Desy lalu berusaha menemukan jalan keluar dari toilet. Dalam gelap, dia meraba raba. Langkahnya terhenti saat tangannya seperti menyentuh sesuatu. Awalnya, Desy pikir itu tembok, tapi mengapa permukannya kasar? Saat tangan Desy meraba ke bawah, dia merasakan seperti postur tubuh manusia. Dia lalu menelan ludah.“Anne bukan?” kata Desy, memberanikan diri bertanya. Namun, bukannya mendengar suara sahutan Anne, dia malah mendengar suara tawa seorang wanita. Sontak dia menjerit.Desy berusaha mencari jalan keluar. Dia menghindar daan menjauh dari tempat dia semula. Dia lalu meraba-raba lagi, untuk mencari jalan keluar. Namun, lagi-lagi tangannya menyentuh sesuatu, seperti membentuk postur tubuh manusia. Desy lalu menjerit lagi. bersamaan dengan itu, suara tawa wanita yang keras dan melengking terdengar lagi.Dengan tubuh gemetar, Desy lalu terduduk. Dia memeluk lututnya yang terlipat. “Jangan ganggu aku,” katanya. Dia mulai menangis.Namun suara tawa itu bukannya mereda, tapi malah semaki
Emma lantas terbawa Emosi. Dia berteriak. Menangis dan menjerit. Tangannya mencakar-cakar wajahnya sendiri. Matanya melotot, seolah akan keluar dari rongganya.Melihat itu, Lily tertu saja panik. Dia mencoba menahan tangan Emma. Namun Emma tak mau berhenti menggerakkan tangannya. Bahkan sampai kulitnya tergores dia tetap tak berhenti. Dia lalu tertawa keras.“Emma, hentikan, Nak. Kendalikan dirimu,” kata Lily. Sekuat tenaga, dia mencoba mengendalikan Emma. Namun, tenaganya rupanya tak cukup kuat. Dia terpental dan jatuh dari atas ranjang.Lily lalu berteriak memanggil Robin. Tak berapa lama, suaminya itu pun datang. Dia bergegas mendekati Emma.“Emma, apa yang kamu lakukan, Nak?” katanya. Dia lalu memegangi tubuh Emma agar berhenti berontak.Tak ingin, Robin kewalahan, Lily bangkit. Dia juga ikut memegangi Emma. Akhirnya, anak perempuannya itu berhasil dikendalikan setelah lima menit dia dan Tony memegangi tubuhnya.“Emma, istirahatlah,” kata Lily.Emma tak menyahut. Matanya masih mel
“Apa maksud kamu merencanakan semua itu, Sabrina?” tanya Bu Marta ketika langkahnya terhenti.“Merencanakan apa, Bu?” balas Sabrina. Dia berakting seolah tidak tahu apa-apa.Ethan lalu maju. Dia lalu menunjukkan video ibu pemilik kios yang dia rekam. Dia juga menunjukkan video pengakuan Indra. Tak cukup di situ, Tony juga turun tagan. Dia menunjukkan chat dari Bu Marta mengenai pengakuan orangtua Indra yang mengatakan kalau Indra malam itu memang keluar dan dijemput dengan mobil Yaris merah.“Mau ngelak gimana lagi kamu?” kata Jake.Sabrina gelagapan. “A ... aku,” katanya.“Apa maksud kamu membuat video seperti itu Sabrina?” tanya Bu Marta.“Kenapa kamu sejahat itu sama Emma? Apa dia pernah melakukan kesalahan sama kamu? Apa dia pernah jahat sama kamu?” tanya Bu Marta lagi.Sabrina hanya menundukkan kepala. Dia tak berkutik sama sekali.“Saya mau kamu dan Indra membuat video permintaan maaf dan klarifikasi. Kamu jelaskan kalau Emma tidak pernah melakukan hal itu. Kamu jelaskan bagaima
“Kabar gembira apa?” Lily yang menyahut.Tony lalu menceritakan semua penyelidikan yang mereka lakukan. Mulai dari kedatangan mereka ke lokasi pertemuan Emma dan Desy, mengejak kerja sama Bu Marta, sampai akhirnay mereka memaksa Indra untuk mengaku.Lily membelalakkan mata setelah mendengar cerita Tony. Emma juga. “Indra itu siapa?” tanya Lily.“Indra itu mahasiswa yang satu fakultas dengan saya dan Emma, Tante,” jawab Tony, “dia sempat mendekati Emma sekitar semingu sebelum video itu beredar.”“Kenapa dia mau kerja sama Sabrina? Kenapa dia jahat sama anak saya?” kata Lily. Dia tampak sangat terpukul.“Sabrina selalu kayak begitu, Tante. Dia sering bayar orang untuk menyakiti orang-orang yang nggak dia sukai,” kata Jake.“Terima kasih karena kalian sudah membantu Emma ya,” sahut Lily, “Tante nggak bisa bales apa-apa selain cuma ucapin terima kasih.”“Nggak apa-apa, Tante,” sahut Tony, “Emma kan teman kita. Sudah selayaknya kita bantu kalau ada masalah.”***Pagi sekitar jam sembilan,
Desy mendesah lemah. “Enak ya jadi anak orang kaya. Andai aku terlahir jadi anak orang kaya,” katanya.Sabrina menoleh pada Desy. “Tapi biar kamu nggak kaya pun bisa beli barang-barang branded?” sahutnya, “nggak usah banyak ngeluh kalo masih ada orangtua yang bisa dipaksa buat ngutang.”Anne hendak tertawa, tapi dia lalu menutup mulutnya. Sementara itu, Desy tak menyahut. Urat-urat wajahnya menegang. Seandainya, sekarang posisinya tidak sedang di rumah Sabrina, dia pasti sudah memaki-maki gadis itu. Dari dulu gadis itu selalu saja suka menghakimi orang. Sabrina tidak tahu bahwa Desy berjuang dan bekerja sendiri untuk mendapatkan segala yang dia inginkan. Walaupun sebenarnya dia sudah muak dengan pekerjaannya itu.***Jam di kamar Desy menunjukkan pukul sebelas malam. Tapi gadis itu belum tertidur. Dia masih terjaga karena ada orang yang sedang menikmati tubuhnya. Beberapa kali, dia bahkan membuat suara-suara jeritan palsu agar kliennya senang. Padahal sebenarnya dia merasa jijik denga
“Menurutmu kenapa ya dia sengaja dateng ke rumah Emma sembunyi-sembunyi nggak ngajak kita?” tanya Jake.“Ya yang jelas dia nggak mau kita ganggu dia,” balas Ethan.Jake berdecak. “Menurut kamu, kalo memang Tony suka sama Emma, kenapa dia nggak ngomong aja sama Emma? Kenapa mereka nggak pacaran aja dari awal?”Ethan mengangkat bahu. “Mungkin Tony takut Emma malah jaga jarak kali kalau dia bilang suka,” balasnya.“Kok aneh,” gumam Jake.“Enggak aneh kalo menurut gue sih. Ibaratnya gini ya, kamu punya teman cewek dari kecil. Terus kamu udah terbiasa dan nyaman temenan aja. Takutnya kalo kamu nyatain perasaan ke dia, terus dianya nggak suka, kan jadi canggung. Mending nggak usah ngomong aja. Nggak ada risiko,” jelas Ethan.Jake mengangguk-angguk. “Iya juga ya,” katanya.***Lily masuk ke ruangan Clara saat namanya dipangil. Dia lalu tersenyum kepada psikolog itu saat telah berada di dalam ruangan.“Perkembangan Emma sudah sangat bagus, Bu Lily,” kata Clara, “kalau saat pertama kali ke sin
“Makasih,” kata Emma. Gadis itu tersenyum.Seperti apa yang sering dikatakan Clara, kalau dunianya mulai terasa sempit dan sesak, dia harus fokus pada hal lain yang membuat hidupnya terasa baik. Dia mempunyai dua orangtua yang sangat menyayanginya. Dia juga mempunyai tiga orang teman yang selalu ada disaat dia dalam masalah.***Sabrina membasuh muka di wastafel. Usai membasuh muka, gadis itu lalu mematikan keran. Namun dia tak langsung keluar dari kamar mandi. Dia menyandarkan tangannya ke wastafel sambil memikirkan Desy.Gadis itu terlihat agak berbeda belakangan ini. Bahkan tak hanya sekali, dua kali dia menentang kemauan Sabrina. Apakah gadis itu sudah tidak nyaman berteman dengan Sabrina? Kalau iya, kenapa? Bukannya selama ini semuanya baik-baik saja? Tak mau pusing, Sabrina lalu berjalan hendak meninggalkan kamar mandi. Namun, belum juga langkahnya mencapai pintu, seketika lampu di kamarnya padam. Dalam hitungan detik, dia merasakan angin mengenai lehernya lantaran rambutnya dic
Emma menghabiskan isi gelas dalam satu kali minum. Dia lalu menyerahkan gelasnya pada Robin lagi.“Kamu mimpi apa, Nak?” tanya Robin.Masih sambil menangis, Emma lalu menceritakan apa yang terjadi dalam mimpinya. “Aku takut sekali, Bu,” katanya di akhir cerita.Lily memeluk Emma lagi. “Sudah ... tenang, ada Ibu,” katanya.***Ethan meletakkan pantatnya ke kursi. Dia lantas mengerutkan kening saat melihat Jake yang cengar-cengir.“Kenapa kamu?” tanya Ethan.“Aku habis dari rumahnya Emma,” jawabnya.“Hah, Sendirian?” tanya Ethan.Jake mengangguk. “Iya dong. Masak Tony doang yang bisa diem-diem ke rumah Emma. Aku juga bisa lah,” katanya.Ethan geleng-geleng kepala. “Terus rencana kamu apa habis ini? Kamu mau ngedeketin Emma lagi nggak?”“Yang pasti sih iya. Aku nggak mau keduluan Tony,” katanya.Ethan menghembuskan napas panjang. Sejujurnya, tak pernah terlintas dalam benaknya kalau dua temannya akan bersaing mendapatkan seorang gadis yang juga masih teman mereak bersama. Ini benar-benar