“Gimana kalo ternyata dia punya ayah gula,” kata Sabrina.Anne mengerutkan kening. “Ayah ... ah, sugar daddy maksud kamu?”Sabrina mengangguk.Mata Anne berbinar. “Wah, asyik dong,” katanya, “aku juga mau kalo gitu.”“Ye ... dasar,” kata Sabrina.***Emma duduk di bangku taman bersama degan Ethan dan Tony. Gadis itu melihat sekeliling, menunggu kalau-kalau Jake datang.“Tumben amat jam segini Jake belum berangkat,” kata Tony. Dia menoleh pada Ethan yang duduk di sampingnya, “nggak sama kamu lagi. kalian berantem?”Ethan menggeleng. “Entar juga kalian tahu sendiri,” katanya.“Maksud kamu apa sih?” tanya Emma.Ethan tak menjawab. Dia terus menatap ke koridor fakultas hukum, jalan yang biasa dilewati mahasiswa saat datang dan pulang.“Itu lihat aja ke koridor. Dia dateng,” kata Ethan saat melihat Jake.Emma dan Tony mengikuti arah pandangan Ethan. Keduanya membelalakkan mata saat melihat Jake datang bersama Sabrina dan dua temannya. Sabrina bergandeng tangan dengan Tony sementara Desy da
Emma terus memberontak, membuat Tony kewalahan. Laki-laki itu lalu mendudukkan Emma sebentar dan menyandarkan punggung Emma ke tembok toilet. Dia lalu menelepon Jake.Tony buru-buru mengajak Jake untuk memapah Emma saat laki-laki itu datang bersama Ethan. Mereka lalu berjalan menuju ruang klinik. Sambil terus berjalan, Tony terus membaca doa-doa. Saat akhirnya Emma pingsan, dia meminta Jake dan Ethan untuk membantu menggendong gadis itu.“Gimana awalnya Emma bisa kerasukan lagi?” tanya Jake pada Tony setelah Emma dibaringkan di salah satu ranjang yang ada di ruangan klinik.“Kayaknya sih karena dia diganggu Sabrina dan dua temannya,” kata Tony. Dia melirik Jake sebentar, hanya untuk melihat ekspresi wajah laki-laki itu ketika kekasihnya disebut, lalu dia melihat ke Emma lagi karena ekspresi Jake terlihat datar saja.“Aku akan bilang ke Sabrina biar nggak gangguin Emma lagi entar,” kata Jake.Ethan tersenyum sinis. “Aku nggak yakin dia mau dengerin kamu,” katanya.“Seenggaknya aku beru
“Sabrina tunggu,” kata Jake.Sabrina menghentikan langkahnya. Sebelum berbalik, dia tersenyum puas. “Kenapa?” tanyanya ketika berbaik.“Aku ngak bermaksud mojokin kamu,” kata Jake.“Gitu doang?” tanya Sabrina. Dia lalu menghembuskan napas kasar, “ngapain manggil-manggil kalo gitu?”“Oke, sori,” kata Jake dengan terpaksa.Sabrina tersenyum puas. Dia lalu berjalan mendekati Jake. Sambil menjijnjit, dia menyapukan bibirnya ke bibir Jake dalam beberapa detik.Jake refleks mundur. “A ... aku ada janji mau nganterin mama ke dokter mata,” katanya.Sabrina cemberut. “Ya udah hati-hati,” katanya.Jake mengangguk.“See you,” kata Sabrina sambil melambaikan tangannya.***Tony, Ethan dan Emma berjalan mendekati warung yang ada di pinggir jalan. Malam ini mereka hanya jalan bertiga karena sejak berpacaran dengan Sabrina otomatis Jake tidak lagi mudah diganggu dan diajak jalan seperti sebelumnya.Tony yang memesan pada ibu penjual nasi. “Kalian mau makan apa?” tanya Tony.“Aku soto ayam aja deh,”
Emma terus berusaha melawan mahluk astral itu sampai akhirnya tubuhnya melemas. Dia lalu pingsan. Dengan sigap,Tony lalu menahan tubuh gadis itu.“Tolong bukakan pintu mobilku,” kata Tony pada Ethan.Ethan mengangguk. Dia lalu melakukan apa yang Tony katakan.“Thanks,” kata Tony setelah Emma masuk ke dalam mobil. Setelah menutup pintu dia lalu berjalan kesisi kanan mobil dan duduk di kursi kemudi.“Kamu duluan aja,” kata Tony pada Ethan sebelum menjalankan mobilnya, “aku akan mengantar Emma pulang.”Ethan mengangguk. Dia lalu masuk ke dalam moilnya yang dia parkir di belakang mobil Tony.Setibanya di rumah Emma gadis itu belum juga sadar. Tony lantas turun lebih dulu. Dia lalu memanggil kedua orangtua Emma. Mereka berdua terlhat panik saat Tony memberitahu keadaan Emma. Dengan cepat mereka lalu berjalan keluar rumah dan membantu Emma keluar dari mobil Tony. Dengan hati-hati Robun dan Tony mengangkat tubuh Emma. Keduanya membawa Emma ke kamarnya.“Aku berharap dia cepat sadar,” kata To
“Kasih tau dong,” desak Anne.Raut wajah Sabrina seketika berubah. Dia menghembuskan napas kasar. “Kita nggak ngapa-ngapain,” katanya, “pas habis dansa, Jake izin ke toilet terus dia ngilang. Ternyata dia gabung sama Emma, Tony dan Ethan.”Desy mengangguk-anggukkan kepala. “Jadi itu penyebab kamu minum banyak semalem?” katanya.“Apa sih enaknya ngejalanin hubungan sama orang yang jelas-jelas nggak suka sama kamu, Sabrina?” tanya Anne.Sabrina tersenyum miris. “Tapi aku suka sama dia,” kata Sabrina.“Terserah kamu sih kalo itu bikin kamu bahagia,” kata Anne.“Aku akan bikin Jake suka sama aku,” kata Sabrina.“Good luck,” kata Desy.***Jake berdiri di balkon kamarnya yang ada di lantai dua. Dia menatap pemandangan atap rumah tetangganya dan lampu yang menghiasi jalanan di sekitar rumahnya. Ethan berdiri di sampingnya. Mereka berdua sedang membahs hubungan Jake dengan Sabrina.“Harusnya kamu nggak mengiyakan permintaan Sabrina kalau semuanya masih belum jelas, Jake,” kata Ethan, “nggak
“Terus kalo nggak pergi emangnya amu mau ngapain di sini?” kata Emma, “orang jake-nya juga nggak ada.”Sabrina mendorong Emma hingga gadis itu hampir terjatuh. Akibat apa yang dilakukan Sabrina, Emma terpancing emosi. Matanya melotot. Melihat itu dua teman Sabrina menarik Sabrina ke belakang. Mereka tidak ingin hal buruk menimpa Sabrina karena nekat menyerang Emma.Namun Sabrina tidak mau mengalah. Dia maju ke depan lagi. Kali ini dia benar-benar mendorong Emma hingga gadi itu jatuh terduduk.“Sabrina!” bentak Tony, “Udah pergi sana!”Napas Sabrina tak beraturan karena emosi. Dia tak terima diusir Tony. “Tadi temanmu yang culun ini mengusirku. Sekarang kamu!” kata Sabrina, “kalian pikir kalian siapa hah?”Emma bangkit dengan cepat. Dia lalu mendorong Sabrina hingga gadis itu jatuh terlentang. Dengan cepat dia lalu mencekik Sabrina. Matanya melotot dan wajahnya memucat. Kukunya juga berubah panjang-panjang dan menghitam.“Aku akan membunuhmu,” kata Emma.Sabrina ketakutan. Dia mencoba
“Setelah puas berfoto-foto dengan teman satu timnya, pelatih dan beberapa dosen, Tony lalu menghampiri Emma, Ethan dan juga Jake.“Selamat ya!” kata Emma, “kamu keren!”“Makasih,” kata Tony.“Selamat ya, Bro,” kata Jake. Dia memeluk Tony, “akhirnya kita ke Bali bareng-bareng.”Tony mengangguk-angguk setelah pelukan Jake terlepas. “Makasih,” katanya.Tony lalu bergeser pada Ethan.“Congrats, Bro,” kata Ethan. Dia memeluk Tony juga, “finally kita liburan bareng!”“Thanks,” kata Tony.Tony mengacuhkan Sabrina dan kedua temannya. Dia lalu mengajak Emma, Jake dan Ethan untuk berfoto bersama.***Tony tersenyum cerah ketika mendapatkan pesan dari grup chat team futsal. Emma yang duduk di sampingnya terheran-heran.“Kamu kenapa?” tanya Emma.Tony lalu menyodorkan ponselnya ke hadapan Emma. Melihat pengumuman yang ada di ponsel Tony, wajah Emma ikut semringah.“Gila!” seru Tony, “ aku nggak nyangka tujuannya bakal ditambahin satu. Puas aku di Bali!”“Aku seneng sih kamu mau ke bali,” kata Emm
Jake menghembuskan napas kasar. Mulai lagi, batinnya. Sejujurnya dia geli melihat sikap Sabrina yang sok manja begitu.“Kamu nggak pengen duduk?” kata Jake. Dia menyingkirkan tangan Sabrina.“Eh, iya,” kata Sabrina.***Tony menemui pelatihnya sepulang dari kampus. Laki-laki itu mendatangi rumah pelatihnya untuk membicarakan tentang rencana keikutsertaan Emma dalam liburan ke Bali. Dia melakukan itu tanpa memberi tahu Emma terlebih dahulu. Dia berniat memberikan kejutan.Rumah pelatih Tony tampak megah dilihat dari luar. Rumah dua lantai itu memiliki halaman cukup luas dengan keseluruhan dilapisi rumput. Di pinggir-pinggirnya ada banyak tanaman bungga yang berjajar rapi mengelilingi halaman. Di tengah taman itu ada seperti jalan sepanjang sekitar satu meter yang memanjang dari gerbang sampai ke depan teras.Karena gerbang rumah terbuka, Tony segera saja masuk setelah turun dari mobil. Setibanya di depan pintu, dia mengucapkan salam dan memencet bel beberapa kali.Pak Amin membuka pint
Hari pertama menjalani kegiatan di kampus Emma merasa sangat tidak nyaman. Dia tidak mudah berkenalan dengan orang baru karena tidak semua orang bisa memahaminya. Akibatnya, Emma jadi sering menyendiri. Baik di kelas, perpustakaan atau di kantin, dia jarang terlihat berbaur dan mengobrol dengan mahasiswa lain. Keadaan itu membuat banyak mahasiswa di kampus yang menganggap Emma sombong. Sehingga akhirnya ada banyak mahasiswa di kampus yang membenci Emma. Banyak yang memusuhi Emma secara diam-diam. Tapi tak sedikit juga yang memusuhi Emma secara terang-terangan. Akibatnya, hampir setiap hari ada saja yang membuat Emma marah dan mengamuk karena selalu ada yang mengganggunya. Puncaknya adalah saat ada yang menganggu Emma saat gadis itu makan siang sendirian di kantin.“Sombong banget sih ke mana-mana sendiri terus,” kata seorang gadis berambut sebahu.“Mungkin dia ngerasa paling cantik kali di sekolah ini. Atau dia kayak gini biar banyak yang ngedeketin. Ala-ala misterius,” kata gadis y
Karena tak ada respon setelah mengetuk pintu beberapa kali, Anne memutuskan untuk menelepon Desy. Setelah panggilan keempat baru teleponnya direspon.“Ada apa, Anne?” tanya Desy dari seberang. Suaranya terdengar sangat pelan.“Kamu ada di rumah?” tanya Anne.“Iya,” sahut Desy.“Kok ...,” Anne menghentikan kalimatnya karena dia melihat seorang bapak-bapak keluar dari rumah Desy. Sebatas yang dia ingat, itu bukan Ayah Desy. Apakah orang itu kerabatnya Desy yang dia tidak kenal sebelumnya?“Kamu masuk aja,” kata Desy.Anne seketika memutuskan sambungan telepon dan masuk ke melewati pintu yang terbuka. Setelah menutup pintu, dia berjalan ke tengah bagian rumah. Tempat yang dia tuju tentu saja kamar Desy.Anne mengerutkan kening saat masuk ke kamar Desy dan melihat ranjang gadis itu berantakan. Dia takut terjadi apa-apa dengan Desy.“Desy, kamu di mana?” tanya Anne. Dia menghembuskan napas lega saat mendegar suara keran dari kamar mandi.“Orang laki-laki yang tadi keluar dari rumah kamu si
Tiga hari setelah demo terakhir dilakukan, kedua orang tua Emma dipanggil ke kampus. Mereka berdua diminta untuk bertemu dengan Bu Marta langsung di ruangannya. “Selamat pagi,” kata Tony sambil mengetuk pintu ruangan Bu Marta ketika langkahnya terhenti di depan ruangan kepala sekolah itu.Bu Marta menatap ke arah pintu. “Selamat pagi,” katanya, “silakan masuk.”Bu Marta mengambil napas dalam sebelum berbicara dengan Robin dan Lily. “Sebelumnya saya mewakili pihak sekolah ingin mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya,” kata Bu Marta.“Apa tidak bisa dinegosiasikan lagi, Bu?” tanya Robin, “kita semua sama-sama tahu kan kalau semua kekacauan yang Emma perbuat bukan murni keinginan Emma. Ada mahluk astral yang mengendalikannya.”Bu Marta mengangguk. “Kami sudah berusaha semaksimal mungkin menjelaskan kepada para orangtua mahasiswa itu. Tapi mereka tak ada yang mau peduli. Alasan mereka, mereka tidak mau kekacauan itu terulang terus. Mereka tidak mau kalau nanti anak mereka dan yang lainny
Orang tua Yosi dan Burhan kompak mengajak puluhan orang tua mahasiswa lain untuk melakukan demo ke kampus. Mereka semua menuntut agar Emma dikeluarkan karena tingkahnya yang sangat meresahkan. Mereka tak hanya melakukan demo sekali, tetapi sebanyak tiga kali dalam seminggu.Fakta itu tentu saja membuat pihak sekolah bimbang. Di satu sisi, mereka tidak bisa mengabaikan permintaan wali murid. Tapi, di sisi lain, mengeluarkan Emma dari kampu begitu saja juga bukan pilihan yang paling tepat. Bagaimana pun juga, Emma adalah salah satu mahasiswa yang cukup berprestasi. Mereka bahkan mempunya beberapa rencana untuk mengikuti lomba dalam kurun waktu beberapa bulan ke depan. Dan salah satu mahasiswa yang akan mereka ikutkan untuk lomba itu adalah Emma.Tak hanya pihak sekolah yang dibuat pusing oleh demo yang dilakukan para orang tua mahasiswa itu. Emma dan orang tuanya juga dibuat pusing. Yang paling tertekan dengan kedaan itu tentu saja Emma. Hampir setiap hari dia menangis karena lelah meng
Sabrina tak peduli jika pada akhirnya Desy muak dengan sikapnya dan gadis itu meninggalkannya. Dia tetap fokus pada niatnya untuk membuat Emma dikeluarkan dari sekolah. Maka dia mencari tahu dua mahasiswa yang kemarin menjadi korban amukan Emma di kantin. Dari informasi yang berhasil Sabrina himpun dari orang-orang suruhannya. Dia menemukan nama dan kelas dua mahasiswa itu. Bahkan Sabrina juga tahu alamat rumah mereka. Tapi sebelum memutuskan untuk mendatangi orang tua mereka di rumah mereka, Sabrina memutuskan untuk menghampiri mereka di kelasnya terlebih dahulu. Yang pertama Sabrina datangi adalah Yosi. Laki-laki berpostur jangkung itu tengah duduk di kursi yang ada di depan kelas ketika Sabrina datang. “Hei, gimana kabarnya?” kata Sabrina. Dia duduk di samping Yosi, “luka kamu yang kena amukan Emma kemarin masih sakit?” “Lumayan sih. Ada beberapa luka gosong kebiruan dan luka goresan karena kena lantai dan bangku kantin,” kata Yosi, “ini masih mendingan. Si Burhan malah hari ini
Emma pikir, Sabrina memang akan benar-benar berubah. Dia pikir gadis itu akan menepati janjinya. Tapi ternyata tidak. Pada akhirnya gadis itu berulang lagi. Entah disengaja atau tidak, saat berad di kantin, tiba-tiba saja Sabrina menjatuhkan minuman yang masih agak panas dari belakang. Cairan kopi itu mengenai punggung Emma, mengenai kemejanya dan tembus hingga ke kulitnya.Emma merasakan rasa skit dan panas doi punggungnya. Seharusnya dia pergi ke toilet. Dan memang sebenarnya dia berniat pergi ke toilet. Namun, Emosinya lebih dulu meledak. Seperti biasa, mahluk astral itu menguasainya lagi. Membuatnya lepas kendali.Sadar berhasil memancing Emma, Sabrina pun tersenyum-senyum. Tetapi sebisa mungkin dia berusaha meminta maaf agar segalanya tak terlihat mencolok.“Maaf ya, Emma,” katanya kepada Emma.Emma tak menyahut. Dia mengerang dan mencengkeram pergelangan tangan Sabrina. Matanya melotot dan bola matanya berputar-putar. Dia mengerang. Lalu kuku-kukunya yang panjang mencakar kulit
Emma masuk kuliah lagi, tiga hari dari hari pertama dia di rumah sakit. Sebelum masuk ke dalam kelas, Ethan dan Jake menyambutnya di ambang pintu. Mereka mengulurkan tangan dan agak sedikit membungkuk seperti mempersilakan otang penting. Emma tersenyum melihatnya.“Kalian ini kayak aku siapa saja,” kata Emma.Baru duduk sebentar, Tony lalu berdiri lagi. Dia lalu mengajak Ethan dan Jake keluar kelas.“Aku nggak diajak nih?” tanya Emma.“Aku mau ngobrol sebentar sama mereka,” kata Tony. Dia lalu tersenyum, “ini urusan laki-laki.”Emma menghembuskan napas kasar. “Males banget deh kalo bawa-bawa gender,” katanya.“Bentar doang kok,” kata Tony.Tony, Ethan dan Jake lalu berjalan keluar kela. Mereka menghentikan langkahnya di taman. Tony lalu memilih bangku yang ada di sudut taman untuk duduk. Tempat itu lumayan jah dari jangkauan orang-orang karena kanan dan kirinya adalah barisan tembok ruang dekan.“Kamu ngapain sih ngajak kita ke sini?” tanya Jake setelah dia duduk.“Aku mau ngomong ser
Saat Sabrina masuk, Jake sedang mengobrol dengan Emma. Laki-laki itu berdiri di dekat ranjang sambil agak membungkuk, mendengarkan suara Emma yang mungkin masih terdengar pelan. Dia membelakangi Sabrina. Di sampingnya ada Ethan. Sementara itu, Tony berdiri di sisi ranjang yang lain sehingga dia menjadi orang yang lebih dulu mengetahui kehadiran Sabrina.Karena menyadari arah pandang Tony, Jake akhirnya menoleh.“S ... sore semua,” kata Sabrina.Tony tak menyahut. Emma juga. Yang menyahut adalah Jake. “Sore,” ujarnya pelan. Dia lalu menghadap Emma lagi.“Emma sakit apa? Habis jatuh kah?” tanya Sabrina karena dia melihat ada bekas jahitan di kening Emma sebelah kanan.“Iya,” sahut Sabrina pelan.“Sekarang udah mendingan apa masih sakit?” tanya Sabrina.“Udah mendingan kok,” sahut Emma.“Maaf ya, aku nggak sempet beliin apa-apa,” kata Sabrina.“Nggak apa-apa,” sahut Emma.Sejujurnya, Emma tidak yakin Sabrina tulus. Dia sebenarnya malas menanggapi gadis itu. Rasanya mustahil seorang Sabri
Saat jam istirahat siang, Jake dan Ethan kelimpungan mencari Tony dan Emma di kelasnya. Mereka bertanya-tanya ke mana perginya dua orang itu. Jake yang paling penasaran. Tentu saja. Setelah duduk di meja kantin, Jake lalu menelfon Emma. Karena tak ada tanggapan dari gadis itu, dia lalu menelfon Tony. “Aku yakin sih ini mereka pasti pergi berdua,” kata Jake selagi menunggu panggilannya mendapat respon dari Tony. “Kayaknya sih,” sahut Ethan sambil menyendok basonya. “Kamu bolos bareng Emma ya?” kata Jake setelah mendengar suara Tony dari seberang. “Bolos ... bolos kepalamu? Aku lagi jenguk Emma di rumah sakit,” sahut Tony. “Rumah sakit?” ulang Tony, “Emangnya Emma sakit apa?” “Ceritanya panjang. Entar juga kamu tahu sendiri kalo ke rumah sakit,” sahut Tony. “Di rumah sakit mana?” tanya Jake. “Biasa. Yang deket sama rumah Emma,” sahut Tony. “Siapa yang sakit?” tanya Ethan setelah Jake meletakan ponselnya di atas meja. “Emma,” jawab Jake. “Sakit apa?” sahut Ethan. Dia membelala