“Makasih,” kata Emma. Gadis itu tersenyum.Seperti apa yang sering dikatakan Clara, kalau dunianya mulai terasa sempit dan sesak, dia harus fokus pada hal lain yang membuat hidupnya terasa baik. Dia mempunyai dua orangtua yang sangat menyayanginya. Dia juga mempunyai tiga orang teman yang selalu ada disaat dia dalam masalah.***Sabrina membasuh muka di wastafel. Usai membasuh muka, gadis itu lalu mematikan keran. Namun dia tak langsung keluar dari kamar mandi. Dia menyandarkan tangannya ke wastafel sambil memikirkan Desy.Gadis itu terlihat agak berbeda belakangan ini. Bahkan tak hanya sekali, dua kali dia menentang kemauan Sabrina. Apakah gadis itu sudah tidak nyaman berteman dengan Sabrina? Kalau iya, kenapa? Bukannya selama ini semuanya baik-baik saja? Tak mau pusing, Sabrina lalu berjalan hendak meninggalkan kamar mandi. Namun, belum juga langkahnya mencapai pintu, seketika lampu di kamarnya padam. Dalam hitungan detik, dia merasakan angin mengenai lehernya lantaran rambutnya dic
Emma menghabiskan isi gelas dalam satu kali minum. Dia lalu menyerahkan gelasnya pada Robin lagi.“Kamu mimpi apa, Nak?” tanya Robin.Masih sambil menangis, Emma lalu menceritakan apa yang terjadi dalam mimpinya. “Aku takut sekali, Bu,” katanya di akhir cerita.Lily memeluk Emma lagi. “Sudah ... tenang, ada Ibu,” katanya.***Ethan meletakkan pantatnya ke kursi. Dia lantas mengerutkan kening saat melihat Jake yang cengar-cengir.“Kenapa kamu?” tanya Ethan.“Aku habis dari rumahnya Emma,” jawabnya.“Hah, Sendirian?” tanya Ethan.Jake mengangguk. “Iya dong. Masak Tony doang yang bisa diem-diem ke rumah Emma. Aku juga bisa lah,” katanya.Ethan geleng-geleng kepala. “Terus rencana kamu apa habis ini? Kamu mau ngedeketin Emma lagi nggak?”“Yang pasti sih iya. Aku nggak mau keduluan Tony,” katanya.Ethan menghembuskan napas panjang. Sejujurnya, tak pernah terlintas dalam benaknya kalau dua temannya akan bersaing mendapatkan seorang gadis yang juga masih teman mereak bersama. Ini benar-benar
Seperti yang sudah didiskusikan dengan kedua temannya, Tony memutuskan untuk berbicara kepada semua mahasiswa yang ada di kelas. Dia berjalan mendekati white board lalu mulai berbicara.“Selamat pagi teman-teman. Aku minta waktunya sebentar ya!” katanya sambil mengetuk papan tulis dengan board marker untuk menarik perhatian.Dalam beberapa menit, perhatian seisi ruangan tertuju pada Tony. Mereka menatap Tony dengan raut penuh tanya.“Ada apaan sih? Ganggu orang mau ngerumpi aja,” kata seorang gadis yang duduk di kursi paling depan.“Jadi minggu ini kan Emma mau masuk kuliah lagi. Nah, aku pengen kita ngasih kayak semacam sambutan buat dia. Kira-kira kalian keberatan nggak?” tanya Tony.“Sambutan? Sambutan apa?” kata seorang mahasiswa yang duduk pada kursi yang berada di tengah ruangan.“Aku ingin kita semua iuran seikhlasnya aja buat kasih Emma gift. Terus pas Emma masuk, kita sambut dia pakai lagu,” kata Tony.“Aku setuju aja sih buat iurannya. Tapi lagunya lagu apa?” kata seorang la
Sabrina menghembuskan napas panjang. Orang-orang bilang segala sesuatu di dunia ini harus di dapatkan dengan pengorbanan. Mungkin memang sekarang saatnya dia melakukan pengorbanan. Mengingat selama ini dia selalu mudah mendapatkan apa pun dengan uang orang tuanya.“Oke ... oke. Aku bakalan minta maaf. Tapi bukan berarti aku bakalan berhenti gangguin Emma. Karena kalau didiemin, anak itu pasti bakalan keterlaluan,” kata Sabrina.“Yang penting jangan ada Jake aja kalau kamu ngerjain Emma,” sahut Desy.***Seperti yang sudah dijanjikan, Lily dan Robin mengantar Emma saat hari pertama gadis itu masuk kuliah lagi. Sebelum melepaskan Emma di kelas, mereka berdua datang ke ruangan Bu Marta dulu sesuai permintaan rektor kampus tersebut.“Selamat Pagi, Bu Marta,” kata Lily setibanya di ruangan Bu Marta. Dia mengetuk pintu.Bu Marta mengalihkan pandangannya dari layar komputer ke pintu. Dia tersenyum lebar saat melihat Robin, Lily dan Emma.“Silakan masuk,” kata Bu Marta. Beliau berdiri lalu be
Karena hari ini weekend, seharusnya Jake bisa bersenang-senang di rumahnya. Tapi, kenyataannya tidak demikian. Saat sedang asyik bermain basket bersama Ethan, asisten rumah tangga-nya memberi tahu kalau di depan ada Sabrina yang sedang menunggunya.“Sial, ngapain lagi sih itu anak,” kata Jake. Dia lalu melemparkan bola basket yang ada di tangannya ke lantai dengan keras.Ethan tertawa melihatnya. “Selamat menikmati pertemuan dengan nenek sihir,” katanya.Tak terima, Jake lalu menyeret Ethan.“Eh ... eh, ngapain sih kamu?” tanya Ethan.Jake tertawa. “Temenin aku. Aku nggak mau ketemu sama nenek sihir sendirian,” katanya dengan masih sedikit tertawa.Sabrina rupanya ada di teras rumah. Gadis itu datang sendirian. Dua dayangnya tidak ada.“Ada apa kamu ke sini?” tanya Jake. Dia tidak duduk dan hanya berdiri saja agak jauh dari Sabrina. Dia ingin Sabrina tahu bahwa kedatangannya tidak diinginkan.Sabrina bangkit lalu tersenyum. “Aku ... aku mau minta maaf,” katanya.Jake mengerutkan kenin
Jake dan Ethan tertawa lalu saling bertos setelah mobil Sabrina tak terlihat lagi dari pandangan mereka.“Aku dari tadi nahan ketawa tau!” kata Ethan.“Kamu pikir aku enggak juga,” sahut Jake.“Lucu banget ngelihat Sabrina yang biasanya tampangnya angkuh dan sok iye jadi kayak orang goblok gitu!” sahut Ethan. Dia lalu terbahak.***Sabrina tak langsung pulang ke rumah. Di tengah perjalanan, dia menghentikan mobilnya lalu melakukan panggilan video pada Desy dan Anne.“Kenapa tampang kamu kusut banget gitu?” tanya Desy ketika wajahnya muncul di layar. Dia lalu terbahak.“Aku lagi nggak mood,” sahut Sabrina.“Nggak mood kenapa?” tanya Anne. Gadis itu kelihatannya sedang makan karena dia tampak sedang sibuk mengupas sesuatu.Sabrina lalu menceritakan semua yang terjadi padanya sejak dia datang ke rumah Jake sampai dia harus terpaksa meminta maaf pada Emma dan orang tuanya.Desy dan Anne tertawa bersamaan setelah mendengar Sabrina bercerita. Namun, dalam hitungan detik, Anne segera menutup
“By the way, mahluk astral itu masih ganggu kamu?” tanya Tony.Emma tersenyum miris. Dia lalu mengangguk. “Sekitar dua hari yang lalu aku baru aja mimpi buruk,” sahut Emma.“Mimpi buruk gimana?” tanya Tony.“Aku mimpi lagi di hutan. Terus ada di rumah tua. Pas aku datengin ternyata ada dua orang itu,” kata Emma.“Coba entar aku meditasi lagi,” kata Tony.“Nggak usah,” sahut Emma, buru-buru, “ngapain sih? Aku nggak mau ya kalo sampe kamu ngorbanin keselamatan kamu.”Tony tertawa. “Kamu tuh kayak sama siapa aja sih,” katanya, “aku kan teman kamu. Nggak apa-apa dong kalo aku mau bantuin kamu.”“Nggak!” bantah Emma, “awas ya!”Tony tertawa lagi. Dia hanya bercanda. Karena kalaupun dia akan melakukan meditasi lagi, dia tak akan pernah bilang-bilang pada Emma.***Jake duduk di teras markas. Dia sedang memakan buah yang tadi dia petik. Sementara itu, Ethan ada di atas pohon belimbing. Dia menikmati semilir angin dari sana sambil sedikit-sedikit memejamkan mata.“Ethan, turun kenapa sih. Aku
Lily mengangguk. “Aku nggak tahu gimana jadinya kalau kamu nggak ke dapur? Karena aku bener-bener nggak bisa mengendalikan diriku,” kata Lily.Lily lantas berpaling pada Emma. “Sekali lagi maafkan Ibu ya, Nak,” katanya.Emma menganguk. Dia lalu tersenyum.***Sabrina tampak gelisah. Dia terlihat santai duduk di kursi taman, tapi pikirannya melayang ke mana-mana. Dia bingung memikirkan apa yang harus dia lakukan untuk mengambil hati Jake.“Guys, kalo aku ngasih kado ke Jake, enaknya kasih apaan ya?” kata Sabrina. Pandangannya menerawang. Tangan kanannya memilin rambut.“Kalo kamu yang suka Jake aja tanya kita, kita tanya siapa?” sahut Desy.“Tau itu, kamu kan yang suka sama dia. Harusnya kamu yang lebih banyak tahu tentang dia,” sahut Anne.Desy berdecak. “Emang ya nanyain sesuatu ke kalian tuh dari dulu nggak pernah ada gunanya,” katanya.Sabrina lalu mengeluarkan ponselnya dari saku celana piyama. Dia lalu membuka aplikasi Instagram. Dia ingin men-stalk Instagram Jake. Siapa tahu, da