Setelah membayar pakaian di kasir, mereka berjalan dengan tergesa keluar toko. Setelah merek kembali ke mobil dan Sabrina telah menjalankan mobilnya beberapa ratus meter menjauhi kawasan toko, Desy dan Anne menagih gadis itu untuk bercerita.“Sebenarnya tadi ada apa?” tanya Desy.“Tadi aku pergi ke tolilet,” balas Sabrina, “saat di dalam bilik, aku mendengar suara anak kecil yang masuk di bilik sebelahku. Suaranya seperti anak laki-laki dan tidak ada suara orang lain bersamanya. Aku takut dia tersesat dan salah masuk toilet. Maka aku ketuk pintu toilet itu dan bahkan berusaha kudobrak. Tapi tak ada suara apa pun. saat aku mengintip ke bawah, ternyata tidak ada orang sama sekali.”Desy membelalakkan mata. Anne juga. “Jadi suara yang kamu dengar itu suara siapa dong?” tanya Anne.“Maka dari itu,” sahut Sabrina. Aku langsung aja lari tadi. Aku merinding banget.”“Syukur dia nggak gangguin kamu lebih jauh,” kata Anne.***Sesuai rencana yang sudah disusun, Sabrina dan kedua temannya datan
Pertandingan basket sudah mencapai final. Tim jake melawan tim basket dari kampus Tunas Bangsa. Pertandingan berlangsung sangat sengit karena tim basket Tunas Bangsa adalah juara bertahan selama dua tahun berturut-turut.Selama sepuluh menit lebih pertandingan berjalan, tak ada satu pun tim yang berhasil mencetak poin. Setiap tim Jake akan menyerang ke kawasan tim Tunas Bangsa selalu mendapat perlawanan kuat. Begitu juga saat tim Tunas Bangsa mencoba menyerang tim Jake.Sampai babak pertama berakhir, skor tetap bertahan di kosong-kosong. Pelatih tim Jake segera memanggil anak didiknya. Mereka diberi strategi menyerang dan bertahan. Pelatih itu tampak frustrasi karena takut kebobolan poin.Sabrina dan dua temannya datang saat babak kedua dimulai. Mereka duduk tak jauh dari Emma. Namun bukannya fokus pada pertandingan, mereka malah mengobrol dan tertawa-tawa sendiri. Mereka baru bersorak riuh saat Jake menembakkan bola ke ring dan mencetak satu poin.Sampai pertandingan berakhir, tim Ja
Emma bersalaman dengan kedua orang tuanya ketika tiba di ruang tamu. Setelah memastikan tak ada satu pun barangnya yang tertinggal, Emma lalu berjalan mendekati pintu.“Kamu menginap berapa hari di villa itu, Nak?” tanya Lily.Emma berbalik. “Dua malam, Bu,” katanya, “Minggu siang aku pulang.”“Ya sudah jaga dirimu baik-baik,” kata Lily.Emma mengangguk. Dia lalu berbalik lagi.Di teras rumah, Emma melihat Tony sudah duduk di sebuah kursi. “Kamu sudah dateng dari tadi?” tanya Emma.Tony mengangguk. Dia lalu berdiri.“Kenapa nggak masuk?” tanya Emma.“Baru mau masuk kamu udah keluar,” kata Tony.“Oh gitu,” kata Emma, “by the way, yang lain mana?”“Tadi sih katanya Jake mau menyusul ke sini sama Ethan,” jawab Tony, “nggak tau mampir ke mana aja tuh anak kok lama.”“Eh itu bukan sih mobil Jake,” kata Emma saat melihat sebuah mobil mendekati gerbang rumahnya.“Iya itu,” kata Tony, “yaudah ayo ke mobilku.”Rupanya ada satu mobil lain yang mengiringi mobil Jake. Mobil itu berisi para member
Sabrina mengucapkan terima kasih setelah dua petugas villa meletakkan tubuh lemas Jake ke atas ranjang kamarnya. Setelah mereka berdua keluar, Sabrina lalu menyuruh kedua temannya pergi.Dengan hati-hati, Sabrina lalu melepaskan kedua sepatu Jake. Setelah itu, dia mulai menanggalkan setiap helai kain yang menempel di tubuh Jake dengan hati-hati juga. Dia membuang baju-baju itu ke sembarang arah, untuk menciptakan kesan berserakan. Nanti, dia juga akan membuang bajunya dengan berserakan juga untuk lebih meyakinkan kalau mereka telah bercinta malam ini.Setelah selesai mengurus Jake, Sabrina lalu pergi ke kamar mandi. Dia mengambil botol parfum plastik yang sebelumnya telah dia potong menjadi dua bagian. Dia pakai bagian bawah botol itu untuk diisi dengan cabai bubuk dan dicampur dengan air. Setelah memastikan bubuk dan air tercampur rata, Sabrina lalu keluar dari kamar mandi. Dia meneteskan beberapa tetes cairan merah itu ke atas seprai.Setelah bercak merah hasil rekayasa yang ada di
“Oke, aku mau jadi pacar kamu,” kata Jake.Dalam hati, Sabrina bersorak girang. Dia lalu berjalan mendekati Jake. Dengan manja, dia menyandarkan kepalanya di pundak Jake.Jake lalu mendorong kepala Sabrina. “Boleh aku balik ke kamar sekarang?” tanyanya.“Untuk apa?” kata Sabrina, “tadi malam kan kita sudah tidur sekamar dan sudah bercinta dengan sangat hebat. Kamu bisa terus tidur sekamar denganku kapan pun kamu mau.”“Aku mau nemuin Ethan dan Tony,” kata Jake, “mana tahu mereka nyariin.”Sabrina memasang wajah cemberut. “Cium dulu,” katanya.Jake memutar bola matanya. Meski begitu, dia tetap mendekati Sabrina. Namun belum sempat dia memulai semuanya, Sabrina sudah menyerangnya dulu. Gadis itu menyerangnya dengan kecupan-kecupan dalam yang sarat akan hasrat. Meski awalnya terpaksa membalas, pada akhirnya Jake menikmati juga. Dia malah berinisiatif menggigit Sabrina agar gadis itu kesakitan. Setelah Sabrina mundur, Jake lalu berbalik dengan cepat dan berjalan meninggalkan ruangan.***
“Kenapa?” tanya Ethan.“Karena aku tidur di kamarnya Sabrina?” jawab Jake, ragu-ragu.Ethan melotot. “Hah?” serunya, “sumpah?!”Jake mengangguk. “Iya,” pas habis minum itu aku teler. Terus aku nggak inget lagi apa yang terjadi habis itu. Paginya pas bangun aku udah ada di atas ranjang kamar Sabrina sama Sabrina juga. Kita sama-sama nggak pake baju.”“Gila kamu,” kata Ethan, “terus reaksi Sabrina gimana?”“Ya sia minta aku jadi pacar dia,” kata Jake.Ethan membelalakkan mata lagi. “Demi Tuhan?”Jake mengangguk.“Menurutku kamu dijebak sih, Jake,” kata Ethan.Jake merenung. Dia mencoba mengingat-ingat semuanya dari awal. Mulai dari awal permainan sampai dia terbangun di kamar Sabrina. Semuanya terasa natural. Seperti tidak ada skenario yang dibuat-buat. Kalau ada satu hal yang paling mengganjal adalah apa yang dia lakukan kepada Sabrina. Dirinay sendiri tidak menyangka dia bisa melakukan hal sejauh itu.“Kayaknya semuanya normal deh, Ethan,” kata Jake.“Yaudah sih,” kata Ethan, “semuany
“Gimana kalo ternyata dia punya ayah gula,” kata Sabrina.Anne mengerutkan kening. “Ayah ... ah, sugar daddy maksud kamu?”Sabrina mengangguk.Mata Anne berbinar. “Wah, asyik dong,” katanya, “aku juga mau kalo gitu.”“Ye ... dasar,” kata Sabrina.***Emma duduk di bangku taman bersama degan Ethan dan Tony. Gadis itu melihat sekeliling, menunggu kalau-kalau Jake datang.“Tumben amat jam segini Jake belum berangkat,” kata Tony. Dia menoleh pada Ethan yang duduk di sampingnya, “nggak sama kamu lagi. kalian berantem?”Ethan menggeleng. “Entar juga kalian tahu sendiri,” katanya.“Maksud kamu apa sih?” tanya Emma.Ethan tak menjawab. Dia terus menatap ke koridor fakultas hukum, jalan yang biasa dilewati mahasiswa saat datang dan pulang.“Itu lihat aja ke koridor. Dia dateng,” kata Ethan saat melihat Jake.Emma dan Tony mengikuti arah pandangan Ethan. Keduanya membelalakkan mata saat melihat Jake datang bersama Sabrina dan dua temannya. Sabrina bergandeng tangan dengan Tony sementara Desy da
Emma terus memberontak, membuat Tony kewalahan. Laki-laki itu lalu mendudukkan Emma sebentar dan menyandarkan punggung Emma ke tembok toilet. Dia lalu menelepon Jake.Tony buru-buru mengajak Jake untuk memapah Emma saat laki-laki itu datang bersama Ethan. Mereka lalu berjalan menuju ruang klinik. Sambil terus berjalan, Tony terus membaca doa-doa. Saat akhirnya Emma pingsan, dia meminta Jake dan Ethan untuk membantu menggendong gadis itu.“Gimana awalnya Emma bisa kerasukan lagi?” tanya Jake pada Tony setelah Emma dibaringkan di salah satu ranjang yang ada di ruangan klinik.“Kayaknya sih karena dia diganggu Sabrina dan dua temannya,” kata Tony. Dia melirik Jake sebentar, hanya untuk melihat ekspresi wajah laki-laki itu ketika kekasihnya disebut, lalu dia melihat ke Emma lagi karena ekspresi Jake terlihat datar saja.“Aku akan bilang ke Sabrina biar nggak gangguin Emma lagi entar,” kata Jake.Ethan tersenyum sinis. “Aku nggak yakin dia mau dengerin kamu,” katanya.“Seenggaknya aku beru
Hari pertama menjalani kegiatan di kampus Emma merasa sangat tidak nyaman. Dia tidak mudah berkenalan dengan orang baru karena tidak semua orang bisa memahaminya. Akibatnya, Emma jadi sering menyendiri. Baik di kelas, perpustakaan atau di kantin, dia jarang terlihat berbaur dan mengobrol dengan mahasiswa lain. Keadaan itu membuat banyak mahasiswa di kampus yang menganggap Emma sombong. Sehingga akhirnya ada banyak mahasiswa di kampus yang membenci Emma. Banyak yang memusuhi Emma secara diam-diam. Tapi tak sedikit juga yang memusuhi Emma secara terang-terangan. Akibatnya, hampir setiap hari ada saja yang membuat Emma marah dan mengamuk karena selalu ada yang mengganggunya. Puncaknya adalah saat ada yang menganggu Emma saat gadis itu makan siang sendirian di kantin.“Sombong banget sih ke mana-mana sendiri terus,” kata seorang gadis berambut sebahu.“Mungkin dia ngerasa paling cantik kali di sekolah ini. Atau dia kayak gini biar banyak yang ngedeketin. Ala-ala misterius,” kata gadis y
Karena tak ada respon setelah mengetuk pintu beberapa kali, Anne memutuskan untuk menelepon Desy. Setelah panggilan keempat baru teleponnya direspon.“Ada apa, Anne?” tanya Desy dari seberang. Suaranya terdengar sangat pelan.“Kamu ada di rumah?” tanya Anne.“Iya,” sahut Desy.“Kok ...,” Anne menghentikan kalimatnya karena dia melihat seorang bapak-bapak keluar dari rumah Desy. Sebatas yang dia ingat, itu bukan Ayah Desy. Apakah orang itu kerabatnya Desy yang dia tidak kenal sebelumnya?“Kamu masuk aja,” kata Desy.Anne seketika memutuskan sambungan telepon dan masuk ke melewati pintu yang terbuka. Setelah menutup pintu, dia berjalan ke tengah bagian rumah. Tempat yang dia tuju tentu saja kamar Desy.Anne mengerutkan kening saat masuk ke kamar Desy dan melihat ranjang gadis itu berantakan. Dia takut terjadi apa-apa dengan Desy.“Desy, kamu di mana?” tanya Anne. Dia menghembuskan napas lega saat mendegar suara keran dari kamar mandi.“Orang laki-laki yang tadi keluar dari rumah kamu si
Tiga hari setelah demo terakhir dilakukan, kedua orang tua Emma dipanggil ke kampus. Mereka berdua diminta untuk bertemu dengan Bu Marta langsung di ruangannya. “Selamat pagi,” kata Tony sambil mengetuk pintu ruangan Bu Marta ketika langkahnya terhenti di depan ruangan kepala sekolah itu.Bu Marta menatap ke arah pintu. “Selamat pagi,” katanya, “silakan masuk.”Bu Marta mengambil napas dalam sebelum berbicara dengan Robin dan Lily. “Sebelumnya saya mewakili pihak sekolah ingin mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya,” kata Bu Marta.“Apa tidak bisa dinegosiasikan lagi, Bu?” tanya Robin, “kita semua sama-sama tahu kan kalau semua kekacauan yang Emma perbuat bukan murni keinginan Emma. Ada mahluk astral yang mengendalikannya.”Bu Marta mengangguk. “Kami sudah berusaha semaksimal mungkin menjelaskan kepada para orangtua mahasiswa itu. Tapi mereka tak ada yang mau peduli. Alasan mereka, mereka tidak mau kekacauan itu terulang terus. Mereka tidak mau kalau nanti anak mereka dan yang lainny
Orang tua Yosi dan Burhan kompak mengajak puluhan orang tua mahasiswa lain untuk melakukan demo ke kampus. Mereka semua menuntut agar Emma dikeluarkan karena tingkahnya yang sangat meresahkan. Mereka tak hanya melakukan demo sekali, tetapi sebanyak tiga kali dalam seminggu.Fakta itu tentu saja membuat pihak sekolah bimbang. Di satu sisi, mereka tidak bisa mengabaikan permintaan wali murid. Tapi, di sisi lain, mengeluarkan Emma dari kampu begitu saja juga bukan pilihan yang paling tepat. Bagaimana pun juga, Emma adalah salah satu mahasiswa yang cukup berprestasi. Mereka bahkan mempunya beberapa rencana untuk mengikuti lomba dalam kurun waktu beberapa bulan ke depan. Dan salah satu mahasiswa yang akan mereka ikutkan untuk lomba itu adalah Emma.Tak hanya pihak sekolah yang dibuat pusing oleh demo yang dilakukan para orang tua mahasiswa itu. Emma dan orang tuanya juga dibuat pusing. Yang paling tertekan dengan kedaan itu tentu saja Emma. Hampir setiap hari dia menangis karena lelah meng
Sabrina tak peduli jika pada akhirnya Desy muak dengan sikapnya dan gadis itu meninggalkannya. Dia tetap fokus pada niatnya untuk membuat Emma dikeluarkan dari sekolah. Maka dia mencari tahu dua mahasiswa yang kemarin menjadi korban amukan Emma di kantin. Dari informasi yang berhasil Sabrina himpun dari orang-orang suruhannya. Dia menemukan nama dan kelas dua mahasiswa itu. Bahkan Sabrina juga tahu alamat rumah mereka. Tapi sebelum memutuskan untuk mendatangi orang tua mereka di rumah mereka, Sabrina memutuskan untuk menghampiri mereka di kelasnya terlebih dahulu. Yang pertama Sabrina datangi adalah Yosi. Laki-laki berpostur jangkung itu tengah duduk di kursi yang ada di depan kelas ketika Sabrina datang. “Hei, gimana kabarnya?” kata Sabrina. Dia duduk di samping Yosi, “luka kamu yang kena amukan Emma kemarin masih sakit?” “Lumayan sih. Ada beberapa luka gosong kebiruan dan luka goresan karena kena lantai dan bangku kantin,” kata Yosi, “ini masih mendingan. Si Burhan malah hari ini
Emma pikir, Sabrina memang akan benar-benar berubah. Dia pikir gadis itu akan menepati janjinya. Tapi ternyata tidak. Pada akhirnya gadis itu berulang lagi. Entah disengaja atau tidak, saat berad di kantin, tiba-tiba saja Sabrina menjatuhkan minuman yang masih agak panas dari belakang. Cairan kopi itu mengenai punggung Emma, mengenai kemejanya dan tembus hingga ke kulitnya.Emma merasakan rasa skit dan panas doi punggungnya. Seharusnya dia pergi ke toilet. Dan memang sebenarnya dia berniat pergi ke toilet. Namun, Emosinya lebih dulu meledak. Seperti biasa, mahluk astral itu menguasainya lagi. Membuatnya lepas kendali.Sadar berhasil memancing Emma, Sabrina pun tersenyum-senyum. Tetapi sebisa mungkin dia berusaha meminta maaf agar segalanya tak terlihat mencolok.“Maaf ya, Emma,” katanya kepada Emma.Emma tak menyahut. Dia mengerang dan mencengkeram pergelangan tangan Sabrina. Matanya melotot dan bola matanya berputar-putar. Dia mengerang. Lalu kuku-kukunya yang panjang mencakar kulit
Emma masuk kuliah lagi, tiga hari dari hari pertama dia di rumah sakit. Sebelum masuk ke dalam kelas, Ethan dan Jake menyambutnya di ambang pintu. Mereka mengulurkan tangan dan agak sedikit membungkuk seperti mempersilakan otang penting. Emma tersenyum melihatnya.“Kalian ini kayak aku siapa saja,” kata Emma.Baru duduk sebentar, Tony lalu berdiri lagi. Dia lalu mengajak Ethan dan Jake keluar kelas.“Aku nggak diajak nih?” tanya Emma.“Aku mau ngobrol sebentar sama mereka,” kata Tony. Dia lalu tersenyum, “ini urusan laki-laki.”Emma menghembuskan napas kasar. “Males banget deh kalo bawa-bawa gender,” katanya.“Bentar doang kok,” kata Tony.Tony, Ethan dan Jake lalu berjalan keluar kela. Mereka menghentikan langkahnya di taman. Tony lalu memilih bangku yang ada di sudut taman untuk duduk. Tempat itu lumayan jah dari jangkauan orang-orang karena kanan dan kirinya adalah barisan tembok ruang dekan.“Kamu ngapain sih ngajak kita ke sini?” tanya Jake setelah dia duduk.“Aku mau ngomong ser
Saat Sabrina masuk, Jake sedang mengobrol dengan Emma. Laki-laki itu berdiri di dekat ranjang sambil agak membungkuk, mendengarkan suara Emma yang mungkin masih terdengar pelan. Dia membelakangi Sabrina. Di sampingnya ada Ethan. Sementara itu, Tony berdiri di sisi ranjang yang lain sehingga dia menjadi orang yang lebih dulu mengetahui kehadiran Sabrina.Karena menyadari arah pandang Tony, Jake akhirnya menoleh.“S ... sore semua,” kata Sabrina.Tony tak menyahut. Emma juga. Yang menyahut adalah Jake. “Sore,” ujarnya pelan. Dia lalu menghadap Emma lagi.“Emma sakit apa? Habis jatuh kah?” tanya Sabrina karena dia melihat ada bekas jahitan di kening Emma sebelah kanan.“Iya,” sahut Sabrina pelan.“Sekarang udah mendingan apa masih sakit?” tanya Sabrina.“Udah mendingan kok,” sahut Emma.“Maaf ya, aku nggak sempet beliin apa-apa,” kata Sabrina.“Nggak apa-apa,” sahut Emma.Sejujurnya, Emma tidak yakin Sabrina tulus. Dia sebenarnya malas menanggapi gadis itu. Rasanya mustahil seorang Sabri
Saat jam istirahat siang, Jake dan Ethan kelimpungan mencari Tony dan Emma di kelasnya. Mereka bertanya-tanya ke mana perginya dua orang itu. Jake yang paling penasaran. Tentu saja. Setelah duduk di meja kantin, Jake lalu menelfon Emma. Karena tak ada tanggapan dari gadis itu, dia lalu menelfon Tony. “Aku yakin sih ini mereka pasti pergi berdua,” kata Jake selagi menunggu panggilannya mendapat respon dari Tony. “Kayaknya sih,” sahut Ethan sambil menyendok basonya. “Kamu bolos bareng Emma ya?” kata Jake setelah mendengar suara Tony dari seberang. “Bolos ... bolos kepalamu? Aku lagi jenguk Emma di rumah sakit,” sahut Tony. “Rumah sakit?” ulang Tony, “Emangnya Emma sakit apa?” “Ceritanya panjang. Entar juga kamu tahu sendiri kalo ke rumah sakit,” sahut Tony. “Di rumah sakit mana?” tanya Jake. “Biasa. Yang deket sama rumah Emma,” sahut Tony. “Siapa yang sakit?” tanya Ethan setelah Jake meletakan ponselnya di atas meja. “Emma,” jawab Jake. “Sakit apa?” sahut Ethan. Dia membelala