Lembah Gunung Baru Jari.Pak Junet dan Bang Ochi telah berangkat membawa Fadly dan para penyintas lainnya untuk keluar dari lembah Gunung Baru Jari. Mereka akan dievakuasi melalui jalur Senaru. Tinggal Alit bersama Tim SAR yang bersiap akan mengevakuasi jasad Bang Ron melalui jalur selatan.Alit tampak berusaha menenangkan diri. Ia berusaha menahan debaran jantungnya yang kian menendang tulang dada. Rasa trauma saat melihat tubuh Bang Ron terjatuh, lalu menghempas batu, masih membekas dan tergambar jelas dalam ingatannya. Semua terekam nyata.Ini adalah waktu persahabatan Alit dan Bang Ron diuji."Kenapa kamu nekat mengambil resiko untuk pulang lewat sini?" tanya Pak Najam."Bang Ron itu sahabat saya, dan kami mendaki bersama, Pak. Tidak mungkin saya biarkan dia pulang tanpa salah satu dari kami menemani," jawab Alit. Tiba-tiba, matanya memerah, lalu basah. "Saya ingat, bukankah saat ada yang tersesat kita tak boleh saling meninggalkan? Hati saya bener-bener nggak tega. Orang macam ap
"Tahan tarikan! Tahan tarikan!" Pak Najam terus berteriak ke arah HT yang tergenggam di tangannya.Petugas yang mengiringi jenazah tampak kewalahan menggeser sisi tandu yang tersangkut karena tali terus di tarik oleh tim base camp dari atas pelawangan. Pak Najam berteriak, "Sialaan! Tahan tarikannyaa ...!"Ternyata, HT tak berfungsi karena masalah sinyal. Tandu semakin terangkat dan kini berjarak sekitar dua puluh meter di atas Alit dan Pak Najam.Pak Najam terus berusaha mengontak base camp. "Tahan tarikan ... tim base camp tahan tarikan, mohon kurangi tarikan, segera! Jenazah tersangkut ... sekali lagi jenazah tersangkut, jenazah hampir jatuh!" perintah Pak Najam hampir putus asa. Kerikil-kerikil tampak berguguran karena gesekan sudut tandu dan tebing. Beruntung, bebatuan hanya membentur sisi depan helm yang terpasang di atas kepala mereka. Mereka bisa saja terluka jika tidak dengan sigap menempelkan tubuh pada permukaan tebing.Situasi semakin berubah genting. Posisi jenazah kini
Bang Ochi duduk pada batang cemara yang telah tumbang dan mengering. Ia berpikir sambil memperhatikan tenangnya air danau Segara Anak. Semua tampak tenang, datar, dan tak ada pusaran air ataupun riakan besar seperti yang baru saja ia lihat. Semua pendaki di camping ground tampak santai memancing, seolah tak pernah ada apa-apa. "Apakah mungkin tidak pernah terjadi apa-apa di tengah danau itu? Atau mungkin juga bangsa jin telah menipu pandangan kami?" Bang Ochi bergumam lirih. "Aneh," lanjutnya kemudian."Saya udah tanya, mereka nggak ada yang lihat rombongan kita, Bang," Fadly datang dengan raut wajah lelah, napasnya agak tersengal."Sebentar," tutur Bang Ochi. Ia berusaha keras memikirkan segala keanehan yang menimpa tim itu sejak awal ketika Bang Ron terjatuh."Kenapa, Bang?""Fadly ... tolong ceritakan saya, apa sebenarnya yang pernah tim kalian lakukan sejak awal berada di Rinjani?" tanya Bang Ochi penasaran. "Saya tidak meragukan hal-hal di luar nalar bisa terjadi dan dapat meni
Suara gemeretak dalam mulut Jingga terus terdengar. Beberapa patahan tulang dijatuhkan lagi dari mulutnya. Matanya menatap misterius ke arah Bang Ochi yang masih kebingungan di posisi paling belakang.Tim terus melangkah menuju camping ground tanpa menyadari apa yang dilakukan bocah perempuan itu atas gendongan ayahnya, kecuali Bang Ochi."Ayo buka carrier, keluarkan logistik. Bagi tugas untuk bikin makan siang. Keluarkan apa yang ada!" perintah Pak Junet setiba di camping ground Segara Anak."Di carrier saya masih cukup banyak logistik, dan tim saya juga masih lumayan, tapi lauk sepertinya nggak cukup banyak," ucap Bang Ipul sambil membuka carriernya."Di ransel saya ada mie instan, telur, sama sosis. Kita bisa masak ini jadi tambahan. Walaupun nggak cukup banyak, paling tidak perut kita terisi dulu," sambung Pak Junet.Mendengar uncapan Pak Junet, beberapa orang pendaki menghampiri."Abang-abang, rombongan kami mau turun, titip ini ya, lumayan untuk tambah-tambah," ucap salah seoran
Mata Pak Junet tampak mengawasi. Ia hendak memberi tahu Bang Ochi siapa yang mengambil tulang sesaji dan siapa pemiliknya. Namun, tiba-tiba saja Bang Ipul menghampiri mereka."Kapan rencana nikah, Chi?" tanya Pak Junet tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. Bang Ochi langsung paham maksud Pak Junet. Ia tidak ingin informasi ini menyebar sebelum ada kepastian."Anu ... ee ... akh ... hir tahun mungkin, Pak," jawab Bang Ochi asal agar Bang Ipul tak curiga."Ah, kelamaan, Bang Chi!" Suaranya bernada mengejek."Wah, bahas apaan? Ada bau-bau yang mau nikah ini," sela Bang Ipul."Eh, Bang Ipul. Ini, Bang ... Pak Junet usil banget pertanyaannya." Bang Ochi berusaha menyembunyikan pokok masalah sebenarnya."Besok kita berangkat turun jam berapa?" tanya Bang Ipul."Jam sembilan pagi, cukup lah. Kita cuma butuh waktu sekitar tiga jam, paling lama mungkin empat jam udah sampe di pintu hutan," jawab Pak Junet yakin.Bang Ipul hanya mengangguk, lalu kembali ke rombongan bersiap mendirikan tenda."Pak
Refleks Bang Ochi meraih pundak Fadly, lalu menariknya. "Lari!" pekiknya.Mendengar suara gaduh, Pak Junet menghampiri. "Ada apa ini? Jangan bikin gaduh, ini sudah malam!" ujarnya dengan nada keras.Situasi di Pos 3 berubah mencekam."A-anu, Pak. Bule, kakinya kebalik!" jawab Fadly dengan napas tersengal memburu oksigen."Kenapa, sih, selalu saja ada gangguan sama rombongan kalian, heran saya!" sergah Pak Junet.Bang Ochi menoleh ke arah para penyintas. "Pak, buka saja semua. Saya rasa sekarang waktunya,” usulnya agar Pak Junet menungkap semua.Pak Junet melihat ke arah Bang Ochi, lalu mengangguk ringan."Ibnu, kemari!” panggil Pak junet. “Coba jelaskan kami, kenapa bisa ada tulang monyet di sling bag punyamu?" lanjut Pak Junet bertanya dengan tegas.Sontak semua mata mengarah pada Ibnu. Diah, Zahra, dan Fadly membeliak tak percaya apa yang baru saja terlontar dari mulut Pak Junet.Ibnu terdiam, lalu melihat ke arah teman-temannya.Fadly mendekat, lalu tiba-tiba melayangkan hantaman k
Suara pemikat lawan jenis dari rusa timor terdengar memekik di kejauhan memecah heningnya pagi. Embun yang menggantung pada ujung ilalang mulai menguap serupa asap tipis menari-nari di bawah sinar yang hangat. Setelah gelap malam bergeser, kini pagi menyapa bersahaja, membersitkan segaris cahaya melalui celah dahan cemara gunung.Bersama segelas kopi di tangan kanan, Bang Ochi melangkahkan kaki menuju titik terbaik untuk menghangatkan tengkuk dari dingin yang membelai."Udah bangun, Bang?" sapa Ibnu. Ia duduk di atas batu sambil mengamati hamparan ilalang yang menguning. "Eh, Bro. Sehat?" Bang Ochi balik menyapa."Alhamdulillah, lebih baik ini ketimbang ciuman jelatang," kelakarnya sambil mengelus pelipis yang masih biru menonjol.“Jelaslah,” balas Bang Ochi sambil sedikit tertawa."Untuk sampai pintu hutan, butuh berapa lama, Bang?""Paling lama empat jam kalau jalan santai gak berhenti," jawab Bang Ochi sambil sesekali menyeruput segelas kopi di tangannya.“Lumayan jauh, ya, Bang.”
Jingga meronta ingin lepas dari gendongan Arum. Berrkali-kali ia mencakar wajah ibunya dan menarik jilbab hingga terlepas. Situasi berubah panik, wajah bocah perempuan itu berubah pucat dan dan sangat ketakutan melihat orang-orang di sekitarnya."Jingga mau pulang!" teriak Jingga histeris. Suaranya berubah sangat mengerikan.Jingga terus memberontak dari gendongan ibunya hingga Arum terjatuh. Bang Ipul segera menghampiri istrinya, tetapi Jingga terlepas dan berlari ke arah rerimbunan semak untuk sembunyi.Semak belukar yang rapat dan cuaca yang mendung membuat pandangan mereka agak kabur. Bang Ipul pun segera melepas carrier dari punggungnya, lalu berlari ke arah semak mengejar anaknya.Situasi bertambah rumit karena Jingga bersembunyi entah di mana. Tak ada suara sedikit pun darinya. Arum terduduk lemah tak berdaya. Jalur Pos 2 Senaru bertambah ramai karena banyaknya pendaki penasaran dengan apa yang terjadi.Satu jam kemudian tim SAR penjemput tiba di Jalur Pos 2 Senaru. Pak Junet
Ket.: Detik-detik menjelang gempa saat di puncak.PoV Citra_______________Ini kali pertama aku berada di puncak gunung. Merasai angin dingin menerpa tubuh dan menyentuh awan. Ingin rasanya berlama-lama di tempat tertinggi di Lombok ini. Kapan lagi aku bisa setinggi ini? Indah seluas mata memandang. Kusadari, betapa kecilnya aku. Mungkin, ini maksud Kakek, aku harus tumbuh dewasa dengan kesan yang berarti. Kuhirup udara dingin, hmm ... dinginnya terasa merasuk ke dalam rongga dada. Kurasa mulai saat ini, aku jatuh cinta pada gunung."Rinjani ... aku ingin menetap di sini saja ...!" Kulepas rasa bahagiaku dengan berteriak di ujung pasak bumi di pulau ini. Ada rasa bangga dan puas memenuhi dada.Lalu, aku menunggu giliran untuk dapat mengabadikan momen ini. Kapan lagi bisa ke puncak Rinjani?Ujung puncak Rinjani berupa sisa letusan Samalas beratus-ratus tahun silam dengan luas hanya beberapa meter saja. Jadi, tak ada cara lain selain harus menunggu giliran. Tak bisa kubayangkan berapa
#PJSR2_________________PoV Bang Ochi__________________Jeritan dan tangis pilu itu masih terdengar dari para pendaki asing maupun lokal. Mereka turun dari puncak dengan raut panik dan takut memenuhi wajah mereka, semua takut akan mati.Debu-debu mengangkasa dan mengurapi tubuh kami sampai terbaluri dari ujung kaki hingga ujung rambut. Tubuh kami pun berwarna senada dengan tanah. Gempa susulan berkali-kali terasa. Setiap datangnya gempa selalu disusul runtuhan tebing yang membuat debu semakin pekat. Gempa benar-benar mengubah wajah Rinjani. Tanah yang terpijak pecah menganga. Rinjani terkoyak."Ayo, Kek ... kita tunggu mereka di sana," ajakku sambil menuntun Kakek Mustafa untuk menunggu di tempat yang lebih teduh dan aman.Raut keberatan tampak jelas tergambar pada wajahnya yang keriput."Kakek duduk dulu di sini, biar aku yang pastiin kalau teman-teman semua baik-baik saja," saranku berusaha menenangkan.Kakek Mustafa tak menjawab dan hanya memadangi jalur puncak yang terselimuti
#PJSR2_____________PoV Opik_____________Dari dalam tenda, aku benar-benar mencemaskan matahari yang rasanya tak kunjung meninggi. Kupikir lebih baik aku diam saja sementara di dalam sambil packing barang bawaan. Begitu matahari terlihat, aku harus pergi bawa mereka turun. "Opik ...," panggil Alika dari luar tenda tiba-tiba. "Ya," jawabku dari dalam tenda."Sarapan pakai mie sama telur, gak apa-apa ya ... biar cepat kita berangkat," ucap Alika."Iya, apa aja yang penting cepat," balasku.Setelah beberapa menit menunggu, kuintip dari lubang tenda untuk memastikan kakek itu pergi. Karena kurasa aman, aku pun segera keluar setelah yakin dia benar-benar tidak di sana lagi. Aku bersyukur karena cuaca semakin cerah dan kabut sudah tak lagi melingkupi kami.Kulihat di atas karimat, empat piring mie kuah sudah tertata. Terlihat jelas uap hangat menari-nari di atas kuah mie yang panas. Aku pun makan dengan cepat agar segera habis dan dapat pergi dari sini sebelum Alit turun ke danau.Di p
#PJSR2____________PoV Opik____________"Opik ... Opik!" teriak Utari menunjuk ke arahku sambil menangis.Sontak beberapa orang pendaki melompat ke dalam air karena mengira aku tenggelam. Padahal, aku bisa berenang dan hanya sedang mencari keberadaan Mila yang ternyata tidak berada di sini. Mila berada di tepi bersama Utari dan Alika.Sambil tangan dan kakiku terus mengayuh berenang, aku terheran, siapa yang baru saja kulihat kalau Mila ada di sana? Tiba-tiba, dari dalam air danau yang dingin, kulihat sebentuk benda bulat besar menyembul berwarna kekuningan. Awalnya, kukira itu adalah alat bantu renang yang di bawa pendaki, tapi semakin kuperhatikan, ia semakin mendekat, lalu tiba-tiba berkedip. Aku pun panik dan berusaha menjauh secepat mungkin karena sepasang mata yang sangat besar itu semakin mendekat ke arahku. Ia seakan mengintai dari balik kabut pekat."Ahhh, tolong!" teriakku dengan suara bergetar.Sebisa mungkin aku berusaha berenang kembali ke tepian, tapi air yang tadinya
Ket: Tim danau sebelum gempa terjadi______________PoV Opik______________Malam lembab dengan kabut cukup tebal menyelimuti area perkemahan danau Segara Anak. Kulihat jam yang melingkar di tanganku baru saja menunjukkan pukul 7.30 malam. Suasana di danau cukup padat oleh tenda-tenda pendaki. Bulan ini memang bulan padat pengunjung mendaki Rinjani. "Masak apa, Pik? Wangi butter-nya enak banget," tanya Utari sambil sedikit mengangkat dagu membaui udara dari pintu tenda."Eh, ini ... aku bikin pancake, buat makan malam kita," jawabku sambil membalik adonan yang sudah mulai kering di bagian bawahnya.Mendengar jawabanku, Utari keluar dari tenda dan melangkah ke arahku."Mila mana?" tanyaku karena tak melihat adanya Mila di tenda perempuan."Tuh, dia jalan ke sana tadi, kayanya dia lagi pengen sendiri. Oh ya, Bang Ron itu siapa, terus Mila siapanya Bang Ron?" tanya Utari penasaran."Waduh, aku merinding bahas masalah itu, Tari. Kita omongin itu nanti aja ya kalau udah di bawah.""Dikit
#PJSR2__________________PoV Bang Ochi__________________Ternyata ini adalah moment yang dinanti Alit. Kupikir hanya rencanaku saja, tapi bagaimanapun juga laki-laki harus tetap kokoh. "Bang Ochi, mau ke mana? Aku ikut." Citra melangkah cepat membuntutiku di belakang."Gak ke mana-mana, anginnya kenceng banget, cuma mau ke sana," tunjukku ke balik batu besar bermaksud menghindari terpaan angin langsung. Dari tempatku yang agak rendah, drama katakan cinta itu tak terlihat, suaranya pun terbawa pergi bersama angin. Apapun jawabannya, tidak perlu aku tahu di gunung ini. "Ih, Abang ... jalannya cepet banget, sih," ucap Citra mencoba mendahului."Lagian kamu ngapain ikut? udah sana puas-puasin foto, ntar lagi kita turun," balasku sambil menyandarkan punggung pada permukaan batu yang tampak kecokelatan.Baru saja aku bersandar melepas lelah, kulihat ada sesuatu yang aneh terjadi pada Kakek Mustafa. Ia berjalan turun meninggalkan teman-teman yang sedang asyik berfoto. Tiba-tiba, ia terd
#PJSR2_______________PoV Bang Ochi_______________Di puncak, sudah ada teman-teman yang sedari tadi menunggu kedatangan kami. Bersamaan dengan udara yang semakin menghangat, kaki terus melangkah menapaki titik tertinggi pulau Lombok."Ra, itu lima langkah ke sana, itu puncak tertinggi Rinjani. Ayo sana!" suruhku sambil menunjuk sudut tempat bendera tertancap."Kata Abang tadi mau samaan," balas Zahra."Tugasku kan cuma ngedampingi kamu sama teman-teman yang lain, Ra," ucapku dengan senyum."Abaang, aku tu mau kita samaan ke sana," balas Zahra semakin menitikkan air mata.Melihatnya meminta seperti itu, tak tega rasanya kutolak. Aku pun mengangguk sebagai tanda menyetujui.Dari puncak tertinggi, pemandangan sungguh menakjubkan dengan birunya danau Segara Anak dan Gunung Baru Jari yang masih aktif mengeluarkan asap vulkanik. Diah yang sudah menunggu, berteriak memanggil nama Zahra dan mereka pun saling menghambur berpelukan.Ada tangis haru yang tak dapat lagi mereka bendung. Meliha
_____________Pov Bang Ochi_____________Engahan napas terdengar di mana-mana. Ratusan pendaki berjalan pelan pada jalur yang tak lebar. Jarak pandang kami terbatas hanya sejauh pendaran cahaya headlamp. Debu-debu tampak beterbangan menyesaki kami sepanjang jalur menuju punggungan. Kami terus berusaha mencapai punggungan walau sesekali terbatuk karena debu dan terpeleset karena kemiringan jalur. Jalur pendakian memang cukup sulit untuk dilewati karena butiran pasir sebesar biji ketumbar membuat pijakan kaki tidak menapak dengan baik pada permukaan tanah yang miring."Ayo semangat." Sambil menyeka keringat yang mengalir di kening, Alit terus memberi semangat untuk tim. Ratusan cahaya headlamp memenuhi jalur pendakian dan menciptakan suasana ramai pada jalur selebar kurang dua meter. Pendaki lokal dan mancanegara pun saling menyemangati untuk menaklukkan puncak di malam yang beku.Di posisi paling belakang, aku bersama Kakek Mustafa memantau pergerakan teman-teman agar tak salah arah.
________________PoV Bang Ochi_________________Waktu menunjukkan pukul satu dini hari. Udara cukup tenang dan langit tampak bersih dari gumpalan awan, tak ada tanda-tanda akan datangnya badai angin ataupun hujan. Satu per satu cahaya headlamp terpendar dari para pendaki yang bersiap menaklukkan puncak setinggi 3.726 MDPL.Dari dalam tenda dengan pintu yang kubuka menganga, kulihat Alit sedang membangunkan teman-teman agar melakukan persiapan untuk summit attack malam ini. Sesuai kesepakatan, pendakian menuju puncak akan dilakukan pukul dua dini hari ini. Setelah membangunkan teman-teman, Alit melangkah ke arahku."Bang Ochi, bisa bantu kasih arahan ke teman-teman? Kita briefing dulu sebelum berangkat," ucap Alit dengan nada pelan."Apa gak kamu aja sekalian, Lit, kan kamu leadernya." Aku menolak dengan halus."Ayolah, Bang ... Abang punya pengalaman lebih ketimbang aku, jadi Abang bantu sekedar untuk kasih arahan aja," desak Alit."Tapi, yang mimpin sampai ke puncak tetap kamu, ya."