Desy mendesah lemah. “Enak ya jadi anak orang kaya. Andai aku terlahir jadi anak orang kaya,” katanya.Sabrina menoleh pada Desy. “Tapi biar kamu nggak kaya pun bisa beli barang-barang branded?” sahutnya, “nggak usah banyak ngeluh kalo masih ada orangtua yang bisa dipaksa buat ngutang.”Anne hendak tertawa, tapi dia lalu menutup mulutnya. Sementara itu, Desy tak menyahut. Urat-urat wajahnya menegang. Seandainya, sekarang posisinya tidak sedang di rumah Sabrina, dia pasti sudah memaki-maki gadis itu. Dari dulu gadis itu selalu saja suka menghakimi orang. Sabrina tidak tahu bahwa Desy berjuang dan bekerja sendiri untuk mendapatkan segala yang dia inginkan. Walaupun sebenarnya dia sudah muak dengan pekerjaannya itu.***Jam di kamar Desy menunjukkan pukul sebelas malam. Tapi gadis itu belum tertidur. Dia masih terjaga karena ada orang yang sedang menikmati tubuhnya. Beberapa kali, dia bahkan membuat suara-suara jeritan palsu agar kliennya senang. Padahal sebenarnya dia merasa jijik denga
“Menurutmu kenapa ya dia sengaja dateng ke rumah Emma sembunyi-sembunyi nggak ngajak kita?” tanya Jake.“Ya yang jelas dia nggak mau kita ganggu dia,” balas Ethan.Jake berdecak. “Menurut kamu, kalo memang Tony suka sama Emma, kenapa dia nggak ngomong aja sama Emma? Kenapa mereka nggak pacaran aja dari awal?”Ethan mengangkat bahu. “Mungkin Tony takut Emma malah jaga jarak kali kalau dia bilang suka,” balasnya.“Kok aneh,” gumam Jake.“Enggak aneh kalo menurut gue sih. Ibaratnya gini ya, kamu punya teman cewek dari kecil. Terus kamu udah terbiasa dan nyaman temenan aja. Takutnya kalo kamu nyatain perasaan ke dia, terus dianya nggak suka, kan jadi canggung. Mending nggak usah ngomong aja. Nggak ada risiko,” jelas Ethan.Jake mengangguk-angguk. “Iya juga ya,” katanya.***Lily masuk ke ruangan Clara saat namanya dipangil. Dia lalu tersenyum kepada psikolog itu saat telah berada di dalam ruangan.“Perkembangan Emma sudah sangat bagus, Bu Lily,” kata Clara, “kalau saat pertama kali ke sin
“Makasih,” kata Emma. Gadis itu tersenyum.Seperti apa yang sering dikatakan Clara, kalau dunianya mulai terasa sempit dan sesak, dia harus fokus pada hal lain yang membuat hidupnya terasa baik. Dia mempunyai dua orangtua yang sangat menyayanginya. Dia juga mempunyai tiga orang teman yang selalu ada disaat dia dalam masalah.***Sabrina membasuh muka di wastafel. Usai membasuh muka, gadis itu lalu mematikan keran. Namun dia tak langsung keluar dari kamar mandi. Dia menyandarkan tangannya ke wastafel sambil memikirkan Desy.Gadis itu terlihat agak berbeda belakangan ini. Bahkan tak hanya sekali, dua kali dia menentang kemauan Sabrina. Apakah gadis itu sudah tidak nyaman berteman dengan Sabrina? Kalau iya, kenapa? Bukannya selama ini semuanya baik-baik saja? Tak mau pusing, Sabrina lalu berjalan hendak meninggalkan kamar mandi. Namun, belum juga langkahnya mencapai pintu, seketika lampu di kamarnya padam. Dalam hitungan detik, dia merasakan angin mengenai lehernya lantaran rambutnya dic
Emma menghabiskan isi gelas dalam satu kali minum. Dia lalu menyerahkan gelasnya pada Robin lagi.“Kamu mimpi apa, Nak?” tanya Robin.Masih sambil menangis, Emma lalu menceritakan apa yang terjadi dalam mimpinya. “Aku takut sekali, Bu,” katanya di akhir cerita.Lily memeluk Emma lagi. “Sudah ... tenang, ada Ibu,” katanya.***Ethan meletakkan pantatnya ke kursi. Dia lantas mengerutkan kening saat melihat Jake yang cengar-cengir.“Kenapa kamu?” tanya Ethan.“Aku habis dari rumahnya Emma,” jawabnya.“Hah, Sendirian?” tanya Ethan.Jake mengangguk. “Iya dong. Masak Tony doang yang bisa diem-diem ke rumah Emma. Aku juga bisa lah,” katanya.Ethan geleng-geleng kepala. “Terus rencana kamu apa habis ini? Kamu mau ngedeketin Emma lagi nggak?”“Yang pasti sih iya. Aku nggak mau keduluan Tony,” katanya.Ethan menghembuskan napas panjang. Sejujurnya, tak pernah terlintas dalam benaknya kalau dua temannya akan bersaing mendapatkan seorang gadis yang juga masih teman mereak bersama. Ini benar-benar
Seperti yang sudah didiskusikan dengan kedua temannya, Tony memutuskan untuk berbicara kepada semua mahasiswa yang ada di kelas. Dia berjalan mendekati white board lalu mulai berbicara.“Selamat pagi teman-teman. Aku minta waktunya sebentar ya!” katanya sambil mengetuk papan tulis dengan board marker untuk menarik perhatian.Dalam beberapa menit, perhatian seisi ruangan tertuju pada Tony. Mereka menatap Tony dengan raut penuh tanya.“Ada apaan sih? Ganggu orang mau ngerumpi aja,” kata seorang gadis yang duduk di kursi paling depan.“Jadi minggu ini kan Emma mau masuk kuliah lagi. Nah, aku pengen kita ngasih kayak semacam sambutan buat dia. Kira-kira kalian keberatan nggak?” tanya Tony.“Sambutan? Sambutan apa?” kata seorang mahasiswa yang duduk pada kursi yang berada di tengah ruangan.“Aku ingin kita semua iuran seikhlasnya aja buat kasih Emma gift. Terus pas Emma masuk, kita sambut dia pakai lagu,” kata Tony.“Aku setuju aja sih buat iurannya. Tapi lagunya lagu apa?” kata seorang la
Sabrina menghembuskan napas panjang. Orang-orang bilang segala sesuatu di dunia ini harus di dapatkan dengan pengorbanan. Mungkin memang sekarang saatnya dia melakukan pengorbanan. Mengingat selama ini dia selalu mudah mendapatkan apa pun dengan uang orang tuanya.“Oke ... oke. Aku bakalan minta maaf. Tapi bukan berarti aku bakalan berhenti gangguin Emma. Karena kalau didiemin, anak itu pasti bakalan keterlaluan,” kata Sabrina.“Yang penting jangan ada Jake aja kalau kamu ngerjain Emma,” sahut Desy.***Seperti yang sudah dijanjikan, Lily dan Robin mengantar Emma saat hari pertama gadis itu masuk kuliah lagi. Sebelum melepaskan Emma di kelas, mereka berdua datang ke ruangan Bu Marta dulu sesuai permintaan rektor kampus tersebut.“Selamat Pagi, Bu Marta,” kata Lily setibanya di ruangan Bu Marta. Dia mengetuk pintu.Bu Marta mengalihkan pandangannya dari layar komputer ke pintu. Dia tersenyum lebar saat melihat Robin, Lily dan Emma.“Silakan masuk,” kata Bu Marta. Beliau berdiri lalu be
Karena hari ini weekend, seharusnya Jake bisa bersenang-senang di rumahnya. Tapi, kenyataannya tidak demikian. Saat sedang asyik bermain basket bersama Ethan, asisten rumah tangga-nya memberi tahu kalau di depan ada Sabrina yang sedang menunggunya.“Sial, ngapain lagi sih itu anak,” kata Jake. Dia lalu melemparkan bola basket yang ada di tangannya ke lantai dengan keras.Ethan tertawa melihatnya. “Selamat menikmati pertemuan dengan nenek sihir,” katanya.Tak terima, Jake lalu menyeret Ethan.“Eh ... eh, ngapain sih kamu?” tanya Ethan.Jake tertawa. “Temenin aku. Aku nggak mau ketemu sama nenek sihir sendirian,” katanya dengan masih sedikit tertawa.Sabrina rupanya ada di teras rumah. Gadis itu datang sendirian. Dua dayangnya tidak ada.“Ada apa kamu ke sini?” tanya Jake. Dia tidak duduk dan hanya berdiri saja agak jauh dari Sabrina. Dia ingin Sabrina tahu bahwa kedatangannya tidak diinginkan.Sabrina bangkit lalu tersenyum. “Aku ... aku mau minta maaf,” katanya.Jake mengerutkan kenin
Jake dan Ethan tertawa lalu saling bertos setelah mobil Sabrina tak terlihat lagi dari pandangan mereka.“Aku dari tadi nahan ketawa tau!” kata Ethan.“Kamu pikir aku enggak juga,” sahut Jake.“Lucu banget ngelihat Sabrina yang biasanya tampangnya angkuh dan sok iye jadi kayak orang goblok gitu!” sahut Ethan. Dia lalu terbahak.***Sabrina tak langsung pulang ke rumah. Di tengah perjalanan, dia menghentikan mobilnya lalu melakukan panggilan video pada Desy dan Anne.“Kenapa tampang kamu kusut banget gitu?” tanya Desy ketika wajahnya muncul di layar. Dia lalu terbahak.“Aku lagi nggak mood,” sahut Sabrina.“Nggak mood kenapa?” tanya Anne. Gadis itu kelihatannya sedang makan karena dia tampak sedang sibuk mengupas sesuatu.Sabrina lalu menceritakan semua yang terjadi padanya sejak dia datang ke rumah Jake sampai dia harus terpaksa meminta maaf pada Emma dan orang tuanya.Desy dan Anne tertawa bersamaan setelah mendengar Sabrina bercerita. Namun, dalam hitungan detik, Anne segera menutup
Hari pertama menjalani kegiatan di kampus Emma merasa sangat tidak nyaman. Dia tidak mudah berkenalan dengan orang baru karena tidak semua orang bisa memahaminya. Akibatnya, Emma jadi sering menyendiri. Baik di kelas, perpustakaan atau di kantin, dia jarang terlihat berbaur dan mengobrol dengan mahasiswa lain. Keadaan itu membuat banyak mahasiswa di kampus yang menganggap Emma sombong. Sehingga akhirnya ada banyak mahasiswa di kampus yang membenci Emma. Banyak yang memusuhi Emma secara diam-diam. Tapi tak sedikit juga yang memusuhi Emma secara terang-terangan. Akibatnya, hampir setiap hari ada saja yang membuat Emma marah dan mengamuk karena selalu ada yang mengganggunya. Puncaknya adalah saat ada yang menganggu Emma saat gadis itu makan siang sendirian di kantin.“Sombong banget sih ke mana-mana sendiri terus,” kata seorang gadis berambut sebahu.“Mungkin dia ngerasa paling cantik kali di sekolah ini. Atau dia kayak gini biar banyak yang ngedeketin. Ala-ala misterius,” kata gadis y
Karena tak ada respon setelah mengetuk pintu beberapa kali, Anne memutuskan untuk menelepon Desy. Setelah panggilan keempat baru teleponnya direspon.“Ada apa, Anne?” tanya Desy dari seberang. Suaranya terdengar sangat pelan.“Kamu ada di rumah?” tanya Anne.“Iya,” sahut Desy.“Kok ...,” Anne menghentikan kalimatnya karena dia melihat seorang bapak-bapak keluar dari rumah Desy. Sebatas yang dia ingat, itu bukan Ayah Desy. Apakah orang itu kerabatnya Desy yang dia tidak kenal sebelumnya?“Kamu masuk aja,” kata Desy.Anne seketika memutuskan sambungan telepon dan masuk ke melewati pintu yang terbuka. Setelah menutup pintu, dia berjalan ke tengah bagian rumah. Tempat yang dia tuju tentu saja kamar Desy.Anne mengerutkan kening saat masuk ke kamar Desy dan melihat ranjang gadis itu berantakan. Dia takut terjadi apa-apa dengan Desy.“Desy, kamu di mana?” tanya Anne. Dia menghembuskan napas lega saat mendegar suara keran dari kamar mandi.“Orang laki-laki yang tadi keluar dari rumah kamu si
Tiga hari setelah demo terakhir dilakukan, kedua orang tua Emma dipanggil ke kampus. Mereka berdua diminta untuk bertemu dengan Bu Marta langsung di ruangannya. “Selamat pagi,” kata Tony sambil mengetuk pintu ruangan Bu Marta ketika langkahnya terhenti di depan ruangan kepala sekolah itu.Bu Marta menatap ke arah pintu. “Selamat pagi,” katanya, “silakan masuk.”Bu Marta mengambil napas dalam sebelum berbicara dengan Robin dan Lily. “Sebelumnya saya mewakili pihak sekolah ingin mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya,” kata Bu Marta.“Apa tidak bisa dinegosiasikan lagi, Bu?” tanya Robin, “kita semua sama-sama tahu kan kalau semua kekacauan yang Emma perbuat bukan murni keinginan Emma. Ada mahluk astral yang mengendalikannya.”Bu Marta mengangguk. “Kami sudah berusaha semaksimal mungkin menjelaskan kepada para orangtua mahasiswa itu. Tapi mereka tak ada yang mau peduli. Alasan mereka, mereka tidak mau kekacauan itu terulang terus. Mereka tidak mau kalau nanti anak mereka dan yang lainny
Orang tua Yosi dan Burhan kompak mengajak puluhan orang tua mahasiswa lain untuk melakukan demo ke kampus. Mereka semua menuntut agar Emma dikeluarkan karena tingkahnya yang sangat meresahkan. Mereka tak hanya melakukan demo sekali, tetapi sebanyak tiga kali dalam seminggu.Fakta itu tentu saja membuat pihak sekolah bimbang. Di satu sisi, mereka tidak bisa mengabaikan permintaan wali murid. Tapi, di sisi lain, mengeluarkan Emma dari kampu begitu saja juga bukan pilihan yang paling tepat. Bagaimana pun juga, Emma adalah salah satu mahasiswa yang cukup berprestasi. Mereka bahkan mempunya beberapa rencana untuk mengikuti lomba dalam kurun waktu beberapa bulan ke depan. Dan salah satu mahasiswa yang akan mereka ikutkan untuk lomba itu adalah Emma.Tak hanya pihak sekolah yang dibuat pusing oleh demo yang dilakukan para orang tua mahasiswa itu. Emma dan orang tuanya juga dibuat pusing. Yang paling tertekan dengan kedaan itu tentu saja Emma. Hampir setiap hari dia menangis karena lelah meng
Sabrina tak peduli jika pada akhirnya Desy muak dengan sikapnya dan gadis itu meninggalkannya. Dia tetap fokus pada niatnya untuk membuat Emma dikeluarkan dari sekolah. Maka dia mencari tahu dua mahasiswa yang kemarin menjadi korban amukan Emma di kantin. Dari informasi yang berhasil Sabrina himpun dari orang-orang suruhannya. Dia menemukan nama dan kelas dua mahasiswa itu. Bahkan Sabrina juga tahu alamat rumah mereka. Tapi sebelum memutuskan untuk mendatangi orang tua mereka di rumah mereka, Sabrina memutuskan untuk menghampiri mereka di kelasnya terlebih dahulu. Yang pertama Sabrina datangi adalah Yosi. Laki-laki berpostur jangkung itu tengah duduk di kursi yang ada di depan kelas ketika Sabrina datang. “Hei, gimana kabarnya?” kata Sabrina. Dia duduk di samping Yosi, “luka kamu yang kena amukan Emma kemarin masih sakit?” “Lumayan sih. Ada beberapa luka gosong kebiruan dan luka goresan karena kena lantai dan bangku kantin,” kata Yosi, “ini masih mendingan. Si Burhan malah hari ini
Emma pikir, Sabrina memang akan benar-benar berubah. Dia pikir gadis itu akan menepati janjinya. Tapi ternyata tidak. Pada akhirnya gadis itu berulang lagi. Entah disengaja atau tidak, saat berad di kantin, tiba-tiba saja Sabrina menjatuhkan minuman yang masih agak panas dari belakang. Cairan kopi itu mengenai punggung Emma, mengenai kemejanya dan tembus hingga ke kulitnya.Emma merasakan rasa skit dan panas doi punggungnya. Seharusnya dia pergi ke toilet. Dan memang sebenarnya dia berniat pergi ke toilet. Namun, Emosinya lebih dulu meledak. Seperti biasa, mahluk astral itu menguasainya lagi. Membuatnya lepas kendali.Sadar berhasil memancing Emma, Sabrina pun tersenyum-senyum. Tetapi sebisa mungkin dia berusaha meminta maaf agar segalanya tak terlihat mencolok.“Maaf ya, Emma,” katanya kepada Emma.Emma tak menyahut. Dia mengerang dan mencengkeram pergelangan tangan Sabrina. Matanya melotot dan bola matanya berputar-putar. Dia mengerang. Lalu kuku-kukunya yang panjang mencakar kulit
Emma masuk kuliah lagi, tiga hari dari hari pertama dia di rumah sakit. Sebelum masuk ke dalam kelas, Ethan dan Jake menyambutnya di ambang pintu. Mereka mengulurkan tangan dan agak sedikit membungkuk seperti mempersilakan otang penting. Emma tersenyum melihatnya.“Kalian ini kayak aku siapa saja,” kata Emma.Baru duduk sebentar, Tony lalu berdiri lagi. Dia lalu mengajak Ethan dan Jake keluar kelas.“Aku nggak diajak nih?” tanya Emma.“Aku mau ngobrol sebentar sama mereka,” kata Tony. Dia lalu tersenyum, “ini urusan laki-laki.”Emma menghembuskan napas kasar. “Males banget deh kalo bawa-bawa gender,” katanya.“Bentar doang kok,” kata Tony.Tony, Ethan dan Jake lalu berjalan keluar kela. Mereka menghentikan langkahnya di taman. Tony lalu memilih bangku yang ada di sudut taman untuk duduk. Tempat itu lumayan jah dari jangkauan orang-orang karena kanan dan kirinya adalah barisan tembok ruang dekan.“Kamu ngapain sih ngajak kita ke sini?” tanya Jake setelah dia duduk.“Aku mau ngomong ser
Saat Sabrina masuk, Jake sedang mengobrol dengan Emma. Laki-laki itu berdiri di dekat ranjang sambil agak membungkuk, mendengarkan suara Emma yang mungkin masih terdengar pelan. Dia membelakangi Sabrina. Di sampingnya ada Ethan. Sementara itu, Tony berdiri di sisi ranjang yang lain sehingga dia menjadi orang yang lebih dulu mengetahui kehadiran Sabrina.Karena menyadari arah pandang Tony, Jake akhirnya menoleh.“S ... sore semua,” kata Sabrina.Tony tak menyahut. Emma juga. Yang menyahut adalah Jake. “Sore,” ujarnya pelan. Dia lalu menghadap Emma lagi.“Emma sakit apa? Habis jatuh kah?” tanya Sabrina karena dia melihat ada bekas jahitan di kening Emma sebelah kanan.“Iya,” sahut Sabrina pelan.“Sekarang udah mendingan apa masih sakit?” tanya Sabrina.“Udah mendingan kok,” sahut Emma.“Maaf ya, aku nggak sempet beliin apa-apa,” kata Sabrina.“Nggak apa-apa,” sahut Emma.Sejujurnya, Emma tidak yakin Sabrina tulus. Dia sebenarnya malas menanggapi gadis itu. Rasanya mustahil seorang Sabri
Saat jam istirahat siang, Jake dan Ethan kelimpungan mencari Tony dan Emma di kelasnya. Mereka bertanya-tanya ke mana perginya dua orang itu. Jake yang paling penasaran. Tentu saja. Setelah duduk di meja kantin, Jake lalu menelfon Emma. Karena tak ada tanggapan dari gadis itu, dia lalu menelfon Tony. “Aku yakin sih ini mereka pasti pergi berdua,” kata Jake selagi menunggu panggilannya mendapat respon dari Tony. “Kayaknya sih,” sahut Ethan sambil menyendok basonya. “Kamu bolos bareng Emma ya?” kata Jake setelah mendengar suara Tony dari seberang. “Bolos ... bolos kepalamu? Aku lagi jenguk Emma di rumah sakit,” sahut Tony. “Rumah sakit?” ulang Tony, “Emangnya Emma sakit apa?” “Ceritanya panjang. Entar juga kamu tahu sendiri kalo ke rumah sakit,” sahut Tony. “Di rumah sakit mana?” tanya Jake. “Biasa. Yang deket sama rumah Emma,” sahut Tony. “Siapa yang sakit?” tanya Ethan setelah Jake meletakan ponselnya di atas meja. “Emma,” jawab Jake. “Sakit apa?” sahut Ethan. Dia membelala