Home / Horor / Teror Ghaib / Teror Ghaib 114

Share

Teror Ghaib 114

Author: Rani Giza
last update Last Updated: 2024-01-01 23:27:25
Tony menghembuskan napas panjang. Dia akhirnya memilih utuk maju daripada ribut saja malah tidak selesai-selesai.

“Permisi,” kata Tony sambil mengetuk pintu ruangan Bu Marta setibanya di depan pintu.

Bu Marta mengalihkan pandangannya dari layar komputer ke pintu. Dia mengerutkan kening selama beberapa detik sebelum akhirnya tersenyum dan mempersilakan Tony cs masuk.

“Ada apa? Apa ada perkembangan baru dari kasus Emma yang kalian tahu,” tanya Bu Marta.

“Tidak, Bu, kita ... kita cuma mau minta tolong,” balas Tony.

“Minta tolong? Minta tolong apa?” tanya Bu Marta.

“Jadi begini, Bu, selama ini kan kita mencurigai Indra sebagai anak laki-laki yang ada di video itu. Karena memang dia sempat mendekati Emma selama beberapa hari sebelum munculnya video itu,” kata Tony.

Bu Marta mengangguk. “Lalu?” tanyanya.

“Tapi setelah kita tanyai, si Indra bilang kalau dia tidak tau. Sementara waktu kemarin kita datang ke TKP di mana Emma pingsan, kita mendapatkan fakta kalau Sabrina datang ke situ d
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 115

    Desy lalu berusaha menemukan jalan keluar dari toilet. Dalam gelap, dia meraba raba. Langkahnya terhenti saat tangannya seperti menyentuh sesuatu. Awalnya, Desy pikir itu tembok, tapi mengapa permukannya kasar? Saat tangan Desy meraba ke bawah, dia merasakan seperti postur tubuh manusia. Dia lalu menelan ludah.“Anne bukan?” kata Desy, memberanikan diri bertanya. Namun, bukannya mendengar suara sahutan Anne, dia malah mendengar suara tawa seorang wanita. Sontak dia menjerit.Desy berusaha mencari jalan keluar. Dia menghindar daan menjauh dari tempat dia semula. Dia lalu meraba-raba lagi, untuk mencari jalan keluar. Namun, lagi-lagi tangannya menyentuh sesuatu, seperti membentuk postur tubuh manusia. Desy lalu menjerit lagi. bersamaan dengan itu, suara tawa wanita yang keras dan melengking terdengar lagi.Dengan tubuh gemetar, Desy lalu terduduk. Dia memeluk lututnya yang terlipat. “Jangan ganggu aku,” katanya. Dia mulai menangis.Namun suara tawa itu bukannya mereda, tapi malah semaki

    Last Updated : 2024-01-01
  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 116

    Emma lantas terbawa Emosi. Dia berteriak. Menangis dan menjerit. Tangannya mencakar-cakar wajahnya sendiri. Matanya melotot, seolah akan keluar dari rongganya.Melihat itu, Lily tertu saja panik. Dia mencoba menahan tangan Emma. Namun Emma tak mau berhenti menggerakkan tangannya. Bahkan sampai kulitnya tergores dia tetap tak berhenti. Dia lalu tertawa keras.“Emma, hentikan, Nak. Kendalikan dirimu,” kata Lily. Sekuat tenaga, dia mencoba mengendalikan Emma. Namun, tenaganya rupanya tak cukup kuat. Dia terpental dan jatuh dari atas ranjang.Lily lalu berteriak memanggil Robin. Tak berapa lama, suaminya itu pun datang. Dia bergegas mendekati Emma.“Emma, apa yang kamu lakukan, Nak?” katanya. Dia lalu memegangi tubuh Emma agar berhenti berontak.Tak ingin, Robin kewalahan, Lily bangkit. Dia juga ikut memegangi Emma. Akhirnya, anak perempuannya itu berhasil dikendalikan setelah lima menit dia dan Tony memegangi tubuhnya.“Emma, istirahatlah,” kata Lily.Emma tak menyahut. Matanya masih mel

    Last Updated : 2024-01-02
  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 117

    “Apa maksud kamu merencanakan semua itu, Sabrina?” tanya Bu Marta ketika langkahnya terhenti.“Merencanakan apa, Bu?” balas Sabrina. Dia berakting seolah tidak tahu apa-apa.Ethan lalu maju. Dia lalu menunjukkan video ibu pemilik kios yang dia rekam. Dia juga menunjukkan video pengakuan Indra. Tak cukup di situ, Tony juga turun tagan. Dia menunjukkan chat dari Bu Marta mengenai pengakuan orangtua Indra yang mengatakan kalau Indra malam itu memang keluar dan dijemput dengan mobil Yaris merah.“Mau ngelak gimana lagi kamu?” kata Jake.Sabrina gelagapan. “A ... aku,” katanya.“Apa maksud kamu membuat video seperti itu Sabrina?” tanya Bu Marta.“Kenapa kamu sejahat itu sama Emma? Apa dia pernah melakukan kesalahan sama kamu? Apa dia pernah jahat sama kamu?” tanya Bu Marta lagi.Sabrina hanya menundukkan kepala. Dia tak berkutik sama sekali.“Saya mau kamu dan Indra membuat video permintaan maaf dan klarifikasi. Kamu jelaskan kalau Emma tidak pernah melakukan hal itu. Kamu jelaskan bagaima

    Last Updated : 2024-01-02
  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 118

    “Kabar gembira apa?” Lily yang menyahut.Tony lalu menceritakan semua penyelidikan yang mereka lakukan. Mulai dari kedatangan mereka ke lokasi pertemuan Emma dan Desy, mengejak kerja sama Bu Marta, sampai akhirnay mereka memaksa Indra untuk mengaku.Lily membelalakkan mata setelah mendengar cerita Tony. Emma juga. “Indra itu siapa?” tanya Lily.“Indra itu mahasiswa yang satu fakultas dengan saya dan Emma, Tante,” jawab Tony, “dia sempat mendekati Emma sekitar semingu sebelum video itu beredar.”“Kenapa dia mau kerja sama Sabrina? Kenapa dia jahat sama anak saya?” kata Lily. Dia tampak sangat terpukul.“Sabrina selalu kayak begitu, Tante. Dia sering bayar orang untuk menyakiti orang-orang yang nggak dia sukai,” kata Jake.“Terima kasih karena kalian sudah membantu Emma ya,” sahut Lily, “Tante nggak bisa bales apa-apa selain cuma ucapin terima kasih.”“Nggak apa-apa, Tante,” sahut Tony, “Emma kan teman kita. Sudah selayaknya kita bantu kalau ada masalah.”***Pagi sekitar jam sembilan,

    Last Updated : 2024-01-03
  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 119

    Desy mendesah lemah. “Enak ya jadi anak orang kaya. Andai aku terlahir jadi anak orang kaya,” katanya.Sabrina menoleh pada Desy. “Tapi biar kamu nggak kaya pun bisa beli barang-barang branded?” sahutnya, “nggak usah banyak ngeluh kalo masih ada orangtua yang bisa dipaksa buat ngutang.”Anne hendak tertawa, tapi dia lalu menutup mulutnya. Sementara itu, Desy tak menyahut. Urat-urat wajahnya menegang. Seandainya, sekarang posisinya tidak sedang di rumah Sabrina, dia pasti sudah memaki-maki gadis itu. Dari dulu gadis itu selalu saja suka menghakimi orang. Sabrina tidak tahu bahwa Desy berjuang dan bekerja sendiri untuk mendapatkan segala yang dia inginkan. Walaupun sebenarnya dia sudah muak dengan pekerjaannya itu.***Jam di kamar Desy menunjukkan pukul sebelas malam. Tapi gadis itu belum tertidur. Dia masih terjaga karena ada orang yang sedang menikmati tubuhnya. Beberapa kali, dia bahkan membuat suara-suara jeritan palsu agar kliennya senang. Padahal sebenarnya dia merasa jijik denga

    Last Updated : 2024-01-03
  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 120

    “Menurutmu kenapa ya dia sengaja dateng ke rumah Emma sembunyi-sembunyi nggak ngajak kita?” tanya Jake.“Ya yang jelas dia nggak mau kita ganggu dia,” balas Ethan.Jake berdecak. “Menurut kamu, kalo memang Tony suka sama Emma, kenapa dia nggak ngomong aja sama Emma? Kenapa mereka nggak pacaran aja dari awal?”Ethan mengangkat bahu. “Mungkin Tony takut Emma malah jaga jarak kali kalau dia bilang suka,” balasnya.“Kok aneh,” gumam Jake.“Enggak aneh kalo menurut gue sih. Ibaratnya gini ya, kamu punya teman cewek dari kecil. Terus kamu udah terbiasa dan nyaman temenan aja. Takutnya kalo kamu nyatain perasaan ke dia, terus dianya nggak suka, kan jadi canggung. Mending nggak usah ngomong aja. Nggak ada risiko,” jelas Ethan.Jake mengangguk-angguk. “Iya juga ya,” katanya.***Lily masuk ke ruangan Clara saat namanya dipangil. Dia lalu tersenyum kepada psikolog itu saat telah berada di dalam ruangan.“Perkembangan Emma sudah sangat bagus, Bu Lily,” kata Clara, “kalau saat pertama kali ke sin

    Last Updated : 2024-01-04
  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 121

    “Makasih,” kata Emma. Gadis itu tersenyum.Seperti apa yang sering dikatakan Clara, kalau dunianya mulai terasa sempit dan sesak, dia harus fokus pada hal lain yang membuat hidupnya terasa baik. Dia mempunyai dua orangtua yang sangat menyayanginya. Dia juga mempunyai tiga orang teman yang selalu ada disaat dia dalam masalah.***Sabrina membasuh muka di wastafel. Usai membasuh muka, gadis itu lalu mematikan keran. Namun dia tak langsung keluar dari kamar mandi. Dia menyandarkan tangannya ke wastafel sambil memikirkan Desy.Gadis itu terlihat agak berbeda belakangan ini. Bahkan tak hanya sekali, dua kali dia menentang kemauan Sabrina. Apakah gadis itu sudah tidak nyaman berteman dengan Sabrina? Kalau iya, kenapa? Bukannya selama ini semuanya baik-baik saja? Tak mau pusing, Sabrina lalu berjalan hendak meninggalkan kamar mandi. Namun, belum juga langkahnya mencapai pintu, seketika lampu di kamarnya padam. Dalam hitungan detik, dia merasakan angin mengenai lehernya lantaran rambutnya dic

    Last Updated : 2024-01-04
  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 122

    Emma menghabiskan isi gelas dalam satu kali minum. Dia lalu menyerahkan gelasnya pada Robin lagi.“Kamu mimpi apa, Nak?” tanya Robin.Masih sambil menangis, Emma lalu menceritakan apa yang terjadi dalam mimpinya. “Aku takut sekali, Bu,” katanya di akhir cerita.Lily memeluk Emma lagi. “Sudah ... tenang, ada Ibu,” katanya.***Ethan meletakkan pantatnya ke kursi. Dia lantas mengerutkan kening saat melihat Jake yang cengar-cengir.“Kenapa kamu?” tanya Ethan.“Aku habis dari rumahnya Emma,” jawabnya.“Hah, Sendirian?” tanya Ethan.Jake mengangguk. “Iya dong. Masak Tony doang yang bisa diem-diem ke rumah Emma. Aku juga bisa lah,” katanya.Ethan geleng-geleng kepala. “Terus rencana kamu apa habis ini? Kamu mau ngedeketin Emma lagi nggak?”“Yang pasti sih iya. Aku nggak mau keduluan Tony,” katanya.Ethan menghembuskan napas panjang. Sejujurnya, tak pernah terlintas dalam benaknya kalau dua temannya akan bersaing mendapatkan seorang gadis yang juga masih teman mereak bersama. Ini benar-benar

    Last Updated : 2024-01-05

Latest chapter

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 163

    Hari pertama menjalani kegiatan di kampus Emma merasa sangat tidak nyaman. Dia tidak mudah berkenalan dengan orang baru karena tidak semua orang bisa memahaminya. Akibatnya, Emma jadi sering menyendiri. Baik di kelas, perpustakaan atau di kantin, dia jarang terlihat berbaur dan mengobrol dengan mahasiswa lain. Keadaan itu membuat banyak mahasiswa di kampus yang menganggap Emma sombong. Sehingga akhirnya ada banyak mahasiswa di kampus yang membenci Emma. Banyak yang memusuhi Emma secara diam-diam. Tapi tak sedikit juga yang memusuhi Emma secara terang-terangan. Akibatnya, hampir setiap hari ada saja yang membuat Emma marah dan mengamuk karena selalu ada yang mengganggunya. Puncaknya adalah saat ada yang menganggu Emma saat gadis itu makan siang sendirian di kantin.“Sombong banget sih ke mana-mana sendiri terus,” kata seorang gadis berambut sebahu.“Mungkin dia ngerasa paling cantik kali di sekolah ini. Atau dia kayak gini biar banyak yang ngedeketin. Ala-ala misterius,” kata gadis y

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 162

    Karena tak ada respon setelah mengetuk pintu beberapa kali, Anne memutuskan untuk menelepon Desy. Setelah panggilan keempat baru teleponnya direspon.“Ada apa, Anne?” tanya Desy dari seberang. Suaranya terdengar sangat pelan.“Kamu ada di rumah?” tanya Anne.“Iya,” sahut Desy.“Kok ...,” Anne menghentikan kalimatnya karena dia melihat seorang bapak-bapak keluar dari rumah Desy. Sebatas yang dia ingat, itu bukan Ayah Desy. Apakah orang itu kerabatnya Desy yang dia tidak kenal sebelumnya?“Kamu masuk aja,” kata Desy.Anne seketika memutuskan sambungan telepon dan masuk ke melewati pintu yang terbuka. Setelah menutup pintu, dia berjalan ke tengah bagian rumah. Tempat yang dia tuju tentu saja kamar Desy.Anne mengerutkan kening saat masuk ke kamar Desy dan melihat ranjang gadis itu berantakan. Dia takut terjadi apa-apa dengan Desy.“Desy, kamu di mana?” tanya Anne. Dia menghembuskan napas lega saat mendegar suara keran dari kamar mandi.“Orang laki-laki yang tadi keluar dari rumah kamu si

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 161

    Tiga hari setelah demo terakhir dilakukan, kedua orang tua Emma dipanggil ke kampus. Mereka berdua diminta untuk bertemu dengan Bu Marta langsung di ruangannya. “Selamat pagi,” kata Tony sambil mengetuk pintu ruangan Bu Marta ketika langkahnya terhenti di depan ruangan kepala sekolah itu.Bu Marta menatap ke arah pintu. “Selamat pagi,” katanya, “silakan masuk.”Bu Marta mengambil napas dalam sebelum berbicara dengan Robin dan Lily. “Sebelumnya saya mewakili pihak sekolah ingin mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya,” kata Bu Marta.“Apa tidak bisa dinegosiasikan lagi, Bu?” tanya Robin, “kita semua sama-sama tahu kan kalau semua kekacauan yang Emma perbuat bukan murni keinginan Emma. Ada mahluk astral yang mengendalikannya.”Bu Marta mengangguk. “Kami sudah berusaha semaksimal mungkin menjelaskan kepada para orangtua mahasiswa itu. Tapi mereka tak ada yang mau peduli. Alasan mereka, mereka tidak mau kekacauan itu terulang terus. Mereka tidak mau kalau nanti anak mereka dan yang lainny

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 160

    Orang tua Yosi dan Burhan kompak mengajak puluhan orang tua mahasiswa lain untuk melakukan demo ke kampus. Mereka semua menuntut agar Emma dikeluarkan karena tingkahnya yang sangat meresahkan. Mereka tak hanya melakukan demo sekali, tetapi sebanyak tiga kali dalam seminggu.Fakta itu tentu saja membuat pihak sekolah bimbang. Di satu sisi, mereka tidak bisa mengabaikan permintaan wali murid. Tapi, di sisi lain, mengeluarkan Emma dari kampu begitu saja juga bukan pilihan yang paling tepat. Bagaimana pun juga, Emma adalah salah satu mahasiswa yang cukup berprestasi. Mereka bahkan mempunya beberapa rencana untuk mengikuti lomba dalam kurun waktu beberapa bulan ke depan. Dan salah satu mahasiswa yang akan mereka ikutkan untuk lomba itu adalah Emma.Tak hanya pihak sekolah yang dibuat pusing oleh demo yang dilakukan para orang tua mahasiswa itu. Emma dan orang tuanya juga dibuat pusing. Yang paling tertekan dengan kedaan itu tentu saja Emma. Hampir setiap hari dia menangis karena lelah meng

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 159

    Sabrina tak peduli jika pada akhirnya Desy muak dengan sikapnya dan gadis itu meninggalkannya. Dia tetap fokus pada niatnya untuk membuat Emma dikeluarkan dari sekolah. Maka dia mencari tahu dua mahasiswa yang kemarin menjadi korban amukan Emma di kantin. Dari informasi yang berhasil Sabrina himpun dari orang-orang suruhannya. Dia menemukan nama dan kelas dua mahasiswa itu. Bahkan Sabrina juga tahu alamat rumah mereka. Tapi sebelum memutuskan untuk mendatangi orang tua mereka di rumah mereka, Sabrina memutuskan untuk menghampiri mereka di kelasnya terlebih dahulu. Yang pertama Sabrina datangi adalah Yosi. Laki-laki berpostur jangkung itu tengah duduk di kursi yang ada di depan kelas ketika Sabrina datang. “Hei, gimana kabarnya?” kata Sabrina. Dia duduk di samping Yosi, “luka kamu yang kena amukan Emma kemarin masih sakit?” “Lumayan sih. Ada beberapa luka gosong kebiruan dan luka goresan karena kena lantai dan bangku kantin,” kata Yosi, “ini masih mendingan. Si Burhan malah hari ini

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 158

    Emma pikir, Sabrina memang akan benar-benar berubah. Dia pikir gadis itu akan menepati janjinya. Tapi ternyata tidak. Pada akhirnya gadis itu berulang lagi. Entah disengaja atau tidak, saat berad di kantin, tiba-tiba saja Sabrina menjatuhkan minuman yang masih agak panas dari belakang. Cairan kopi itu mengenai punggung Emma, mengenai kemejanya dan tembus hingga ke kulitnya.Emma merasakan rasa skit dan panas doi punggungnya. Seharusnya dia pergi ke toilet. Dan memang sebenarnya dia berniat pergi ke toilet. Namun, Emosinya lebih dulu meledak. Seperti biasa, mahluk astral itu menguasainya lagi. Membuatnya lepas kendali.Sadar berhasil memancing Emma, Sabrina pun tersenyum-senyum. Tetapi sebisa mungkin dia berusaha meminta maaf agar segalanya tak terlihat mencolok.“Maaf ya, Emma,” katanya kepada Emma.Emma tak menyahut. Dia mengerang dan mencengkeram pergelangan tangan Sabrina. Matanya melotot dan bola matanya berputar-putar. Dia mengerang. Lalu kuku-kukunya yang panjang mencakar kulit

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 157

    Emma masuk kuliah lagi, tiga hari dari hari pertama dia di rumah sakit. Sebelum masuk ke dalam kelas, Ethan dan Jake menyambutnya di ambang pintu. Mereka mengulurkan tangan dan agak sedikit membungkuk seperti mempersilakan otang penting. Emma tersenyum melihatnya.“Kalian ini kayak aku siapa saja,” kata Emma.Baru duduk sebentar, Tony lalu berdiri lagi. Dia lalu mengajak Ethan dan Jake keluar kelas.“Aku nggak diajak nih?” tanya Emma.“Aku mau ngobrol sebentar sama mereka,” kata Tony. Dia lalu tersenyum, “ini urusan laki-laki.”Emma menghembuskan napas kasar. “Males banget deh kalo bawa-bawa gender,” katanya.“Bentar doang kok,” kata Tony.Tony, Ethan dan Jake lalu berjalan keluar kela. Mereka menghentikan langkahnya di taman. Tony lalu memilih bangku yang ada di sudut taman untuk duduk. Tempat itu lumayan jah dari jangkauan orang-orang karena kanan dan kirinya adalah barisan tembok ruang dekan.“Kamu ngapain sih ngajak kita ke sini?” tanya Jake setelah dia duduk.“Aku mau ngomong ser

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 156

    Saat Sabrina masuk, Jake sedang mengobrol dengan Emma. Laki-laki itu berdiri di dekat ranjang sambil agak membungkuk, mendengarkan suara Emma yang mungkin masih terdengar pelan. Dia membelakangi Sabrina. Di sampingnya ada Ethan. Sementara itu, Tony berdiri di sisi ranjang yang lain sehingga dia menjadi orang yang lebih dulu mengetahui kehadiran Sabrina.Karena menyadari arah pandang Tony, Jake akhirnya menoleh.“S ... sore semua,” kata Sabrina.Tony tak menyahut. Emma juga. Yang menyahut adalah Jake. “Sore,” ujarnya pelan. Dia lalu menghadap Emma lagi.“Emma sakit apa? Habis jatuh kah?” tanya Sabrina karena dia melihat ada bekas jahitan di kening Emma sebelah kanan.“Iya,” sahut Sabrina pelan.“Sekarang udah mendingan apa masih sakit?” tanya Sabrina.“Udah mendingan kok,” sahut Emma.“Maaf ya, aku nggak sempet beliin apa-apa,” kata Sabrina.“Nggak apa-apa,” sahut Emma.Sejujurnya, Emma tidak yakin Sabrina tulus. Dia sebenarnya malas menanggapi gadis itu. Rasanya mustahil seorang Sabri

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 155

    Saat jam istirahat siang, Jake dan Ethan kelimpungan mencari Tony dan Emma di kelasnya. Mereka bertanya-tanya ke mana perginya dua orang itu. Jake yang paling penasaran. Tentu saja. Setelah duduk di meja kantin, Jake lalu menelfon Emma. Karena tak ada tanggapan dari gadis itu, dia lalu menelfon Tony. “Aku yakin sih ini mereka pasti pergi berdua,” kata Jake selagi menunggu panggilannya mendapat respon dari Tony. “Kayaknya sih,” sahut Ethan sambil menyendok basonya. “Kamu bolos bareng Emma ya?” kata Jake setelah mendengar suara Tony dari seberang. “Bolos ... bolos kepalamu? Aku lagi jenguk Emma di rumah sakit,” sahut Tony. “Rumah sakit?” ulang Tony, “Emangnya Emma sakit apa?” “Ceritanya panjang. Entar juga kamu tahu sendiri kalo ke rumah sakit,” sahut Tony. “Di rumah sakit mana?” tanya Jake. “Biasa. Yang deket sama rumah Emma,” sahut Tony. “Siapa yang sakit?” tanya Ethan setelah Jake meletakan ponselnya di atas meja. “Emma,” jawab Jake. “Sakit apa?” sahut Ethan. Dia membelala

DMCA.com Protection Status