Tony dan Jeremy refleks melompat mundur ketika melihat anak kecil laki-laki dengan wajah gosong. Bersamaan dengan itu, anak kecil itu tertawa. Dia tertawa puas sekali karena berhasil membuat Tony dan Jeremy kaget.“Mahluk astral sialan,” kata Tony, “berhenti gangguin temanku.”Anak kecil itu tertawa lagi. Dia menatap Tony dan Jeremy bergantian. Matanya melotot seperti mau lepas.Kesal Tony lalu mendorong anak kecil itu hingga jatuh terduduk. Beberapa detik kemudian, anak kecil itu menangis. Sepersekian detik setelahnya, tubuh Tony ditarik ke belakang.“Ayah!” seru Tony.Jeremy berlari mengejar Tony. “Lepaskan anakku!” kata Tony pada sosok wanita bergaun putih yang terus menyeret Tony ke belakang.“Aku bilang lepaskan anakku!” kata Jeremy. Dia terus berlari mengejar hantu wanita itu.Bukannya mengindahkan pekataan Jeremy, hantu wanita itu malah tertawa keras. Suranya melengking, seperti meremehkan. Menyadari itu, Jeremy kesal. Dia berlari lebih cepat untuk bisa meraih Tony. Saat tangan
“Bagaimana caranya?” tanya Jake tak sabar.“Sebenetar,” kata Danu. Laki-laki itu berjalan meninggalkan ruang tamu.Sementara itu, Jake dan Ethan menunggu dengan cemas.“Kira-kira, dia mau ngapain?” tanya Jake pada Ethan.“Udahlah, kita tunggu aja,” kata Ethan.Danu kembali dengan membawa secarik kertas dan sebuah bolpoin. Laki-laki itu lalu duduk lagi di depan Jake dan Ethan. Dia lalu menulis ayat-ayat kitab suci di kertas itu.“Untuk apa surat itu?” tanya Jake setelah Danu selesai menulis.“Ini bukan surat, Nak,” kata Danu, “ini adalah doa. Kamu bisa memberikan ini kepada temanmu. Suruh dia membaca doa-doa ini kalau mahluk astral yang merasukinya mulai berulah.”Jake menerima kertas dari Danu dengan mata berbinar. Dia tak sabar untuk bisa segera membantu Emma.***Sabrina dan kedua temannya duduk di tribun paling bawah. Dengan semangat mereka bersorak menyemangati tim Tony yang sedang bertanding dengan tim sepak bola dari Universitas Adam Malik. Dari awal, mereka fokus menonton perta
Jake, Tony dan Ethan berdiri lemas di depan toilet. Mereka bersandar pada tembok. Perut mereka masih terasa sakit karena habis bolak-balik dari toilet.“Kayaknya minuman kita ada racunnya,” celetuk Ethan.“Bukan racun,” sahut Tony, “kalau ada racunnya, kita udah mati.”“Terus apa?” tanya Ethan.“Semacam obat pencuci perut mungkin,” sahut Jake.“Tapi kita nggak boleh berburuk sangka,” sahut Tony, “gimana kalau minumannya yang memang udah kadaluarsa.”“Aku nggak bisa nggak berburuk sangka kalau yang ngasih minuman itu Sabrina dan teman-temannya,” kata Jake.“Hah!” sahut Tony, “kenapa kamu nggak ngomong dari awal?”“Aku haus dan lagi pengen minuman yang ada rasa-rasanya,” sahut Jake, “mau bagaimana lagi?”Tony mendesah lemah. “Hei, di mana Emma?” katanya. Firasatnya tidak enak.“Oh, iya,” sahut Jake, “ayo kita cari dia!”Mereka bertiga lalu berjalan menyusuri setiap sudut kampus. Tak hanya itu mereka juga bertanya kepada setiap mahasiswa yang mereka jumpai. Namun, tak satu pun dari merek
“Ah, acara ulang tahun pernikahan orangtuaku,” sahut Jake.“Oh, iya,” sahut Emma, “apa banyak anak di kampus yang kamu undang?”Jake mengangguk. “Lumayan,” katanya, “tapi kamu nggak perlu khawatir. Aku nggak ngundang Sabrina dan kedua temannya kok. Aku nggak mau acara ulang tahun pernikahan orang tuaku yang seharusnya sakral jadi kacu karena keberadaan mereka bertiga.”Emma tertawa. “Mereka emang hobi banget membuat masalah di mana aja,” katanya setelah tawanya reda.***Selepas Jake pergi, Emma langsung menuju ke kamarnya. Meski belum jam sembilan malam, dia merasa lelah sekali dan ingin istirahat. Sepertinya dia tak hanya lelah fisik tetapi juga lelah hati da pikiran. Mungkin karena efek dari apa yang Sabrina dan kedua temannya lakukan di sekolah.Namun baru beberama menit Emma berbaring, dia dikagetkan suara Lily. Wanita itu mengetuk pintu kamar sambil memanggil-manggilnya.“Masuk,” kata Emma.“Ada Tony di depan,” kata Lily ketika dia membuka pintu.Emma menghembuskan napas lemah.
Tak ada suara yang menyahut. Emma lalu menoleh ke belakang karena ada yang menarik-narik gaunnya dari belakang. Dia membelalakkan mata dan menjerit saat melihat seorang anak kecil dengan wajah yang gosong dan matanya melotot.Emma refleks menendang anak kecil itu. Dia lalu berlari dengan sangat kencang. Tapi, di depan Emma melihat sosok lain lagi. Sosok itu adalah seorang gadis yang sepertinya lebih tua darinya. Gadis itu memakai gaun berwarna putih agak kumal. Rambut gadis itu panjang dan tak teratur seperti tidak pernah di sisir. Emma berteriak ketika melihat wajah gadis itu yang berkerut-kerut dan ada ada bercak darah.“Pergi!” kata Emma, “jangan ganggu aku.”Gadis itu tidak menggubris Emma. Dia malah tertawa melengking. Dia lalu bergerak mendekati Emma degan sangat cepat. Emma tak sempat menghindar ketika gadis itu mencekiknya.“Ayo ikut aku,” kata gadis itu sambil menyeringai.Emma menangis. Dia berusaha melepaskan tangan gadis itu, tapi tidak bisa. Tenaga gadis itu sangat kuat.
Sabrina segera memasukkan alat tulisnya begitu dosen keluar ruangan. Dia lalu berjalan mendekati kursi Desy. Di sana sudah ada Anne karena mereka duduk bersebelahan.“Jadi gimana?” tanya Desy setelah Sabrina duduk, “aku denger tadi pagi dari beberapa mahasiswi baru katanya pestanya nanti malem ya. Jadi nyusup nggak kita?”Sabrina tak menjawab. Dia malah termenung. Ada pertanyaan yang mengganjal di pikirannya sejak dia habis menelepon Desy semalam.“Sabrina,” kata Anne, “kamu ditanyain kok malah bengong sih!”“Ada yang mau aku tanyain deh sama kamu, Des,” kata Sabrina.Desy waspada dan merasa sedikit canggung. Namun, meski begitu dia tetap membalas Sabrina. “Tanya apa?” katanya.“Semalem kan kamu bilang kalo badan kamu capek dan lemes semua, emangnya kamu habis ngapain?” tanya Sabrina.Desy gelapan. Dia baru menekuni pekerjaan menjijikkan itu selama satu bulan, dan sejauh ini dia tidak pernah bercerita pada Sabrina atau Anne.“Nggak ... ngapa-ngapain kok,” sahut Desy, “aku cuma habis m
Setelah membayar pakaian di kasir, mereka berjalan dengan tergesa keluar toko. Setelah merek kembali ke mobil dan Sabrina telah menjalankan mobilnya beberapa ratus meter menjauhi kawasan toko, Desy dan Anne menagih gadis itu untuk bercerita.“Sebenarnya tadi ada apa?” tanya Desy.“Tadi aku pergi ke tolilet,” balas Sabrina, “saat di dalam bilik, aku mendengar suara anak kecil yang masuk di bilik sebelahku. Suaranya seperti anak laki-laki dan tidak ada suara orang lain bersamanya. Aku takut dia tersesat dan salah masuk toilet. Maka aku ketuk pintu toilet itu dan bahkan berusaha kudobrak. Tapi tak ada suara apa pun. saat aku mengintip ke bawah, ternyata tidak ada orang sama sekali.”Desy membelalakkan mata. Anne juga. “Jadi suara yang kamu dengar itu suara siapa dong?” tanya Anne.“Maka dari itu,” sahut Sabrina. Aku langsung aja lari tadi. Aku merinding banget.”“Syukur dia nggak gangguin kamu lebih jauh,” kata Anne.***Sesuai rencana yang sudah disusun, Sabrina dan kedua temannya datan
Pertandingan basket sudah mencapai final. Tim jake melawan tim basket dari kampus Tunas Bangsa. Pertandingan berlangsung sangat sengit karena tim basket Tunas Bangsa adalah juara bertahan selama dua tahun berturut-turut.Selama sepuluh menit lebih pertandingan berjalan, tak ada satu pun tim yang berhasil mencetak poin. Setiap tim Jake akan menyerang ke kawasan tim Tunas Bangsa selalu mendapat perlawanan kuat. Begitu juga saat tim Tunas Bangsa mencoba menyerang tim Jake.Sampai babak pertama berakhir, skor tetap bertahan di kosong-kosong. Pelatih tim Jake segera memanggil anak didiknya. Mereka diberi strategi menyerang dan bertahan. Pelatih itu tampak frustrasi karena takut kebobolan poin.Sabrina dan dua temannya datang saat babak kedua dimulai. Mereka duduk tak jauh dari Emma. Namun bukannya fokus pada pertandingan, mereka malah mengobrol dan tertawa-tawa sendiri. Mereka baru bersorak riuh saat Jake menembakkan bola ke ring dan mencetak satu poin.Sampai pertandingan berakhir, tim Ja