“Emangnya kamu mau cari cowok yang kayak gimana buat diumpanin ke Sabrina?”Jake menghembuskan napas panjang. Dia lalu mengangkat bahu. “Sebenernya aku juga nggak tau Sabrina tuh sukanya cowok yang kayak gimana?” katanya.“Menurut kamu pa aku harus cari orang yang setipe kayak aku atau asal ganteng dan kaya aja?” kata Jake lagi.Ethan berdecak. “Menurutku, kamu nggak perlu bikin Sabrina suka sama cowok itu sih,” kata Ethan, “kayak yang sebelumya pernah kita bahas. Cukup bikin skenario aja seolah kamu lagi mergokin dia lagi jalan sama cowok lain sehingga kamu punya alesan buat mutusin dia. Yang kamu butuhin cuma alesannya itu.”Jake menganguk-angguk. “Paham ... paham,” katanya.***Emma menatap bayangan wajahnya di cermin. Dia menatap mata, hidung, bibir dan semua bagian wajahnya dengan teliti. Semuanya baik-baik saja. Tak ada yang berubah. Bentuk hidung, mata dan mulutnya masih sama seperti biasa. Kulitnya juga sama seperti biasa.Kadang Emma heran bagaimana proses mahluk astral itu b
Balasan dari Emma masuk kurang dari satu menit.Emma:Halo, Tony, ini Lily. Emma masih dalam proses perawatan. Sekarang dia sedang beristirahat.Tony membelalakkan mata setelah membaca balasan itu. Dia lalu mengetik balasan dengan cepat.Anthony:Emma sakit apa, Tante? Dirawat di rumah sakit mana?Karena lebih dari lima menit tak ada balasan, Tony pun memutuskan untuk masuk ke dalam mobil lalu berangkat ke kampus. Mungkin Lily masih sibuk merawat Emma.***Selama berada di dalam kelas, Tony sama sekali tidak bisa berkonsentrasi. Terlebih saat melihat ponselnya beberapa kali dan tak kunjung dia dapatkan balasan dari Emma, Tony malah menjadi gelisah. Dia takut kalau Emma sakit karena salah makan saat liburan di Bali. Kalau benar begitu, dia akan merasa sangat bersalah.Tony baru bisa bernapas lega saat istirahat siang di kantin. Akhirnya balasan dari Emma masuk ketika dia mengecek ponselnya.Emma:Aku habis kerasukan lagi. Aku jatuh dari jendela. Jangan minta aku jelasin lewat chat. Dat
Jake mengecilkan suara televisi di ruang tengah. Merasa haus, dia lalu berjalan ke dapur dan mengambil air minum. Saat kembali ke ruang tengah, dia melihat Ethan. Laki-laki itu datang sendirian. Jake lantas menghembuskan napasnya dengan kasar. Dia sudah menduga Tony tak mau ikut. Dia lalu melemparkan tubuhnya ke sofa.“Tony bilang apa?” tanya Jake.“Dia bilang, dia lagi ada banyak tugas,” jawab Ethan, “kamu kenapa deh nonton tivi suaranya kecil banget.”“Ya tadi abis aku tinggal ke dapur, makanya aku kecilin soalnya nggak ada yang lihat,” sahut Jake, “betewe, kamu percaya sama alasannya Tony?”Ethan menggeleng. “Nggak,” jawabnya, “kamu?”Jake tertawa. “Nggak juga,” balasnya setelah tawanya reda.“Nggak tau kenapa ya kok belakangan ini sikap Tony agak aneh,” kata Ethan.Jake tersenyum kecut. “Semuanya salahku,” katanya.Ethan mengalihkan perhatiannya dari layar televisi ke Jake. “Maksud kamu?”“Aku kan pernah bilang kalo aku suka sama Emma,” sahut Jake.“Heeh,” balas Ethan, “terus?”“N
Jake mendengar suara notifikasi chat dari ponselnya saat dia baru saja akan memejamkan mata. Dia lalu bangkit dan mengambil ponsel yang dia letakkan di samping tubuhnya. Dia mengerutkan kening ketika menyadari chat yang masuk itu datang dari nomor tak dikenal. Namun setelah membaca isi chatnya, senyumnya mengembang.Dave memberi tahu kalau Sabrina sudah mengikuti balik akun Instagramnya. Dengan cepat, Jake lalu mengetik balasan untuk Dave.Jake:Bagus. Lanjutkan.***Tony membuka-buka album kenangannya ketika SMA. Seingatnya, dia pernah punya teman seangkatan yang indigo waktu SMA. Anak itu dulu beberapa kali pernah membantu murid yang kesurupan di sekolah. Kalau Tony tidak bisa melawan mahluk astral yang mengganggu Emma itu sendirian, mungkin dengan bantuan temannya itu dia bisa melakukannya.“Siapa ya nama anak itu?” gumam Tony sambil membolak-balik halaman album.“Seingatku dia anak Ilmu Sosial enam,” gumam Tony lagi. Dia lalu membuka album kelas Ilmu Sosial enam. Saat menemukan n
Saat mendekati alamat Tiwi, Tony mengemudikan mobilnya dengan hati-hati. Satu demi satu nomor rumah yang ada di kompleks perumahan itu dia amati. Saat melihat nomor rumah yang sesuai dengan yang tertulis di alamat, Tony pun menghentikan mobilnya.Setelah turun dari mobil, Tony pun berjalan mendekati pagar rumah berwarna abu-abu itu. “Permisi,” katanya sambil menggerak-gerakkan besi pengunci di pagar itu.Tak lama kemudian seorang wanita keluar dari rumah. Tony menduga itu adalah ibunya Tiwi.“Selamat siang, Tante, apa benar ini rumahnya Tiwi?” tanya Tony.Wanita yang berdiri di depan Tony mengangguk. Dia lalu membukakan pagar. “Kamu ini siapa?” tanya wanita itu setelah mendorong pagar.“Saya Tony, teman SMA-nya Tiwi, Tante,” kata Tony, “Tiwinya ada nggak, Tante?”“Oh, ada,” balas wanita bercepol itu, “dia ada di kamarnya sedang mengerjakan tugas. Ayo masuk.”“Tiwi ... Tiwi ... !” ibu Tiwi berjalan masuk sambil memanggil-manggil nama anaknya setelah mempersilakan Tony duduk.Tiwi muncu
Emma sedang duduk di teras rumahnya saat dia melihat Tony datang. Laki-laki itu berjalan tergesa melewati halaman rumahnyasetelah dia turun dari mobil.“Hei, Tony, ada apa?” kata Emma sambail berdiri, “tumben kamu dateng nggak ngabarin dulu?”Tony tersenyum. “Iya,” katanya, “ada yang mau aku omongin.”“Apa?” tanya Emma, “Eh, duduk dulu.”Keduanya lalu duduk di kursi teras.“Apa ... apa ... kamu mau ngomong apa?” tanya Emma.“Aku ada kenalan anak indigo,” kata Tony, “di sekolah dulu dia suka bantuin kalo ada anak kesurupan.”Emma mencoba mengingat-ingat orang yang dimaksud Tony. Keningnya sampai berkerut-kerut. “Kayaknya aku pernah denger,” katanya, “tapi aku nggak tahu orangnya.”Tony tersenyum. “Namanya Tiwi,” katanya, “kemarin aku sudah ke rumahnya dan dia setuju mau bantu kamu.”Mata Emma berbinar. “Beneran?’ katanya. Tony mengangguk, “baik banget.”“Rencananya, besok aku mau ngajak dia ke hutan,” kata Tony, “aku mau dia ngajak mahluk astral itu berkomunikasi. Kalau bisa, aku mau d
Emma, Jake, Ethan dan Tony berkumpul di rumah rahasia. Mereka berempat duduk di ruang tengah. Karena merasa kampus bukan lagi tempat yang aman untuk berkumpul, akhirnya mereka memutuskan untuk bertemu di sana ketika jam kuliah selesai.“Emma, aku minta maaf atas kejadian di kampus tadi,” kata Jake.Emma tersenyum miris. Dia lalu menghembuskan napas panjang. “Aku berharap semester tahun ini cepet selesai biar Sabrina cepetan keluar dari kampus.”“Aku juga ngarep gitu,” kata Ethan. Dia mengambil sebuah keripik dari dalam toples lalu memasukkannya ke mulut.“Kalo emang satu-satunya tempat teraman yang bisa kita pakai buat kumpul Cuma tempat ini ya berarti kita cuma bisa ketemu di sini,” kata Tony.Jake menghembuskan napasnya dengan berat. “Terus kalo di kampus kita jadi kayak orang nggak saling kenal gitu?” katanya, “di kantin bareng tapi nggak satu meja.”“Kok lucu ya ngebayanginnya,” kata Emma, “kayak orang lagi musuhan.” Dia lalu tertawa.“Terus mau gimana lagi,” kata Tony. Dia menata
Tiwi datang ke hutan sendirian. Meski baru datang ke hutan itu dua kali, dia sudah menyukai tempat itu. Setelah tiba di lokasi yang ditunjukkan Emma kemarin, Tiwi menghentikan langkahnya. Dia berusaha mencoba melakukan negosiasi lagi dengan mahluk astral itu.Tiwi berkonsentrasi untuk memanggil mahluk astral itu. Dalam hitungan menit, dua mahluk astral itu. Satu anak kecil laki-laki dan yang lainnya perempuan seusianya. Tiwi lalu berjalan mendekati dua mahluk itu.“Hei, nama kalian siapa?” tanya Tiwi.Anak kecil di depan Tiwi menatap Tiwi tajam. “Dion,” kata anak kecil itu.Tiwi mengangguk-angguk. “Kalau kamu?” Dia berpaling pada anak perempuan yang berdiri di samping Dion.“Lala,” jawab anak perempuan itu.“Aku Tiwi,” kata Tiwi. Dia tersenyum pada Dion dan Lala, tapi mereka berdua tak ada yang membalas senyuman Tiwi. Mereka diam saja dan wajahnya tanpa ekspresi.“Anak perempuan yang datang ke sini kemarin, itu temanku,” kata Tiwi. Dia menatap Dion, “dia tidak sengaja mengambil mainan
Hari pertama menjalani kegiatan di kampus Emma merasa sangat tidak nyaman. Dia tidak mudah berkenalan dengan orang baru karena tidak semua orang bisa memahaminya. Akibatnya, Emma jadi sering menyendiri. Baik di kelas, perpustakaan atau di kantin, dia jarang terlihat berbaur dan mengobrol dengan mahasiswa lain. Keadaan itu membuat banyak mahasiswa di kampus yang menganggap Emma sombong. Sehingga akhirnya ada banyak mahasiswa di kampus yang membenci Emma. Banyak yang memusuhi Emma secara diam-diam. Tapi tak sedikit juga yang memusuhi Emma secara terang-terangan. Akibatnya, hampir setiap hari ada saja yang membuat Emma marah dan mengamuk karena selalu ada yang mengganggunya. Puncaknya adalah saat ada yang menganggu Emma saat gadis itu makan siang sendirian di kantin.“Sombong banget sih ke mana-mana sendiri terus,” kata seorang gadis berambut sebahu.“Mungkin dia ngerasa paling cantik kali di sekolah ini. Atau dia kayak gini biar banyak yang ngedeketin. Ala-ala misterius,” kata gadis y
Karena tak ada respon setelah mengetuk pintu beberapa kali, Anne memutuskan untuk menelepon Desy. Setelah panggilan keempat baru teleponnya direspon.“Ada apa, Anne?” tanya Desy dari seberang. Suaranya terdengar sangat pelan.“Kamu ada di rumah?” tanya Anne.“Iya,” sahut Desy.“Kok ...,” Anne menghentikan kalimatnya karena dia melihat seorang bapak-bapak keluar dari rumah Desy. Sebatas yang dia ingat, itu bukan Ayah Desy. Apakah orang itu kerabatnya Desy yang dia tidak kenal sebelumnya?“Kamu masuk aja,” kata Desy.Anne seketika memutuskan sambungan telepon dan masuk ke melewati pintu yang terbuka. Setelah menutup pintu, dia berjalan ke tengah bagian rumah. Tempat yang dia tuju tentu saja kamar Desy.Anne mengerutkan kening saat masuk ke kamar Desy dan melihat ranjang gadis itu berantakan. Dia takut terjadi apa-apa dengan Desy.“Desy, kamu di mana?” tanya Anne. Dia menghembuskan napas lega saat mendegar suara keran dari kamar mandi.“Orang laki-laki yang tadi keluar dari rumah kamu si
Tiga hari setelah demo terakhir dilakukan, kedua orang tua Emma dipanggil ke kampus. Mereka berdua diminta untuk bertemu dengan Bu Marta langsung di ruangannya. “Selamat pagi,” kata Tony sambil mengetuk pintu ruangan Bu Marta ketika langkahnya terhenti di depan ruangan kepala sekolah itu.Bu Marta menatap ke arah pintu. “Selamat pagi,” katanya, “silakan masuk.”Bu Marta mengambil napas dalam sebelum berbicara dengan Robin dan Lily. “Sebelumnya saya mewakili pihak sekolah ingin mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya,” kata Bu Marta.“Apa tidak bisa dinegosiasikan lagi, Bu?” tanya Robin, “kita semua sama-sama tahu kan kalau semua kekacauan yang Emma perbuat bukan murni keinginan Emma. Ada mahluk astral yang mengendalikannya.”Bu Marta mengangguk. “Kami sudah berusaha semaksimal mungkin menjelaskan kepada para orangtua mahasiswa itu. Tapi mereka tak ada yang mau peduli. Alasan mereka, mereka tidak mau kekacauan itu terulang terus. Mereka tidak mau kalau nanti anak mereka dan yang lainny
Orang tua Yosi dan Burhan kompak mengajak puluhan orang tua mahasiswa lain untuk melakukan demo ke kampus. Mereka semua menuntut agar Emma dikeluarkan karena tingkahnya yang sangat meresahkan. Mereka tak hanya melakukan demo sekali, tetapi sebanyak tiga kali dalam seminggu.Fakta itu tentu saja membuat pihak sekolah bimbang. Di satu sisi, mereka tidak bisa mengabaikan permintaan wali murid. Tapi, di sisi lain, mengeluarkan Emma dari kampu begitu saja juga bukan pilihan yang paling tepat. Bagaimana pun juga, Emma adalah salah satu mahasiswa yang cukup berprestasi. Mereka bahkan mempunya beberapa rencana untuk mengikuti lomba dalam kurun waktu beberapa bulan ke depan. Dan salah satu mahasiswa yang akan mereka ikutkan untuk lomba itu adalah Emma.Tak hanya pihak sekolah yang dibuat pusing oleh demo yang dilakukan para orang tua mahasiswa itu. Emma dan orang tuanya juga dibuat pusing. Yang paling tertekan dengan kedaan itu tentu saja Emma. Hampir setiap hari dia menangis karena lelah meng
Sabrina tak peduli jika pada akhirnya Desy muak dengan sikapnya dan gadis itu meninggalkannya. Dia tetap fokus pada niatnya untuk membuat Emma dikeluarkan dari sekolah. Maka dia mencari tahu dua mahasiswa yang kemarin menjadi korban amukan Emma di kantin. Dari informasi yang berhasil Sabrina himpun dari orang-orang suruhannya. Dia menemukan nama dan kelas dua mahasiswa itu. Bahkan Sabrina juga tahu alamat rumah mereka. Tapi sebelum memutuskan untuk mendatangi orang tua mereka di rumah mereka, Sabrina memutuskan untuk menghampiri mereka di kelasnya terlebih dahulu. Yang pertama Sabrina datangi adalah Yosi. Laki-laki berpostur jangkung itu tengah duduk di kursi yang ada di depan kelas ketika Sabrina datang. “Hei, gimana kabarnya?” kata Sabrina. Dia duduk di samping Yosi, “luka kamu yang kena amukan Emma kemarin masih sakit?” “Lumayan sih. Ada beberapa luka gosong kebiruan dan luka goresan karena kena lantai dan bangku kantin,” kata Yosi, “ini masih mendingan. Si Burhan malah hari ini
Emma pikir, Sabrina memang akan benar-benar berubah. Dia pikir gadis itu akan menepati janjinya. Tapi ternyata tidak. Pada akhirnya gadis itu berulang lagi. Entah disengaja atau tidak, saat berad di kantin, tiba-tiba saja Sabrina menjatuhkan minuman yang masih agak panas dari belakang. Cairan kopi itu mengenai punggung Emma, mengenai kemejanya dan tembus hingga ke kulitnya.Emma merasakan rasa skit dan panas doi punggungnya. Seharusnya dia pergi ke toilet. Dan memang sebenarnya dia berniat pergi ke toilet. Namun, Emosinya lebih dulu meledak. Seperti biasa, mahluk astral itu menguasainya lagi. Membuatnya lepas kendali.Sadar berhasil memancing Emma, Sabrina pun tersenyum-senyum. Tetapi sebisa mungkin dia berusaha meminta maaf agar segalanya tak terlihat mencolok.“Maaf ya, Emma,” katanya kepada Emma.Emma tak menyahut. Dia mengerang dan mencengkeram pergelangan tangan Sabrina. Matanya melotot dan bola matanya berputar-putar. Dia mengerang. Lalu kuku-kukunya yang panjang mencakar kulit
Emma masuk kuliah lagi, tiga hari dari hari pertama dia di rumah sakit. Sebelum masuk ke dalam kelas, Ethan dan Jake menyambutnya di ambang pintu. Mereka mengulurkan tangan dan agak sedikit membungkuk seperti mempersilakan otang penting. Emma tersenyum melihatnya.“Kalian ini kayak aku siapa saja,” kata Emma.Baru duduk sebentar, Tony lalu berdiri lagi. Dia lalu mengajak Ethan dan Jake keluar kelas.“Aku nggak diajak nih?” tanya Emma.“Aku mau ngobrol sebentar sama mereka,” kata Tony. Dia lalu tersenyum, “ini urusan laki-laki.”Emma menghembuskan napas kasar. “Males banget deh kalo bawa-bawa gender,” katanya.“Bentar doang kok,” kata Tony.Tony, Ethan dan Jake lalu berjalan keluar kela. Mereka menghentikan langkahnya di taman. Tony lalu memilih bangku yang ada di sudut taman untuk duduk. Tempat itu lumayan jah dari jangkauan orang-orang karena kanan dan kirinya adalah barisan tembok ruang dekan.“Kamu ngapain sih ngajak kita ke sini?” tanya Jake setelah dia duduk.“Aku mau ngomong ser
Saat Sabrina masuk, Jake sedang mengobrol dengan Emma. Laki-laki itu berdiri di dekat ranjang sambil agak membungkuk, mendengarkan suara Emma yang mungkin masih terdengar pelan. Dia membelakangi Sabrina. Di sampingnya ada Ethan. Sementara itu, Tony berdiri di sisi ranjang yang lain sehingga dia menjadi orang yang lebih dulu mengetahui kehadiran Sabrina.Karena menyadari arah pandang Tony, Jake akhirnya menoleh.“S ... sore semua,” kata Sabrina.Tony tak menyahut. Emma juga. Yang menyahut adalah Jake. “Sore,” ujarnya pelan. Dia lalu menghadap Emma lagi.“Emma sakit apa? Habis jatuh kah?” tanya Sabrina karena dia melihat ada bekas jahitan di kening Emma sebelah kanan.“Iya,” sahut Sabrina pelan.“Sekarang udah mendingan apa masih sakit?” tanya Sabrina.“Udah mendingan kok,” sahut Emma.“Maaf ya, aku nggak sempet beliin apa-apa,” kata Sabrina.“Nggak apa-apa,” sahut Emma.Sejujurnya, Emma tidak yakin Sabrina tulus. Dia sebenarnya malas menanggapi gadis itu. Rasanya mustahil seorang Sabri
Saat jam istirahat siang, Jake dan Ethan kelimpungan mencari Tony dan Emma di kelasnya. Mereka bertanya-tanya ke mana perginya dua orang itu. Jake yang paling penasaran. Tentu saja. Setelah duduk di meja kantin, Jake lalu menelfon Emma. Karena tak ada tanggapan dari gadis itu, dia lalu menelfon Tony. “Aku yakin sih ini mereka pasti pergi berdua,” kata Jake selagi menunggu panggilannya mendapat respon dari Tony. “Kayaknya sih,” sahut Ethan sambil menyendok basonya. “Kamu bolos bareng Emma ya?” kata Jake setelah mendengar suara Tony dari seberang. “Bolos ... bolos kepalamu? Aku lagi jenguk Emma di rumah sakit,” sahut Tony. “Rumah sakit?” ulang Tony, “Emangnya Emma sakit apa?” “Ceritanya panjang. Entar juga kamu tahu sendiri kalo ke rumah sakit,” sahut Tony. “Di rumah sakit mana?” tanya Jake. “Biasa. Yang deket sama rumah Emma,” sahut Tony. “Siapa yang sakit?” tanya Ethan setelah Jake meletakan ponselnya di atas meja. “Emma,” jawab Jake. “Sakit apa?” sahut Ethan. Dia membelala