Jalur Selatan Rinjani. Petugas terus menarik tali dengan lebih cepat. Semakin tinggi tandu terangkat, semakin kencang pula tandu berayun tertiup angin. Rasa khawatir dan penasaran memaksa Alit melangkah cepat menuju bibir tebing. Unyil dan teman-temannya segera bangkit dan menyusul Alit karena wajahnya tampak tak tenang. Di tebing bawah sana, posisi jenazah, kini berada di titik jatuhnya Bang Ron, letter Z."Ya ampun, berani banget tim evakuasinya, sampe berayun gitu. Ih, merinding aku, Baaang," celetuk Dini saat melihat perjuangan tim evakuasi."Saya juga, Din," balas Unyil."Bang ... eh, Abang, siapa namanya?" panggil LurisAlit menoleh mendengar panggilan itu. "Ya?""Gimana Bang Ochi di bawah sana, baik-baik aja, 'kan?" tanya gadis berambut panjang itu."Bang Ochi baik-baik aja," jawab Alit apa adanya."Kok, Bang Ochi nggak naik? Tadi, Abang naik pake tali. Pasti sama Bang Ochi kan di bawah?" tanyanya lagi."Bang Ochi gak naik pake tali, dia sama Pak Junet balik lewat jalur Senaru
Alit menyandarkan tubuh lelahnya pada tiang penyangga di samping jasad Bang Ron. Malam semakin larut, dingin semakin menusuk, dan mata terasa berat. Karena lelah, ia pun terlelap.Alit terbangun di saat orang-orang masih tertidur dengan posisi duduk sambil bersandar satu sama lain. Sleeping bag mereka tampak lembab, bahkan basah karena tempias air hujan yang terbawa angin.Hujan masih belum reda. Awan kelabu masih enggan pergi. Ilalang, tumbuhan strawberry hutan, dan dahan-dahan pepohonan tampak merunduk menahan guyuran air hujan yang turun dari semalam.Pagi itu sungguh dingin dan terasa beku karena angin tak henti membelai mereka. Satu persatu, mereka membuka mata, tetapi tubuhnya enggan melepas lilitan sleeping bag yang menyelimuti."Belum reda hujannya, kapan bisa pulang kalau gini terus," gumam Luris terbangun."Kita terabas saja kalau masih begini. Sepertinya, hujannya bakalan awet," sahut Pak Najam dengan mata masih menutup, lalu merenggangkan badan."Jam berapa Ris?" tanya Ali
"Aargh, tolong ... kaki saya ... kaki saya sakit sekali, Pik!" teriak Jeko di dalam salah satu ruang rumah sakit.Jeko tak kuasa menahan rasa sakit di dalam kakinya yang telah diperban. Di dalam gulungan perban itu ia merasakan lukanya seperti digerogoti sesuatu. Terlihat, kedua tangannya sangat ingin membuka lilitan perban itu."Dokter ... tolong, Dokter! Kaki teman saya kenapa?!" teriak Opik meminta pertolongan dari pintu kamar sehingga suara itu menggema karena kerasnya.Tak lama, dua orang perawat datang dengan tergesa-gesa karena suara panik dari Opik."Suster, tolong periksa kaki teman saya. Kasian dia kesakitan! Buka saja perbannya," pinta Opik panik."Maaf, Mas, kami tidak mungkin melakukan tindakan tanpa persetujuan dokter yang menangani teman Anda." Seorang perawat senior memberikan pemahaman kepada Opik dan Jeko."Tapi ... tapi kaki saya sakit sekali, Sus, tolong saya, arrgh!" teriak Jeko mengerang."Maaf, kami tidak bisa lakukan itu karena melanggar kode etik.""Kalau tid
Di salah satu sudut taman yang minim pencahayaan, Jeko duduk hampir bersila. Batu besar itu diangkat berkali-kali ke arah kakinya."Jeko, hentikan!" teriak Opik sambil berlari menghampiri sahabatnya. Ia hendak menghentikan apa yang dilakukan Jeko."Hahah, mati kau! Mati kau ... hancur kepalamu, Setan!" teriak Jeko puas. Jeko tak sadar telah menghancurkan kakinya sendiri hingga tak berbentuk. Opik terlambat, kaki sahabatnya itu telah hancur dan nyaris terputus dari tempatnya akibat hantaman itu. "Stop, Jeko! Hentikan, jangan lukai dirimu sendiri! Itu kakimu, Jeek." Dengan erat, Opik menangis memeluk sahabatnya. Ia sangat prihatin dengan kejadian itu."Tolongin, cepet tolongin!" ucap satpam kepada dua perawat yang ikut mencari.Jeko terus tertawa puas seolah tak merasakan sakit sedikit pun. Sementara itu, Opik terus mendekap dan berusaha menghalangi kedua tangan Jeko. "Jeko, itu kakimu, Jek ... stop, itu kakimu," tangis Opik di samping telinga Jeko.Tiba-tiba Jeko terdiam, lalu tatap
"Kita harus kembali ke Senaru. Kita harus pastikan benda itu hancur atau tidak!" Alit mencoba membuat keputusan untuk teman-temannya."Apa kamu yakin, benda itu sumber masalahnya sampai saat ini?" tanya Ibnu."Tulang monyet yang kalian mainkan itu adalah medianya! Jadi, kita harus benar-benar hancurkan," jawab Alit."Tapi, bagaimana kalau benda itu sudah tidak di sana? Bang Ipul juga kita tidak tahu dia ada di mana. Saya khawatir dia sudah pergi dari gunung itu." Ibnu ragu. Wajahnya sedikit cemas."Nu ... Bang Ipul ke Rinjani itu karena melakukan ritual untuk anaknya. Saya yakin mereka tidak pulang waktu kita meninggalkan mereka di Senaru," beber Fadly."Kalau belum selesai, itu artinya mereka masih di sana! Yang penting kita coba dulu untuk memastikan. Demi Jeko dan demi kita semua. Tidak ada salahnya," balas Alit optimis."Benar, kita nggak bisa berdiam diri seperti ini. Kita harus pastikan. Masalah Bang Ipul masih di sana atau sudah pergi, itu urusan nanti! Kalau tulang monyet itu
Mereka tersadar, ada yang aneh dengan orang-orang di berugak itu. Mereka seperti bukan pendaki. Tak ada satu pun yang mengenakan perlengkapan pendakian. Bahkan, mereka asik mengayunkan kaki kotornya yang menggantung.Bang Ochi berbisik pelan kepada tim yang dibawanya, "Tenang, kita pernah alami lebih buruk dari ini di lembah Baru Jari, kita pasti bisa hadapi ini!"Opik mencoba mengarahkan cahaya headlamp ke arah berugak itu."Benar, jangan panik teman-teman. Jangan takut, itu kuncinya," sambung Alit.Begitu suara Alit terhenti, tiba-tiba, ayunan kaki orang-orang itu ikut berhenti, lalu dari berugak yang tersamar gelap, mereka tampak memutar kepala bersamaan, menghadapkan wajah pucat dengan lingkar mata hitamnya ke arah tim itu.Tubuh orang-orang itu berguncang karena tawa cekikikan yang keras hingga rahang terlepas dari tempatnya dan menggantung di dada."Sebenarnya, apa yang mereka inginkan dari kita?" tanya Opik pelan. Ia memejamkan mata kuat-kuat sekarang."Tulang itu ... kita haru
Angin malam berembus menggoyangkan cemara gunung, ilalang, dan menghempas tebing-tebing curam Pelawangan Senaru Rinjani. Cahaya headlamp yang terang menangkap kabut tebal turun ke balik gunung, seolah bersembunyi dari angin kencang yang dingin menusuk tulang. Di bawah gelap malam, hanya ada mereka berlima, mendaki menyusuri tanjakan.Jarak pandang mereka sangat terbatas. Kabut malam sungguh tebal sehingga mereka hanya dapat melihat jalur berkontur miring itu beberapa meter ke depan. Mereka berkejaran dengan waktu untuk tiba sebelum fajar di Aik Kalak."Saya nggak bisa jelas lihat jalur di depan, Bang, suhunya juga dingin sekali, whuuh," kata Opik sambil mengembuskan uap napasnya ke dalam tangan yang ditangkup. Opik bersiap turun ke danau. Baru kali ini ia melihat danau dengan diameter mencapai sebelah kilometer itu terselimuti sempurna oleh kabut."Aman ini, Bang Ochi?" tanya Ibnu setelah melihat gulungan awan di atas sana."Innsyaallah aman, tapi kita harus cepat. Kayaknya akan ada
"Ada yang bercanda sebut enam?" tanya Bang Ochi."Nggak, Bang. Kayaknya kita diikuti," jawab Ibnu.Bang Ochi memperhatikan timnya sejenak. Dadanya berdegup kencang berusaha melawan perasaan cemas."Semua hati-hati, jangan pisah. Jangan lari, ini turunan berbatu! Ingat, mereka hanya ingin kita panik dan celaka!" tegas Bang Ochi.Suasana mistis semakin terasa. Di depan, di balik kabut putih pekat, tampak cahaya-cahaya obor bergerak turun menuju danau. Lalu, lamat-lamat suara gamelan dan gong kembali terdengar. Teriak sorak-sorai terdengar begitu jelas, tetapi entah bahasa apa yang mereka pakai. Tak ada yang mengerti."Jangan ikuti suara-suara aneh yang kalian dengar! Wajah tetap menunduk lihat jalur. Nggak usah lihat kiri kanan, apalagi memperhatikan mereka." Bang Ochi terus memberikan arahan."Baik, Bang," balas Alit.Mereka terus meniti jalur dengan wajah hanya menunduk ke bawah melihat pijakan. Telinga mereka dipenuhi oleh suara-suara seperti pasar yang ramai. Sebisa mungkin, mereka
Ket.: Detik-detik menjelang gempa saat di puncak.PoV Citra_______________Ini kali pertama aku berada di puncak gunung. Merasai angin dingin menerpa tubuh dan menyentuh awan. Ingin rasanya berlama-lama di tempat tertinggi di Lombok ini. Kapan lagi aku bisa setinggi ini? Indah seluas mata memandang. Kusadari, betapa kecilnya aku. Mungkin, ini maksud Kakek, aku harus tumbuh dewasa dengan kesan yang berarti. Kuhirup udara dingin, hmm ... dinginnya terasa merasuk ke dalam rongga dada. Kurasa mulai saat ini, aku jatuh cinta pada gunung."Rinjani ... aku ingin menetap di sini saja ...!" Kulepas rasa bahagiaku dengan berteriak di ujung pasak bumi di pulau ini. Ada rasa bangga dan puas memenuhi dada.Lalu, aku menunggu giliran untuk dapat mengabadikan momen ini. Kapan lagi bisa ke puncak Rinjani?Ujung puncak Rinjani berupa sisa letusan Samalas beratus-ratus tahun silam dengan luas hanya beberapa meter saja. Jadi, tak ada cara lain selain harus menunggu giliran. Tak bisa kubayangkan berapa
#PJSR2_________________PoV Bang Ochi__________________Jeritan dan tangis pilu itu masih terdengar dari para pendaki asing maupun lokal. Mereka turun dari puncak dengan raut panik dan takut memenuhi wajah mereka, semua takut akan mati.Debu-debu mengangkasa dan mengurapi tubuh kami sampai terbaluri dari ujung kaki hingga ujung rambut. Tubuh kami pun berwarna senada dengan tanah. Gempa susulan berkali-kali terasa. Setiap datangnya gempa selalu disusul runtuhan tebing yang membuat debu semakin pekat. Gempa benar-benar mengubah wajah Rinjani. Tanah yang terpijak pecah menganga. Rinjani terkoyak."Ayo, Kek ... kita tunggu mereka di sana," ajakku sambil menuntun Kakek Mustafa untuk menunggu di tempat yang lebih teduh dan aman.Raut keberatan tampak jelas tergambar pada wajahnya yang keriput."Kakek duduk dulu di sini, biar aku yang pastiin kalau teman-teman semua baik-baik saja," saranku berusaha menenangkan.Kakek Mustafa tak menjawab dan hanya memadangi jalur puncak yang terselimuti
#PJSR2_____________PoV Opik_____________Dari dalam tenda, aku benar-benar mencemaskan matahari yang rasanya tak kunjung meninggi. Kupikir lebih baik aku diam saja sementara di dalam sambil packing barang bawaan. Begitu matahari terlihat, aku harus pergi bawa mereka turun. "Opik ...," panggil Alika dari luar tenda tiba-tiba. "Ya," jawabku dari dalam tenda."Sarapan pakai mie sama telur, gak apa-apa ya ... biar cepat kita berangkat," ucap Alika."Iya, apa aja yang penting cepat," balasku.Setelah beberapa menit menunggu, kuintip dari lubang tenda untuk memastikan kakek itu pergi. Karena kurasa aman, aku pun segera keluar setelah yakin dia benar-benar tidak di sana lagi. Aku bersyukur karena cuaca semakin cerah dan kabut sudah tak lagi melingkupi kami.Kulihat di atas karimat, empat piring mie kuah sudah tertata. Terlihat jelas uap hangat menari-nari di atas kuah mie yang panas. Aku pun makan dengan cepat agar segera habis dan dapat pergi dari sini sebelum Alit turun ke danau.Di p
#PJSR2____________PoV Opik____________"Opik ... Opik!" teriak Utari menunjuk ke arahku sambil menangis.Sontak beberapa orang pendaki melompat ke dalam air karena mengira aku tenggelam. Padahal, aku bisa berenang dan hanya sedang mencari keberadaan Mila yang ternyata tidak berada di sini. Mila berada di tepi bersama Utari dan Alika.Sambil tangan dan kakiku terus mengayuh berenang, aku terheran, siapa yang baru saja kulihat kalau Mila ada di sana? Tiba-tiba, dari dalam air danau yang dingin, kulihat sebentuk benda bulat besar menyembul berwarna kekuningan. Awalnya, kukira itu adalah alat bantu renang yang di bawa pendaki, tapi semakin kuperhatikan, ia semakin mendekat, lalu tiba-tiba berkedip. Aku pun panik dan berusaha menjauh secepat mungkin karena sepasang mata yang sangat besar itu semakin mendekat ke arahku. Ia seakan mengintai dari balik kabut pekat."Ahhh, tolong!" teriakku dengan suara bergetar.Sebisa mungkin aku berusaha berenang kembali ke tepian, tapi air yang tadinya
Ket: Tim danau sebelum gempa terjadi______________PoV Opik______________Malam lembab dengan kabut cukup tebal menyelimuti area perkemahan danau Segara Anak. Kulihat jam yang melingkar di tanganku baru saja menunjukkan pukul 7.30 malam. Suasana di danau cukup padat oleh tenda-tenda pendaki. Bulan ini memang bulan padat pengunjung mendaki Rinjani. "Masak apa, Pik? Wangi butter-nya enak banget," tanya Utari sambil sedikit mengangkat dagu membaui udara dari pintu tenda."Eh, ini ... aku bikin pancake, buat makan malam kita," jawabku sambil membalik adonan yang sudah mulai kering di bagian bawahnya.Mendengar jawabanku, Utari keluar dari tenda dan melangkah ke arahku."Mila mana?" tanyaku karena tak melihat adanya Mila di tenda perempuan."Tuh, dia jalan ke sana tadi, kayanya dia lagi pengen sendiri. Oh ya, Bang Ron itu siapa, terus Mila siapanya Bang Ron?" tanya Utari penasaran."Waduh, aku merinding bahas masalah itu, Tari. Kita omongin itu nanti aja ya kalau udah di bawah.""Dikit
#PJSR2__________________PoV Bang Ochi__________________Ternyata ini adalah moment yang dinanti Alit. Kupikir hanya rencanaku saja, tapi bagaimanapun juga laki-laki harus tetap kokoh. "Bang Ochi, mau ke mana? Aku ikut." Citra melangkah cepat membuntutiku di belakang."Gak ke mana-mana, anginnya kenceng banget, cuma mau ke sana," tunjukku ke balik batu besar bermaksud menghindari terpaan angin langsung. Dari tempatku yang agak rendah, drama katakan cinta itu tak terlihat, suaranya pun terbawa pergi bersama angin. Apapun jawabannya, tidak perlu aku tahu di gunung ini. "Ih, Abang ... jalannya cepet banget, sih," ucap Citra mencoba mendahului."Lagian kamu ngapain ikut? udah sana puas-puasin foto, ntar lagi kita turun," balasku sambil menyandarkan punggung pada permukaan batu yang tampak kecokelatan.Baru saja aku bersandar melepas lelah, kulihat ada sesuatu yang aneh terjadi pada Kakek Mustafa. Ia berjalan turun meninggalkan teman-teman yang sedang asyik berfoto. Tiba-tiba, ia terd
#PJSR2_______________PoV Bang Ochi_______________Di puncak, sudah ada teman-teman yang sedari tadi menunggu kedatangan kami. Bersamaan dengan udara yang semakin menghangat, kaki terus melangkah menapaki titik tertinggi pulau Lombok."Ra, itu lima langkah ke sana, itu puncak tertinggi Rinjani. Ayo sana!" suruhku sambil menunjuk sudut tempat bendera tertancap."Kata Abang tadi mau samaan," balas Zahra."Tugasku kan cuma ngedampingi kamu sama teman-teman yang lain, Ra," ucapku dengan senyum."Abaang, aku tu mau kita samaan ke sana," balas Zahra semakin menitikkan air mata.Melihatnya meminta seperti itu, tak tega rasanya kutolak. Aku pun mengangguk sebagai tanda menyetujui.Dari puncak tertinggi, pemandangan sungguh menakjubkan dengan birunya danau Segara Anak dan Gunung Baru Jari yang masih aktif mengeluarkan asap vulkanik. Diah yang sudah menunggu, berteriak memanggil nama Zahra dan mereka pun saling menghambur berpelukan.Ada tangis haru yang tak dapat lagi mereka bendung. Meliha
_____________Pov Bang Ochi_____________Engahan napas terdengar di mana-mana. Ratusan pendaki berjalan pelan pada jalur yang tak lebar. Jarak pandang kami terbatas hanya sejauh pendaran cahaya headlamp. Debu-debu tampak beterbangan menyesaki kami sepanjang jalur menuju punggungan. Kami terus berusaha mencapai punggungan walau sesekali terbatuk karena debu dan terpeleset karena kemiringan jalur. Jalur pendakian memang cukup sulit untuk dilewati karena butiran pasir sebesar biji ketumbar membuat pijakan kaki tidak menapak dengan baik pada permukaan tanah yang miring."Ayo semangat." Sambil menyeka keringat yang mengalir di kening, Alit terus memberi semangat untuk tim. Ratusan cahaya headlamp memenuhi jalur pendakian dan menciptakan suasana ramai pada jalur selebar kurang dua meter. Pendaki lokal dan mancanegara pun saling menyemangati untuk menaklukkan puncak di malam yang beku.Di posisi paling belakang, aku bersama Kakek Mustafa memantau pergerakan teman-teman agar tak salah arah.
________________PoV Bang Ochi_________________Waktu menunjukkan pukul satu dini hari. Udara cukup tenang dan langit tampak bersih dari gumpalan awan, tak ada tanda-tanda akan datangnya badai angin ataupun hujan. Satu per satu cahaya headlamp terpendar dari para pendaki yang bersiap menaklukkan puncak setinggi 3.726 MDPL.Dari dalam tenda dengan pintu yang kubuka menganga, kulihat Alit sedang membangunkan teman-teman agar melakukan persiapan untuk summit attack malam ini. Sesuai kesepakatan, pendakian menuju puncak akan dilakukan pukul dua dini hari ini. Setelah membangunkan teman-teman, Alit melangkah ke arahku."Bang Ochi, bisa bantu kasih arahan ke teman-teman? Kita briefing dulu sebelum berangkat," ucap Alit dengan nada pelan."Apa gak kamu aja sekalian, Lit, kan kamu leadernya." Aku menolak dengan halus."Ayolah, Bang ... Abang punya pengalaman lebih ketimbang aku, jadi Abang bantu sekedar untuk kasih arahan aja," desak Alit."Tapi, yang mimpin sampai ke puncak tetap kamu, ya."