Jake menghembuskan napas kasar. Mulai lagi, batinnya. Sejujurnya dia geli melihat sikap Sabrina yang sok manja begitu.“Kamu nggak pengen duduk?” kata Jake. Dia menyingkirkan tangan Sabrina.“Eh, iya,” kata Sabrina.***Tony menemui pelatihnya sepulang dari kampus. Laki-laki itu mendatangi rumah pelatihnya untuk membicarakan tentang rencana keikutsertaan Emma dalam liburan ke Bali. Dia melakukan itu tanpa memberi tahu Emma terlebih dahulu. Dia berniat memberikan kejutan.Rumah pelatih Tony tampak megah dilihat dari luar. Rumah dua lantai itu memiliki halaman cukup luas dengan keseluruhan dilapisi rumput. Di pinggir-pinggirnya ada banyak tanaman bungga yang berjajar rapi mengelilingi halaman. Di tengah taman itu ada seperti jalan sepanjang sekitar satu meter yang memanjang dari gerbang sampai ke depan teras.Karena gerbang rumah terbuka, Tony segera saja masuk setelah turun dari mobil. Setibanya di depan pintu, dia mengucapkan salam dan memencet bel beberapa kali.Pak Amin membuka pint
“Emma, apa kamu sudah tidur, Nak?” terdengar suara Lily.“Belum, Bu,” sahut Emma. Dia lalu memutar handle pintu.“Ibu membawakan teh hangat untukmu,” Kata Lily. Dia lalu meletakkan cangkir yang dia bawa ke meja, “loh nugasnya sudah selesai kah?”Emma menggeleng. “Belum sih,” kata Emma. Dia duduk di ranjang.“Kok nggak dilanjutin?” tanya Lily, “nggak urgent?”“Nggak sih, Bu,” sahut Emma, “lagian Emma mau nyiapin buat liburan ke Bali.”Lily mengerutkan kening. “Liburan ke Bali?” ulangnya, “kapan? Kok kamu nggak pernah cerita sama Ibu?”Emma berjalan menuju almari pakaian lagi. “Tim Tony menang futsal,” kata Emma sambil memilah-milah baju, “dia dapet hadiah liburan ke Bali.”“Terus kamu diajak gitu?” tanya Lily.“Iya,” sahut Emma.“Wah, pasti seru!” kata Lily.Emma tersenyum. “Iya, Bu,” katanya, “akhirnya setelah sekian tahun aku hidup di bumi bisa juga ke Bali.”Wajah Lily semringah, tapi juga sendu secara bersamaan. Di satu sisi, dia senang karena Emma akhirnya bisa berwisata ke pulau
Jake seketika terdiam dan tidak menyahut lagi. Dia tidak mau terjadi percekcokan di waktu yang seharusnya tercipta kesenangan. Dia membiarkan Tony mengambil alih tas dan koper Emma.“Kamu udah bawa ransel tapi masih bawa koper juga, isinya apa aja sih banyak banget?” tanya Jake.“Baju aja sih,” kata Emma, “sama ada bekal dari Ibu. Entar kita makan bareng-bareng kalo waktunya makan siang.”“Emma ... aku ....” Kata-kata Jake terputus. Dia ragu Emma akan meminta permintaan maafnya untuk Sabrina.“Ada apa?” tanya Emma.“Aku minta maaf kalau Sabrina sering mengganggumu,” katanya.Emma tersenyum tipis. “Kalau Sabrina yang berulah, kenapa harus kamu yang minta maaf?” tanyanya.Jake menggelengkan kepalanya. “Aku cuma merasa bersalah,” katanya, “aku negrasa kalo kamu nggak pantes mendapatkan perlakuan kayak begitu dari Sabrina.”“Kalo kamu nggak deket-deket sama Emma malah bakalan lebih bagus kayaknya,” sahut Tony, “karena biasanya Sabrina nyerang Emma karena dia cemburu.” “Tony, kamu kenapa
“Baru banget nyampe,” kata Jake, “itu si Ethan lagi mandi. Gantian habis ini aku.”Sabrina mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia lalu merangkul Jake dari belakang. “Tujuan pertama mau ke mana?’ tanyanya. Suaranya dibuat-buat selembut mugkin.“Ke Kuta dulu kayaknya,” kata Jake.Sabrina mundur dan melepaskan tangannya saat mendengar suara deheman Ethan. Seketika dia menoleh ke arah pintu kamar mandi.“Keluar sana,” usir Ethan, “aku mau ganti baju.”“Berani kamu ngusir aku?!” sahut Sabrina.“Ya udah,” kata Ethan. Dia lalu memegang boksernya, hendak menurunkannya dari pinggang.“Stop ...,” kata Sabrina, “ya udah aku keluar.”***Emma melihat bayangannya di cermin sekali lagi sebelum akhirnya menganbil tas. Dia lalu memakai sepatunya dan berjalan menuju pintu. Saat dia membuka pintu, rupanya Tony sudah ada di depan.“Kamu udah lama di sini?” tanya Emma.“Baru sih,” balas Tony.“Yaudah, ayo kita ke bus,” kata Tony.Di sekitar bus rupanya sudah ada banyak mahasiswa mereka sudah bersiap naik sa
“Nggak,” sahut Sabrina dengan nada tinggi, “aku nyariin Jake. Di mana dia?” Emma terbahak. Suaranya nyaring dan melengking. Dalam hitungan detik, Sabrina merinding. Tapi dia terus menatap Emma dengan tatapan sinis. “Ditanya tuh dijawab, bukannya malah ketawa,” balas Sabrina, “nggak sopan!” “Aku nggak tahu dia di mana,” sahut Emma pelan. Dia lalu tertawa lagi lebih kencang. “Orang gila!” kata Sabrina. Dia lalu berjalan melewati Emma. “Kita cari Jake,” kata Sabrina. Dia mencari ke kolong-kolong ranjang. Dan di samping nakas. Semetara Desy mencari dengan membuka-buka almari. Anne sendiri mencari di kamar mandi. Saat Sabrina sedang menungging dan memperhatikan kolong ranjang, tiba-tiba lampu kamar padam. Refleks dia mengumpat,”sialan,” katanya. Dari dalam kamar mandi dia mendengar suara jeritan Anne. Desy yang tak jauh darinya berlari mendekatinya dan menepuk-nepuk kakinya. “Sabrina, aku takut,” kata Desy. Sabrina lalu mengeluarkan kepalanya dari kolong ranjang. Dia mencari Emma. “
Emma duduk di kursi meja rias. Sementara Tony duduk di tepi ranjang.“Menurut kamu tadi Sabrina tuh ngarang nggak sih?” kata Tony.“Kenapa kamu mikir gitu?” tanya Emma.“Ya kali aja dia takut kepergok masuk-masuk kamar kamu terus mereka ngada-ngada biar nggak kita tuduh macem-macem,” kata Tony.“Tapi kalopun ngarang kok skenarionya perfect banget sih?” kata Emma, “ah, udahlah kamu jangan suudzon.”Tony mengangkat bahu. “Bukan niat suudzon sih,” katanya, “salah sendiri keseringan ngelakuin hal negatif. Sama kayak orang yang keseringan bohong, sekalinya dia jujur nggak akan ada yang percaya.”Emma berjalan mendekati jendela kamarnya. Dia lalu menyibak kelambu. Pandanganya tertuju ke luar jendela. Dia tersenyum melihat pemandangan kota Denpasar yang indah di malam hari. Mendadak dia kangen pada Robin dan Lily yang saat ini ada di rumah.“Tony,” kata Emma.“Ada apa?” sahut Tony.“Kok tiba-tiba aku kangen orang rumah ya,” katanya, “pengen banget begitu suatu hari bisa liburan bareng merek
Ethan membuka matanya. Dia kaget saat menyadari Jake tak ada di sampingnya. Dia lalu bergegas turun dari ranjang. Dia mencari Jake di kamar mandi, tapi di sana dia juga tak menemukan temannya itu. Saat berniat menelepon Jake, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Dia membelalakkan mata karena sadar pintu kamarnya tak terkunci.“Kamu dari mana?” tanya Ethan saat Jake berjalan mendekatinya.“Semalem, Sabrina nelfon aku. Dia minta aku tidur di kamarnya,” kata Jake, “maaf aku nggak sempet bangunin kamu soalnya tidurmu pules banget. Jadi, ya secara otomatis pintunya nggak kekunci deh.”Mata Ethan berbinar. Dia lalu tersenyum penuh arti.“Kenapa?” tanya Jake.“Dibilangin juga apa,” sahut Ethan, “jadian sama cewek yang nggak kamu suka itu nggak sepenuhnya nggak enak. Nikmatin aja yang ada. Kamu bakalan tetap untung.”Jake geleng-geleng kepala. “Aku nggak ngapa-apain.” Katanya, “jangan aneh-aneh pikiranmu.” Dia lalu mengambil handuk dari dalam tasnya.“Lah, udah sekamar kenapa nggak diapa-apain?”
“Jangan mentang-mentang kamu anak orang kaya terus kamu bisa seenaknya!” kata Tony.Emma lalu mendekati Tony. “Sudah, Tony,” katanya.Emma tentu saja tak terima dengan kata-kata Tony. “Emang kenyataannya kekayaan bisa membuatku beli apa aja dan apa aja sesukaku,” sahut Sabrina, “kenapa? Kamu nggak terima?’“Sabrina, kita tahu kamu punya segalanya dan mungkin bisa membayar karaoke di sini sampai berjam-jam tapi kita kesini bertujuh. Kamu nggak mau gitu ngasih kesempatan buat yang lain?” kata Emma.“Belain aja si Tony!” kata Sabrina. Dia lalu mendorong Emma dengan kedua tangan, hingga tubuh gadis itu terpental dan jatuh meringkuk di sofa.Melihat itu, Tony refleks memegang pundak Emma. “Emma, kamu nggak apa-apa kan?” tanyanya. Firasatnya tak enak karena dia merasakan tubuh Emma bergetar.Benar saja, beberapa detik kemudian dia melihat Emma bangkit dengan mata melotot. Gadis itu lalu menyerang balik Sabrina. Dia mendorong Sabrina hingga gadis itu jatuh terduduk di meja.“Sialan kamu ya!”
Hari pertama menjalani kegiatan di kampus Emma merasa sangat tidak nyaman. Dia tidak mudah berkenalan dengan orang baru karena tidak semua orang bisa memahaminya. Akibatnya, Emma jadi sering menyendiri. Baik di kelas, perpustakaan atau di kantin, dia jarang terlihat berbaur dan mengobrol dengan mahasiswa lain. Keadaan itu membuat banyak mahasiswa di kampus yang menganggap Emma sombong. Sehingga akhirnya ada banyak mahasiswa di kampus yang membenci Emma. Banyak yang memusuhi Emma secara diam-diam. Tapi tak sedikit juga yang memusuhi Emma secara terang-terangan. Akibatnya, hampir setiap hari ada saja yang membuat Emma marah dan mengamuk karena selalu ada yang mengganggunya. Puncaknya adalah saat ada yang menganggu Emma saat gadis itu makan siang sendirian di kantin.“Sombong banget sih ke mana-mana sendiri terus,” kata seorang gadis berambut sebahu.“Mungkin dia ngerasa paling cantik kali di sekolah ini. Atau dia kayak gini biar banyak yang ngedeketin. Ala-ala misterius,” kata gadis y
Karena tak ada respon setelah mengetuk pintu beberapa kali, Anne memutuskan untuk menelepon Desy. Setelah panggilan keempat baru teleponnya direspon.“Ada apa, Anne?” tanya Desy dari seberang. Suaranya terdengar sangat pelan.“Kamu ada di rumah?” tanya Anne.“Iya,” sahut Desy.“Kok ...,” Anne menghentikan kalimatnya karena dia melihat seorang bapak-bapak keluar dari rumah Desy. Sebatas yang dia ingat, itu bukan Ayah Desy. Apakah orang itu kerabatnya Desy yang dia tidak kenal sebelumnya?“Kamu masuk aja,” kata Desy.Anne seketika memutuskan sambungan telepon dan masuk ke melewati pintu yang terbuka. Setelah menutup pintu, dia berjalan ke tengah bagian rumah. Tempat yang dia tuju tentu saja kamar Desy.Anne mengerutkan kening saat masuk ke kamar Desy dan melihat ranjang gadis itu berantakan. Dia takut terjadi apa-apa dengan Desy.“Desy, kamu di mana?” tanya Anne. Dia menghembuskan napas lega saat mendegar suara keran dari kamar mandi.“Orang laki-laki yang tadi keluar dari rumah kamu si
Tiga hari setelah demo terakhir dilakukan, kedua orang tua Emma dipanggil ke kampus. Mereka berdua diminta untuk bertemu dengan Bu Marta langsung di ruangannya. “Selamat pagi,” kata Tony sambil mengetuk pintu ruangan Bu Marta ketika langkahnya terhenti di depan ruangan kepala sekolah itu.Bu Marta menatap ke arah pintu. “Selamat pagi,” katanya, “silakan masuk.”Bu Marta mengambil napas dalam sebelum berbicara dengan Robin dan Lily. “Sebelumnya saya mewakili pihak sekolah ingin mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya,” kata Bu Marta.“Apa tidak bisa dinegosiasikan lagi, Bu?” tanya Robin, “kita semua sama-sama tahu kan kalau semua kekacauan yang Emma perbuat bukan murni keinginan Emma. Ada mahluk astral yang mengendalikannya.”Bu Marta mengangguk. “Kami sudah berusaha semaksimal mungkin menjelaskan kepada para orangtua mahasiswa itu. Tapi mereka tak ada yang mau peduli. Alasan mereka, mereka tidak mau kekacauan itu terulang terus. Mereka tidak mau kalau nanti anak mereka dan yang lainny
Orang tua Yosi dan Burhan kompak mengajak puluhan orang tua mahasiswa lain untuk melakukan demo ke kampus. Mereka semua menuntut agar Emma dikeluarkan karena tingkahnya yang sangat meresahkan. Mereka tak hanya melakukan demo sekali, tetapi sebanyak tiga kali dalam seminggu.Fakta itu tentu saja membuat pihak sekolah bimbang. Di satu sisi, mereka tidak bisa mengabaikan permintaan wali murid. Tapi, di sisi lain, mengeluarkan Emma dari kampu begitu saja juga bukan pilihan yang paling tepat. Bagaimana pun juga, Emma adalah salah satu mahasiswa yang cukup berprestasi. Mereka bahkan mempunya beberapa rencana untuk mengikuti lomba dalam kurun waktu beberapa bulan ke depan. Dan salah satu mahasiswa yang akan mereka ikutkan untuk lomba itu adalah Emma.Tak hanya pihak sekolah yang dibuat pusing oleh demo yang dilakukan para orang tua mahasiswa itu. Emma dan orang tuanya juga dibuat pusing. Yang paling tertekan dengan kedaan itu tentu saja Emma. Hampir setiap hari dia menangis karena lelah meng
Sabrina tak peduli jika pada akhirnya Desy muak dengan sikapnya dan gadis itu meninggalkannya. Dia tetap fokus pada niatnya untuk membuat Emma dikeluarkan dari sekolah. Maka dia mencari tahu dua mahasiswa yang kemarin menjadi korban amukan Emma di kantin. Dari informasi yang berhasil Sabrina himpun dari orang-orang suruhannya. Dia menemukan nama dan kelas dua mahasiswa itu. Bahkan Sabrina juga tahu alamat rumah mereka. Tapi sebelum memutuskan untuk mendatangi orang tua mereka di rumah mereka, Sabrina memutuskan untuk menghampiri mereka di kelasnya terlebih dahulu. Yang pertama Sabrina datangi adalah Yosi. Laki-laki berpostur jangkung itu tengah duduk di kursi yang ada di depan kelas ketika Sabrina datang. “Hei, gimana kabarnya?” kata Sabrina. Dia duduk di samping Yosi, “luka kamu yang kena amukan Emma kemarin masih sakit?” “Lumayan sih. Ada beberapa luka gosong kebiruan dan luka goresan karena kena lantai dan bangku kantin,” kata Yosi, “ini masih mendingan. Si Burhan malah hari ini
Emma pikir, Sabrina memang akan benar-benar berubah. Dia pikir gadis itu akan menepati janjinya. Tapi ternyata tidak. Pada akhirnya gadis itu berulang lagi. Entah disengaja atau tidak, saat berad di kantin, tiba-tiba saja Sabrina menjatuhkan minuman yang masih agak panas dari belakang. Cairan kopi itu mengenai punggung Emma, mengenai kemejanya dan tembus hingga ke kulitnya.Emma merasakan rasa skit dan panas doi punggungnya. Seharusnya dia pergi ke toilet. Dan memang sebenarnya dia berniat pergi ke toilet. Namun, Emosinya lebih dulu meledak. Seperti biasa, mahluk astral itu menguasainya lagi. Membuatnya lepas kendali.Sadar berhasil memancing Emma, Sabrina pun tersenyum-senyum. Tetapi sebisa mungkin dia berusaha meminta maaf agar segalanya tak terlihat mencolok.“Maaf ya, Emma,” katanya kepada Emma.Emma tak menyahut. Dia mengerang dan mencengkeram pergelangan tangan Sabrina. Matanya melotot dan bola matanya berputar-putar. Dia mengerang. Lalu kuku-kukunya yang panjang mencakar kulit
Emma masuk kuliah lagi, tiga hari dari hari pertama dia di rumah sakit. Sebelum masuk ke dalam kelas, Ethan dan Jake menyambutnya di ambang pintu. Mereka mengulurkan tangan dan agak sedikit membungkuk seperti mempersilakan otang penting. Emma tersenyum melihatnya.“Kalian ini kayak aku siapa saja,” kata Emma.Baru duduk sebentar, Tony lalu berdiri lagi. Dia lalu mengajak Ethan dan Jake keluar kelas.“Aku nggak diajak nih?” tanya Emma.“Aku mau ngobrol sebentar sama mereka,” kata Tony. Dia lalu tersenyum, “ini urusan laki-laki.”Emma menghembuskan napas kasar. “Males banget deh kalo bawa-bawa gender,” katanya.“Bentar doang kok,” kata Tony.Tony, Ethan dan Jake lalu berjalan keluar kela. Mereka menghentikan langkahnya di taman. Tony lalu memilih bangku yang ada di sudut taman untuk duduk. Tempat itu lumayan jah dari jangkauan orang-orang karena kanan dan kirinya adalah barisan tembok ruang dekan.“Kamu ngapain sih ngajak kita ke sini?” tanya Jake setelah dia duduk.“Aku mau ngomong ser
Saat Sabrina masuk, Jake sedang mengobrol dengan Emma. Laki-laki itu berdiri di dekat ranjang sambil agak membungkuk, mendengarkan suara Emma yang mungkin masih terdengar pelan. Dia membelakangi Sabrina. Di sampingnya ada Ethan. Sementara itu, Tony berdiri di sisi ranjang yang lain sehingga dia menjadi orang yang lebih dulu mengetahui kehadiran Sabrina.Karena menyadari arah pandang Tony, Jake akhirnya menoleh.“S ... sore semua,” kata Sabrina.Tony tak menyahut. Emma juga. Yang menyahut adalah Jake. “Sore,” ujarnya pelan. Dia lalu menghadap Emma lagi.“Emma sakit apa? Habis jatuh kah?” tanya Sabrina karena dia melihat ada bekas jahitan di kening Emma sebelah kanan.“Iya,” sahut Sabrina pelan.“Sekarang udah mendingan apa masih sakit?” tanya Sabrina.“Udah mendingan kok,” sahut Emma.“Maaf ya, aku nggak sempet beliin apa-apa,” kata Sabrina.“Nggak apa-apa,” sahut Emma.Sejujurnya, Emma tidak yakin Sabrina tulus. Dia sebenarnya malas menanggapi gadis itu. Rasanya mustahil seorang Sabri
Saat jam istirahat siang, Jake dan Ethan kelimpungan mencari Tony dan Emma di kelasnya. Mereka bertanya-tanya ke mana perginya dua orang itu. Jake yang paling penasaran. Tentu saja. Setelah duduk di meja kantin, Jake lalu menelfon Emma. Karena tak ada tanggapan dari gadis itu, dia lalu menelfon Tony. “Aku yakin sih ini mereka pasti pergi berdua,” kata Jake selagi menunggu panggilannya mendapat respon dari Tony. “Kayaknya sih,” sahut Ethan sambil menyendok basonya. “Kamu bolos bareng Emma ya?” kata Jake setelah mendengar suara Tony dari seberang. “Bolos ... bolos kepalamu? Aku lagi jenguk Emma di rumah sakit,” sahut Tony. “Rumah sakit?” ulang Tony, “Emangnya Emma sakit apa?” “Ceritanya panjang. Entar juga kamu tahu sendiri kalo ke rumah sakit,” sahut Tony. “Di rumah sakit mana?” tanya Jake. “Biasa. Yang deket sama rumah Emma,” sahut Tony. “Siapa yang sakit?” tanya Ethan setelah Jake meletakan ponselnya di atas meja. “Emma,” jawab Jake. “Sakit apa?” sahut Ethan. Dia membelala