ujung bawah. Apalagi wanita cantik itu memakai pakaian minim ala-ala kota.“,Ada apa. Zi?” tanya Om Zuan yang kini mengubah fokus pandangannya.“Dosa tau, Om. Menatap wanita yang bukan muhrimnya seperti itu,” jawabku setengah berbisik, mendekat ke telinga Om Zuan. Mesa juga apa-apaan cari muka di sini, biasanya dia cuek kalau ada tamu. Lebih senang menghabiskan waktunya di kamar. Dan sekarang? Dia berjalan mengantar satu teh hangat untuk Om Zuan. Ya, Cuma satu, tidak ada untukku. Atau jangan-jangan, ia menyesal meninggalkan Om Zuan saat pernikahan? “Lama tidak bertemu denganmu, Zi!” ucap Mesa sambil duduk di sebelah Pak De.“Iya, Mes.”“Bagaimana kabarmu?”“Alhamdulullah baik.”“Dengar-dengar kamu kuliah di universitas yang sama denganku ya, Zi? Kenapa kita gak pernah ketemu ya? “ tanya Mesa masih dengan senyum yang mengembang indah.“I-iya.”Universitas itu mem
“Tapi, Om. Di sini sesak,” protesku.Om Zuan yang berada di tepi kasur, memiringkan tubuhnya menghadapku, sedangkan tangan kanannya dijadikannya bantal untukku. Ya, dikamar ini hanya ada satu bantal dan telah dipakai untuk alas kepala Om Zuan.“Kepalaku pusing kalau tidak pakai bantal. Jadi maaf, malam ini kamu berbantalkan lenganku,” ucap Om Zuan dengan senyum yang mengembang.Om Zuan kenapa berbeda sekali, ia terlihat begitu berbeda dengan saat pertama aku mengenalnya. “Kamu ngapain, Zi?” tanya Om Zuan sambil mendelik ke arahku.Ia memegang tangan yang kusentuhkan di dahinya.“Aku kira Om Zuan demam. Atau jangan-jangan Om kesambet ya?”Om Zuan justru terkekeh, lalu menenggelamkanku ke dalam pelukannya. Ya, ini adalah pelukan pertamanya untukku, dia mengeratkan pelukannya dan mencium lembut keningku, sama persis saat adegan Songkang bermalam di rumah Han so hee, terlihat begitu romantis. “Tidurlah, Zi,” ucap Om Zuan sambil mengelus rambutku.“Om.”Aku menatapnya, wajah yang dipaksa
“Zj, kamu ngapain buka bajumu?” tanya Om Zuan sambil menutup kedua matanya dengan telapak tangannya. “E ... Ini, Om. Bukannya ....”“Pijat plus kerokin, plus balurin minyak kayu putih ya, Zi! Badanku pegal semua.”“Kerokin , Om?”“Iya, Zi. Telingamu masih normalkan? Masih mampu mendengar dengan baikkan?”“I-iya, Om”. Aku bergegas mengaitkan kancingku kembali dan mengambil minyak putih di tas.Pertama ku balur seluruh punggungnya dengan minyak kayu putih, lalu kupijat-pijat sebentar dan akhirnya ku gosok punggung itu dengan uang koin. Om Zuan tampak menikmati setiap gerakan tanganku, ia bahkan tak merasa kesakitan sama sekali.“Om, apa Om Zuan melihat Mesa baru sekali ini?” tanyaku untuk memecah keheningan malam.“hm,” jawabnya masih dengan tidur bertelungkup.“Mesa cantik ya, Om?” “Iya, cantik sekali.”Ah, rasanya mendengar jawaban Om Zuan ingin kuremas-remas kasar punggungnya saat ini.“Au sakit, Zi. Pelanan dikit mijitnya,” protes Om Zuan.“Om menyesal? Tidak jadi menikah denganny
Kamar mandi di rumah Om Zuan memang besar sekali, jadi suara apapun tak terdengar dari luar, berbeda sekali dengan kamar mandi bude, pintunya saja rusak dan belum mampu diperbaiki. Semenjak Mesa kuliah, keuangan bude sedikit berantakan. Wajar sekali biaya kuliah saja, setinggi gunung. “Zi, kenapa dari tadi mondar mandir di depan pintu kamar mandi?” tanya Simbok menatapku keheranan. “Iya, Mbok. Zi hanya ....”Simbok tersenyum simpul. “Iya, iya, Simbok tahu,” ucapnya dan kemudian berlalu. Tak selang lama Mesa datang, mengenakan piyama berbahan tipis yang menampilkan auratnya.“Zi. Kenapa berdiri di depan pintu seperti itu? Aku mau mandi,” ucap Mesa sambil mencoba meraih gagang pintu. “Jangan!!!”“Kamu apa-apaan sih, Zi. Aneh.”“Om Zuan lagi mandi, Mes. Kan kamu tahu sendiri kalau pintu ini rusak. Jadi mesti ada yang jagain,” jawabku. Mesa terkekeh. “Zi, Zi, dari dulu kamu selalu lucu. Masa panggil suaminya Om? Atau jangan-jangan ... ““Ehem,”Seorang lelaki di belakangku berdehem
Om Zuan terkekeh. ‘Ya Allah Ya Robbi. Apa yang di maksud Om Zuan adalah kecupan semalam?’“Om.”Aku menutup bibirku yang tak punya akhlak ini, dengan senangnya ia menghampiri pipi Om Zuan dengan begitu saja. Sungguh, jika ada cermin besar di depan ini. Aku pasti akan memandang wanita cantik dengan pipi yang merona. “Kecupan, Om?” tanyaku lirih. Aku malu mengakui semua, apalagi kalau Om Zuan mendengar yang Zi ucapkan. Berakhir sudah riwayatku.“Kecupan, Zi?” tanya Om Zuan yang diikuti gelak tawanya. Aku menunduk, kuyakin wajahku ini benar-benar merah. Aduh, Zi. Kenapa kamu bodoh sekali. Ssst ...Laju motor ini terhenti di bahu jalan, dan tiba-tiba saja Om Zuan mendekat dan memanggutkan bibirnya, dan (sensor)“Beginilah namanya kecupan.”Aku menatap bola mata coklat Om Zuan yang berbinar, senyumnya mengembang begitu indah. Tak pernah aku melihat lelaki itu sebahagia ini. Sesaat aku kembali mengingat kejadian beberapa menit itu. “Bibirku? Sudah tak suci?” Siapa sangka Om Zuan kemb
“Boleh tidak Zi minta dibeliin minum. Zi haus.” Aku menunjuk salah bangunan tak berukuran besar yang di hampiri beberapa pengunjung. Banyak di antara mereka yang ke luar dengan membawa teh berbentuk gelas. Beberapa di antaranya, terlihat duduk dengan beberapa cemilan di depannya. “Atau, kalau Om capek. Biar Zi saja yang beli,” imbuhku lagi. “Ya sudah kita ke sana bersama.”Dengan jarak sepuluh meter itu, akhirnya kita sampai juga di tempatnya. Aku memesan teh dingin sedangkan Om Zuan memesan air mineral saja. Tidak lupa beberapa cemilan yang akan menjadi pengganjal perutku untuk kembali mengelilingi tempat ini. “Ini Mbak minuman dan cemilannya.”Wanita petugas itu memberikan menu yang kita pesan di atas nampan.“Ambil, Zi. Kenapa dibiarkan saja,” ucap Om Zuan sambil memberikan beberapa lembar uang untuk membayarnya.“Tapi, Om. Ini ....”Aku melirik ke arah tanganku yang masih di genggam erat, seketika ia melepasnya. Dan petugas wanita itu tampak menahan senyumnya.Kami duduk saling
Aku menengok ke sumber suara ketika nama lelaki di depanku disebut. Wanita berparas ayu dengan memakai celana jeans dan kaos ketat itu menghampiri kami. Wajahnya cantik dengan warna lipstik yang menyala. Ia memeluk Om Zuan begitu saja. Siapa dia, Om? Kenapa hati Zi sakit.“Kamu?” ucap wanita itu sambil menatap ke arahku.“Tolong bawakan tasku ini dong. Berat.” Ia melepas tas punggung yang dikenakannya.“Eh dengar gak sih kamu?” Aku masih melongo menatapnya, berparas cantik dengan mata sipit dan bibir tipis, khas wanita-wanita Korea. Tapi kenapa unggah ungguhnya sama sekali tak punya.“Jaga sikapmu, Re.”“Zuan, kenapa kamu masih sama? Di luar dingin di dalam hangat.” Ia tersenyum manja.Apa maksud omongan wanita itu? Di dalam hangat. Itu artinya?“Eh, ini cepat ambil. Bawakan tasku!” Wanita tak punya sopan santun itu meneriakiku. Dengan sigap aku menerima tasnya dan melemparnya ke tong sampah yang tak jauh dariku. “Kamu?” Dua bola mata wanita itu melotot kepadaku. Tamparan hampir
Om Zuan terkekeh, dia menatapku begitu dalam. Begitupun aku yang seakan terkena magnet dari lelaki di depanku. Aku terus mendekat, sama sepetinya. Wajahnya masih tampak tampan, meskipun memang tak terlihat sempurna. Kini mulai kurasakan detak jantungku yang tak beraturan, serta hembusan hangat dari nafas Om Zuan.“Zuan, apa kamu di dalam?” terdengar teriakan mama dari balik pintu. “Tadi Zi datang, dan tiba-tiba Zi tak diketemukan. Mama ...”Mama tak melanjutkan kalimatnya ketika aku tengah membuka pintu, dilihatnya diriku dalam-dalam.“Kalian sudah bertemu?” Mama tampak terkejut melihatku yang berada di kamar ini, begitupun Rendra yang tengah berdiri di belakang Mama. “Kenapa kamu bodoh sekali dengan membawa Zi ke sini?” Om Zuan melempar sebuah pulpen ke tubuh Rendra.“Maaf, Tuan. Nona Zi memaksa. Nomor baru tuan Zuan pun tidak bisa dihubungi. dari sebelum ke sini, saya sudah memberi kabar.”“Kalian semua tahu, dan menipu ku mentah-mentah?” aku mengerucutkan bibirku. Ingin marah?
Aku perlahan melangkah, masuk ke dalam kamar asing tanpa ijin sang pemilik rumah. Semoga Mama tak mengetahui sikap nekat Zi, Ya Allah. Aku kembali mendekat kepada lelaki tersebut.“Ma, kenapa rame? Apa Rendra telfon kembali dan memberi kabar tentang Zi? “ ucap lelaki tersebut. Yang membuatku yakin kalau lelaki di depanku adalah Om Zuan.“Om.”Entah setan apa yang merasuki tubuhku, hingga aku memeluknya dari belakang. “Zi kangen, Om. Zi ....”Aku tersentak kaget ketika melihatnya. Bahkan tubuhku seakan terpental, menyisakan jarak beberapa meter. Matanya hanya satu. Karena yang satunya tertutup oleh kasa. Ia pun tak kalah kaget dariku. Ia menunduk, sekaan malu dengan keadaanya. “Om Zuan.” Aku kembali mendekatinya. Memastikan dengan apa yang baru saja kulihat.Ia memalingkan muka. Seakan tak ingin wajahnya terekspose dengan mata indahku.“Om Zuan, ini Zi.” Aku terus mendekat.“Siapa, Zi? Aku gak kenal!”Aku terus mendekat, kini tak menyisakan jarak dan kembali memeluknya dari belaka
Terima kasih yang sudah mampir di kisahnya Zi dan Zuan, mohon maaf jika ceritanya kurang berkenan. Happy reading ...🥀🥀🥀“Siapa, Ma?” tanyaku heran. “E... Itu, itu suami Mama, ayah tirinya Zuan.”Benarkah? Apa Mama berbohong kepada Zi.“Ma, kenapa Zi tidak dipersilahkan masuk?”“Astagfirullah, maafkan Mama, Zi.” Wanita teduh itu menggandengku, dan melewati pintu bersama, sedangkan Rendra terus saja mengekori, tetap dengan ponsel di tangannya.Rumah berdinding jati ini benar-benar rapi, tak banyak pernah-pernik, hanya beberapa foto yang keluarga yang tertempel di dinding. Aku menatap sekitar, dan tiba-tiba indraku mencium wangi Om Zuan di dalamnya.Apakah Om Zuan di sini? Ah, rasanya tidak mungkin.“Ini, Pak. Ada Zi. Istrinya Zuan.” Mama memperkenalkanku kepada lelaki paruh baya yang tengah memakai baju kerah batik serta celana hitam polos. Hah, lagi-lagi harapanku nihil. Aku berharap Om Zuan yang datang. Aku menjabat tangan, dan mencium punggung tangannya. Dan kini dibalas den
“Setidaknya sarapan dulu, Nona. Nanti bisa kembali tidur,” ucap Simbok yang andil bersuara. “Males, Mbok. Zi masih kenyang.”“Kenyang dari mana, Non? Semalam saja tidak makan malam.”Kini terdengar suara saling berbisik antara Simbok dan Rendra, entah apa yang mereka bicarakan. Aku masih terlalu malas untuk ke luar dari ruangan ini.“Nona Zi, katanya mau jenguk bunga. Jadi?” Terdengar suara Rendra yang membuat mataku berbinar. Aku bergegas membuka pintu itu, dan menjawabnya dengan anggukan. “Jadi, Ren. Sekarang ya.”Rendra tersenyum, sedangkan Simbok tampak menggelengkan kepala. “Diantar kalau Nona Zi sudah sarapan.”Hah, Aku membuang nafas kasar sambil menuju ke meja makan. “Kita makan bersama ya, Mbok, Ren.”Aku mengoleskan selai ke roti gandum di depanku. Memberikan mereka masing-masing satu potong untuk menemani sarapanku. Entah, setelah mendengar nama Bunga, aku sepeti memiliki kekuatan baru. Aku tak boleh menyerah dengan keadaan, aku Zi dan aku kuat. Aku harus sehat untuk ana
Rendra mengernyitkan dahinya ketika mendengar ucapanku. “Pusara Tuan Zuan, Nona?” “Iya, Ren. Aku mau menjenguk Om.”“E, itu, Non. Ada di sebelah sana.”Rendra menunjuk sebelah selatan. Kami berjalan mengikuti arahan Rendra, cukup jauh memang, karena tempat pemakaman ini lumayan besar. “Non, maaf. Hari ini ada rapat mendadak.” Rendra menunjukkan sebuah pesan dari ponselnya. Aku membaca pesan tersebut.[ Pak Rendra, tamu kita yang dari Jepang sudah datang. Bisakah ke kantor sekarang? ]“Kalau begitu antar saya saja ke pusara Om Zuan, Ren. Biar nanti saya pulang pakai taksi.”“Maaf, Non. Saya tidak berani. Saya diberi amanat Tuan Zuan untuk menjaga Nona Zi setelah beliau tidak ada. Apalagi hari sudah malam. Kita ke sini lain kali saja. “Aku mengangguk, sebenarnya setengah terpaksa meninggalkan tempat ini. Kenapa ada acara yang begitu mendadak? Ah, sudahlah. **“Malam ini mau makan apa, Non?” Simbok menatapku dengan khawatir, untuk saat ini ialah yang peduli kepadaku setelah Rendra
“Assalamualaikum.” Terdengar suara panik dari wanita paruh baya yang kini mendekati kami, begitupun lelaki yang berada di sampingnya. “Tante, Paman.” Tama mencium punggung tangan mereka. Begitupun aku, yang mengekori kelakuan Tama.“Bagaimana keadaan anakku?” Tante itu mengikutiku, menatap Aga dari balik dinding kaca ini. “Aku pasrah dengan semua kehendakmu Ya Allah, jika memang Aga sudah harus tutup usia di waktu ini. Aku ikhlas, selama ia tak terus mengalami kesakitan.”Tante mengucapkannya lirih sambil berlinang air mata, dari sini aku belajar, puncak dari mencintai adalah mengikhlaskan. Mengikhlaskan orang yang dicintanya pergi selama itu adalah jalan yang terbaik. Sedangkan kini lelaki yang menjadi suaminya, merangkulnya erat memberi dukungan untuk kuat. “Kamu Zi?” tanya Tante yang kini menatap ke arahku. Sepertinya ia baru menyadari ada aku di sebelahnya. “Iya Tante.”“Senang bisa bertemu denganmu, Zi. Benar kata Aga kamu cantik.” Wanita itu kini mengembangkan senyum. “Ak
“Rendra.”Aku meneriaki lelaki itu sebelum berlalu. Ia menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap ke arahku.“Untuk apa kamu ke sini? Ada keperluan apa?”“Nona Zi. Bukankah hari ini Nona ada kelas pagi?” Lelaki itu kini berbalik tanya ke arahku, yang justru membuatku gemetaran.“Zi .. Zi ... Zi dikeluarkan dari kelas,” ucapku malu. ‘Ah, itu tidak penting. Bukankah di sini aku yang menjadi bosnya? ‘“Kenapa pertanyaanku tidak dijawab, Ren?”Lelaki itu tampak gugup, ia merapikan jas yang dikenakannya. “Saya menyampaikan amanat dari Tuan Zuan, Nona. Memberikan bantuan kepada yayasan.”“Tuan Zuan?”“Iya. Sebenarnya amanat ini sudah di sampaikan beberapa Minggu yang lalu, tapi belum sempat. Maafkan saya Nona Zi!” Aku mengangguk mengerti, dan mempersilahkan ia pergi. Aku yang tadinya memiliki.segudang harapan dengan kehidupan Om Zuan, kini kembali menelan pil kekecewaan. Kenapa kamu pergi, Om? Aku kembali ke ruang kelas, pintunya masih tertutup rapi, dengan suara dosen wanita yang m
“Tentu, Nona Zi.”“Tolong nanti sepulang kuliah, antar Zi ke panti. Bunga pasti telah menunggu, pasalnya kami telah berjanji untuk mengadopsinya.”Meskipun Om Zuan sudah tak ada, aku ingin sekali tetap bersama gadis kecil itu. Semoga Ibu panti mengijinkan aku mengadopsi Bunga dialah yang akan selalu mengingatkan tentang Om Zuan. “Baik, Nona Zi.”**“Zi, baru lihat kamu. “ Aga mengekoriku setelah memasuki gerbang universitas. “Ada yang Rindu, nich.”Tama yang mengekori kami, tersenyum senang. “Om Zuan baru saja meninggal, Ga!” ucapku sembari duduk di salah satu bangku kelas, mataku yang kosong menatap papan putih yang tergantung di dinding dekat dosen.“Tukang ojek?”“Jangan pernah hina Om Zuan, Ga.”Sontak aku berucap dengan nada tinggi, ketika mendengar lelakiku itu dihina.“Ma-maaf, Zi. Saya kira aku bisa menghiburmu.”Aga menampakkan wajah menyesal, dan itu membuatku tak tega dan merasa bersalah. Tama yang duduk di sebelahnya mengedipkan mata, seakan memberi isyarat untuk memin
Mentari yang terang, kini berubah menjadi gelap, apalagi mendung terus menyelimuti langit yang seakan mengetahui bagaimana hatiku saat ini. Tak ada cahaya dari bintang maupun bulan, yang ada hanya kegelapan dan kebisuan. Aku menatap meja kerja Om Zuan, tempat di mana aku selalu memandangnya sebelum tidur, berjibaku dengan tulisan dan laporan. “Om Zuan,” ucapku lirih ketika mendapatinya duduk di tempat yang sama. Beberapa detik kemudian Ia kembali berlalu begitu saja. Aku benar-benar menggila olehnya, lelaki yang mampu membuat hariku berwarna setiap harinya. “Om Zuan.” Aku kembali menatap lelaki itu yang kini terbaring di ranjang, bersebelahan denganku. Tangannya diangkat ke atas seperti biasa dan meninggalkan parfum khas dirinya. “Zi.”Suara panggilan itu membuat tubuh Om Zuan kembali menghilang, Wanita bergamis panjang dengan jilbab menjuntai telah berdiri di ambang pintu. “Maaf, Mama mengganggu istirahatmu. Bolehkan malam ini Mama bermalam denganmu?”Aku mengangguk, dan mempe